Menaksir Kembali Wajah Media Sosial
September 18, 2015 § 3 Komentar
Media sosial kembali heboh. Salah seorang artis yang dikenal karena aktingnya membintangi sinetron hingga beratus-ratus episode menjadi objek tarik-menarik dukungan dan gontok-gontokan antara dua kelompok kepentingan. Perkaranya adalah sang artis menafikan dalil keagamaan salah satu mazhab sementara ia berpegang pada mazhab yang lain.
Genderang perang dimulai. Saling sikut dua kubu berlangsung sangat sengit. Melengkapi riuh ricuhnya jagat sosial media, khususnya di Indonesia, selama dua tahun terakhir. Segala rupa argumen dikemukakan dan dibagikan. Terkadang tanpa perlu dibaca terlebih dahulu isi dari artikel yang nangkring di beranda facebook atau linimasa twitter. Tanpa tedeng aling-aling.
Kericuhan-kericuhan sejenis adalah cuplikan dari boroknya wajah media sosial. Walaupun belum ada apa-apanya jika dibandingkan dengan seorang Jokowi. Bapak presiden satu ini adalah figur utama dalam kontes ribut-ribut pegiat media sosial di Indonesia. Apa saja kebijakan, keputusan, aktifitas yang beliau lakukan tidak pernah sepi dari hujatan, hinaan, kritik. Mesikpun barisan pembela die hard nya tidak pernah kehabisan ide untuk menyajikan arguemen tandingan. Dari yang ilmiah, absurd hingga berupa cacian serupa. Lucunya, masing-masing kelompok senantiasa berlindung dibalik kosakata ‘tabayyun’ atau yang berarti konfirmasi kebenaran suatu informasi manakala headline di media memojokkan jagoan mereka. Namun di saat jagoan lawan berada dalam situasi yang sama, mereka tiba-tiba amnesia. Serang membabi buta. Tabayyunnya entah kemana. Luar biasa!.
Masyarakat kita belum mampu bersikap dewasa menghadapi perbedaan. Padahal berbeda itu absolut sebagai sinyal otak yang berpikir. Lengkap sudah, kejumudan akal ditampung oleh sasana yang bernama facebook, twitter, blog, path dan lain-lain. Maka berbahagia lah Zuckerberg yang sedang bermain poker bersama dengan Jack Dorsey di Palo Alto. Mengapa tidak? Situs besutan mereka terus mencapai traffic yang diharapkan guna meraup pundi-pundi dolar. Peluang bisnis yang juga tidak bisa ditolak oleh situs media online mulai dari yang punya nama besar hingga media-media yang melacurkan diri dengan memuat berita-berita bohong, fitnah yang terintegrasi dengan jejaring sosial tersebut. Dalam kondisi ini, koran lampu merah atau lampu hijau terasa lebih jujur dan apa adanya.
Pegiat media sosial sudah menjadi nabi. Dengan pengikut dalam jumlah besar, mereka menyebarkan berita yang tidak jelas juntrungannya. Maka kaumnya pun menyebarkan hoax yang sama. Awalnya kita mengira imam Mahdi sudah datang. Beberapa bahkan menjadi Tuhan. Klik gambar jika ingin masuk surga atau abaikan jika ingin masuk neraka. Gue sedih, harga surga hanya sebatas kuota internet ceban plus akun facebook gratisan.
Media sosial saat ini tidak lebih baik daripada kampanye para calon presiden menjelang pemilu. Cari dukungan, serang, jatuhkan. Berbeda berarti gue bener, kalian salah. Oleh karena itu maka segenap pendapat yang berbeda harus dikubur hidup-hidup.
Bahkan twitter terkenal dengan ‘twitwar’. Sebuah diskursus untuk menciptakan konflik dan perang antar ide. Perang selalu menghasilkan pemenang dan pecundang. Sejarah pun ditulis oleh pemenang perang. Jadi jangan heran jika adu kuat-kuatan argumen di sosial media secara umum akan menggiring opini arus utama.
Wajah media sosial sudah semakin jelas. Artikel-artikel informatif yang seharusnya menjadi rival berat berita berita kontroversial ternyata kurang digemari. Pun saat berita tersebut memiliki konten yang layak maka kolom komentar lebih menarik untuk disimak. Jika bukan menghardik salah satu kubu berarti saling sahut dan saling meng-anjing-kan satu sama lain. Walau tidak terlalu yakin namun rasanya anjing tidak pernah melabeli lawannya saat sedang berkelahi.
Wajah lain media sosial adalah wajah lusuh para pengadu. Media sosial sudah menjadi rumah baru untuk menuliskan cerita yang dulu dilakoni oleh generasi 90-an melalui diary. Semakin buruk jika melihat borok yang diumbar kesana kemari. Belum lagi pamer ini itu. Makan waffle, pamer pernak pernik tas hermes 950 juta hingga rela meminjamkan password facebook demi mengunggah kemeriahan konser bon jovi walau empunya tidak berada langsung di senayan. Miris. Tuhan tidak bermain facebook jadi berhentilah merengek dan mengadu.
Nampaknya kita perlu memikirkan kembali seperti apa wajah media sosial yang seharusnya. Rupa elok dari sikap saling membantu atau semangat gotong royong yang dulu berseliweran menjadi topik utama pelajaran PPKN harus lebih digalakkan. Selama ini kita mengenal istilah crowdfunding, petisi online dan ruang-ruang yang bisa menjadikan media sosial jauh lebih berguna daripada sekedar caci maki dan sumpah serapah.
Berbagilah hal-hal yang bermanfaat jika dan hanya jika kita tidak bisa melakukan sesuatu yang berguna. Berhentilah mengemis ‘like’, ‘retweet’ karena jika sekedar ingin terkenal cukuplah kalian kencing di sumur zam zam. Dan berhentilah menjadi ‘monyet’ yang ikut-ikutan menyebarkan hoax. Kita hanya menjadi budak kapitalisasi media oleh segelintir orang.
Jika kita tidak memulai untuk berhenti mengotori media sosial dengan kebencian dan keburukan maka ada baiknya kita dikirim ke sebuah labirin berisi Griever di dalamnya.
Tulisan yang padat dan berisi, yang banyak kontennya datang dari obrolan kita pagi ini. Kayaknya kalau kita sering-sering ngobrol bisa lo jadiin buku Dri haha.
ah elo yang komen. gue kirain siapa..haha
Artikel yang menarik. Butuh sikap dewasa dan bijak agar wajah media sosial bisa lebih baik dan mendukung produktifitas berkarya. Terima kasih