Balada Ipin Upin, K.H Zainuddin M.Z (Alm), dan Hoax yang Direkayasa

Februari 17, 2017 § Tinggalkan komentar

Sumber: Brilio.net

Sumber: Brilio.net

Gue tidak jarang menemani Alby menikmati Upin-Ipin. Kartun tentang anak kembar yang mirip tuyul ini sangat digemari oleh anak-anak se-usia Alby dan se-usia bapaknya. Di antara serbuan sinetron remaja dengan level alay yang semakin akut, Ipin-Upin bak penyelamat generasi kartun anak-anak ini. Masih ada beberapa kartun lain yang cukup baik sebenernya, hanya saja Upin-Ipin tetap menjelma menjadi idola. Selain Mars Perindo tentunya.

Di antara sekian banyak episode, ada satu kisah yang persis menggambarkan kehidupan manusia Indonesia dewasa ini dalam interaksinya dengan dunia maya.

Dalam salah satu episode diceritakan tentang kisah Penggembala dan Biri-Biri. Terkisah hiduplah penggembala yang bosan dengan rutinitas menggembalakan hewan ternaknya. Ia kemudian mencoba sesuatu yang baru. Ia berteriak minta tolong kepada warga desa, berteriak seakan-akan ada serigala yang tengah menyergap sang biri-biri. Penduduk yang panik kemudian mendatangi penggembala tersebut. Ternyata teriakan penggembala hanyalah tipuan belaka. Ia mencari perhatian warga dengan kebohongannya.

Tidak hanya sekali, merasa apa yang ia lakukan adalah sesuatu yang lucu, penggembala mereplika kekonyolan serupa. Penduduk yang masih percaya sekonyong-konyong datang kembali untuk menolong penggembala. Namun jauh panggang dari api. Penggembala ternyata berkutat dengan kebohongan yang sama. Kesal karena kepercayaan mereka dikhianati, penduduk beramai-ramai minta diceraikan. Eh maaf, maksudnya penduduk desa bersumpah tidak akan lagi berusaha menolong penggembala apa pun kondisinya.

Akhir cerita sudah dapat kita tebak. Sebenar-benar serigala datang menyergap biri-biri. Teriakan penggembala tidak digubris. Tidak peduli berapa kencang ia minta tolong.

Bagi kalian penikmat radio yang acap kali memutar ceramah K.H. Zainudin MZ (Alm), cerita penggembala yang berbohong ini bukan satu atau dua kali kita dengar. Hampir di sela-sela menunggu waktu berbuka puasa, kita mendengar narasi Almarhum tentang keisengan penggembala. Cerita ini sangat melekat di memori gue. Kisah yang tak pudar dan kerap menggema. Pesan moral yang berdengung adalah sebagai manusia kita tidak seharusnya berbohong apalagi berbohong yang kemudian tersebar luas. Karena pada akhirnya berbohong bagaikan melempar boomerang yang akan mengenai kita sendiri (Jika kita tidak pandai mengelak :)). Kalo pun terpaksa berbohong, lakukan cukup sampai dua kali saja. Belajarlah dari sang penggembala. *dikeplak*.

Terdengar familiar? Terasa dekat dengan kehidupan bermedia sosial kita belakangan ini? Kisah-kisah bohong yang tersebar luas di masyarakat sudah menjadi bagian dari masyarakat itu sendiri. Dewasa ini dikenal dengan terminologi ‘Hoax’.

Hoax bukanlah cerita baru. Informasi-informasi hoax disebarkan sedari dulu. Kalian tidak pernah bisa membuat sejarah tanpa subjektifitas yang mengarah kepada hoax sebagai bagiannya. Siapa sangka opini yang sudah menjadi kebenaran publik semisal mengkonsumsi micin dapat menurunkan tingkat inteligensia manusia adalah hoax. Atau serupa dengan itu bagaimana ibu-ibu modern masih mendengarkan musik klasik bagi bayi di dalam kandungan karena ujar mereka Mozart mampu meningkatkan kecerdasan bayi. Duh!.

Belakangan isu hoax semakin santér. Informasi yang valid dan bohong menjadi sangat bias. Nyaris tidak ada pembatas yang jelas. Setiap hari ada saja berita yang dibumbui dengan kebohongan-kebohongan. Pemerintah pun sigap. Menyergap sesiapa yang dituduh menyebarkan informasi hoax. Meskipun tidak jarang berita hoax itu datang dari lingkaran istana sendiri.

Perkembangan hoax sejalan dengan situasi ekonomi atau politik yang terjadi. Masifnya serbuan berita hoax tidak jarang memang sengaja direkayasa untuk alasan-alasan politis tertentu.

Bila kita mengamati dengan seksama, media sosial sebagai tempat berbagi segala hal termasuk berita dan opini dapat menjadi ujung tombak ketersampaian informasi yang dapat membuat simpul-simpul polarisasi. Kita bisa mengamati adanya fenomena rekayasa berdasarkan pola-pola dalam kejadian.

Tengok saja. Beberapa informasi yang viral dan sering diributkan oleh netizen di media daring sering kali bertendensi pada hoax. Mulanya berita tersebut secara antah berantah disebarkan lalu kemudian menjadi viral saat berada di tangan yang ‘tepat’. Para penyebar informasi sukarela ini lah yang kemudian menjadi target empuk pembuat berita dan menjadi sasaran bulan-bulanan oleh pasukan digital yang memiliki opini berbeda yang secara sengaja atau tidak sudah siap dengan data-data untuk memutarbalikkan isu yang berkembang.

Lalu keesokan harinya, minggu kemudian, beberapa bulan setelahnya isu lain dilempar. Orang-orang kembali menanggapi dan dengan pola serupa, hoax tersebut disebarkan. Lalu ditanggapi oleh mereka yang berada pada opini bersebrangan. Setelah ribut-ribut tak kunjung usai, isu tersebut kembali dianggap sebagai hoax. Atau dianggap sekedar mengecek kedalaman air.

Ada setidaknya dua alasan mengapa hoax ini tersebar bagai api menyambar pertalite, ceritanya premium udah jarang di SPBU, terutama untuk isu-isu politis.

Yang pertama karena para pembuat, jika memang hoax ini direkayasa, sangat paham situasi rakyat kebanyakan. Mereka sebagian besar adalah masyarakat yang religius secara tradisional, anti-PKI, juga jengah dengan situasi perpolitikan di Indonesia saat ini. Suka atau tidak, wajah perpolitikan Indonesia sudah pecah menjadi dua sejak pemilu presiden 2014 yang berlanjut hingga sekarang. Sehingga sesiapa berada di lingkaran Jokowi, pasti lah dianggap musuh Prabowo. Dan sebaliknya.

Maka dibuatlah berita-berita tentang isu-isu PKI, berita-berita yang memantik sentimen warga, juga isu politis yang memuat berita tentang kinerja Jokowi sehingga rakyat dibenturkan dengan rakyat lain. Keren, bukan? Jason Bourne masih perlu belajar banyak.

Alasan kedua, para pembuat hoax sadar bahwa berita bohong tidak akan bisa menyentuh orang-orang yang suka membaca. Karena itu mereka mengincar para pegiat media sosial bersumbu pendek yang tidak mengakrabi buku dan sumber primer lainnya.

Rekayasa hoax ini berbahaya. Bagi orang-orang yang sering kali membagikan berita hoax, sama halnya dengan penggembala, akan membuat masyarakat khususnya pegiat media sosial akan antipati pada setiap sebaran yang mereka bagikan. Jika ini yang terjadi maka tujuan dari pembuat berita hoax tercapai. Membuat orang-orang kehilangan kepercayaan pada penyebar berita. Sehingga berita benar sekali pun akan dianggap sebagai kebohongan.

Jadi saran saya, banyak baca dan mengklarifikasi adalah dua langkah utama menghindarkan kita dari hoax yang terkutuk. Atau jika tidak tahan lagi untuk membagikan berita, pastikan kalian memiliki simpul pertemanan pada mereka yang memiliki kapasitas intelektual yang baik. Jika orang-orang tersebut tidak reaktif terhadap suatu isu maka ada baiknya kita pun sebaiknya tidak reaktif. Jadikan mereka sebagai cermin sebelum mulai membagikan berita. Ingat, semua berita adalah hoax sebelum ada pembuktian terbaliknya. Jadi, jangan lagi menjadi penggembala biri-biri yang dengan mudahnya membagikan informasi yang tidak valid kebenarannya. Saya tahu kalian kesal dengan situasi negeri, saya pun sama. Namun berbagi berita bohong hanya akan membuat runyam keadaan.

Mari kita bersantai sejenak sambil menikmati kembali Upin-Ipin dan mendengarkan ceramah Zainudin M.Z.

 

Iklan

Menaksir Kembali Wajah Media Sosial

September 18, 2015 § 3 Komentar

4112682_20150906042949

Media sosial kembali heboh. Salah seorang artis yang dikenal karena aktingnya membintangi sinetron hingga beratus-ratus episode menjadi objek tarik-menarik dukungan dan gontok-gontokan antara dua kelompok kepentingan. Perkaranya adalah sang artis menafikan dalil keagamaan salah satu mazhab sementara ia berpegang pada mazhab yang lain.

Genderang perang dimulai. Saling sikut dua kubu berlangsung sangat sengit. Melengkapi riuh ricuhnya jagat sosial media, khususnya di Indonesia, selama dua tahun terakhir. Segala rupa argumen dikemukakan dan dibagikan. Terkadang tanpa perlu dibaca terlebih dahulu isi dari artikel yang nangkring di beranda facebook atau linimasa twitter. Tanpa tedeng aling-aling.

Kericuhan-kericuhan sejenis adalah cuplikan dari boroknya wajah media sosial. Walaupun belum ada apa-apanya jika dibandingkan dengan seorang Jokowi. Bapak presiden satu ini adalah figur utama dalam kontes ribut-ribut pegiat media sosial di Indonesia. Apa saja kebijakan, keputusan, aktifitas yang beliau lakukan tidak pernah sepi dari hujatan, hinaan, kritik. Mesikpun barisan pembela die hard nya tidak pernah kehabisan ide untuk menyajikan arguemen tandingan. Dari yang ilmiah, absurd hingga berupa cacian serupa. Lucunya, masing-masing kelompok senantiasa berlindung dibalik kosakata ‘tabayyun’ atau yang berarti konfirmasi kebenaran suatu informasi manakala headline di media memojokkan jagoan mereka. Namun di saat jagoan lawan berada dalam situasi yang sama, mereka tiba-tiba amnesia. Serang membabi buta. Tabayyunnya entah kemana. Luar biasa!.

Masyarakat kita belum mampu bersikap dewasa menghadapi perbedaan. Padahal berbeda itu absolut sebagai sinyal otak yang berpikir. Lengkap sudah, kejumudan akal ditampung oleh sasana yang bernama facebook, twitter, blog, path dan lain-lain. Maka berbahagia lah Zuckerberg yang sedang bermain poker bersama dengan Jack Dorsey di Palo Alto. Mengapa tidak? Situs besutan mereka terus mencapai traffic yang diharapkan guna meraup pundi-pundi dolar. Peluang bisnis yang juga tidak bisa ditolak oleh situs media online mulai dari yang punya nama besar hingga media-media yang melacurkan diri dengan memuat berita-berita bohong, fitnah yang terintegrasi dengan jejaring sosial tersebut. Dalam kondisi ini, koran lampu merah atau lampu hijau terasa lebih jujur dan apa adanya.

Pegiat media sosial sudah menjadi nabi. Dengan pengikut dalam jumlah besar, mereka menyebarkan berita yang tidak jelas juntrungannya. Maka kaumnya pun menyebarkan hoax yang sama. Awalnya kita mengira imam Mahdi sudah datang. Beberapa bahkan menjadi Tuhan. Klik gambar jika ingin masuk surga atau abaikan jika ingin masuk neraka. Gue sedih, harga surga hanya sebatas kuota internet ceban plus akun facebook gratisan.

Media sosial saat ini tidak lebih baik daripada kampanye para calon presiden menjelang pemilu. Cari dukungan, serang, jatuhkan. Berbeda berarti gue bener, kalian salah. Oleh karena itu maka segenap pendapat yang berbeda harus dikubur hidup-hidup.

Bahkan twitter terkenal dengan ‘twitwar’. Sebuah diskursus untuk menciptakan konflik dan perang antar ide. Perang selalu menghasilkan pemenang dan pecundang. Sejarah pun ditulis oleh pemenang perang. Jadi jangan heran jika adu kuat-kuatan argumen di sosial media secara umum akan menggiring opini arus utama.

Wajah media sosial sudah semakin jelas. Artikel-artikel informatif yang seharusnya menjadi rival berat berita berita kontroversial ternyata kurang digemari. Pun saat berita tersebut memiliki konten yang layak maka kolom komentar lebih menarik untuk disimak. Jika bukan menghardik salah satu kubu berarti saling sahut dan saling meng-anjing-kan satu sama lain. Walau tidak terlalu yakin namun rasanya anjing tidak pernah melabeli lawannya saat sedang berkelahi.

Wajah lain media sosial adalah wajah lusuh para pengadu. Media sosial sudah menjadi rumah baru untuk menuliskan cerita yang dulu dilakoni oleh generasi 90-an melalui diary. Semakin buruk jika melihat borok yang diumbar kesana kemari. Belum lagi pamer ini itu. Makan waffle, pamer pernak pernik tas hermes 950 juta hingga rela meminjamkan password facebook demi mengunggah kemeriahan konser bon jovi walau empunya tidak berada langsung di senayan. Miris. Tuhan tidak bermain facebook jadi berhentilah merengek dan mengadu.

Nampaknya kita perlu memikirkan kembali seperti apa wajah media sosial yang seharusnya. Rupa elok dari sikap saling membantu atau semangat gotong royong yang dulu berseliweran menjadi topik utama pelajaran PPKN harus lebih digalakkan. Selama ini kita mengenal istilah crowdfunding, petisi online dan ruang-ruang yang bisa menjadikan media sosial jauh lebih berguna daripada sekedar caci maki dan sumpah serapah.

Berbagilah hal-hal yang bermanfaat jika dan hanya jika kita tidak bisa melakukan sesuatu yang berguna. Berhentilah mengemis ‘like’, ‘retweet’ karena jika sekedar ingin terkenal cukuplah kalian kencing di sumur zam zam. Dan berhentilah menjadi ‘monyet’ yang ikut-ikutan menyebarkan hoax. Kita hanya menjadi budak kapitalisasi media oleh segelintir orang.

Jika kita tidak memulai untuk berhenti mengotori media sosial dengan kebencian dan keburukan maka ada baiknya kita dikirim ke sebuah labirin berisi Griever di dalamnya.

Where Am I?

You are currently browsing entries tagged with hoax at I Think, I Read, I Write.

%d blogger menyukai ini: