Mencari setitik air di Bima
Desember 1, 2012 § Tinggalkan komentar
12 Desember 2011, alarm di kamar gue berbunyi lebih awal. Tidak seperti biasanya, kali ini jam menunjukkan pukul 12.00 WIB dini hari. Dengan langkah goyah, sesekali menguap gue merapihkan kembali baju dan mengecek kembali koper beserta tas. Untungnya sudah mandi terlebih dahulu sebelum (ter)tidur. Pintu kamar mulai dikunci, perlahan di tengah keheningan malam gue menerobos cahaya lampu yang temaram.
Kemana gue akan pergi? Ini adalah cerita dari awal perjalanan menuju Bima, Nusa Tenggara Barat.
Semuanya berawal ketika salah seorang senior di kampus memberikan informasi terkait dengan proyek pengadaan air bersih untuk daerah-daerah di pesisir pantai di seluruh Indonesia. Sebuah program kerja di bawah komando Dinas Kelautan dan Perikanan, Kementrian Kelautan dan Perikanan Indonesia untuk menyediakan air bersih dengan cara mengolah air laut menjadi air minum menggunakan alat reverse osmosis, water purifier berteknologi nanofilter yang mampu melakukan filtrasi air laut guna memisahkan bakteri, virus hingga mineral terlarut.
Guys, perlu kalian tahu bahwa sebagian besar penduduk di pesisir pantai negara tercinta kita ini, belum mendapatkan air layak minum. Oleh karena itu, pemerintah berusaha mengoptimalkan potensi air laut. Sebuah langkah yang dianggap lebih efektif dibandingkan mengalirkan air melalui PDAM.
Agenda besar ini ditujukan bagi alumni-alumni muda dari beberapa universitas termasuk ITB dan UI. Gue, sebagai salah seorang alumni muda ITB mendaftar untuk ikut berpartisipasi dalam proyek ini.
Program penyediaan air bersih meliputi 72 titik dari wilayah timur hingga barat Indonesia. Pihak dinas kelautan dan perikanan telah melakukan survey lapangan terlebih dahulu untuk menentukan daerah mana saja yang paling berhak untuk mendapatkan bantuan. Setiap daerah akan dipantau oleh kami, para alumni muda, yang siap terjun ke masyarakat untuk menyaksikan secara visual, secara langsung kondisi nyata bagaimana sulitnya daerah-daerah di Indonesia yang kesulitan untuk mendapatkan air minum bersih, sehat dan layak konsumsi.
Setelah terkumpul 72 orang, gue bersama seorang relawan lainnya berkewajiban untuk meninjau provinsi NTB, Kabupaten Bima, Desa Dumu dan Desa Kangga. Batas waktu kerja kami adalah satu bulan.
Jam 10 pagi, pesawat perintis mendarat di bandara Sultan Salahudin, Bima. Setibanya di bandara, kami dijemput oleh dinas kementrian kelautan dan perikanan (KKP) setempat. 30 menit perjalanan dari bandara, kami tiba di kantor dinas KKP. Setelah sedikit berdiskusi mengenai progress proyek ini, kami sepakat untuk melakukan survey dan meninjau keadaan di lapangan keesokan harinya.
Untuk mencapai desa dumu dan desa kangga, kami harus menempuh perjalanan selama dua jam dari Kota Bima dengan rute yang naik dan turun gunung, belum lagi jurang di sebelah kanan jalan. Benar-benar berasa tour de france.
Setelah dua jam menempuh perjalanan darat, tibalah kami di desa pertama yaitu Desa Dumu. Desa ini terdiri dari dusun-dusun yang letaknya saling berjauhan satu sama lain tanpa fasilitas listrik dari PLN. Hanya beberapa rumah yang terang benderang saat malam hari. Rumah-rumah tersebut mendapatkan bantuan solar cell dari pemerintah beberapa tahun lalu. Memang hanya segelintir rumah saja yang menikmati fasilitas solar cell, selebihnya bersenda gurau ria dengan cahaya bulan dan bintang.
Beberapa kilometer dari Desa Dumu terdapat Desa Kangga yang terletak paling timur kecamatan Langgudu. Akses jalan menuju desa tersebut sangat jelek. Belum diaspal dan berbatu. Terik matahari yang menyengat menambah berat perjalanan tersebut. Sebagian besar warga yang berprofesi sebagai nelayan di kedua desa ini menggunakan sumur di sekitar rumah mereka sebagai sumber air minum.
Setelah rehat sejenak di rumah kepala Desa Kangga, kami langsung bergegas menuju area dimana sumur penampung dan instalasi alat dibangun. Sumur tersebut akan dijadikan sebagai tempat menampung air laut sebelum difilitrasi dengan alat reverse osmosis.
Air bersih untuk dikonsumsi sangat sulit untuk dicari. Warga di sini punya sumur multifungsi. Air sumur tersebut digunakan untuk mandi, mencuci dan yang lebih hebat lagi juga dipakai untuk minum. Dimasak? ohhh, tentunya tidak. Mereka sudah terbiasa minum air sumur secara langsung tanpa diolah terlebih dahulu, kecuali diseduh untuk teh atau kopi. Padahal air tersebut rasanya sangat payau.
Dari awal, tujuan kedatangan kami ke kedua desa ini adalah memastikan keberjalanan instalasi mesin reverse osmosis dan menguji kualitas air minum warga. Uji kelayakan air akan dilakukan dengan mengevaluasi kondisi air umpan yang akan dibandingkan dengan air hasil pengolahannya.
1. Uji Kualitas air minum warga
Metodologi pekerjaan yang dilakukan adalah survey yang dilakukan secara acak kepada warga setempat untuk mendapatkan informasi awal tentang kondisi air minum mereka.
Pengamatan terhadap kualitas air sumur untuk minum warga dilakukan dengan menggunakan alat TDS meter sederhana untuk mengetahui banyaknya mineral terlarut yang terkandung di dalam sumur tersebut. Diameter dan ketinggian sumur juga dihitung untuk mengetahui volume air. Data yang lebih komprehensif diperoleh melalui uji laboratorium. Berdasarkan hasil analisa di laboratorium Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanegara menunjukkan bahwa air minum yang berasal dari sumur warga tidak layak minum karena Total Dissolved Solution (TDS), total hardness dan chlorida melebihi batas maksimum yang ditentukan.
2. Pembangunan instalasi alat reverse osmosis
Proses instalasi mesin dan pembuatan sumur sebagai komponen dalam proyek ini dijalankan dengan sangat lambat. Kondisi tanah yang berpasir cukup menyulitkan warga untuk menggali sumur. Sementara kedatangan mesin dan perlengkapan alat sedikit terlambat karena masalah transportasi.
Setelah hampir satu bulan, proses pembangunan instalasi alat reverse osmosis selesai dilakukan.
Berdasarkan info terakhir yang kami peroleh, pembangunan alat RO di Desa Dumu telah selesai dilakukan. Air hasil pengolahan alat Reverse Osmosis memiliki TDS sebesar 105 ppm yang diukur dengan TDS meter, nilai ini berada dalam toleransi air layak minum. Beberapa bulan yang lalu, kepala desa Dumu dan Kangga menginformasikan bahwa proyek konversi air laut menjadi air bersih sudah berjalan dengan baik. Kini mereka tidak kesulitan lagi untuk mendapatkan air bersih. Alhamdulilllah, gue berujar. Semoga di kota-kota lain juga menunjukkan sinyal-sinyal positif atas upaya pemerintah dalam mengatasi masalah kelangkaan air minum bagi warga pesisir.
Program ini benar-benar menjadi upaya pemberdayaan masyarakat karena dapat memenuhi kebutuhan air bersih warga dan menjadi sumber pemasukan dengan cara menjual air yang sudah dikemas dan memasarkannya ke desa terdekat, sehingga roda perekonomian desa setempat dapat terbantu. Selain itu limbah sebagai hasil buangan mesin reverse osmosis dapat digunakan untuk produksi garam.
Selalu ada hikmah di balik peristiwa yang terjadi. Segala keterbatasan yang gue peroleh selama beberapa hari hidup di desa membuat gue jauh lebih bersyukur dengan kehidupan. Betapa beruntungnya kehidupan yang ada selama ini. Mau minum tinggal ambil, mau mandi tinggal menghidupkan kran, mau nonton, internet semuanya ada.
Saat pulsa modem habis, saat listik mati, saat pegawai PDAM lagi mogok kerja mungkin kita bisa merasakan bagaimana menderitanya kehidupan tanpa fasilitas itu, yang sebenernya keadaan tersebut sudah menjadi makanan sehari-hari penduduk di dumu, kangga dan desa-desa lainnya.
Yah kesimpulannya sih gue ngerasa bersyukur aja bisa ngerasain pengalaman ini. Jadi, mari berhemat air untuk masa depan. Karena dengan menghambur-hamburkannya, itu menunjukkan matinya hati kita untuk berempati terhadap saudara-saudara kita di belahan bumi Indonesia lain, yang kesulitan mendapatkan air bersih.
Tinggalkan Balasan