#29 Nurdina Utami
Desember 7, 2015 § Tinggalkan komentar
Urusan menikah bukan sekedar urusan ranjang, cepet-cepetan ngasih undangan, update foto pre-wedding, kawinan, punya anak, naik lambo harga 5M, kebut-kebutan terus nabrak warung STMJ. Bukan. Bukan sekedar itu. Urusan menikah lebih jauh sangat beririsan dengan keberlangsungan suatu negara. Menikah, lebih khususnya memiliki keturunan adalah domain dari demografi suatu negara. Mengapa urusan menikah dan aktifitas seksual menjadi penting. Karena negara-negara yang memiliki angka kelahiran penduduk yang rendah berpotensi menjadi negara yang sulit berkembang akibat penduduk yang tidak produktif akan jauh lebih banyak dibandingkan dengan angka penduduk produktif. Hal ini akan mempengaruhi produktifitas negara tersebut.
Dalam sebuah cerita yang disebarkan melalui whatsapp disebutkan bahwa perusahaan-perusahaan Jepang belakangan ini cenderung mengalami kemunduran. Lebih-lebih jika dibandingkan dengan saudara serumpunnya, Korea Selatan. Di luar faktor lambannya pengambilan keputusan sebagai bagian dari kultur masyarakat jepang, kemunduran perusahaan tersebut setelah dianalisa disebabkan oleh keengganan masyarakatnya memiliki keturunan. Kerja yang berlebihan, tuntutan hidup yang tinggi membuat masyarakat jepang ogah-ogahan membuat anak. Lucunya, legalitas film dewasa di negeri ini diungkapkan sebagai salah satu metoda untuk membangkitkan kembali gairah para suami-istri agar mau berhubungan dan membuat kotaro minami, kotaro minami baru. Negara Sakura mengalami kemunduran dalam hal angka kelahiran. Jumlah anak yang dimiliki seorang wanita seumur hidupnya di negara itu anjlok, dari 4,54 pada 1947 menjadi 1,43 pada 2013 (CNN).
Berbeda dengan Indonesia yang gencar dengan kampanye dua anak cukup, dua istri ribut, singapura sibuk mengompori warganya untuk memiliki tiga anak atau lebih untuk mengatasi ancaman krisis demografi. Untuk setiap anak pertama atau kedua yang lahir dari program tersebut, pemerintah Singapura akan memberikan uang pada orangtuanya sebesar US$8.000 (Rp109 juta), atau US$10 ribu (Rp136 juta) bagi anak ketiga atau seterusnya. Jadi, buat yang berminat punya banyak anak segeralah ganti kewarganegaraan. Christian gonzalez aja bisa.
Bahkan dari salah satu analisa yang gue baca, kejadian teror di paris baru-baru ini juga tidak terlepas dari isu krisis demografi di eropa. Karena belakangan ini imigran berwajah arab pelan-pelan mulai berdiaspora dan memenuhi eropa. Sebagai salah satu langkah untuk menghentikan laju pertumbuhan imigran menggantikan ras aria adalah dengan mengorbankan penduduk prancis dalam aksi spionase dengan menjadikan imigran sebagai kambing hitam. Menarik, bukan?
Jadi menikah itu urusan besar, adinda. Jangan menyepelekan menikah. Karena di luar negeri sana menikah itu cuma urusan senang-senang. Memenuhi panggilan testosteron sahaja tanpa ada niatan untuk menghasilkan penerus bangsa. Merdeka!.
Sori kalo prolog gue kepanjangan dan sok tau.. Sebenernya prolog ini gue buat sebagai pembukaan tulisan tentang nikahan temen gue. Ribet, kan? Emang.
Gue seneng tiap kali bahas temen gue yang nikah. Karena secara tidak langsung gue membahas masa depan demografi dan memberikan sumbangsih untuk mengatasi krisis kependudukan di Indonesia. Cih.
Beruntunglah, temen-temen kuliah dan SMA gue yang menikah dini. Di kisaran usia 26 sampe 27 tahun, temen SMA kelas gue yang nikah sudah hampir ¾ nya. Jika masing-masing pasangan memiliki tiga orang anak maka krisis demografi yang tadi gue sebutin ga akan terjadi. Yang akan terjadi adalah overpopulasi. Pfft.
Oke masuk ke bagian inti tulisan. Gue akan bercerita tentang temen kelas gue yang nomor urut pernikahannya adalah 29. Nama lengkapnya Nurdina Utami. Nur atau yang biasa kami panggil dengan ‘Ami’ adalah laskar penyelamat masa depan bangsa berikutnya yang berasal dari temen SMA gue.
Selain menjadi temen sebangku Marini selama tiga tahun, hal lain yang paling gue inget tentang Ami adalah suaranya yang cempreng. Duh, otak gue belakangan ini sulit mengingat hal-hal baik. Sebenernya Ami memiliki suara yang normal seperti wanita pada umumnya tapi pada suatu kondisi jenis suara itu bisa tiba-tiba berubah menjadi suara sopran dengan sentuhan falsetto menggunakan ketukan 4/4. Njis!..
Di kelas gue dulu Ami tidak terlalu menonjol secara akademik seperti halnya Marini sang temen sebangku yang hampir tiap saat menjadi juara kelas. Atau semencolok Marina, saudari jauhnya yang juga adalah temen kelas kami, yang terbiasa makan chiki plus bungkusnya. Tapi sebagai temen yang baik, gue harus mampu mengulik sesedikit apapun memori tentang temen-temen gue. Beruntunglah kalian wahai teman-temanku memiliki aku, Aliando.
Suatu ketika gue dan temen-temen silaturahim ke rumah Ami saat lebaran. Wow, ternyata rumahnya gede. Mirip-mirip rumahnya Richie rich yang super kaya itu. Ada lintasan roller coaster pribadi, lapangan golf sampe istana boneka. Cuma kurang satu saja, toilet.
Menurut pemahaman gue, keluarga Ami termasuk keluarga yang Palembang (komering) banget dan juga sangat agamis. Dia bahkan memanggil ayahnya dengan ‘buya’ sebuah panggilan untuk ‘bapak’ yang lekat dengan dimensi kearab-araban yang artinya juga adalah ‘kiai/ulama’ merujuk pada kamus besar bahasa Indonesia. Tengoklah Buya Hamka, Buya Syafii Maarif, Buya darat. Ah, kamu mencoba melucu ya?.
Setelah SMA, Ami melanjutkan kuliah ke Institut Pertanian Bogor jurusan komunikasi dan pengembangan masyarakat. Gue juga bingung apa hubungan antara pertanian dengan komunikasi. Mungkin mahasiswa jurusan ini belajar bagaimana caranya membuat ponsel berbahan baku palawija. Atau belajar dengan Hank-pym tentang kurikulum bercakap-cakap dan membuat grup whatsapp bareng serangga, serbuk sari dan putik. Ihh, lucu deh.
Berdasarkan sumber yang terpercaya, gue mendapatkan informasi bahwa Ami semasa kuliahnya dikenal memiliki geng ciwi-ciwi cantik yang dinamai quadrapop. Menurut informan gue, geng ini kalo lagi ngegosip yang kedengeran cuma teriakan “aww” kemudian tertawa melengking dengan suara sopran nan cempreng hingga 5 oktaf. Gue yakin sebelum membentuk grup mereka pasti diseleksi berdasarkan tingkat cempreng-ity.
Di kampus, Ami juga dikenal sangat jarang menggunakan baju yang sama setiap kali datang ke kelas. Mungkin Ami selalu menggunakan baju yang disposable. Sekali pake langsung buang. Demi mendukung gerakan mengurangi global warming.
Setelah lulus sarjana Ami sempet bekerja di salah satu bank BUMN dan kemudian berhenti bekerja untuk melanjutkan pendidikan pascasarjana di Universitas Sriwijaya.
Ami akhirnya menikah pada tanggal 25 Oktober 2015 dengan seorang pria bernama Hendra. Gile, lagi-lagi Hendra. ‘Hendra’ nampaknya begitu lekat dengan temen kelas gue. Sebelumnya sudah ada Hendra Nopriansyah, anggota kelas gue yang pertama kali nikah. Lalu disusul Hendra suaminya Faizah. Dan kini. Again, for the third time ‘Hendra’ circling around my head.
Gue ga sempet dateng ke acara pernikahan Ami. Tapi berdasarkan laporan temen gue, acara pernikahan ini cukup meriah. Gue sih ga heran. Lah wong pre-wedding nya saja luar biasa glamornya. Jangan bandingin sama gue. Kalo gue mah apa atuh, cuma mirip flat shoes. Ga punya hak.
Selamat Ami kamu mendapatkan nomor 29.
Tinggalkan Balasan