#34 Ragil Erna Liya
Mei 16, 2017 § Tinggalkan komentar
Tulisan ini saya awali dengan apresiasi terhadap rekan-rekan angkatan saya selama menempuh sekolah menengah atas. Angkatan kami berhasil menorehkan prestasi cukup luar biasa dalam konteks pendidikan lanjutan. Terutama keluaran dari kelas tempat saya bermukim selama tiga tahun. Hampir semua universitas bergengsi terwakili. Kiprah mereka di dunia kerja pun menyisakan decak kagum yang tak putus.
Kegemilangan prestasi tidak membuat satu pun temen-temen SMA saya ini menjadi pongah. Mereka tetap menjadi pribadi yang sama dibandingkan dengan 10 tahun yang lalu. Tetap hangat, bersahabat, garing, dan membuat waktu berhenti berdetak seperkian detik saat canda tawa mulai terucap. Momen-momen berkumpul bersama adalah atmosfer yang selalu dinanti meskipun hanya bersua setaun sekali.
Waktu berpacu tanpa bisa ditahan-tahan. Tak terasa temen-temen SMA yang dulu begitu culun kini menjelma menjadi manusia-manusia yang lebih dewasa. Usia nyaris kepala tiga membuat kami harus mengenang sisa-sisa memori SMA dengan kerangka masa kini.
Ragil Erna Liya. Temen sejawat satu ini merengkuh nomor urutan pernikahan ke -34 dari 45 siswa secara keseluruhan. Ragil dalam Bahasa Jawa berarti anak terakhir atau bungsu. Saya baru sadar kenyataan ini setelah bertahun-tahun meninggalkan bangku SMA. Saya, awalnya, secara acak berpikir bahwa ra-gil adalah singkatan dari oRAng GILa. . . Haha. Bercanda ya, bu.
Tidak banyak momen SMA yang saya inget tentang Ragil. Karena meskipun tiga tahun satu kelas dan berada di satu wadah organisasi yang sama, interaksi kami sangat terbatas. Ragil lebih banyak bergumul dengan rekan-rekan akhawatnya. Lebih-lebih dengan Faiza yang tiga tahun menjadi teman satu bangku atau dengan Desni, teman kelas yang juga merupakan sang Girl Next Door. Menurut Desni, sejak masa pra sekolah dasar, mereka berdua sudah sering kongkow bareng. Kebersamaan mereka dimulai sejak jam 6 pagi saat berangkat ke sekolah lalu dilanjutkan 7 jam bersama-sama di kelas, dan masih bersambung dengan main karet sepulangnya. Jadi, jika kalian bosen melihat pasangan di rumah, coba bandingkan dengan kebosanan yang dialami mereka berdua.
Saya masih mengingat dengan baik bagaimana transformasi siswi temen kelas saya dahulu. Sedari awal masuk SMA, mereka dengan penuh kesadaran menjemput hidayah untuk mengenakan hijab. Satu per satu, secara perlahan mengganti pakaian mereka dengan busana muslimah. Saya yang terpesona melihat pemandangan demikian, nyaris saja secara sukarela mengenakan hijab yang sama sebagai bentuk dukungan. Saya terinsiprasi dari Bunda Dorce.
Ragil adalah sosok yang tidak banyak bicara. Tenang. Dan terlihat sangat matang dibandingkan temen-temen yang lain. Ia juga sosok yang sangat ramah. Tidak salah jika ia memiliki teman yang banyak karena Ragil kerap berlatih keras dan makan So N*ice… Apeeeeu.
Tapi ia bisa menjadi sangat jutek manakala tidak suka pada suatu hal. Dan kejutekan itu ditunjukkan secara terang benderang. Seterang kasih ibu. Begitu menurut penjelasan sumber referensi saya. Sebut saja namanya Kenanga. Ragil juga merupakan sosok yang sangat ramah. Sumber saya menambahkan. Sifat ramah ini ditambah dengan kecintaan yang sangat besar pada anak-anak dan remaja. Ragil sepertinya adalah fans berat Kak Seto. Kecintaan tersebut berwujud pada aktifitas mengajar iqro bagi anak-anak di lingkungan rumahnya.
Meskipun terkenal pendiem, Ragil sangat aktif dalam mengikuti berbagai kegiatan. Mulai dari pramuka, kerohanian islam, balet, ikebana, parkour hingga membina remaja mesjid. Menjadi pengurus ikatan remaja mesjid bukanlah aktifitas sederhana. Di tengah arus modernisasi yang melaju dengan cepat, membina remaja-remaja agar memiliki pribadi yang tangguh dan kokoh merupakan agenda penting agar tersiapkan generasi bangsa yang cakap. Dan para pembina remaja mesjid ini melakukannya dengan sukarela. Tanpa iming-iming pundi berlimpah.
Masih dari Kenanga, Ragil merupakan sosok pencinta Boliwud garis keras. Alias Die-hard. Ia kenal artis india mulai dari era Mithun Chakraborty, Shahrukh Hhan, Hrithik Roshan, Raam Punjabi dan lainnya. Sungguh, saya bener-bener baru tahu informasi ini. Makanya saya sering heran mengapa saat SMA dulu Ragil sangat senang berada dekat dengan pohon atau pilar bangunan. Ternyata ini jawabannya.
Kecintaannya pada Boliwud sudah pada maqom ma’rifat. Setiap kali Kenanga singgah di rumah Ragil, musik Boliwud sudah pasti mengalir dengan merdu. Kenanga sampai harus menahan Ragil agar tidak ikut bergoyang dan mendatangi pohon sekonyong-konyong.
Seandainya saja saya tahu sedari awal maka seyogyanya saya akan menyarankan Ragil untuk melanjutkan kuliah di Mumbai atau New Delhi. Namun ternyata Ragil memilih melanjutkan kuliah di jurusan Teknologi Hasil Pertanian Universitas Sriwijaya.
Mungkin kalian berpikir lulus kuliah Ragil akan bekerja di ladang atau di laboratorium demi menciptakan palawija berbuah semangka. Jika kalian berpikir demikian, kalian salah. Kecintaan yang begitu besar pada anak-anak melabuhkannya pada pekerjaan yang membuatnya membersamai anak-anak setiap harinya. Bukan, bukan sebagai badut Dufan. Ragil kini menjelma menjadi guru di salah satu sekolah dasar di Palembang.
Tanggal 31 Mei Ragil secara sah disunting oleh seorang pria asal Karawang. Dua hari setelahnya walimatul ‘ursy dilaksanakan. Dan seperti yang sudah-sudah, saya kembali tidak bisa menghadiri secara fisik pernikahan temen-temen terbaik saya ini. Ada getir yang tertahan akibat keterbatasan. Tapi semoga doa saya dan doa rekan-rekan lainnya terijabah. Semoga pernikahan kalian berbuah keberkahan, Ragil dan suami.
Selamat atas gelar ke-34 nya 🙂
#33 Lili Anggraini
Desember 20, 2016 § 1 Komentar
Masa-masa SMA kerap kali disematkan sebagai salah satu fasa terbaik dalam kehidupan manusia. Di dalamnya berisi dengan pernak-pernik memorabilia yang dapat menghidupkan kembali ingatan setiap kali satu-dua kejadian-kejadian lucu, sedih, konyol, hingga yang memalukan diceritakan bertahun-tahun selepas kelulusan.
Setiap generasi memiliki kekhasan dalam menjalani momen saat mengenakan seragam putih abu-abu. Jika generasi centennial gandrung dengan segala kesemrawutan internet maka generasi milenial menghayati dengan cara berbeda. Gen-Y adalah generasi transisi antara Gen-X yang memiliki kecendrungan gagap dalam teknologi dan Gen-Z yang melek teknologi hingga ke tulang-tulangnya. Oleh karena itu, Gen-Y masih mendapati momen-momen bersejarah menggunakan teknologi nir-kabel semisal SMS namun tetap tidak melewati indahnya berbalas kisah melalui surat juga telepon umum. Jadi tidak heran jika Gen-Y yang acapkali diwakilkan oleh generasi 90-an dianggap sebagai generasi ter-baper se-abad ini. Bagaimana tidak. Generasi ini selalu membanding-bandingkan masa yang mereka alami dengan kejumudan generasi setelahnya terhadap gadget mereka.
Gue yakin, Jika mau, Gen-X dapat dengan mudahnya melahap semua argumen pongah Gen-Y tentang definisi kebahagiaan. Saat Gen-Y riuh dengan adegan mendayu-dayu rangga-cinta maka Gen-X sudah lebih dulu termehek-mehek dengan Galih-Ratna yang cintanya abadi. Jika Gen-Y bangga dengan Coldplay, Nirvana hingga Maroon 5 maka sesungguhnya mereka lupa bahwa The Beatles, Queen hingga The Rolling Stones telah lama menggema seantero raya. Bahkan konser Rod Stewart di Brazil mampu menghadirkan lebih dari 4 juta pasang mata.
Jadi wahai Gen-Y, kurangi baper, perbanyak istighfar. Subhanallah!.
Dan Gen-Y yang akan gue ulas kali ini adalah temen SD yang dipertemukan kembali di SMA. Karena awal bulan Desember ia menikah maka sebagai temen yang baik, gue akan mengulas kisah beliau sebagai satu dari rangkaian tulisan tentang temen-temen SMA gue yang mengakhiri masa lajangnya.
Nama lengkapnya Lili Anggraini. Tidak seperti yang lain, doi nyaman dipanggil dengan nama asli, Lili. Gue kenal Lili sejak kelas, kalo tidak salah, 4 SD. Seinget gue . . . Duh, gue hampir lupa semua cerita di sekolah dasar. Pokoknya doi pinter dan sering menjadi saingan berat gue untuk meraih tiga besar di kelas. Kami juga akrab di luar aktifitas belajar. Tidak jarang kami bersilaturahim ke rumah guru saat lebaran tiba. Lili juga gemar mengkoleksi kertas warna-warni. Bener ga sih, Li? Haha . . . Gue beneran lupa.
Yang paling membekas di ingetan gue adalah Lili merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Adiknya, pas gue SD, masih sangat kecil. Namanya pun masih gue apal. Karenanya pas belakangan ini Lili sering memajang foto sang adek di jejaring sosial, gue sontak kaget. Sang adek sudah tumbuh dewasa.
“Aelah, anak lo aja udah dua”.
Iya sih. . .
Lepas sekolah dasar, gue melanjutkan SMP di kompleks yang sama dengan sekolah dasar. Sementara Lili memilih sekolah yang berbeda. Sekolah pra-nikah. Busetttt . . .
Kami bertemu kembali saat menginjak Sekolah Menengah Atas. Lili adalah satu dari sedikit temen SD gue yang masuk SMA yang sama. Mulanya gue dan Lili ditempatkan di kelas 10 B. Lalu saat pembentukan kelas baru yang diproyeksikan sebagai ‘kelas unggulan’ lagi-lagi gue ditakdirkan menempati kelas yang sama. Untung saja kebetulan itu tidak terendus oleh media. Bisa-bisa gue masuk infotainment setiap hari mulai dari insert pagi, Silet, Kabar-Kabari, Seputar Indonesia, Laptop Si Unyil, Reportase Investigasi, American Next Top Model. Lah?
Di SMA, gue dan Lili tidak se-akrab saat SD. Kami tidak lagi bermain petak umpet bareng atau tukar-tukaran kerudung. Zona nyaman kami berbeda. Jika gue lebih banyak berinteraksi dengan akhi-ukhti di organisasi kerohanian islam (ROHIS) maka Lili lebih banyak beredar di Wahana Siswa Gemar Matematika (WASIGMA), organisasi tempat mereka yang menggemari pitagoras, bangun tiga dimensi dan aritmatika. Belakangan gue takjub dengan organisasi sekolah yang disebut terakhir. Betapa tidak. Masih ada sekelompok manusia yang menjadikan ‘matematika’ sebagai sesuatu yang harus digemari. Bukan Raissa, Pevita, atau Elly Sugigi. *Cium satu-satu tangan anggota WASIGMA*.
Selain itu, SMA tempat gue bersekolah, merupakan semacam sekolah lanjutan bagi siswa-siswi SMP Negeri 3 Palembang. Jadi wajar sesiapa yang dulunya bersekolah di SMP N 3 memiliki banyak teman di SMA N 3. Sementara gue yang berasal dari MTs N 1 adalah kaum marjinal yang terseok-seok mencari pengakuan eksistensial dari mayoritas yang angkuh. Wow. Keren ye narasi gue? 😀
Dilatarbelakangi oleh kondisi tersebut spektrum pergaulan Lili menjadi sangat luas. Ia bisa melenggang dengan leluasa ke kelas-kelas lain mengingat ada banyak temen SMP-nya di kelas tersebut. Sementara gue masih sibuk menghapal satu-satu nama makhluk yang ada di kelas.
“Yang gede itu namanya Dedy. Tapi . . . ada dua Dedy. Dan dua-duanya gede. Yang lebih gede berarti Dedy 1, yang gede (aja) Dedy 2. Yang kurus dan eksotis (amelioratif dari ‘gelep’ :p) itu Zeniferd. Yang jayus itu Hendra. Yang kecil . . . umm. Oh itu Bu Da*lis!. Oops. Maaf, bu.”
Lili tidak meledak-ledak di kelas. Tidak sepinter Mariska atau Marini memang. Namun ia tergolong siswi yang rajin. Jika dulu gue dan Lili kerap bersaing untuk berebut tiga besar di kelas maka hal tersebut tidak berlaku lagi saat di SMA. Sesaknya kelas dengan siswa-siswi cerdas dari segenap Palembang membuat persaingan semakin sengit. Tidak lagi menjadikan gue atau Lili sebagai pesaing kuat untuk meraih mahkota siswa dengan nilai terbaik.
Lili kemudian melanjutkan ke sekolah kebidanan di ujung sumatra. Ia ingin mengabdi pada ibu-ibu hamil. Buat gue yang sudah menyaksikan secara langsung, proses melahirkan itu benar-benar kondisi antara hidup dan mati. Maka terpujilah orang-orang yang menjadikan ‘bidan’ sebagai profesi. Dan buat para die hard pembela argumen wanita tidak boleh bekerja dengan apapun alasannya, silahkan mencari bidan pria saat keluarga anda melahirkan. Atau jika tidak, bolehlah ngarep dapet hadiah anak dari bungkus chiki. Semacem Tazos gitu.
Sejak SMA kisah cinta Lili nyaris tidak terdeteksi. Namun saat kuliah gue sesekali mendapati informasi bahwa Lili tengah deket dengan temen kelas gue. Di waktu lain informasi yang gue dapet ia deket dengan temen kelas gue lainnya. Entahlah bagaimana derajat kesahihan informasi itu. Yang jelas waktu membuktikan bahwa tidak pernah secara kasat mata ada semacam press release oleh Lili bahwa ia menjalin suatu hubungan dengan siapa pun itu. Entah itu Rangga, Boy, atau Emon.
Hingga akhirnya akhir November kemarin Lili secara resmi mengundang gue ke akad nikah dan resepsinya. Meskipun tidak dapat hadir ke acara tersebut, gue panjatkan setulus doa untuk Lili dan sang suami. Semoga pernikahan tersebut penuh dengan keberkahan.
Setiap mendengar pernikahan, lebih-lebih yang datang dari orang terdekat, gue selalu berbahagia. Kini sudah 33 dari mereka yang menikah. Meninggalkan 12 slot tersisa dengan tiga di antaranya pria. Kami doakan semoga dimudahkan untuk yang tersisa. Semoga Tuhan selalu memudahkan niat baik kalian.
Jadi, ada yang berniat menjadi nomor 45? 😀
*Referensi bacaan:
http://socialmarketing.org/archives/generations-xy-z-and-the-others/
#32 Zeniferd Simangunsong
Oktober 20, 2016 § Tinggalkan komentar
Nyaris. Gue nyaris luput buat mengejar cita-cita menuliskan satu per satu kisah temen SMA gue yang melanjutkan jenjang kehidupannya ke arena pernikahan. Terakhir tema ini gue tulis di Bulan Februari saat membahas pernikahan Idries. Pernikahan temen kelas gue yang ke-31.
Melihat tren yang ada, masa emas pernikahan untuk generasi gue adalah di sekitar usia 23 hinggga 27 tahun. Mediannya adalah 24 atau 25. Di atas rentang tersebut, banyak yang sudah mulai panik. Lebih-lebih kaum hawa. Semisal Ultraman, lampu yang ada di dada mereka sudah kedap-kedip dengan bunyi yang kita sudah hapal bersama. Pada periode yang cukup kritis ini, laju pertambahan rekanan yang menikah menukik dengan sangat tajam. Jika di usia ‘emas’ jumlah kondangan yang bisa kita hadiri bisa mencapai 6-10 kali maka pada periode tersebut menurun hingga 1 atau dua sahaja setiap tahunnya.
Di tahun 2016 baru ada dua orang temen kelas gue yang menikah. Termasuk yang akan gue ulas. Sementara pada periode yang sama di tahun sebelumnya lebih kurang ada 10 orang.
Tapi tidak ada kata terlambat dalam menikah. Juga tidak perlu panik jika memang jodoh belum datang menghampiri. Karena hanya dua jenis terlambat yang harus diwaspadai. Yang pertama adalah terlambat masuk saat dosen killer tengah mengajar. Dan yang kedua adalah terlambat datang bulan bagi ABG-ABG yang belum menikah karena mereka akan sibuk meraung-raung menangis meminta pertanggung jawaban. Kasihani Hayati, bang.
*****
Temen yang akan gue ceritain selanjutnya adalah Zeniferd Simangunsong. Dari namanya kita bisa menebak dari mana Zeniferd berasal. Dia asli batak. Hanya ada tiga orang keturunan batak yang ada di kelas gue dulu. Satu orang pria dan dua orang wanita. Tapi tidak ada satu orang pun dari mereka yang berbicara dengan keras seperti orang batak yang sering kita saksikan di TV juga di terminal.
Di setiap kelas, kalian pasti bisa menemukan siswa-siswi yang beragam. Si kutu buku, drama queen, temen yang nyaman untuk bersandar (gendut maksudnya), dan korban pembulian. Zeniferd termasuk yang terakhir. Bentuk-bentuk pembulian yang sering ia terima berupa ‘pujian’ secara verbal menyangkut warna kulit dan bobot badan. Tapi pada saat itu kami sudah sangat terbiasa untuk ‘menghina’ satu sama lain dengan panggilan-panggilan yang tidak lazim. Seolah-olah ekspresi pertemanan kami disampaikan dengan cara demikian. Meskipun kadang marah dan kesal tapi tidak satu pun dari kami datang ke komisi HAM atau amnesti internasional dengan delik aduan berupa penghinaan yang berujung pada sakit hati menahun. *Peluk temen gue satu-satu*
Buli yang kami lakukan adalah semacam buli positif. Karena kami yakin bahwa Zeniferd akan menjadi manusia yang lebih baik hanya dengan cara demikian. Coba saja dengarkan bagaimana Tulus mengapresiasi ejekan teman-temannya yang memanggilnya ‘Gajah’ sebagai sebuah bentuk motivasi. Nah kira-kira seperti itulah situasi yang hadir antara Zeniferd dan para pembuli. Hahaha.. Gue bohong.
Kalo ada makhluk yang doanya paling makbul, mungkin Zeniferd adalah salah satunya. Dia teramat sangat sering dizalimi. Dan seperti yang kita ketahui bahwa doa orang terzalimi itu makbul. Lebih makbul daripada sedekah lima ribu terus ngarep diganti 5 juta. Itu transaksi sama tuhan atau ngepet ya.
Dulu, di masa kami menempuh pendidikan SMA, asap hutan yang dibakar secara semena-mena juga tak pernah mencapai Palembang. Itu pun gue rasa disebabkan oleh doa Zeniferd yang teraniaya. Dan kini gue menyesal mengapa dulu tidak pernah menitip doa.
Zeniferd pernah dianggap menjadi anak kesayangan salah seorang guru biologi. Ibu ini biar pun dikenal cukup galak namun bisa menjadi sangat ramah jika bertemu dengan Zeniferd. Karenanya saban hari doi kerap di-ceng-ceng-in oleh gue dan yang lain. Kebetulan saat itu guru biologi tersebut diketahui belum menikah. Ah, andai saja saat itu gayung bersambut, gue yakin nilai biologi kami tidak ada yang jeblok. Kami pun tidak masalah jika salah seorang dikorbankan asal tidak ada nilai 5 untuk mata pelajaran biologi. Haha…
Lepas SMA, Zeni melanjutkan studi ke Bogor. Gue tidak begitu ingat jurusan apa yang ia tempuh. Yang jelas sejak lulus SMA kami sudah jarang bertatap muka. Hanya sesekali saja. Untungnya media sosial bisa memberitahu semuanya. Siapa yang butuh kaca ajaib atau kerang ajaib jika google dan facebook bisa diakses dengan modal internet ceban.
Foto-foto di Facebook menunjukkan bahwa Zeniferd sudah jauh berbeda daripada sejak terakhir kami bertemu. Ia nampak lebih putih dan tidak lagi se-kurus dulu. Gue penasaran sabun pemutih apa yang ia gunakan. Selain itu, gue juga baru sadar bahwa ia tidak menggunakan nama ‘Zeniferd’ di Facebook-nya melainkan ‘Zeny’ dengan tetap mempertahankan marga. Saya pun tidak paham apa yang melatarbelakangi. Mungkin ‘Zeniferd’ terlalu panjang sehingga perlu diringkas. Semacam Ayu Rosmalina yang mengganti nama menjadi Ayu Ting-Ting.
Pada akhirnya, Zeniferd harus berterima kasih pada gue dan yang lainnya. ‘Buli’ yang kami lakukan semasa SMA ternyata benar-benar buli positif. Buktinya kini Zeniferd berhasil memutarbalikkan fakta terdahulu. Lagi-lagi persis dengan lagu Gajah-nya Tulus. Andai saja sejak dulu kami terbiasa memuji-muji Zeniferd maka kelak dia tidak akan se-gagah dan se-tampan sekarang. Cieeee!!!.
Setelah beberapa tahun bekerja di sebuah perusahaan swasta di Jakarta, ia mempersunting seorang gadis yang juga ber-suku Batak. Pernikahan diadakan pada tanggal 9 September 2016 di Palembang. Sayang, gue tidak bisa menghadiri acara bahagia tersebut. Namun doa terbaik selalu kami haturkan untuk temen yang dulu sering kami zalimi ini. Semoga pernikahannya bahagia dan langgeng.
Selamat Bro Zeniferd untuk gelar ke-32 nya.
#31 Idries Tirta ‘Toke’ Husada
Februari 17, 2016 § Tinggalkan komentar
Beberapa tahun belakangan minat gue membaca buku sejarah semakin meningkat. Sebuah kontradiksi yang akut mengingat selama di sekolah pelajaran sejarah tidak pernah menjadi pelajaran yang membuat gue tergoda seperti halnya pelajaran memahami dan mencintaimu, dik. Hoek!.
Guru sejarah SMP gue dulu sebenernya memiliki citarasa sejarah yang sungguh warbyasa. Belio bisa dengan detailnya mengulas perjalanan Meganthropus, Phitecanthropus hingga Homo Sapiens dari jabang bayi hingga menutup mata. Tulisan belio pun antik. Gue sempet berpikir bahwa si ibu belajar menulis dari tulisan yang ada di artefak. Saat naik kelas, pelajaran sejarah tetap tidak menempati posisi spesial di hati gue. Gurunya bernama ‘Napoleon’. Beuh, kurang sejarah apa coba namanya. Saat doi ngajar, terdengar teriakan Napoleon Bonaparte sambil berucap slogan Liberte, Egalite, Fraternite. Namun tetap saja, asosiasi antara nama dengan mata pelajaran tidak lantas membuat pelajaran sejarah menarik untuk dinikmati.
Semua berbeda saat gue kuliah. Perlahan tapi pasti bacaan bermuatan sejarah menjadi cukup menarik. Mungkin karena gue membaca tanpa dihantui oleh ujian, PR dan semua pernak-pernik kengerian tugas sekolah. Gue sadar bahwa hanya dengan membaca sejarah maka cakrawala berpikir kita akan terbang ke ratusan hingga jutaan tahun lalu. Dengan demikian kita bisa mengambil hikmah dari semua sejarah dunia yang pernah ada. Mulanya gue membaca Sirah nabawiyah lalu sejarah arab, sejarah manusia, sejarah perang dunia II, sejarah genosida dan banyak lainnya. Ternyata membaca kisah sejarah meninggalkan ruang yang berkecamuk di pikiran. Ragam pertanyaan dengan sekejap hadir seputar mengapa Hitler begitu keji. Apa itu semit dan kaitannya dengan bangsa arab dan pertanyaan-pertanyaan lain yang hanya bisa ditemukan jawabannya dengan membaca referensi sejarah lainnya.
Nah, di antara banyak buku sejarah yang pernah gue baca salah satu yang paling menarik adalah buku berjudul ‘Api Sejarah’. Buku yang dibagi dalam dua jilid ini ditulis oleh Ahmad Mansyur Suryanegara. Api sejarah membahas banyak sekali penyelewengan sejarah yang sudah kadung tersebar luas. Khususnya terkait dengan peran Islam dalam sejarah Indonesia. Dalam salah satu pembahasannya, Pak Ahmad menggunakan kata ‘Tauke’. ‘Toke/Tauke’ merujuk pada sebutan untuk orang-orang keturunan Cina yang membiayai warga pribumi untuk menjadi ambtenaar atau pegawai negeri sipil jaman penjajahan. Ambtenaar yang berhutang pada para tauke ini memiliki kewajiban untuk melancarkan bisnis sang ‘tuan’. Dan di masa sekarang Tauke/toke menjadi istilah yang jamak dikenal oleh orang Indonesia untuk melabeli warga keturunan Cina/Tionghoa yang memiliki banyak harta.
Gue geli mendengar kata ‘Tauke/toke’ karena pernah ada salah satu temen SMA gue yang lebih sering kami panggil dengan ‘Toke’ ketimbang nama aslinya.
*****
Namanya adalah Idries Tirta husada. Sesiapa saja yang belum kenal pasti mengira Idries adalah warga keturunan. Padahal iya. Lebih-lebih saat tahu bahwa dia berasal dari Bangka. Salah satu provinsi yang ‘mengimpor’ banyak sekali warga keturunan Tionghoa. Idries adalah satu dari sedikit temen kelas gue yang datang dari perantauan. Dengan semua alasan tersebut ditambah kenyataan bahwa Idries berasal dari keluarga yang cukup berada maka tidak salah sekiranya kami memanggilnya ‘Toke’. Gue pribadi sih seneng-seneng aja jika harus mengganti panggilan ‘Idries’ dengan ‘Toke’ karena gue ga harus bersusah payah melapalkan huruf ‘r’ dengan fasih.
Perawakannya parlente. Rambut rapih nan tebal dengan pilihan menyisir ke samping. Meskipun saat itu Pomade belum jamak dikenal, rambut Idries nampak selalu basah dan mengkilat. Selama bertahun-tahun, model rambut itu tidak pernah berubah.
Kesan tajir Idries sangat terlihat. Bukan hanya karena penampilannya yang seger dan berbadan subur, tapi juga ponsel yang digunakannya termasuk salah satu ponsel paling canggih di masa itu. Di saat gue masih menggunakan warung telepon hingga sandi morse, Idries sudah dibekali ponsel Nokia 7650. Tau kan Nokia 7650? Ponsel slide yang cuanggih tenanan. Mungkin saat ini setara dengan Iphone 5. Mungkin loh ya.
Idries tergolong siswa yang anti mainstream dalam kaitannya dengan moda transportasi yang digunakan untuk sampai di sekolah. Jika yang lain nyaman diantar dengan mobil, motor atau menggunakan kendaraan umum maka Idries lebih memilih Becak sebagai pilihan utama. Iya becak. Kereta tak berkuda. Mengapa becak? Bukan. Bukan karena Idries ingin tamasya berkeliling keliling kota. Jarak antara tempat tinggalnya ke sekolah tidak terlalu jauh. Namun cukup membuat betis pecah jika harus ditempuh dengan jalan kaki. Becak menjadi pilihan paling bijak. Selain karena tidak menimbulkan polusi juga membagikan rezeki kepada mang becak.
Di kelas gue dulu Idries selalu duduk di bangku paling depan. Bareng Gunawan. Ini yang paling gue inget. Meskipun tiga tahun duduk sebangku, Idries sering menjahili Gunawan terutama untuk sindiran satir. Entah kenapa Gunawan betah. Mungkin Gun senang disakiti.
Seperti gue ceritakan di tulisan sebelumnya bahwa kelas kami punya grup band yang dinamai ‘Definith’. Idries menjadi drumnya. Eh, maksud gue drummer. Gue sebagai tim hore sering kali turut serta dalam latihan band temen-temen gue ini. Tiap kali latihan, sangat jarang satu buah lagu dimainkan sampe selesai. Pemain gitarnya sibuk nyari kunci dan ulik-ulik melodi. Bassist nya sibuk betot-betot senar ga jelas. Yah namanya juga band lucu-lucuan. Tampil pun cuma satu kali dengan penampilan yang luar biasa… hancurnya.
Lepas SMA Idries melanjutkan pendidikan di fakultas kedokteran salah satu universitas swasta di Jakarta. Inisialnya YARSI.
Siapa sangka Idries yang semasa SMA nya berpenampilan rambut klimis belah pinggir dengan perawakan tambun ala engkoh engkoh pasar glodok nampak sangat berubah. Tubuhnya terlihat lebih tirus. Dengan kacamata bergaya dan potongan rambut kekinian Idries bener-bener mirip artis pop masa kini. Hah, Didi Kempot?. Bukan. Idries sekilas nampak mirip Afgan. Iya Afgan yang sadis itu. yang lesung pipinya bisa dipake buat nyembunyiin komik kalo ada razia guru.
Di saat Idries terlihat banyak perubahan yang ke arah positif, gue pun begitu jika positif itu juga termasuk perubahan berat badan. Kalo Idries menyusut maka gue mengembang. Masalah kegantengan? Hmm.. Jika Idries semakin mirip Afgan maka perubahan fisik gue ga terlalu mencolok. Gue semakin hari semakin mirip Bradley Cooper. Uh yeah….
Di dunia ini memang banyak orang yang hidupnya terlihat sangat sempurna. Coba tengok aja Raisa. Cakep, jago nyanyi, tajir, baik, sholeah, punya pacar ganteng, mandiri, ikut MLM, punya kapal pesiar dan downlinenya banyak. Tuh, kurang sempurna apa hidupnya. Tapi lebih sempurna lagi hidupnya Keenan Pearce. Punya pacar Raisa, punya adek Pevita Pearce. Makanya kalo ada cewe yang kesel terus bilang ‘Semua cowo itu sama aja’, lo jangan sungkan untuk tiba-tiba merasa bahwa lo mirip Keenan Pearce atau Adam Levine.
Idries pun begitu. Selain tajir dari sononya, kuliah di kedokteran, ia juga selalu ‘memamerkan’ pasangan yang menarik secara fisik alias cantik. Tapi tidak sekedar cantik. Karena kalo cuma modal cantik, banci Thailand juga cantik. Bakat alami ini bahkan sudah ditunjukkan saat SMA manakala Idries berhasil menjalin hubungan dengan salah satu bunga sekolah. Iya, Idries berpacaran dengan Kembang sepatu dan rafflesia arnoldi di deket kantin SMA.
Jarangnya gue berinteraksi dengan Idries selepas SMA, lebih lagi selepas kuliah, membuat gue tidak tahu banyak perkembangannya selain informasi bahwa ia sudah menjadi dokter di Bangka. Tapi beberapa Display Picture yang ia pajang di Blackberry Messenger menunjukkan bahwa selera Idries tidak berubah. Calon istrinya cakep, broh.
Dan memasuki tahun 2016, Idries membuka lembaran baru bersama dengan drg. Mawar Putri Julica sehingga menambah anggota kelas kami yang menikah menjadi 31. Selamet Toke. Semoga pernikahannya barokah.
Rohis dan Ingatan Tentang Mas Gagah
Februari 5, 2016 § Tinggalkan komentar
Suatu hari di sekitaran awal tahun 2000, kakak puan gue membawakan sebuah novel bersampul siluet seorang pria nampak punggung dan sosok wanita berkerudung. Gue tidak yakin merk kerudungnya tapi sepertinya termasuk kerudung yang halal untuk dipakai.
Mulanya gue tidak pernah tertarik membaca segala rupa buku yang tidak bergambar karena mengingatkan gue pada pelajaran sekolah. Bacaan favorit gue sejak SD adalah komik Dragon ball, Kungfu Komang, dan tentunya serba-serbi ciptaan Tatang S. Tapi entah kenapa, novel tersebut nampak memiliki daya magis yang mengundang sesiapa yang melihat sejurus kemudian tergerak untuk membacanya. Jika Einstein berkata bahwa jangan menyalahkan gravitasi untuk jatuh cinta maka gue juga bingung siapa yang harus gue salahin saat terbuai dalam kisah mengharu yang ditulis oleh Helvy tiana Rosa berjudul ‘Ketika Mas Gagah Pergi’.
Novel ini unik. Tulisan di dalamnya sungguh sublim. Kisah yang mengalir begitu saja tentang kakak beradik Gagah dan Gita yang membuat gue terbuai dalam sebuah dialog yang bergelayut di memori.
“Mas Gagah berubah” ujar Gita.
Penggalan kalimat yang masih terngiang. Hingga saat ini.
Di luar segala tema yang diangkat Mbak Helvy dalam novelnya, ‘Ketika Mas Gagah Pergi’ untuk seterusnya berhasil ‘meracuni’ gue untuk cinta membaca.
Dan kini. Setelah 20 tahun, yang diselingi oleh lanjutan novel ‘Ketika Mas Gagah Pergi dan Kembali’, akhirnya film Ketika Mas Gagah Pergi diputar di bioskop. Film yang didanai secara crowdfunding ini mengundang antusiasme penantian bertahun-tahun pembacanya. Mereka tergerak untuk melihat bagaimana visualisasi Gagah, Gita. Termasuk gue.
Sosok Mas Gagah sempat disinggung oleh penulisnya dalam buku ‘Bukan di Negeri Dongeng’. Menurut beliau Mas Gagah terinspirasi dari seorang Nasir Djamil, salah seorang anggota DPR dari fraksi partai tertentu. Entahlah bagaimana kebenaran kisah itu. Sama halnya dengan orang-orang yang penasaran apakah sosok Fahri Abdullah, tokoh protagonis utama yang dihadirkan oleh Kang Abik dalam Ayat-Ayat Cinta, benar-benar hidup dan ada.
Gagah adalah personifikasi dari sebuah keteladanan, kearifan, dan kesalihan. Sebuah produk transformasi hijrah anak muda yang tak lazim pada zamannya. Memang pada saat itu gue ga terlalu ngeh dengan semua alur yang diceritakan Mbak Helvy. Gue tidak paham tentang konflik Palestina, terminologi Ikhwan-akhwat, makna hijrah hingga transformasi diri. Namun apa yang dibuat dengan hati sentiasa menyentuh hati. Anggitan kisah Mas Gagah lah yang pertama kali mengenalkan gue betapa tidak diperkenankannya seorang pria menyentuh wanita yang bukan muhrimnya, bagaimana kondisi umat muslim saat ini, tentang jilbab. Ya. Mas Gagah lah yang berhasil membuka cakrawala berpikir para pembacanya tentang kemunduran umat. Tentang bagaimana seharusnya sosok seorang muslim itu. Jadi tidak heran jika banyak muslimah yang memutuskan mengenakan jilbab pasca membaca kisah Mas Gagah. Novel ini sungguh revolusioner.
Mas Gagah jua yang sebenarnya secara tidak langsung memperkenalkan gue dengan kerohanian islam di SMA. Semangat untuk mengenal islam lebih dalam mengantarkan gue untuk bergabung dengan rohis sekolah. Gue ingin mengenal apa yang dikenal oleh Mas Gagah hingga membuatnya bener-bener berubah. Gue kepingin tahu apa itu ikhwan, akhwat, kondisi umat islam di belahan dunia lain, mengapa harus berjilbab dan segala dinamika agama yang tidak gue dapatkan secara intensif di tempat lain. Dan jika mungkin, gue bisa bertemu dengan sosok Mas Gagah itu sendiri.
*****
Sekitar setahun lalu gue pernah menulis bahwa terminologi kebetulan sebenernya tidak ada karena daun yang jatuh ke bumi pun sudah ditulis di Lauhul Mahfudz. Bukan kebetulan jua manakala salah seorang ikhwah (baca : saudara) rohis SMA mengunggah salah sebuah foto mushola tempat kami dahulu pernah menjalin kemesraan dalam lingkaran ukhuwah.
Mushola tersebut nampak asri dengan warna putih bersih di setiap dindingnya. Jika tidak salah interiornya pun luar biasa bagusnya. Mushola ini didirikan dengan biaya udunan dari alumni dan sumber donasi lain. Lokasinya pun berpindah lebih ke bawah jika dibandingkan dengan mushola terdahulu.
Buat gue, mushola ini masih sama seperti dulu. Ada kenangan-kenangan manis yang tertinggal dengan menyisakan angin, pohon juga bumi sebagai saksi. Kami tidak bisa lagi menagih bukti pada setiap peninggalan fisik dari semen, dinding atau lantai yang dulu senantiasa kami duduki. Mereka sudah hancur bersamaan dengan relokasi. Tapi ingatan-ingatan tersebut tetap hidup.
Mushola ini menjadi saksi betapa keterbatasan tempat bukan halangan. Sehingga pengajian pekanan pun terus berjalan meskipun atap bocor sana-sini. Mushola ini menjadi saksi betapa di mana-mana wanita selalu benar. Setiap kali ada kericuhan di bilik ikhwan (pria) maka dari bilik wanita yang dibatasi oleh hijab cukup terdengar ‘ehem’ atau dengan sedikit sapaan ‘maaf akhi, ada yang sedang sholat’ maka kericuhan tersebut akan padam dengan sangat cepat. Berbicara soal hijab, salah seorang guru agama sempat memprotes keberadaan hijab yang ukurannya dianggap sangat tinggi. Beliau khawatir akhawat yang berada di balik hijab bermain petak umpet dan sejenisnya. Rasionalisasi kami mengapa diperlukan hijab tersebut tidak bisa beliau terima sehingga kami harus ikhlas hijab berubah menjadi pembatas kayu yang sangat rendah meskipun pada akhirnya dimensi hijab kembali seperti semula.
Mushola ini menjadi sejarah. Sejarah diselenggarakannya miniatur-miniatur musyawarah. Membahas urusan ummat dan dakwah. Mengatur ini itu persiapan festival kesenian islam pertama (dan terakhir?) di sepanjang kepenguruan rohis sekolah.
Mushola ini adalah bukti. Bukti pentingnya hijab sebagai pembatas diri setiap kali divisi kestari mengadakan syuro’. Divisi kesekretariatan adalah satu dari dua, satunya lagi bendahara, badan yang mengadakan rapat setiap harinya. “Afwan ada akhi Edy?” Begitulah sapaan mulia dari bilik akhwat yang bersiap untuk memulai rapat. Yang untuk seterusnya menjadi guyonan kami hingga saat ini.
Mushola ini mushola bernilai seni. Tak ubahnya studio rekaman atau dapur teater, aktifitas seni tak pernah mati. Setiap hari ada saja yang berlatih nasyid walaupun sumbang. Berlatih acapella meskipun lomba tak pernah menang. Malamnya disambung dengan latihan drama plus dubbing untuk mengisi acara penyambutan anggota rohis baru atau diminta oleh sekolah lain untuk menjadi tamu. Tentu saja kami tidak selalu berharap piala saat lomba, atau mendapat apresiasi saat menyajikan drama. Bagi kami berlatih nasyid bermuatan dakwah, menyajikan nilai-nilai islam dalam pentas sandiwara adalah sebuah tanggung jawab moral sebagai perwujudan semboyan ‘kami da’i sebelum segala sesuatunya’.
Mushola ini adalah cinta. Cinta di saat ada yang dihukum karena kesalahan bertindak. Cinta manakala suara ikhwan selama pemiihan ketua rohis hanya sebatas masukan sementara suara akhwat adalah mutlak kebenaran. Cinta dalam setiap lelah, letih, berpayah-payah menyiapkan pengajian, ta’lim, acara keagamaan untuk siswa satu sekolah. Cinta dalam setiap kerja keras dakwah dan kesolidan ikhwah. Cinta yang tumbuh dari benih-benih kesamaan visi, keterikatan hati, kedekatan fisik yang dipupuk oleh tarbiyah. Cinta di setiap friksi, uji, silang pendapat hingga debat tapi tak pernah dendam melekat. Cinta karena Allah pada setiap kalian.
Hari ini gue mencari kembali sosok Mas Gagah. Mas Gagah yang selalu ingin mewujudkan islam dalam kesehariannya. Mas Gagah yang ingin bermanfaat bagi sekitar. Yang menjadi da’i di atas segala sesuatu. Mas Gagah yang membawa pesan perubahan bagi keluarga hingga masyarakat.
Dan hari ini kutemukan Mas Gagah pada diri kalian. Pada sosok saudara-saudara seperjuangan yang terus menyalakan api kebaikan. Yang meneruskan cinta dari uswatun hasanah pada setiap insan nan terlihat mata walau kini nun jauh di sana.
Kutitipkan salam manis untuk kalian ikhwan dan akhwat fillah yang pernah menjalin cinta dalam kerohanian islam. Di manapun kalian berada gue yakin bahwa nilai-nilai Mas Gagah selalu ada dalam diri kalian semua.
Tabik!.
#30 Hafizzanovian
Januari 4, 2016 § Tinggalkan komentar
Ah, siapa yang tidak kenal Hafiz. Temen satu sekolah gue, SMA Negeri 3 Palembang masuk tahun 2003, pasti kenal nama tersebut. Cuma ada dua alesan temen angkatan gue ga kenal Hafiz. Yang pertama mereka ga ikut masa orientasi siswa dan yang kedua mereka tertabrak oleh truk sampah lalu hilang ingatan dan baru bisa inget kembali jika ditabrak oleh truk sampah yang sama untuk kedua kalinya *ter-sinetron endonesah*.
Ada beberapa cara untuk menjadi terkenal di sekolah. Sebelumnya gue sudah pernah jelasin bahwa menjadi berbeda secara fisik adalah cara umum untuk dapat dikenal oleh makhluk penghuni SMA. Siswa-siswi yang berbobot lebih, kurang tinggi, terlalu kurus, dan hal mencolok lainnya adalah alasan paling mudah untuk tersegregasi dengan ratusan atau bahkan ribuan siswa lain. Di luar itu, cara untuk menjadi populer di sekolah, selain menjadi member JKT48, adalah bikin ulah selama masa orientasi.
Jadi di sekolah gue dulu selama periode interaksi siswa baru, setiap kelas diwajibkan untuk mengikuti kegiatan senam poco-poco. Itu loh, senam pengganti SKJ dengan backsound lagu dari timur Indonesia yang dinyanyikan oleh Yopi Latul. Sifatnya yang wajib membuat semua siswa baru berpartisipasi dalam senam tersebut karena khawatir dengan embel-embel ‘wajib’ yang jika dikerjakan berpahala dan jika tidak dikerjakan berdosa. Sementara para pendosa kan bakal disiksa dan dilempar ke neraka. Gue khawatir kalo ga ikut senam nantinya gue bakalan disiksa joget poco-poco di atas bara api sambil nonton ‘Dahsyat’ 24 jam non-stop.
Nah, di suatu pagi saat gue tengah khusyu nyobain blush-on biar cakep kayak Laudya Cinthya Bella, terdengar suara riuh dari lapangan basket. Salah seorang siswa dari kelas sebelah melakukan senam poco-poco hingga nyaris pingsan. Yang gue denger sih siswa tersebut melakukan senam sembari ngemil paku payung. Sontak, peristiwa ini mendapatkan atensi dari sebagian besar siswa hingga sang pelaku kemudian terkenal di bumi hingga menggema ke langit. Yup, anak itu adalah Hafiz. Dia sudah bikin kehebohan dan menjadi terkenal di sekolah bahkan saat gue belum tahu nama temen sebangku gue.
Tapi, kejadian tersebut juga menjadi titik nadir bagi kehadiran senam poco-poco di sekolah kami. Selain karena suara Yopi Latul yang kelewat nyempreng, senam poco-poco dianggap berpotensi membahayakan keselamatan siswa. Sebagai gantinya kepala sekolah mengharuskan wajib militer bagi siswa baru. Lah?!.
Persis beberapa bulan setelah masa orientasi siswa, sekolah kami membentuk kelas baru yang katanya diproyeksikan sebagai kelas unggulan. Saat masuk ke kelas tersebut gue kaget karena melihat Yang Mulia Maha Diraja Baginda Gusti Tuanku Hafizzanovian yang terkenal se-satu kelurahan termasuk salah seorang siswa yang ada di kelas tersebut. Gue merasa bangga dan sujud syukur lalu langsung ke KUA.
Di SMA, Hafiz dikenal sebagai siswa yang ‘unik’. Karena keunikan tersebut ia menjadi begitu jamak dikenal orang lain. Kepopuleran Hafiz tidak sebatas ulah selama masa orientasi. Saking terkenalnya, tidak sulit mencari Hafiz di tengah kerumunan. Cari saja siswa yang sehari-hari, setiap waktu mengenakan topi kemana-mana. Kesetiaan Hafiz dengan topinya melebihi kesetiaan pria pada gebetannya. Topi adalah simbol Hafiz. Cuma saat wudhu ia melepas topi itu. Gue juga tidak terlalu paham mengapa dia terobsesi dengan topi. Kalo misalkan topi tersebut meningkatkan level kegantengannya dari beginner menjadi expert okelah. Tapi kan ga juga. Haha… Damai, bro!.
Sejak peristiwa pingsan yang melambungkan namanya, Hafiz memilih berkiprah di organisasi palang merah remaja sekolah. Ia tidak ingin adik-adik junior yang sedang senam unyu saat tampil unjuk gigi di depan senior kece harus berakhir dengan adegan pingsan, muntah hingga sulit buang air besar. Tidak hanya berkiprah sebagai anggota biasa, Hafiz menjelma menjadi ketua palang merah remaja.
Tidak hanya aktif di PMR, Hafiz kemudian menambah kesibukannya dengan menjadi bassist acapella tim nasyid terbaik yang pernah ada di SMA kami. Kehadiran Hafiz membuat eksistensi tim nasyid tersebut semakin berjaya. Hafiz menggantikan peran bassist sebelumnya yang memilih vakum sejenak dari hingar binger dunia hiburan. Alamak bahasa gue.
Gue mengenal Hafiz sebagai sosok yang tergila-gila dengan budaya Jepang. Gue selau di-update film, manga, tokusatsu semisal kamen rider, lagu-lagu Jepangnya L arc en ciel, dorama jepang dll. Saking nge fans-nya dengan budaya jepang ia pernah di suatu siang yang terik mengenakan jaket tebal ala ala akatsuki. Pas gue tanya
“Bro, ngapain siang-siang pake jaket tebel?”
Terus dia jawab dengan lempeng “Di jepang kan lagi musim dingin”.
Gue cuma bisa bengong sambil ancang-ancang Kamehameha.
Gegara kecintaannya pada anime, gue sempet ribut dengan Hafiz. Perkaranya adalah dia mau jadi Sasuke saat main berantem-beranteman, padahal kan gue juga pengen jadi Sasuke. Kenapa dia ga jadi Naruto aja atau jadi Neji hyuga. Hafiz akhirnya mengalah dan memilih menjadi Maria Ozawa Shizuka.
Meski tiga tahun duduk sebangku dengan Fachrie, menurut gue soulmate Hafiz sejatinya adalah sesosok makhluk astral bernama Hartawan. Mereka kompak. Di PMR Hartawan adalah tangan kanannya Hafiz. Sebelum masuk kelas unggulan mereka berdua berada di kelas yang sama. Kelak saat lulus SMA, keduanya pun masuk ke jurusan dan kampus yang lagi-lagi sama. Kurang mesra apa mereka berdua.
Hafiz pernah menjadi ketua kelas saat kelas dua SMA. Seinget gue ketua kelas kami dulu ga pernah ada yang bener. Karena yang bener hanyalah wanita. Eaa.
Yes, Hafiz diterima di jurusan Biologi Universitas Sriwijaya seusai lulus SMA. Tapi berkuliah di jurusan tersebut bukan lah yang diinginkan Hafiz karena gue tau persis dia sangat mengidam-idamkan profesi dokter. Satu tahun kemudian dia ikut kembali ujian masuk perguruan tinggi negeri dan diterima di fakultas kedokteran universitas sriwijaya.
Dokter satu ini kemudian menikah dengan salah seorang junior di kampusnya yang juga seorang dokter. Selamat hafiz untuk gelar ke-30.
Sudah 30 slot dari 45 temen kelas gue yang menikah. Semoga di tahun 2016 semakin banyak yang melengkapi separuh agamanya. Aamin.
#29 Nurdina Utami
Desember 7, 2015 § Tinggalkan komentar
Urusan menikah bukan sekedar urusan ranjang, cepet-cepetan ngasih undangan, update foto pre-wedding, kawinan, punya anak, naik lambo harga 5M, kebut-kebutan terus nabrak warung STMJ. Bukan. Bukan sekedar itu. Urusan menikah lebih jauh sangat beririsan dengan keberlangsungan suatu negara. Menikah, lebih khususnya memiliki keturunan adalah domain dari demografi suatu negara. Mengapa urusan menikah dan aktifitas seksual menjadi penting. Karena negara-negara yang memiliki angka kelahiran penduduk yang rendah berpotensi menjadi negara yang sulit berkembang akibat penduduk yang tidak produktif akan jauh lebih banyak dibandingkan dengan angka penduduk produktif. Hal ini akan mempengaruhi produktifitas negara tersebut.
Dalam sebuah cerita yang disebarkan melalui whatsapp disebutkan bahwa perusahaan-perusahaan Jepang belakangan ini cenderung mengalami kemunduran. Lebih-lebih jika dibandingkan dengan saudara serumpunnya, Korea Selatan. Di luar faktor lambannya pengambilan keputusan sebagai bagian dari kultur masyarakat jepang, kemunduran perusahaan tersebut setelah dianalisa disebabkan oleh keengganan masyarakatnya memiliki keturunan. Kerja yang berlebihan, tuntutan hidup yang tinggi membuat masyarakat jepang ogah-ogahan membuat anak. Lucunya, legalitas film dewasa di negeri ini diungkapkan sebagai salah satu metoda untuk membangkitkan kembali gairah para suami-istri agar mau berhubungan dan membuat kotaro minami, kotaro minami baru. Negara Sakura mengalami kemunduran dalam hal angka kelahiran. Jumlah anak yang dimiliki seorang wanita seumur hidupnya di negara itu anjlok, dari 4,54 pada 1947 menjadi 1,43 pada 2013 (CNN).
Berbeda dengan Indonesia yang gencar dengan kampanye dua anak cukup, dua istri ribut, singapura sibuk mengompori warganya untuk memiliki tiga anak atau lebih untuk mengatasi ancaman krisis demografi. Untuk setiap anak pertama atau kedua yang lahir dari program tersebut, pemerintah Singapura akan memberikan uang pada orangtuanya sebesar US$8.000 (Rp109 juta), atau US$10 ribu (Rp136 juta) bagi anak ketiga atau seterusnya. Jadi, buat yang berminat punya banyak anak segeralah ganti kewarganegaraan. Christian gonzalez aja bisa.
Bahkan dari salah satu analisa yang gue baca, kejadian teror di paris baru-baru ini juga tidak terlepas dari isu krisis demografi di eropa. Karena belakangan ini imigran berwajah arab pelan-pelan mulai berdiaspora dan memenuhi eropa. Sebagai salah satu langkah untuk menghentikan laju pertumbuhan imigran menggantikan ras aria adalah dengan mengorbankan penduduk prancis dalam aksi spionase dengan menjadikan imigran sebagai kambing hitam. Menarik, bukan?
Jadi menikah itu urusan besar, adinda. Jangan menyepelekan menikah. Karena di luar negeri sana menikah itu cuma urusan senang-senang. Memenuhi panggilan testosteron sahaja tanpa ada niatan untuk menghasilkan penerus bangsa. Merdeka!.
Sori kalo prolog gue kepanjangan dan sok tau.. Sebenernya prolog ini gue buat sebagai pembukaan tulisan tentang nikahan temen gue. Ribet, kan? Emang.
Gue seneng tiap kali bahas temen gue yang nikah. Karena secara tidak langsung gue membahas masa depan demografi dan memberikan sumbangsih untuk mengatasi krisis kependudukan di Indonesia. Cih.
Beruntunglah, temen-temen kuliah dan SMA gue yang menikah dini. Di kisaran usia 26 sampe 27 tahun, temen SMA kelas gue yang nikah sudah hampir ¾ nya. Jika masing-masing pasangan memiliki tiga orang anak maka krisis demografi yang tadi gue sebutin ga akan terjadi. Yang akan terjadi adalah overpopulasi. Pfft.
Oke masuk ke bagian inti tulisan. Gue akan bercerita tentang temen kelas gue yang nomor urut pernikahannya adalah 29. Nama lengkapnya Nurdina Utami. Nur atau yang biasa kami panggil dengan ‘Ami’ adalah laskar penyelamat masa depan bangsa berikutnya yang berasal dari temen SMA gue.
Selain menjadi temen sebangku Marini selama tiga tahun, hal lain yang paling gue inget tentang Ami adalah suaranya yang cempreng. Duh, otak gue belakangan ini sulit mengingat hal-hal baik. Sebenernya Ami memiliki suara yang normal seperti wanita pada umumnya tapi pada suatu kondisi jenis suara itu bisa tiba-tiba berubah menjadi suara sopran dengan sentuhan falsetto menggunakan ketukan 4/4. Njis!..
Di kelas gue dulu Ami tidak terlalu menonjol secara akademik seperti halnya Marini sang temen sebangku yang hampir tiap saat menjadi juara kelas. Atau semencolok Marina, saudari jauhnya yang juga adalah temen kelas kami, yang terbiasa makan chiki plus bungkusnya. Tapi sebagai temen yang baik, gue harus mampu mengulik sesedikit apapun memori tentang temen-temen gue. Beruntunglah kalian wahai teman-temanku memiliki aku, Aliando.
Suatu ketika gue dan temen-temen silaturahim ke rumah Ami saat lebaran. Wow, ternyata rumahnya gede. Mirip-mirip rumahnya Richie rich yang super kaya itu. Ada lintasan roller coaster pribadi, lapangan golf sampe istana boneka. Cuma kurang satu saja, toilet.
Menurut pemahaman gue, keluarga Ami termasuk keluarga yang Palembang (komering) banget dan juga sangat agamis. Dia bahkan memanggil ayahnya dengan ‘buya’ sebuah panggilan untuk ‘bapak’ yang lekat dengan dimensi kearab-araban yang artinya juga adalah ‘kiai/ulama’ merujuk pada kamus besar bahasa Indonesia. Tengoklah Buya Hamka, Buya Syafii Maarif, Buya darat. Ah, kamu mencoba melucu ya?.
Setelah SMA, Ami melanjutkan kuliah ke Institut Pertanian Bogor jurusan komunikasi dan pengembangan masyarakat. Gue juga bingung apa hubungan antara pertanian dengan komunikasi. Mungkin mahasiswa jurusan ini belajar bagaimana caranya membuat ponsel berbahan baku palawija. Atau belajar dengan Hank-pym tentang kurikulum bercakap-cakap dan membuat grup whatsapp bareng serangga, serbuk sari dan putik. Ihh, lucu deh.
Berdasarkan sumber yang terpercaya, gue mendapatkan informasi bahwa Ami semasa kuliahnya dikenal memiliki geng ciwi-ciwi cantik yang dinamai quadrapop. Menurut informan gue, geng ini kalo lagi ngegosip yang kedengeran cuma teriakan “aww” kemudian tertawa melengking dengan suara sopran nan cempreng hingga 5 oktaf. Gue yakin sebelum membentuk grup mereka pasti diseleksi berdasarkan tingkat cempreng-ity.
Di kampus, Ami juga dikenal sangat jarang menggunakan baju yang sama setiap kali datang ke kelas. Mungkin Ami selalu menggunakan baju yang disposable. Sekali pake langsung buang. Demi mendukung gerakan mengurangi global warming.
Setelah lulus sarjana Ami sempet bekerja di salah satu bank BUMN dan kemudian berhenti bekerja untuk melanjutkan pendidikan pascasarjana di Universitas Sriwijaya.
Ami akhirnya menikah pada tanggal 25 Oktober 2015 dengan seorang pria bernama Hendra. Gile, lagi-lagi Hendra. ‘Hendra’ nampaknya begitu lekat dengan temen kelas gue. Sebelumnya sudah ada Hendra Nopriansyah, anggota kelas gue yang pertama kali nikah. Lalu disusul Hendra suaminya Faizah. Dan kini. Again, for the third time ‘Hendra’ circling around my head.
Gue ga sempet dateng ke acara pernikahan Ami. Tapi berdasarkan laporan temen gue, acara pernikahan ini cukup meriah. Gue sih ga heran. Lah wong pre-wedding nya saja luar biasa glamornya. Jangan bandingin sama gue. Kalo gue mah apa atuh, cuma mirip flat shoes. Ga punya hak.
Selamat Ami kamu mendapatkan nomor 29.
#28 Agustin Rosalina Handayani
November 16, 2015 § Tinggalkan komentar
Hal terberat dalam segala aktifitas adalah melakukan langkah pertama. Sama halnya dengan menulis. Gue sudah berniat membuat postingan ini satu bulan yang lalu. Apa lacur, hambatan-hambatan yang gue temui membuat gue selalu gagal untuk menambah jumlah postingan tentang pernikahan temen kelas gue.
Dalam konteks yang serius, ingatan-ingatan gue mulai pudar. Kenangan-kenangan sepuluh tahun lalu hanya menyisakan serpihan-serpihan yang harus dengan sekuat tenaga gue rekatkan secara artifisial.
Orang-orang bijak berkata bahwa persahabatan itu seperti balon. Jika kau tidak memegangnya dengan erat maka ia akan lepas selamanya. Buat gue, menuliskan kembali sisa-sisa ingatan yang berisi guyon, cerita-cerita lucu, tangis bareng temen SMA adalah sarana untuk tidak sekedar menggaung-gaungkan doktrin bahwa masa SMA adalah masa yang paling bahagia. Gue pengen membuktikan bahwa ada suatu masa di mana gue tumbuh dengan sahabat-sahabat yang paling gila yang pernah ada. Yang bahkan hingga kami renta, cerita-cerita inilah yang mungkin bisa kembali menghadirkan semburat senyum menyadari kekonyolan kami tempo dulu.
Tahun depan tepat 10 tahun gue meninggalkan masa SMA lengkap dengan segala suka dukanya. Hingga hari ketika tulisan ini gue buat sudah ada dua puluh sembilan anggota kelas gue yang menikah. Ya, sudah lebih dari separuhnya. Masih ada sekitar 15 cerita lagi yang menunggu untuk dipublikasikan. Gue harep ingatan gue bekerja dengan baik untuk terus dapat menghadirkan siluet masa lalu yang bisa menjadi tawa di masa kini.
Temen gue yang kali ini akan gue ceritain bernama lengkap Agustin Rosalina Handayani. Seperti temen-temen kelas gue yang lain, Agustin juga memiliki nama panggilan yang melenceng dari nama aslinya. Entah kenapa ia lebih memilih dipanggil ‘Anggi’ ketimbang Agustin atau Agus. Jika dulu dibolehkan, gue pengen manggil temen gue ini dengan ‘Rosalina’ karena mengingatkan gue pada masa kecil yang dipenuhi dengan drama-drama khas Amerika Selatan seperti Rosalinda, Esmeralda, Marimar..Auw.
Gue inget banget pertama kali melihat Anggi di bawah jembatan penyebrangan di depan sekolah gue beberapa waktu sebelum kami menjadi temen satu kelas. Entah kenapa bagian ini terekam dengan baik di otak gue (cie dodo cie). Gue inget karena saat itu gue menyaksikan sebuah pemandangan yang kontras. Anggi berjalan berbarengan dengan temen gue yang lain, Endang. Kenapa gue bilang kontras? Karena lo bisa bayangin ada dua orang berjalan bareng tapi yang satu jalannya nunduk, ngebut dengan kecepatan di atas rata-rata, berasa lagi ikut estafet. Yang satunya lagi berjalan dengan kalem. Lah, jika lajunya tidak sama kok bisa bareng? Itu juga yang bikin gue bingung sampe saat ini.
Gue rasa setiap kali mereka jalan bareng, Anggi mengikatkan seutas tali di leher Endang sehingga ia tidak bisa berjalan sekonyong-konyong seenaknya.
Di kelas Anggi terkenal pendiem. Sama seperti Endang. Yang membedakan keduanya hanya lah volume suara. Gue selalu menyandingkan Anggi dan Endang dalam cerita gue karena memang selama tiga tahun menjadi temen kelas mereka selalu bareng. Makan bareng, ikutan organisasi bareng, istirahat bareng, tidur.. ga lah. Mereka tidur di rumah masing-masing. Anggi juga termasuk generasi awal yang mengenakan jilbab di kelas kami. Tidak mau kalah, sebagai ‘kembaran’ Endang pun memilih sikap yang sama. Mereka berdua nampaknya memang ditakdirkan untuk seiya sekata.
Lalu jika ada yang iseng nanya siapa yang lebih cantik dari keduanya? Hmm.. Pertanyaan yang sulit buat gue. Cantik atau tidak itu relatif. Karena sesungguhnya kamu cantik cantik dari hatimu…. uwooo!.
Walaupun duduk di belakang dan tidak begitu aktif di kelas, Anggi pernah diangkat menjadi sekretaris salah satu pelajaran. Gue rasa satu-satunya perangkat kelas yang tidak disukai dan berusaha dihindari adalah sekretaris. Menjadi sekretaris berarti merelakan dengan sepenuh hati dan tangan, untuk menyalin materi yang ada di buku pelajaran ke papan tulis. Gue sadar bahwa ilmu itu harus diikat dengan menulis tapi gue rasa sangat tidak efektif menuliskan kembali isi buku ke papan tulis kelas. Beruntung lah siswa-siswa sekarang yang bisa menggunakan ponsel pinter untuk memfoto materi kemudian dibagikan kembali melalui media sosial. Biar lebih seru kadang juga dibumbui dengan berantem di sekolah sambil berubah menjadi serigala.
Beruntungnya, siswa-siswi yang memiliki tulisan tangan dokter (baca : jelek), termasuk gue, memiliki kenihilan peluang untuk menjadi sekretaris. Sebuah anugerah yang lebih Indah daripada makan kuaci bareng pevita pearce.
Selain di dalam kelas, gue mengenal Anggi karena kiprahnya di organisasi kerohanian Islam. Jika di dalam kelas Anggi kecipratan tugas sebagai sekretaris maka di organisasi ini ia harus memberikan perhatiannya sebagai seorang bendahara organisasi. Di tangannya kami percayakan semua cashflow organisasi yang tiap minggunya harus mengelola dana ummat yang berasal dari siswa-siswi yang berinfak. Tugas yang terlihat sederhana namun butuh ketelitian dan integritas yang tinggi. Bayangkan saja jika rata-rata satu orang menyumbang seribu rupiah dikali 500 siswa maka ada 500 ribu rupiah setiap minggunya. Jumlah yang cukup besar jika ada niatan buruk untuk melakukan tindak penyelewengan.
Rumah Anggi adalah satu dari sekian banyak rumah yang masuk kategori ‘Most Wanted’ selama silaturahim lebaran karena kami pasti menemukan es krim selama momen tersebut. Terdengar seperti biasa saja karena kami bisa dengan mudahnya menemukan es krim di tempat lain. Tapi es krim tersebut rasanya agak beda karena ia dibuat dengan rasa persahabatan. ceile!.
Karena seringnya gue dan temen-temen sowan ke rumah Anggi selama lebaran kami jadi mengetahui bahwa Anggi adalah anak sulung dari tiga bersaudara yang mana semua orang di rumah itu adalah perempuan kecuali bapaknya.
Cerita tentang Anggi semasa SMA gue sudahi karena gue bener-bener kehabisan referensi. Selepas SMA Anggi melanjutkan pendidikan di universitas Andalas jurusan Farmasi. Dengan demikian ada dua siswa lulusan kelas kami yang menempuh studi di kampus tersebut. Satunya lagi adalah Nessa.
Lulus sarjana, Anggi tidak serta merta bekerja. Ia melanjutkan studinya untuk merengkuh keprofesian di bidang Farmasi di kampus yang sama. Selepas itu, ia kembali ke Palembang dan diterima bekerja di salah satu perusahaan farmasi di kota ini. Riwayat hidup Anggi ternyata tidak jauh dari farmasi dan turunannya. Pantes saja saat buka bersama SMA, gue mencium aroma obat di ruangan tempat acara berlangsung.. Haha.
Saking cintanya Anggi dengan dunia obat-obatan, jodohnya pun datang dari dunia yang sama. Ia menikah dengan temen jurusannya yang juga bekerja di bidang farmasi. What a life!. Semoga ntar kalo di rumah pembahasannya tidak seputar paracetamol, panad*l dan adik-adiknya.
Selamat Anggi, kamu mendapatkan gelar ke-28.
#27 Silvia ‘Kecik’ Prihety
Agustus 10, 2015 § Tinggalkan komentar
Gue bener-bener paham bahwa ada beberapa cara untuk lebih dikenal oleh siswa satu sekolah atau setidak-tidaknya dikenal oleh guru-guru yang mengajar di kelas. Menjadi pinter dan berprestasi adalah cara paling umum untuk menjadi terkenal.
Sebutlah namanya Dalilah. Minus Samson. Sejak gue masih culun-culunnya di sekolah dasar sampe lulus dari SMP, nama doi selalu bergaung seantero kompleks sekolah. Guru dan pelajar mana yang tidak kenal Dalilah karena setiap pengumuman kenaikan kelas, dia selalu menjadi juara dengan nilai tertinggi. Sesekali gue ngarep doraemon itu nyata biar gue bisa minjem alat yang bisa nuker otak.
Butuh usaha untuk memenuhi variabel siswa cerdas sebagai syarat untuk menjadi terkenal. Bagi yang lain, mereka dengan mudahnya dikenal oleh guru-guru bukan karena kemampuan mengotak-atik aljabar atau menghafal sistem periodik. Kepopuleran mereka disebabkan oleh ‘keunikan’ personal. Bisa jadi karena ukuran tubuh, nama yang tidak lazim ataupun karena penampilan yang berbeda.
Gue Contohnya. Selama 12 tahun sekolah, gue tidak pernah menjadi siswa yang terlalu menonjol secara akademik. Namun, gue dapat dengan mudahnya diidentifikasi baik oleh guru ataupun siswa dari kelas lain karena ukuran tubuh gue yang imut. Iya, iya. Pendek maksudnya. Puas, lo?. Bayangin aja, setiap upacara bendera hari senin pagi selama enam tahun SD, tiga tahun SMP hingga tahun-tahun awal SMA, gue selalu berada di urutan terdepan. Gue rasanya pengen ngomelin hormon pertumbuhan ngehe yang kerjanya males-malesan sampe bikin pertumbuhan gue lambat.
Beda halnya dengan Chelesa Islan. Gue yakin dimanapun dia sekolah dulu, pasti semua siswa dan guru tahu pelajar mana lagi yang mukanya adem kayak ubin mesjid.
Sejak masuk SMA, gue merasa bersyukur karena tidak lagi berpredikat ‘siswa paling mungil’ hingga layak masuk MURI. Selain karena tinggi yang mulai bertambah, ada beberapa siswa yang jauh lebih kecil daripada gue. Sebutlah salah satunya adalah Silvia Prihety (Silvi).
Silvi cukup kecil. Tingginya mungkin cuma beberapa mili saja. Walaupun begitu, gue yang sudah jauh lebih tinggi, ga pernah bully Silvi sedikit pun. Karena gue khawatir bakal didatangi sama Komisi Perlindungan Anak bareng Kak Seto :P.
Silvi adalah salah satu temen terbaik gue sampe saat ini. Bukan karena rasa empati setelah pernah mengalami masa-masa ‘imut’ bersama. Atau sama-sama pernah ikut casting 7 dwarf nya Putri Salju. Gue menjadikan dia temen baik karena Silvi suka warna kuning. Kenapa kuning? Karena Spongebob berwarna kuning *kemudian senyap… krik*.
Sejak SMA, gue selalu menjadi tempat curhatan Silvi. Mulai dari cerita tentang tugas sekolah, tagihan listrik, hingga diskusi tentang siapa penerus Alam dan Vetty Vera, Sebenernya lebih banyak masalah cinta-cintaan. Walau sampe sekarang gue suka bingung kenapa Silvi dan banyak lainnya curcol masalah cinta sama gue yang jomblo parah.
Jangan remehkan orang kecil. Siapa kira Bapak Habibie yang kecil bisa memiliki paten paling banyak dalam domain aeronautika/penerbangan. Begitu juga dengan Silvi. Kalo selama ini pengibar bendera upacara identik dengan siswa-siswi yang tinggi semampai maka beda halnya dengan SMA gue. Silvi tidak jarang mendapatkan tugas sebagai pembawa bendera setiap hari senin pagi. Kalo saja cheribel sudah ada sejak dulu, gue yakin Silvi diterima jadi anggota tanpa seleksi. Kenapa? Karena spongebob berwarna kuning.. Argghh!!!!.
Dalam sebuah studi disebutkan bahwa jika sebuah persahabatan bertahan lebih dari 7 tahun maka persahabatan tersebut akan bertahan selamanya. Silvi bertemen baik dengan Yenni Arista dari SMP hingga SMA. Kami dulu bahkan mengira mereka anak kembar. Potongan rambutnya identik. Sama-sama terlibat di organisasi paskibra sekolah, kemana-mana berdua. Padahal gue udah sering ngingetin jangan jalan berdua karena yang ketiganya adalah setan. zZZz..
Lepas SMA, Silvi melanjutkan kuliah di Malaysia jurusan oleokimia. Satu-satunya siswa kelas kami yang menempuh studi sarjana di luar negeri. Ia menyusul sang kakak yang telah lebih dulu menjejaki negeri yang katanya ‘Truly Asia’. Tidak hanya sampai sarjana, Malaysia menjadi rumah kedua setelah ia melengkapi pendidikannya hingga master. Sejujurnya gue cukup kaget dengan keberanian Silvi bersekolah di Malaysia karena sepengetahuan gue, Ipin-Upin tidak ada versi ceweknya. Pfft.
Kegiatan curhat-mencurhati tidak berhenti saat kami lulus SMA. Sejak kuliah, Silvi tetep menjadi partner setia gue dalam hal per-chat-an mulai dari era Yahoo messenger hingga whatsaap.
Gue akui Silvi cukup jago dalam bahasa inggris. Sepulang dari Malaysia kemampuan bahasa inggrisnya pun semakin baik. Dia bisa cas cis cus mengeja satu sampe sepuluh dari one hingga ten sembari koprol Jakarta-Bogor.
Setelah lulus kuliah, Silvi mulanya bekerja di sebuah pabrik di Bekasi. Namun tak berselang lama, ia diterima bekerja di salah satu perusahaan semen milik negara hingga saat ini.
Setelah kisah cintanya kandas dengan temen sekolah, Silvi akhirnya menikah dengan pria yang biasa dipanggilnya dengan Ican. I can?!!. Sebelum bener-bener menikah, Silvi sekali dua kali suka mengigau. Pernah dia ngasih poto bareng gojek dengan caption
‘Duh Tukang Gojek So Sweet banget. Baru dibonceng sekali aja udah dikasih helm couple’ :D.
Dia juga sering baper. Ujarnya ‘cuma SIM yang gue ‘tembak’ terus gue diterima’ :D.
Pernikahannya berlangsung persis satu pekan setelah lebaran. Gue bersama istri dan anak menghadiri acara resepsi pernikahan tersebut. Mumpung masih berada di Palembang dalam rangka mudik lebaran. Sayangnya kami tidak sempet berfoto dengan pengantin karena riuhnya suasana di dalam gedung.
Ada yang lucu saat gue dan istri beranjak pulang. Temen gue yang juga dateng kondangan menyampaikan bahwa salah satu kotak yang berisi amplop dari para tamu undangan nyaris raib dibawa oleh sekelompok orang tanggung jawab. Untungnya maling tersebut berhasil ditangkap sebelum kabur dari lokasi. Gue bersyukur para maling tidak sempet ketemu gue. Jika tidak, gedung itu bakalan penuh dengan darah. Iya, gue yang digebukin oleh maling maksudnya :D.
Gue heran masih banyak aja orang yang memanfaatkan momen pernikahan untuk aksi-aksi kejahatan. Itulah mengapa gue selalu mengingat-ingat pesan Bang Napi bahwa kejahatan bukan hanya karena ada niat pelaku tapi juga karena ada kesempatan. Waspadalah.. Harga naik besok.
Congratulation for my little sister. I wish all the joy, goodness, barokah will always circling around you. May your wedding lead you both to Jannah.
#26 Dedy Anugerah Rinaldy Adinegara (Bobon)
Juli 6, 2015 § Tinggalkan komentar
“Setiap mimpi harus diceritakan ke orang lain agar kita termotivasi untuk meraihnya”.
Itu bukan kata-kata Mario Tega. Kalimat sakti penggugah jiwa gunda gulana tersebut diucapkan oleh temen gue Periawan pada suatu kesempatan. Entah abis ikut serta seminar motivasinya siapa atau mungkin habis diprospek oleh MLM, yang jelas kata-kata Peri tersebut terngiang-ngiang di otak gue. Sejak saat itu, gue bercerita ke nyokap tentang mimpi gue ketemu power ranger, solat berjamaah bareng raisa, hingga memimpin timnas Indonesia berlaga di Copa America.
Di antara mimpi yang sering gue ceritain ke temen-temen deket gue adalah ‘GUE MAU NIKAH SAMA ORANG SUNDA’. Temen-temen gue riuh. Mereka beranggapan bahwa niat gue menikahi orang sunda bukan murni karena cinta melainkan karena ingin memperbaiki keturunan. SIAL!. Apapun itu, yang jelas mimpi yang gue ceritain tersebut akhirnya terwujud setelah tahun 2014 gue bener-bener menikahi orang sunda. Dan, nampaknya anak gue memang tidak mirip gue.
Berbeda dengan temen gue Hasbullah (Aas). Sebelum Bolot pura-pura budeg, Aas sudah mendeklarasikan diri untuk menikahi seorang dokter. Aas berkelit bahwa menikahi dokter adalah amanat sang nenek yang ngidam seorang dokter dalam pohon keturunannya. Setelah pontang-panting mencari jodoh, akhirnya mimpi tersebut terwujud.
Dari dua contoh di atas gue percaya kalo mau mendapatkan jodoh, sebisa mungkin deskripsikan akan seperti apa jodoh kalian kelak. Walau memang agama harus menjadi landasan utama, namun rasanya tak mengapa mendeskripsikan secara global preferensi kita. Tapi jangan terlalu detil juga. Mentang-mentang bercerita mimpi, kalian ngarep jodoh yang cantik, sholehah, kaya, anak tunggal, bapaknya sakit-sakitan. Sampe JKT48 nyanyi dangdut koplo juga lo bakalan sulit dapetin jodoh dengan ciri-ciri demikian.
Hal yang sama mungkin pernah dilakuian oleh Dedy Anugerah Rinaldy Adinegara alias Bobon. Sohib gue satu ini rasanya pernah bermimpi agar berjodoh dengan teman sekelas. Sekelas? Banyak bener bro. Kisah cinta dedy cukup rumit. Lebih rumit daripada kabel yang masuk ke saku celana. Dalam jangka waktu beberapa tahun antara SMA dan awal masa kuliah, Bobon menjalin cinta dengan dua temen kelas kami yang berbeda. Sebut saja Mawar dan Melati. Semuanya Indah. Namun semuanya kandas di tengah jalan.
Bobon bukan satu-satunya ‘Dedy’ yang ada di kelas kami. Masih ada satu lagi yang bernama ‘Dedy’ yakni Dedy Efriliansyah. Untuk membedakan, kami biasa memanggil mereka dengan Dedy A dan Dedy E walaupun tidak jarang mereka dinamai dengan ‘Bobon’ dan ‘Macky’. Mereka berdua melewati masa kecil bersama. Menyukai gadis yang sama. Tumbuh di lingkungan yang sama. Tapi Dedy tumbuh ke atas sementara Dedy tumbuh ke samping. Mereka berdua pun sama-sama kelas berat walau Dedy E lebih berat 2 ons sehingga kedua Dedy tergolong makhluk dengan bobot paling berat di XII IPA A versi on the spot.
Sejak masa-masa pertama sekolah, gue sudah menduga bahwa Dedy datang dari keluarga yang cukup mampu. Selain penampilannya yang nampak seger dan terawat, dia setiap hari dianter-jemput dengan mobil pribadi. Gue sama. Bedanya mobil yang anter jemput gue ditumpangin juga oleh puluhan penumpang lainnya. Kebetulan sekolah kami dulu menganut sistem sosialis. Setiap siswa dilarang membawa mobil ke area parkir sekolah. Makanya gue ga pernah parkir bus kota ke dalam lingkungan sekolah. Pfft.
Ada satu momen fenomenal yang mungkin bakalan gue inget sepanjang masa sehubungan dengan aktifitas Dedy di sekolah. Siang itu tengah dilakukan pergantian mata pelajaran. Di saat menunggu guru matematika masuk kelas, kami pun melakukan aktiftitas khas ala siswa SMA lainnya. Ricuh sana-sini. Ada yang gosip, sikap lilin, salto 7 putaran hingga bermain peran 7 manusia kecebong. Sebagian lagi menyanyi dengan suara cempreng. Kebetulan saat itu dedy mendapatkan peran sebagai tukang gebuk meja layaknya Eno Netral.
Jackpot, bersamaan dengan musik yang ditabuh di meja, guru matematika yang tidak dinanti datang sekonyong-konyong. Beliau mendapati kelas gaduh akibat meja yang ditabuh. Gossiper dan vokalis dadakan sontak berhenti. Sayangnya Dedy terlambat. Pak Guru lebih dulu melihat aksi drummer bajakan. Seketika ia mendatangi meja Dedy dan bilang ‘Mana tangannya’. Gue tertegun. Adegan ini persis dengan yang sering gue lihat di TV, pikir gue. Seseorang meminta tangan untuk kemudian diberikan cincin lalu terjadi proses lamaran. But wait. Pak Guru kan cowo, Dedy pun begitu. Ternyata imajinasi gue salah total. Saat Dedy ‘menyerahkan’ tangannya, Pak Guru melayangkan pukulan lucu ke tangan Dedy sambil memperingatkan untuk tidak mengulang kegaduhan yang serupa.
Sebagai temen yang baik, gue iba dengan kejadian tersebut. Tapi sebagai sahabat, gue ketawa terbahak-bahak saat tahu temen gue menderita :P.
Dedy adalah salah satu sohib gue di SMA. Bukan secara tiba-tiba gue berteman baik dengan dia. Kami diakrabkan oleh sebuah roleplay saat pelajaran bahasa jerman. Kebetulan gue, Peri dan Dedy berada dalam satu kelompok untuk bermain peran yang agak-agak absurd. Lebih absurd daripada anak-anak yang niup rumah umang-umang atau pesawat dari kertas.
Kami memilih tema tentang hewan peliharaan dalam sebuah dialog bahasa jerman yang ‘mengagumkan’.
Gue : Dedy, Hast du haustiere zu haus?
Dedy : Ja, Ich Habe aine katze. Und ihnen, Peri? (Gue yang nanya tapi die nanya ke Peri. Bangke!)
Peri : Ich habe zwai hunde, balto und tsukichan.
*Terus gue ga ditanya* hmm. Sudah kudungan.
Gue hapal banget selera musik Dedy karena setiap maen ke rumahnya atau nebeng mobilnya lagu yang disetel ga jauh-jauh antara Elemen, Lyla dan tentunya Ari Lasso. Ngomongin soal musik, di luar kebiasaan menjadikan meja sebagai instrumen, Dedy sejatinya adalah gitaris grup band kelas kami. Menjadi anak band adalah salah satu cara paling mudah untuk dikenal di seantero sekolah selain bergabung dengan OSIS. Tapi khusus di kelas kami, band tidak terlalu diminati. Karena sebagian besar penghuni kelas adalah anggota rohis sehingga nasyid dan timnya lebih disukai. Walaupun begitu, kelas kami mempunyai sebuah grup band yang diberi nama ‘definith’. Terinspirasi dari sebuah rumus matematika.
Sejak kelas 1 SMA, Dedy adalah temen sebangku Hartawan yang gue ceritain di kisah sebelumnya. Sebenernya penggunaan istilah ‘temen sebangku’ kurang tepat. Masa iya, dedy dan hartawan temen yang duduk di satu bangku. Mual ga sih bayanginnya?.
Lepas SMA, dedy menempuh pendidikan di Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN). Saat ujian masuk, bangku Dedy dan gue cukup berdekatan. Saat diterima, gue bener-bener ga nyangka anak satu ini harus kuliah di STAN karena setau gue dedy adalah anak versi rumahan yang ga bisa jauh dari ortu. Apa-apa mesti disediain. Ganti popok aja mesti dibantuin oleh ibunya. Eh, sori. Itu anak gue bukan Dedy. Dedy akhirnya membuktikan idiom ‘human was design to adapt. Problem existed not as a pit but a ladder’.
Setelah kisah cintanya yang ruwet, Dedy akhirnya menambatkan hati pada temen SD yang dipertemukan kembali di suatu acara buka bersama. Memang benar. Jodoh itu sangat mungkin adalah mereka yang justru sangat dekat posisinya dengan kita. Mungkin kita saja yang belum menyadari. SALAM SUPER.
Gue dateng ke nikahan Dedy karena momen dan waktunya pas. Selamat bro untuk gelar ke-26. Dan yang ke-8 buat cowonya.
p.s : Urutan Dedy satu strip di bawah Hartawan, temen ‘sebangku’ nya.