#32 Zeniferd Simangunsong
Oktober 20, 2016 § Tinggalkan komentar
Nyaris. Gue nyaris luput buat mengejar cita-cita menuliskan satu per satu kisah temen SMA gue yang melanjutkan jenjang kehidupannya ke arena pernikahan. Terakhir tema ini gue tulis di Bulan Februari saat membahas pernikahan Idries. Pernikahan temen kelas gue yang ke-31.
Melihat tren yang ada, masa emas pernikahan untuk generasi gue adalah di sekitar usia 23 hinggga 27 tahun. Mediannya adalah 24 atau 25. Di atas rentang tersebut, banyak yang sudah mulai panik. Lebih-lebih kaum hawa. Semisal Ultraman, lampu yang ada di dada mereka sudah kedap-kedip dengan bunyi yang kita sudah hapal bersama. Pada periode yang cukup kritis ini, laju pertambahan rekanan yang menikah menukik dengan sangat tajam. Jika di usia ‘emas’ jumlah kondangan yang bisa kita hadiri bisa mencapai 6-10 kali maka pada periode tersebut menurun hingga 1 atau dua sahaja setiap tahunnya.
Di tahun 2016 baru ada dua orang temen kelas gue yang menikah. Termasuk yang akan gue ulas. Sementara pada periode yang sama di tahun sebelumnya lebih kurang ada 10 orang.
Tapi tidak ada kata terlambat dalam menikah. Juga tidak perlu panik jika memang jodoh belum datang menghampiri. Karena hanya dua jenis terlambat yang harus diwaspadai. Yang pertama adalah terlambat masuk saat dosen killer tengah mengajar. Dan yang kedua adalah terlambat datang bulan bagi ABG-ABG yang belum menikah karena mereka akan sibuk meraung-raung menangis meminta pertanggung jawaban. Kasihani Hayati, bang.
*****
Temen yang akan gue ceritain selanjutnya adalah Zeniferd Simangunsong. Dari namanya kita bisa menebak dari mana Zeniferd berasal. Dia asli batak. Hanya ada tiga orang keturunan batak yang ada di kelas gue dulu. Satu orang pria dan dua orang wanita. Tapi tidak ada satu orang pun dari mereka yang berbicara dengan keras seperti orang batak yang sering kita saksikan di TV juga di terminal.
Di setiap kelas, kalian pasti bisa menemukan siswa-siswi yang beragam. Si kutu buku, drama queen, temen yang nyaman untuk bersandar (gendut maksudnya), dan korban pembulian. Zeniferd termasuk yang terakhir. Bentuk-bentuk pembulian yang sering ia terima berupa ‘pujian’ secara verbal menyangkut warna kulit dan bobot badan. Tapi pada saat itu kami sudah sangat terbiasa untuk ‘menghina’ satu sama lain dengan panggilan-panggilan yang tidak lazim. Seolah-olah ekspresi pertemanan kami disampaikan dengan cara demikian. Meskipun kadang marah dan kesal tapi tidak satu pun dari kami datang ke komisi HAM atau amnesti internasional dengan delik aduan berupa penghinaan yang berujung pada sakit hati menahun. *Peluk temen gue satu-satu*
Buli yang kami lakukan adalah semacam buli positif. Karena kami yakin bahwa Zeniferd akan menjadi manusia yang lebih baik hanya dengan cara demikian. Coba saja dengarkan bagaimana Tulus mengapresiasi ejekan teman-temannya yang memanggilnya ‘Gajah’ sebagai sebuah bentuk motivasi. Nah kira-kira seperti itulah situasi yang hadir antara Zeniferd dan para pembuli. Hahaha.. Gue bohong.
Kalo ada makhluk yang doanya paling makbul, mungkin Zeniferd adalah salah satunya. Dia teramat sangat sering dizalimi. Dan seperti yang kita ketahui bahwa doa orang terzalimi itu makbul. Lebih makbul daripada sedekah lima ribu terus ngarep diganti 5 juta. Itu transaksi sama tuhan atau ngepet ya.
Dulu, di masa kami menempuh pendidikan SMA, asap hutan yang dibakar secara semena-mena juga tak pernah mencapai Palembang. Itu pun gue rasa disebabkan oleh doa Zeniferd yang teraniaya. Dan kini gue menyesal mengapa dulu tidak pernah menitip doa.
Zeniferd pernah dianggap menjadi anak kesayangan salah seorang guru biologi. Ibu ini biar pun dikenal cukup galak namun bisa menjadi sangat ramah jika bertemu dengan Zeniferd. Karenanya saban hari doi kerap di-ceng-ceng-in oleh gue dan yang lain. Kebetulan saat itu guru biologi tersebut diketahui belum menikah. Ah, andai saja saat itu gayung bersambut, gue yakin nilai biologi kami tidak ada yang jeblok. Kami pun tidak masalah jika salah seorang dikorbankan asal tidak ada nilai 5 untuk mata pelajaran biologi. Haha…
Lepas SMA, Zeni melanjutkan studi ke Bogor. Gue tidak begitu ingat jurusan apa yang ia tempuh. Yang jelas sejak lulus SMA kami sudah jarang bertatap muka. Hanya sesekali saja. Untungnya media sosial bisa memberitahu semuanya. Siapa yang butuh kaca ajaib atau kerang ajaib jika google dan facebook bisa diakses dengan modal internet ceban.
Foto-foto di Facebook menunjukkan bahwa Zeniferd sudah jauh berbeda daripada sejak terakhir kami bertemu. Ia nampak lebih putih dan tidak lagi se-kurus dulu. Gue penasaran sabun pemutih apa yang ia gunakan. Selain itu, gue juga baru sadar bahwa ia tidak menggunakan nama ‘Zeniferd’ di Facebook-nya melainkan ‘Zeny’ dengan tetap mempertahankan marga. Saya pun tidak paham apa yang melatarbelakangi. Mungkin ‘Zeniferd’ terlalu panjang sehingga perlu diringkas. Semacam Ayu Rosmalina yang mengganti nama menjadi Ayu Ting-Ting.
Pada akhirnya, Zeniferd harus berterima kasih pada gue dan yang lainnya. ‘Buli’ yang kami lakukan semasa SMA ternyata benar-benar buli positif. Buktinya kini Zeniferd berhasil memutarbalikkan fakta terdahulu. Lagi-lagi persis dengan lagu Gajah-nya Tulus. Andai saja sejak dulu kami terbiasa memuji-muji Zeniferd maka kelak dia tidak akan se-gagah dan se-tampan sekarang. Cieeee!!!.
Setelah beberapa tahun bekerja di sebuah perusahaan swasta di Jakarta, ia mempersunting seorang gadis yang juga ber-suku Batak. Pernikahan diadakan pada tanggal 9 September 2016 di Palembang. Sayang, gue tidak bisa menghadiri acara bahagia tersebut. Namun doa terbaik selalu kami haturkan untuk temen yang dulu sering kami zalimi ini. Semoga pernikahannya bahagia dan langgeng.
Selamat Bro Zeniferd untuk gelar ke-32 nya.
#27 Silvia ‘Kecik’ Prihety
Agustus 10, 2015 § Tinggalkan komentar
Gue bener-bener paham bahwa ada beberapa cara untuk lebih dikenal oleh siswa satu sekolah atau setidak-tidaknya dikenal oleh guru-guru yang mengajar di kelas. Menjadi pinter dan berprestasi adalah cara paling umum untuk menjadi terkenal.
Sebutlah namanya Dalilah. Minus Samson. Sejak gue masih culun-culunnya di sekolah dasar sampe lulus dari SMP, nama doi selalu bergaung seantero kompleks sekolah. Guru dan pelajar mana yang tidak kenal Dalilah karena setiap pengumuman kenaikan kelas, dia selalu menjadi juara dengan nilai tertinggi. Sesekali gue ngarep doraemon itu nyata biar gue bisa minjem alat yang bisa nuker otak.
Butuh usaha untuk memenuhi variabel siswa cerdas sebagai syarat untuk menjadi terkenal. Bagi yang lain, mereka dengan mudahnya dikenal oleh guru-guru bukan karena kemampuan mengotak-atik aljabar atau menghafal sistem periodik. Kepopuleran mereka disebabkan oleh ‘keunikan’ personal. Bisa jadi karena ukuran tubuh, nama yang tidak lazim ataupun karena penampilan yang berbeda.
Gue Contohnya. Selama 12 tahun sekolah, gue tidak pernah menjadi siswa yang terlalu menonjol secara akademik. Namun, gue dapat dengan mudahnya diidentifikasi baik oleh guru ataupun siswa dari kelas lain karena ukuran tubuh gue yang imut. Iya, iya. Pendek maksudnya. Puas, lo?. Bayangin aja, setiap upacara bendera hari senin pagi selama enam tahun SD, tiga tahun SMP hingga tahun-tahun awal SMA, gue selalu berada di urutan terdepan. Gue rasanya pengen ngomelin hormon pertumbuhan ngehe yang kerjanya males-malesan sampe bikin pertumbuhan gue lambat.
Beda halnya dengan Chelesa Islan. Gue yakin dimanapun dia sekolah dulu, pasti semua siswa dan guru tahu pelajar mana lagi yang mukanya adem kayak ubin mesjid.
Sejak masuk SMA, gue merasa bersyukur karena tidak lagi berpredikat ‘siswa paling mungil’ hingga layak masuk MURI. Selain karena tinggi yang mulai bertambah, ada beberapa siswa yang jauh lebih kecil daripada gue. Sebutlah salah satunya adalah Silvia Prihety (Silvi).
Silvi cukup kecil. Tingginya mungkin cuma beberapa mili saja. Walaupun begitu, gue yang sudah jauh lebih tinggi, ga pernah bully Silvi sedikit pun. Karena gue khawatir bakal didatangi sama Komisi Perlindungan Anak bareng Kak Seto :P.
Silvi adalah salah satu temen terbaik gue sampe saat ini. Bukan karena rasa empati setelah pernah mengalami masa-masa ‘imut’ bersama. Atau sama-sama pernah ikut casting 7 dwarf nya Putri Salju. Gue menjadikan dia temen baik karena Silvi suka warna kuning. Kenapa kuning? Karena Spongebob berwarna kuning *kemudian senyap… krik*.
Sejak SMA, gue selalu menjadi tempat curhatan Silvi. Mulai dari cerita tentang tugas sekolah, tagihan listrik, hingga diskusi tentang siapa penerus Alam dan Vetty Vera, Sebenernya lebih banyak masalah cinta-cintaan. Walau sampe sekarang gue suka bingung kenapa Silvi dan banyak lainnya curcol masalah cinta sama gue yang jomblo parah.
Jangan remehkan orang kecil. Siapa kira Bapak Habibie yang kecil bisa memiliki paten paling banyak dalam domain aeronautika/penerbangan. Begitu juga dengan Silvi. Kalo selama ini pengibar bendera upacara identik dengan siswa-siswi yang tinggi semampai maka beda halnya dengan SMA gue. Silvi tidak jarang mendapatkan tugas sebagai pembawa bendera setiap hari senin pagi. Kalo saja cheribel sudah ada sejak dulu, gue yakin Silvi diterima jadi anggota tanpa seleksi. Kenapa? Karena spongebob berwarna kuning.. Argghh!!!!.
Dalam sebuah studi disebutkan bahwa jika sebuah persahabatan bertahan lebih dari 7 tahun maka persahabatan tersebut akan bertahan selamanya. Silvi bertemen baik dengan Yenni Arista dari SMP hingga SMA. Kami dulu bahkan mengira mereka anak kembar. Potongan rambutnya identik. Sama-sama terlibat di organisasi paskibra sekolah, kemana-mana berdua. Padahal gue udah sering ngingetin jangan jalan berdua karena yang ketiganya adalah setan. zZZz..
Lepas SMA, Silvi melanjutkan kuliah di Malaysia jurusan oleokimia. Satu-satunya siswa kelas kami yang menempuh studi sarjana di luar negeri. Ia menyusul sang kakak yang telah lebih dulu menjejaki negeri yang katanya ‘Truly Asia’. Tidak hanya sampai sarjana, Malaysia menjadi rumah kedua setelah ia melengkapi pendidikannya hingga master. Sejujurnya gue cukup kaget dengan keberanian Silvi bersekolah di Malaysia karena sepengetahuan gue, Ipin-Upin tidak ada versi ceweknya. Pfft.
Kegiatan curhat-mencurhati tidak berhenti saat kami lulus SMA. Sejak kuliah, Silvi tetep menjadi partner setia gue dalam hal per-chat-an mulai dari era Yahoo messenger hingga whatsaap.
Gue akui Silvi cukup jago dalam bahasa inggris. Sepulang dari Malaysia kemampuan bahasa inggrisnya pun semakin baik. Dia bisa cas cis cus mengeja satu sampe sepuluh dari one hingga ten sembari koprol Jakarta-Bogor.
Setelah lulus kuliah, Silvi mulanya bekerja di sebuah pabrik di Bekasi. Namun tak berselang lama, ia diterima bekerja di salah satu perusahaan semen milik negara hingga saat ini.
Setelah kisah cintanya kandas dengan temen sekolah, Silvi akhirnya menikah dengan pria yang biasa dipanggilnya dengan Ican. I can?!!. Sebelum bener-bener menikah, Silvi sekali dua kali suka mengigau. Pernah dia ngasih poto bareng gojek dengan caption
‘Duh Tukang Gojek So Sweet banget. Baru dibonceng sekali aja udah dikasih helm couple’ :D.
Dia juga sering baper. Ujarnya ‘cuma SIM yang gue ‘tembak’ terus gue diterima’ :D.
Pernikahannya berlangsung persis satu pekan setelah lebaran. Gue bersama istri dan anak menghadiri acara resepsi pernikahan tersebut. Mumpung masih berada di Palembang dalam rangka mudik lebaran. Sayangnya kami tidak sempet berfoto dengan pengantin karena riuhnya suasana di dalam gedung.
Ada yang lucu saat gue dan istri beranjak pulang. Temen gue yang juga dateng kondangan menyampaikan bahwa salah satu kotak yang berisi amplop dari para tamu undangan nyaris raib dibawa oleh sekelompok orang tanggung jawab. Untungnya maling tersebut berhasil ditangkap sebelum kabur dari lokasi. Gue bersyukur para maling tidak sempet ketemu gue. Jika tidak, gedung itu bakalan penuh dengan darah. Iya, gue yang digebukin oleh maling maksudnya :D.
Gue heran masih banyak aja orang yang memanfaatkan momen pernikahan untuk aksi-aksi kejahatan. Itulah mengapa gue selalu mengingat-ingat pesan Bang Napi bahwa kejahatan bukan hanya karena ada niat pelaku tapi juga karena ada kesempatan. Waspadalah.. Harga naik besok.
Congratulation for my little sister. I wish all the joy, goodness, barokah will always circling around you. May your wedding lead you both to Jannah.
#21 Annisa Septrina
Desember 31, 2014 § Tinggalkan komentar
Namanya Annisa Septrina. Seperti sudah menjadi aturan baku, sesiapa saja yang memiliki nama ‘Annisa’ maka nama panggilan wajibnya adalah ‘Ica/Icha’. Memang masih menjadi misteri siapa orang pertama yang mempelesetkan ‘icha’ untuk seorang ‘Annisa’. Tapi itu masih lebih mending daripada gue yang bernama lengkap ANDRI WIJAYA tapi dipanggil dengan ‘DODO’. Mengapa oh mengapa temen SMA gue harus menggunakan ‘Dodo’, yang lebih mirip nama makanan, buat manggil gue. Gue lebih respek kalo dipanggil dengan ‘ANDREW’,’JAY’ atau ‘ALEX’. Alex?
Sungguh suatu kebetulan istri gue juga bernama Annisa. Untungnya dia tidak dipanggil dengan nama panggilan untuk Annisa pada umumnya. Hemat gue, tidak hanya mereka yang bernama Annisa yang dipanggil ‘Ica/Icha’ melainkan semua nama yang berujung ‘Isa’. Mulai dari Merissa, Marisa, Larissa hingga Farisa. Bahkan adik kelas gue juga minta dipanggil ‘Icha’ padahal nama aslinya adalah Mahmud.
Jadi, Annisa Septrina a.k.a Ica adalah temen kelas gue semasa SMA. Sama dengan sebelum-sebelumnya, gue seolah punya ‘kewajiban’ untuk menceriterakan kembali tentang mereka yang menikah sesuai dengan perspektif dan sisa-sisa ingatan gue. Semakin lama temen kelas gue menikah, ingatan gue tentang momen-momen bareng mereka akan semakin pudar. Jadi lebih baik kalian menikah lebih cepat teman jika ingin cerita kalian termuat dalam blog ini. CEILE!.
Annisa selalu nampak berbeda di kelas. Di saat ponsel masih barang langka di SMA, dia sudah memiliki ponsel yang bagus. Saat itu, jika tak salah, ponselnya adalah Nokia Daun (Nokia 7650). Sementara ponsel kebanyakan adalah nokia 3310. Ponselnya boleh lebih bagus, tapi kalo dibanting dari ketinggian 3 meter dengan sudut elevasi 45 derajat maka dimanakah ponsel tersebut akan jatuh? What thee…. Nokia 3310 jauh lebih kuat dan tangguh dibandingkan Nokia seri lain di zamannya. Amerika bahkan menggunakan Nokia 3310 pada saat perang dunia ke 2. Bukan nuklir seperti yang banyak diberitakan.
Gue pernah satu kelompok dengan Icha saat praktikum biologi. Bersama dengan Peri, kami bertiga diharuskan untuk membuat nata de coco. Entahlah, itu kelas biologi atau seleksi peserta master chef Indonesia. Nata de coco dibuat dengan menggunakan semacam bakteri seperti pada proses fermentasi singkong menjadi tape. Tidak banyak ilmu yang kami (gue khususnya) peroleh dari percobaan itu. Rasanya tidak ada penjabaran ilmiah tentang praktikum tersebut. Kami lebih banyak belajar ilmu SABAR. Sabar menanti kapan nata de coco siap dimakan.
Praktikum di SMA gue lebih bernuansa kuliner. Selain membuat nata de coco, gue dan temen-temen juga suatu saat diharuskan membawa es krim guna mengamati sifat koligatif. Gue rasa harus ada pergantian nama dari SMA Negeri menjadi SMK Tata boga.
Selama SMA, Icha duduk satu bangku dengan Suchi Marsely. Suchi adalah anggota kelas kami yang menikah pertama kali. Mereka satu rombongan dengan Al Ridho, anak laki-laki paling rusuh di kelas (Setiap cerita pasti ada tokoh yang seperti ini), dan juga Sonia. Gue sering melabeli mereka dengan GENG HEDON, mengacu pada aktifitas mereka relatif terhadap temen satu kelas. Mirip-mirip Geng Cantik-nya Cinta, Maura dkk.
Ica, seinget gue, adalah anak basket. Bukan, ibu bapaknya bukan basket. Maksud gue, Ica jago main basket dan ikutan ekskul tersebut. Jayus ya? Ah sudahlah. Dengan postur yang mumpuni, rasa-rasanya Ica memang cocok ikutan ekstra kurikuler ciptaannya James Naismith.
Menurut guru sosiologi SMA gue, segala sesuatu yang ada di dunia ini berubah kecuali perubahan itu sendiri. Awalnya gue sepakat dengan pendapat beliau hingga gue menyadari bahwa ada hal lainnya yang tidak berubah yakni rambut Ica. Sejak kelas 1 SMA, Ica dan rambut panjangnya tak terpisahkan seperti Fenny Rose dan Agung Podomoro (sst, harga naik besok). Sejak Si Doel masih kuliah sampe sekarang jadi Gubernur Banten, panjang rambut Ica segitu-gitu saja, modelnya pun juga. Mirip konstanta percepatan gravitasi yang 9.8 gram/meter kuadrat. Sayang, tidak ada audisi pemilihan bintang iklan shampo di sekolah kami. Jika ada, Ica pasti terpilih. Setidaknya untuk shampoo KODOMO.
Ica termasuk tipe family woman. Ia nyaris saja menjadi anak bungsu sampai suatu ketika ibunya melahirkan sang adik. Kedekatan itu pula yang menjadikan Ica bercita-cita menjadi seorang dokter mengikuti jejak sang ayah yang berprestasi di dunia kesehatan. Ica berhasil menyelesaikan pendidikan di Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya.
Pada tanggal 26 oktober ica menikahi Tommy, pria yang sudah dipacarinya sejak 2005. Wow, 9 tahun. Lama ya? Udah mirip kreditan mobil. Alhamdulillah, cinta mereka bersemi di pelaminan. Mereka berdua menikah di Grand Atyasa Convention Center. Semoga kelak pernikahan kalian berdua bernilai ibadah dan berbuah surga. Barokallahu lakuma wa baroka ‘alaikuma wa jamaa baina kuma fi khair.
Selamat Ica dan Tommy, kalian beroleh gelar ke 21.
#19 Periawan
September 15, 2014 § Tinggalkan komentar
6 September 2014 boleh jadi merupakan hari paling membahagiakan dalam hidup seorang Periawan. Pada tanggal tersebut, Ia melangsungkan pernikahan dengan khidmat di kediaman mempelai wanita di salah satu sudut kota Palembang. Malam hari pada tanggal yang sama, pesta pernikahan meriah diselenggarakan di gedung PUSRI.
Gue pun turut berbahagia dengan pernikahan salah seorang sahabat terbaik gue ini. Karenanya, gue akan mencoba menceritakan kembali sosok Periawan yang gue kenal mulai dari sekolah menengah atas, kuliah hingga saat ini.
Pagi itu, di sebuah sekolah yang terletak di pinggiran Jalan Jendral Sudirman, nampak riuh oleh kehadiran siswa-siswa baru yang culun dan polos. Mereka terlihat berbaris dan berjalan dengan patuh mendengarkan instruksi kakak-kakak OSIS yang terlihat lebih sangar daripada emak-emak yang ketinggalan nonton Sinetron Tukang Bubur. Para senior tersebut ternyata menginspirasi gue untuk bergabung dengan OSIS agar kelak gue pun bisa petantang-petenteng di depan junior yang kemana-mana memanggil gue dengan ‘kakak’. Gagal bergabung dengan OSIS, gue menjadi pelanggan setia Alfa*mart demi mendapatkan sapaan ‘kak’ dari penjaganya. Hiks
Usai masa orientasi sekolah, gue harus menempati kelas 10-B. Di sanalah gue bertemu dengan Periawan untuk pertama kalinya. Dia duduk persis di depan bangku gue. Kelang beberapa minggu, gue harus pindah ke kelas baru yang dikelompokkan berdasarkan nilai selama SMP. Di kelas baru ini gue kembali bertemu Peri dan untuk 3 tahun ke depan kami menjadi tablemate.
Yang paling gue inget tentang Peri selama menempuh pendidikan di SMA adalah ia termasuk anak yang tidak neko-neko, cenderung pendiem, introvert, dan fans garis keras Liverpool. Saking introvertnya, dia kerap kali ketauan ngelamun sambil nyemil semut rang-rang. Selain itu, dia jagoan untuk pelajaran matematika. Beberapa soal yang sulit untuk gue kerjain ternyata dapat diselesaikan Peri dengan memejamkan mata sambil ngupas kulit bawang. Kampret, ini mah guenya aja yang oon :D.
Di kelas, Gue dan Peri dikenal dengan duo pencipta istilah-istilah ‘gaib’. Kami bahkan lebih dulu dikenal dibandingkan Sinta-Jojo. Sayangnya dulu youtube belum ada. Peri handal dalam mencipta dan gue berperan sebagai marketing dahsyat. Kolaborasi maut kami berdua berhasil menciptakan berbagai istilah mulai dari ‘mengenge’, ‘kecipak’, ‘kacang-kacang’ dan ribuan bahkan jutaan istilah yang tidak akan pernah kalian temui di KBBI nya Selo Soemardjan. Hanya siswa di kelas kami lah yang familiar dengan segala penyalahgunaan bahasa Indonesia yang kami ciptakan. Gue tak pernah tahu bagaimana Peri mendapatkan semua ilham dan wangsit untuk istilah-istilah tersebut. Sebagai seorang marketer, tugas gue hanya mendistribusikan semua istilah ke siswa kelas lainnya agar bisa terinternalisasi dalam sebuah simfoni yang mendamaikan hati. Anjay bahasa gue.. Hahaha.
Periawan memiliki jiwa seni yang sangat unik dan luar biasa. Selain piawai dalam membuat istilah, ia juga juara dalam meng(g)ubah lagu, mulai dari ‘menanti sebuah jawaban’ milik Padi hingga lagu-lagu pop-balad Naff. Lirik lagu yang dinyanyikan peri selalu diselipi dengan pernak-pernik detektif ternama, Conan Edogawa. Yoi, doi ngefans banget dengan sang detektif rekaan Aoyama Gosho sampai-sampai kami menyematkan kata ‘OGA’ di belakang kata ‘Peri’ yang diambil dari kata ‘Edogawa’.
Merangkak ke kelas 2 SMA, periodisasi di sebuah organisasi mengharuskan dipilihnya ketua-ketua baru termasuk juga organisasi dimana gue dan Peri bernaung yakni Kerohanian Islam (Rohis). Dengan track record cenderung baik dan tingkah laku yang dianggap paling mewakili maka Peri dipilih menjadi ketua rohis yang baru setelah pemilihan dua putaran diselingi gugatan ke MK.
Sesaat setelah terpilih menjadi ketua rohis baru, mendadak muka peri memerah persis udang yang tengah direbus. Tiba-tiba Rudi Choirudin datang membawa penggorengan. ‘Angkat dan tiriskan’ ujarnya.
Di masa kepengurusannya, Rohis SMA 3 bisa dikatakan mengalami puncak kemajuan. Mulai dari anggota rohis yang berprestasi secara akademik maupun akhlak hingga berbagai pencapaian program kerja yang luar biasa. Karena prestasi tersebut, Periawan digelari dengan ‘Pak Wo’ alias singkatan untuk ‘Pak Ketua’ setelah sebelumnya ia dinamai dengan ‘angel’ merujuk pada namanya ‘peri’ (angel). Agak maksa karena bahasa inggris untuk ‘peri’ harusnya ‘fairy’. Y
Mendekati masa-masa terakhir di SMA, Peri berniat melanjutkan pendidikan di Institut Teknologi Bandung. Where there is a will there is a way. Ia diterima di Jurusan Teknik Fisika ITB. Dan lagi-lagi, gue berjodoh setelah diterima di Jurusan Kimia di kampus yang sama. Bertiga bersama Vidia, kami mewakili SMA N 3 Palembang untuk menempuh pendidikan di Kampus para teknokrat.
Setelah lulus sarjana, Peri diterima bekerja di Malaysia untuk memerankan tokoh Upin. ‘Macem mane nih kak ros. Seronok Sangat’. Kira-kira seperti itulah dialog yang harus dimainkan Peri selama berada di Malaysia. 1 tahun di negeri jiran, Upin memutuskan untuk kembali ke Indonesia. Upin harus berpisah dengan Kak Ros. ‘Sedih rasenye’ Cakap Upin.
Sekembalinya ke Indonesia, Peri berniat melanjutkan studi ke jenjang magister. Tepat beberapa waktu sebelum pendaftaran ulang, Ia mengikuti rangkaian tes kerja di salah satu BUMN yang bergerak di bidang konstruksi, rekayasa, dan procurement. Sebut saja Wijaya Karya (WIKA). Dan Voila, Wika menerima Peri sebagai salah satu karyawannya. Bener-bener drama. Lebih drama daripada kisah Aliando dan Prilly. Doi akhirnya memilih Wika sebagai tambatan hati ketimbang melanjutkan studi.
Lebaran 2013 adalah salah satu momen di mana gue dan beberapa temen SMA termasuk Peri membulatkan tekad untuk menikah setahun setelahnya. Kami juga menggarisbawahi sebuah niatan untuk membawa istri masing-masing pada lebaran tahun 2014.
Setelah gue menikah pada April 2014, seperti tak mau kalah, Peri juga bersegera melancarkan misinya. Dalam suatu momen, Ia secara serius meminta bantuan teman kami yang bernama Hafiz untuk mencarikan seorang wanita yang bersegera ingin melengkapi separuh agama. Gayung bersambut, Hafiz membantu Peri untuk mencarikan apa yang dimaksud. Setelah beberapa waktu, Hafiz mengenalkan sesosok wanita teman kuliahnya.
Dengan gagah berani, Peri menyatakan niat untuk menikahi sang permaisuri hati. Bak Haruka yang melihat sosok Naruto, sang wanita pun mengiyakan sambil tersenyum malu disertai pipi yang kemerahan sambil sesekali menggigiti ujung kursi.
Yarra Azilzah nama sosok wanita. Seorang dokter muda dengan paras manis. Tak perlu waktu lama bagi mereka berdua untuk meyakinkan diri masing-masing guna melanjutkan mimpi bersama dalam romansa indah pernikahan.
Dalam balutan putih pakaian daerah, Peri dengan lantang mengucapkan ijab qabul untuk menyunting Yarrah. Alhamdulillah, akhirnya pada tanggal 6 September keduanya diikat oleh sebuah perjanjian yang berat. Gue pun turut senang berada di antara mereka. Menyaksikan seorang sahabat yang mengakhiri masa lajangnya adalah sebuah kebahagiaan karena mereka kini tidak lagi menjadi objek bully nomer satu mewakili kaum jomblo :D.
Namun tak ada hadiah dan persembahan seorang sahabat kecuali doa yang mengiringi sebuah pernikahan. Lebih-lebih doa yang saudaranya sendiri tidak tahu jika ia sedang didoakan. Congratulation my best buddy¸ now you are a real man.
Acara Resepsi pun tak kalah heboh :D.
#18 Yenni Arista
Mei 31, 2014 § Tinggalkan komentar
Kelang beberapa pekan selepas gue menyebarkan undangan pernikahan, terdengar desas-desus bahwa ada seorang lagi classmate yang akan melaksanakan pernikahan di waktu yang berdekatan. Gue mencoba mengingat kembali, apa iya gue pernah membuat sayembara nikah massal.
Seperti biasa, berita seperti ini paling menarik buat diinvestigasi. Berbekal predikat makhluk terkepo dalam ajang Kepo Award, gue langsung mencari tau secara detail perihal keabsahan informasi tersebut. Gue pengen membudayakan tabayyun, konfirmasi kebenaran suatu berita. Ngeles aja lo, tong!
Tanpa perlu menunggu album baru Pak SBY rilis, gue langsung japri dia yang pertama kali menyebarkan informasi tersebut.
“Eh, emang Marshanda beneran cerai sama Ben Kasyafani?”
“Iya beneran”
“Ih sayang banget, padahal ben kasyafani teh salah satu ben favorit aku”.
“Itu band (ben) woi. Dasar jepitan rambut. Lagian kenapa tiba-tiba nanyain hubungan Marshanda-Ben ke gue. Gue kenal mereka aja kagak”.
“Iya yak. Sori, tadi otak gue ketinggalan sesendok di kosan. Gue mau nanya, temen kita yang bakalan nikah habis gue, siapa?”
“Ah, kepo deh lo. Ntar aja. Nunggu doi nyebar undangannya. Baru deh lo tanya ke gue siapa yang mau nikah”.
Gue sudah duga, pasti temen gue ini ga bakalan ngasih jawaban dengan mudahnya. Setelah gue paksa, gue cambuk lalu gue setrum pake SUTET, baru dia ngasih jawaban.
Ternyata temen gue yang beroleh gelar ke 18 adalah Yenni Arista. Doi menikah seminggu setelah gue. Sekali lagi gue tekankan, gue ga janjian. Kalo misalkan pernikahan kami yang kelang seminggu ini mengundang respon tidak memuaskan dari media massa, kami bisa apa. Sungguh, ini bukan skenario. Tolong kameranya dijauhkan dari wajah saya. *Kemudian ditabok massa*.
Yenni Arista, dulu kami suka memplesetkan namanya menjadi Yenni Daratista. Meskipun dia ga bisa joget ngebor dan juga tidak mempunyai bisnis karoke keluarga di setiap sudut mall. Suaminya mirip Adam Suseno? Hmmm.. kumisnya mungkin!
Semasa SMA, Yenni melekat dengan anggota Pasukan Pengibar Bendera (Paskibra). Sebagian besar riwayat organisasinya dihabiskan dengan latihan baris-berbaris, latihan baris-berbaris dan latihan baris-berbaris. Sori, gue ga tau yang dilakuin sama Paskibra selain baris-berbaris.
Tidak jarang Yenni mendapatkan tugas untuk berada di posisi tengah dalam formasi Paskibra saat upacara bendera. Ia diapit oleh dua orang pria di kanan dan kirinya. Formasi yang sangat pas mengingat lawan yang dihadapi adalah Barcelona.
Semasa SMA, Yenni mempunyai seorang soulmate bernama Silvia Prihety. Mereka bagai pinang dibelah kampak. Tidak terpisahkan bagai Dora dan monyetnya :D. Ya, Silvia Prihety juga mengambil peran di keanggotaan Paskibra. Tidak hanya itu, bentuk potongan rambut dan ikalnya pun sama. Gue sempet curiga mereka adalah kembar identik yang tidak mirip.
Yenni dan Silvi juga memiliki kesamaan lain. Mereka datang dari satu “geng” semasa SMP. Kalo tidak salah namanya adalah P6. Tentu saja mereka bukan Power Puff Girl dikali 2, atau seven Icon minus vanilla (mak, apal gini).
Karena ingetan gue mulai pudar seiring dengan ketidakjelasan hubungan Raffi Ahmad dan Nagita Slavina, gue merasa perlu mendapatkan tambahan informasi tentang yenni. Gue pun menginterogasi seseorang yang terkenal akrab dengan Yenni. Panggil saja namanya Bambang meskipun dia tak berjakun.
Berdasarkan hasil diskusi gue dengan Bambang, gue mendapatkan informasi baru. Menurut Bambang, Yenni itu penuh integritas. Selalu mengutamakan kepentingan rakyat di atas kepentingan individu. Dia ga pernah sekalipun mengeluh dengan tugas negara yang diembannya. Oleh sebab itu, Bambang mendukung Yenni menjadi Palembang 1.
“Bang, please. We’re not talking about governor election”
Menurut Bambang, Yenni pernah terjatuh dari motor sebelum berangkat ke sekolah. Kaki dan tangannya lecet dan luka. Perih sih. Tapi lebih perih kalo hubungan yang digantung… eaaa. Gegara terjatuh, rok yenni sobek namun ia tetep bela-belain ke sekolah karena harus mengikuti ujian biologi. Setelah ujian selesai, sakitnya baru terasa.
Masih menurut Bambang, Yenni juga sangat jarang sarapan. Jadi pas jam istirahat, dia langsung loncat dari lantai 2 menuju kantin sekolah.
Untuk semua hal yang berbau khas Palembang yang melekat pada Yenni, kami menyematkan panggilan ‘cek’ untuknya. Sebuah panggilan untuk perempuan yang dihormati atau dituakan. Rumah Yenni adalah salah satu tujuan terbaik untuk dikunjungi selama idul fitri. Kalian bisa makan pempek, model dengan citarasa Palembang yang sangat menggiurkan. Selain itu, kalian juga akan mendapati tenunan songket dan corak kebudayaan Palembang terpajang dengan rapih di dinding rumahnya.
Selepas sekolah menengah atas, Yenni melanjutkan kuliahnya di fakultas kedokteran Universitas Sriwijaya. Dan kini doi sudah mendapatkan gelar ‘dokter’ tersemat di depan namanya.
Yenni akhirnya menikahi seorang pria bernama Ahmad Hakim. Alhamdulillah. Selamat ya Yenni. Kamu beroleh gelar ke-18.
#16 Muhammad Fachrie
Februari 20, 2014 § Tinggalkan komentar
Gue menuliskan kisah ini di bawah tekanan hebat. Orang yang namanya menjadi judul tulisan terus menerus memaksa untuk meninggalkan kisahnya di blog gue yang imut dan sederhana. *Tetot, majas litotes!*.
Gue pun menulis di bawah todongan pistol dan senapan mesin. Entah perasaan apa yang menjalar, untuk beberapa saat gue merasakan sensasi menjadi penulis yang dinanti-nanti karyanya namun di satu sisi keselamatan gue terancam. Lebay, tong.
Gue mulai dari mana ya… Hmmm!!
Suatu hari di sebuah sekolah menengah atas, terlihat beberapa orang pemuda dengan rona wajah yang ceria, baju rapih terselip ke dalam celana, bekas air wudhu masih membasahi rambut dan sela sela jari. Sambil mengibaskan rambut hingga percikan air tersebar kemana-mana, mereka serentak bersorak “ketombe, siapa takut?”
Para pemuda ramah ini tengah mencoba mengharmonisasi suara untuk turut serta dalam lomba nasyid di salah satu SMA di pojok Kota Palembang. Perlahan tapi pasti, salah seorang siswa yang mengenakan kacamata bersiap mengambil nada dan mengeluarkan cengkok mautnya saat secara tiba-tiba salah seorang personel menginterupsi tanpa perlu menunggu sidang pleno DPR. Sontak saja, vokalis dan anggota tim yang lain sewot dan bertanya-tanya kenapa ada interupsi di saat lagu akan mulai dinyanyikan.
“Gue ga mau jadi perkusi. Gue maunya jadi Elang”
“Hah, perkusi? perkutut maksud lo? Jangkrik, jauh banget!”
“Garing ye? Hahaha.. biarin aja dah. Maksud gue, gue ga mau jadi perkusi alias akapelis di grup nasyid ini. Gue maunya jadi vokalis biar eksis dan bisa dilihat orang-orang. Gimana menurut kalian?”.
Gue pelan-pelan memandang pemuda ini. Sambil mengernyitkan dahi, gue spontan bilang
“Kalo aku sih oke aja. Ga tau kalo Mas Dani dan Mas Anang”.
Alamak, anak satu ini pengen dijitak. Interupsi di tengah latihan cuma buat menyampaikan hal yang peluang terwujudnya sama kayak peluang Meyda Safira nikah sama gue. Nol besar. Hampir saja latihan nasyid tersebut berubah menjadi latihan menguliti siswa. Untungnya kami tengah berada di musola. Alarm di balik hijab jauh lebih mengerikan daripada apapun. Akhwat-akhwat akan berkicau “afwan akhi, ada yang lagi sholat” jika ada sedikit saja kegaduhan di area ikhwan.
Personel nasyid yang tega-teganya menginterupsi latihan demi menyerukan aspirasi yang geje kami pangggil dengan Emon. Eh maaf, Muhammad Fachrie maksud gue.
Jangan banding-bandingin Fachrie temen gue dengan Fahri yang membuat Maria serta Aisyah jatuh cinta ye. Kalian akan kecewa!. *Kabur sebelum ditampol*
Sebut Saja Mawar Fachrie. Pria jangkung yang sangat menyukai dunia per-IT an. Sejak masuk SMA, dia langsung bergabung dengan salah satu organisasi sekolah yang memfasilitasi siswanya untuk mengenal jauh programming, hardware, software dan kroco-kroconya.
Semasa SMA, Fachrie adalah anak yang konyol atau bahasa inggrisnya “ucak-ucak”. Dengan mudahnya, tanpa menunggu komando dari batalyon atau resimen mahasiswa, ia bisa sekonyong-konyong membahas tentang pempek, pempek rasa ayam, dimana ada penjual pempek, saat yang lain tengah berdiskusi tentang gerak lurus berubah beraturan. Kami pun hanya bisa menerka apa yang terjadi dengan anak ini. Apakah aliran informasi ke otaknya sudah tersumbat oleh cuka pempek. Atau jangan-jangan, ia tengah berfantasi, berada di dunia paralel yang berisi pempek-man, iron-pempek, spiderpempek dan galau membedakan dunia nyata dan alam pempek fantasinya.
Orientasi fachrie dengan pempek sudah sampai pada tahap mengkhawatirkan. Jika discan dengan MRI, gue khawatir dia mengalami delusi akut. Pempek seolah mensekresikan oksitosin yang membuat dia nyaman.. haha.
Keanehan Fachrie tidak berhenti sampai di sini. Setiap kali makan siang, gue dan temen-temen menempuh jarak yang cukup jauh. Dua kali bolak-balik perjalanan Tong Sam Cong dan Sun Go Kong mencari kitab ke barat. Resiko tersebut harus ditempuh demi mendapatkan harga yang pas dengan kantong kami sebagai siswa SMA yang kere.
Dengan jarak tempat makan yang berada di seberang sekolah, kami harus melalui jembatan dan area yang terpapar oleh sinar matahari. Di sinilah kita bisa menemukan betapa uniknya seorang Hamba Allah bernama MUHAMMAD FACHRIE.
Berasa seorang count drakula, Fachrie selalu berusaha menghindari sinar matahari yang menyinari tubuhnya. Entah dengan alasan kulitnya bisa berfotosintesis lalu perlahan menguap menyisakan Fachrie dan tulangnya atau ia takut kulitnya menjadi semakin gelap. Dia lupa bahwa Vas*line sudah melakukan inovasi dengan SPF 46 yang mencegah radiasi kulit dan memperlambat penuaan *bukan blog berbayar*.
Nah, kalian mungkin bisa membayangkan bagaimana perasaan kami. Saat terkena sinar matahari, Fachrie perlahan bersembunyi di balik bangunan menjulang sambil lari berjinjit dan menutupi kepala dan wajahnya dengan tangan. Jika kondisi sudah begini, gue juga yang kesulitan buat memberikan klarifikasi kepada wartawan-wartawan.
Semasa SMA, Fachrie adalah salah satu pentolan ROHIS dan Nasyid SMA 3. Dia juga berada pada kondisi intelektual yang tidak berbeda jauh dengan gue. Kami berada pada kelas bulu terbang. Selama tiga tahun setia duduk sebangku dengan Hafizzanovian. Sangat mengidolakan Sheila On 7. Saking ngefansnya, dia bisa memainkan beberapa melodi lagu SO7 serta mengimitasi sosok Eros. Kurusnya sama broo!.
Oh iya, Gue hampir lupa. Fachrie juga kerap kali dipanggil dengan “nyit-nyit”. Wallahu ‘alam kenapa panggilan yang awckward tersebut bisa tersematkan, hanya Fachrie dan ibu peri yang tau. Yang jelas kami nyaman memanggil fachrie dengan nyit-nyit bahkan sampai saat ini.
Seusai menempuh pendidikan di sekolah menengah atas, doi melanjutkan kuliah ke Institut Teknologi Telkom, Bandung. Di kampus inilah Fachrie mampu memaksimalkan segenap potensinya. Dia melejit dengan menorehkan berbagai prestasi dan yang paling utama, anak yang semasa SMA nya jauh dari kesan serius, mampu bertransformasi menjadi pemuda soleh yang merengkuh jabatan sebagai Sekjen LDK di kampusnya. Wow, sebuah prestasi yang luar biasa. Bener-bener gambaran perubahan yang keren bingits.
Setiap kali berkunjung ke IT Telkom, Gue sering bertemu doi tengah ngadem di masjid kampus entah sebagai jamaah atau menemukan Fachrie sedang berebut tajil sambil sikut-sikutan dengan bocah sekitaran Dayeuh Kolot. Aura Fachrie (bukan aura kasih) nampak berubah. Dia terkesan lebih dewasa dan gosong matang dengan pemahaman keagamaan yang semakin baik.
Selesai kuliah, Fachrie tidak serta merta memutuskan untuk bekerja. Ia lebih memilih melanjutkan pendidikan tentang Artificial Intelligence di kampus UGM. Belum sempat menyelesaikan studinya, Fachrie sudah diterima menjadi dosen di tempat ia meraih gelar sarjana. Dia kebagian jatah untuk mengisi posisi dosen ilmu pempek dan percuka-an. Hahhaa.
Januari 2014, Fachrie mempersunting seorang Gadis Jawa yang Ayahnya merupakan salah seorang Guru Besar di UGM. Gadis ini sempat menempuh kuliah di Institut Teknologi Bandung. Kisah cinta Fachrie sungguh unik jika dirunut. Kuliah di Bandung, Nyari jodoh di Bandung, melanjutkan kuliah di jogja, jodohnya orang Jogja. Sungguh (bukan) sebuah kebetulan.
Selamet akhe, ente meraih gelar ke-16 member IPA A yang sudah menikah dan yang ketiga di antara para jejaka.