Toleransi Umar
Juli 26, 2017 § Tinggalkan komentar
Jika barometer toleransi abad 20 ini dideteksi di setiap penjuru dunia, maka Jerussalem mungkin adalah yang terburuk.
Pada akhir tahun 1987 saya sempat berkunjung ke kota Jerussalem lama. Kota kuno di atas bukit yang dikelilingi tembok raksasa itu menyimpan tempat suci utama tiga agama. Ketiganya adalah Masjid al-Aqsa, Wailing Wall (Dinding Ratapan) dan Gereja Holy Sepulchre (Kanisat al-Qiyamah). Di zaman modern tempat ini adalah daerah konflik yang paling menegangkan di dunia.
Ketika menapaki jalan-jalan di kota tua itu banyak perisiwa menegangkan. Saya menyaksikan seorang pendeta Katholik dan seorang rabbi Yahudi saling memaki dan sumpah serapah, nyaris saling bunuh.
Di lorong-lorong pasar saya melihat ceceran darah segar Yahudi dan Palestina. Di pintu masuk dinding ratapan saya bertemu seorang Yahudi Canada. Dengan pongah dan percaya diri dia teriak, “I come here to kill Muslims”. Di pintu gerbang masjid Aqsa, seorang tentara Palestina menangis selamatkan masjid al-Aqsa! Selamatkan masjid al-Aqsa!.
Namun jika deteksi toleransi itu dialihkan abad ke 7 dan seterusnya mungkin Jerussalem justru yang terbaik. Setidaknya sejak Muslim memimpin dan melindungi kota ini. Jika kita menelurusi lorong via dolorosa menuju Gereja Holy Sepulchre orang akan tersentak dengan bangunan masjid Umar. Masjid Umar itu terletak persis didepan gereja yang diyakini sebagai makam Jesus. Di situ semua sekte berhak melakukan kebaktian. Melihat lay-out dua bangunan tua ini orang akan segera berkhayal “ini pasti lambang konflik dimasa lalu”. Tapi khayalan itu ternyata salah. Fakta sejarah membuktikan masjid itu justru simbol toleransi.
Sejarahnya, umat Islam dibawah pimpinan Umar ibn Khattab mengambil alih kekuasaan Jerussalem dari penguasa Byzantium pada bulan Februari 638. Mungkin karena terkenal wibawa dan watak kerasnya Umar memasuki kota itu tanpa peperangan. Begitu Umar datang, Patriarch Sophronius, penguasa Jerussalem saat itu, segera “menyerahkan kunci” kota.
Syahdan diceritakan ketika Umar bersama Sophronius menginspeksi gereja tua itu ia ditawari shalat di dalam gereja. Tapi ia menolak dan berkata: “jika saya shalat di dalam, orang Islam sesudah saya akan menganggap ini milik mereka, hanya karena saya pernah shalat disitu”.
Umar kemudian mengambil batu dan melemparkannya keluar gereja. Ditempat batu itu jatuh ia kemudian melakukan shalat. Umar kemudian menjamin bahwa Gereja Holy Sepulchre tidak akan diambil atau dirusak pengikutnya, sampai kapanpun dan tetap terbuka untuk peribadatan umat Kristiani. Itulah toleransi Umar.
Toleransi ini kemudian diabadikan Umar dalam bentuk Piagam Perdamaian. Piagam yang dinamakan al-‘Uhda al-Umariyyah itu mirip dengan piagam Madinah. Dibawah kepemimpinan Umar non-Muslim dilindungi dan diatur hak serta kewajiban mereka.
Piagam itu di antaranya berisi sbb: Umar amir al-mu’minin memberi jaminan perlindungan bagi nyawa, keturunan, kekayaan, gereja dan salib, dan juga bagi orang-orang yang sakit dan sehat dari semua penganut agama. Gereja mereka tidak akan diduduki, dirusak atau dirampas. Penduduk Ilia (maksudnya Jerussalem) harus membayar pajak (jizya) sebagaimana penduduk lainnya; dan seterusnya.
Sebagai ganti perlindungan terhadap diri, anak cucu, harta kekayaan, dan pengikutnya Sophorinus juga menyatakan jaminannya. “kami tidak akan mendirikan monastery, gereja, atau tempat pertapaan baru dikota dan pinggiran kota kami. Kami juga akan menerima musafir Muslim kerumah kami dan memberi mereka makan dan tempat tinggal untuk tiga malam… kami tidak akan menggunakan ucapan selamat yang digunakan Muslim; kami tidak akan menjual minuman keras; kami tidak akan memasang salib … di jalan-jalan atau di pasar-pasar milik umat Islam”. (lihat al-Tabari, Tarikh al-Umam wa al-Muluk; juga History of al-Tabari: The Caliphate of Umar b. al-Khattab Trans. Yohanan Fiedmann, Albany, 1992, p. 191).
Bukan hanya itu. Salah satu poin dalam Piagam itu melarang Yahudi masuk ke wilayah Jerussalem. Ini atas usulan Sophorinus. Namun Umar meminta ini dihapus dan Sophorinus pun setuju. Umar lalu mengundang 70 keluarga Yahudi dari Tiberias untuk tinggal di Jerussalam dan mendirikan synagogue. Konon Umar bahkan mengajak Sophorinus membersihkan synagog yang penuh dengan sampah. Itulah toleransi Umar.
Piagam Umar ternyata terus dilaksanakan dari sau khalifah ke khalifah lainnya. Umat Islam tetap menjadi juru damai antara Yahudi dan Kristen serta antara sekte-sekte dalam Kristen. Ceritanya, karena sering terjadi perselisihan antar sekte di gereja Holy Sepulchre tentara Islam diminta berjaga-jaga di dalam gereja. Sama seperti Umar, para tentara juru damai itu pun ditawari shalat dalam gereja dan juga menolak. Untuk praktisnya mereka shalat dimana Umar dulu shalat.
Di tempat itulah kemudian Salahuddin al-Ayyubi pada tahun 1193, membangun masjid permanen. Jadi masjid Umar inilah saksi toleransi Islam di Jerussalem.
Namun, kini Jerussalem yang damai tinggal cerita lama. Belum ada jalan kembali menjadi kota toleransi. Lebih-lebih makna toleransi seperti dulu sudah mati oleh liberalisasi. Umar maupun Sophorinus tidak mungkin akan dinobatkan menjadi “Bapak pluralisme”. Sebab menghormati agama orang lain kini tidak memenuhi syarat toleransi. Toleransi kini ditambah maknanya menjadi menghormati dan mengimani kebenaran agama lain. Tapi “ini salah” kata Muhammad Lagenhausen. Kenneth R. Samples, pun sama “Ini penghinaan terhadap klaim kebenaran Kristen”. Biang keladinya adalah humanis sekuler yang ateis dan paham pluralisme agama (The Challenge of Religious Pluralism, Christian Research Journal). Bagi saya toleransi model pluralisme ini adalah utopia keberagamaan liberal yang paling utopis.
Paulus dan Abdullah bin Sabaa
Februari 20, 2015 § Tinggalkan komentar
Alkisah, seorang Yahudi begitu bersedih. Dari ketiga putranya, yang bungsu pindah agama menjadi seorang Kristen. Dia termenung di sinagog besar, mengadu pada YHWH, Tuhannya. ”Tuhan, mengapa Kau biarkan salah satu anakku memasuki jalan sesat dengan menjadi seorang Kristen..” Pengaduannya terputus, tiba-tiba ia mendengar sebuah suara entah dari mana. ”Mendingan juga kamu, anak masih dua yang beriman. Lha Aku, anakKu satu-satunya saja masuk Kristen dan jadi Tuhan di sana..”
Adalah Gus Dur, yang pernah meriwayatkan guyon yang sebenarnya sensitif ini dengan amat smooth.
The first Christian. Begitulah Karen Armstrong menyebut Paulus. Lalu Yesus? Jelas, tulis Armstrong, Yesus seorang Yahudi. Dia lahir sebagai Yahudi, hidup sebagai Yahudi, dan –menurut Armstrong- mati sebagai Yahudi. Menelaah setiap kalimat yang keluar dari Yesus –sementara begitu saja saya menyebutnya-, dan membandingkannya dengan apa yang ‘dikredokan’ oleh Paulus sebagai pondasi besar kekristenan membuat terperangah. Keduanya selalu bertolak belakang.
Lukas 16:17 mencatat kata-kata Yesus, “Lebih mudah langit dan bumi lenyap daripada satu titik dari hukum Taurat batal.” Matius 5:17-18 juga mencatat, “Janganlah kamu menyangka bahwa Aku datang untuk meniadakan hukum Taurat atau kitab para Nabi. Aku datang bukan untuk meniadakannya melainkan untuk menggenapkannya. Karena aku berkata kepadamu, ‘Sesungguhnya selama belum lenyap langit dan bumi, satu iota atau satu titikpun tidak akan ditiadakan dari hukum Taurat, sebelum semuanya terjadi.” Sementara Yohannes 7:49 mencatat, “Tetapi orang banyak ini yang tidak mengenal hukum Taurat, terkutuklah mereka!”
Itu Yesus. Apa kata Paulus? Beda lagi. Dalam I Korintus 15:56, Paulus mengatakan, ”Sengat maut adalah dosa. Dan kuasa dosa adalah hukum Taurat.” Dalam Roma 4:15, ia berpandangan, ”Karena hukum Taurat membangkitkan murka, tetapi di mana tidak ada hukum Taurat, di situ tidak ada juga pelanggaran.”
Setelah beropini bahwa hukum Taurat itu menyusahkan, Paulus berkata dalam Roma 7:6, ”Tetapi sekarang kita telah dibebaskan dari hukum Taurat, sebab kita telah mati bagi dia yang mengurung kita, yang sehingga kita sekarang melayani dalam keadaan baru menurut Roh dan bukan dalam keadaan lama menurut huruf hukum Taurat.” Sebelumnya, dalam Roma 6:14, Paulus mengatakan, ”Sebab kamu tidak akan lagi dikuasai oleh dosa, karena kamu tidak berada di bawah hukum Taurat, tetapi di bawah kasih karunia.” Puncaknya, sambil menanamkan doktrin ketuhanan Yesus, Paulus berkata dalam Efesus 2:15, ”Sebab dengan matiNya sebagai manusia, Ia telah membatalkan hukum Taurat dengan segala segi dan ketentuannya.”
Beberapa contoh kecil ini cukup membuat orang berkesimpulan, jika Yesus adalah Kristus, maka Paulus adalah Anti-Kristus. Bagaimana bisa Paulus, aslinya bernama Saul, seorang Yahudi dari Tarsus yang sebelumnya dikenal sebagai penganiaya murid-murid Yesus itu bisa memutar balik semua dasar kekristenan?
Karen Armstrong mencatat dalam The Spiral Staircase, My Climb Out of Darkness, setelah penelusurannya bertahun-tahun terhadap sejarah awal kekristenan, ”..Saya kini mengetahui bahwa surat-surat rasul Paulus merupakan dokumen Kristen paling awal yang masih ada dan bahwa Injil, yang semuanya ditulis bertahun-tahun setelah kematian Paulus sendiri, ditulis oleh orang-orang yang telah mengadopsi versi Kristennya Paulus. Bukannya Paulus menyimpangkan Injil, tetapi –lebih dari itu-, Injil-lah yang justru memperoleh visinya dari Paulus..”
Maka kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang menulis Al Kitab dengan tangan mereka sendiri, lalu dikatakannya: “Ini dari Allah”, (dengan maksud) untuk memperoleh keuntungan yang sedikit dengan perbuatan itu. Maka kecelakaan besarlah bagi mereka, akibat dari apa yang ditulis oleh tangan mereka sendiri, dan kecelakaan besarlah bagi mereka, akibat dari apa yang mereka kerjakan. (QS Al Baqarah [2]: 79)
Awalnya, inilah agama yang ditindas di seantero Imperium Romanum. Hingga, Konstantin, Kaisar cerdik itu membutuhkan stabilitas di negerinya yang mau tak mau harus dimulai dari perangkulan terhadap komunitas Kristen yang makin membesar. Atas prakarsanya, Konsili Nicea di tahun 327 M memvoting dasar-dasar kekristenan tentang ketuhanan Yesus, dosa waris, dan penebusan dosa. Semuanya hanyalah paganisasi sebagaimana dikehendaki oleh Konstantine. David Fiedler memberi sampul bukunya Ancient Cosmology and Early Christian Symbolism dengan tulisan plesetan dominan ”Jesus Christ, Sun of God.” Ya, karena semua yang diatributkan pada Yesus, -dari tanggal lahir, tempat lahir, hingga hari ibadah Sunday-, adalah atribut Sol Invictus, dewa matahari yang dipuja Konstantin.
Maka, walk out-lah Arius, Imam Alexandria dan pengikutnya yang tetap bersikukuh meyakini kenabian Yesus. Dia dan pengikutnya kemudian di-ekskomunikasi, ditindas, dan dibantai oleh para pengganti Konstantin yang telah mengambil hasil konsili sebagai agama negara. Maka ketika Rasulullah Muhammad menulis surat untuk Heraclius, kaisar Romawi di masanya, beliau tak lupa untuk menuliskan kalimat, “..Masuklah Islam, niscaya Allah akan melimpahkan kebaikan kepada tuan dua kali lipat. Namun jika tuan berpaling, maka tuan akan menanggung dosa atas Arisiyin..” Arisiyin berarti para pengikut Arius yang dipersekusi.
Unik juga. Modus operandi yang sama, dicobakan seorang Yahudi lain kepada agama Islam yang dibawa Muhammad Shallallaahu ’Alaihi wa Sallam. Namanya ’Abdullah ibn Sabaa. Tetapi ia tak sesukses Paulus. Ia hanya berhasil membangun sebuah sistem kepercayaan yang di kemudian hari disebut sebagai Syi’ah. Jika objek Paulus adalah diri Yesus, maka ’Abdullah ibn Sabaa menggunakan ’Ali ibn Abi Thalib.
Al Qadhi Abu Ya’la ketika menjelaskan fitnah besar yang melanda kaum muslimin di masa khilafah ’Ali ibn Abi Thalib menyebut dengan jelas peran ’Abdullah ibn Sabaa. Satu kisahnya yang terkenal, ketika ’Ali dan pasukannya memasuki ’Iraq pasca tahkim (arbitrase), ’Abdullah menghasut sekelompok orang untuk bersujud pada ’Ali, yang disebutnya sebagai ’Pemegang washiat Nabi, orang yang dipilih untuk menggantikan beliau, imam junjungan kaum beriman, manifestasi Allah di muka bumi’.
Ketika mendapati orang-orang itu sujud, ’Ali sangat marah dan memerintahkan untuk membakar mereka. Maka ’Abdullah ibn Sabaa kembali beraksi, ”Aku telah mendengar hadits dari Nabi Shallallaahu ’Alaihi wa Sallam bahwasanya beliau bersabda, ”Tidak akan menyiksa dengan api kecuali Allah.” Adakah kita kenal ’Ali selain sebagai sosok ini?”
Inilah dasar bagi salah satu sekte paling ekstrim dalam Syi’ah; semisal Kaisaniyah, yang sampai menempatkan kedudukan ’Ali sebagai manifestasi Allah. Guntur adalah geramnya, dan halilintar adalah cambuk ’Ali yang murka pada para durjana. Tentu saja kerahasiaan keyakinan yang terlindungi oleh taqiyyah menyebabkan munculnya berbagai aliran Syi’ah yang sangat banyak dari yang paling moderat hingga paling ekstrim. Spektrum ajaran ini amat lebar, dari Zaidiyah di Yaman yang amat dekat dengan Ahlus Sunnah hingga Bathiniyah Nushairiyah di Suriah yang amat jauh.
Munculnya Syi’ah sama sekali bukan bersebab faktor tunggal. Sintesis antara ajaran ‘Abdullah ibn Sabaa dengan kezhaliman yang dialami keturunan Sayyidina ‘Ali, kelak ditambah faktor ketiga yang amat dominan; dendam Persia.
Leopold Weiss, Yahudi Polandia yang mengganti namanya menjadi Muhammad Assad setelah meraih hidayah mengisahkan perjalanannya di Iran dalam The Road to Mecca. Alangkah kontrasnya kegembiraan dan keriangan khas suku-suku Arab gurun yang ditemuinya di Hijjaz dan Najd dengan kemurungan dan kesayuan yang menjadi lekatan di wajah orang-orang Iran. Secara fisik mereka gagah, tapi tidak tegap. Kesedihan yang parah. Seolah mendung selalu bergayut di raut muka itu. Ada apa ini? Adakah hubungannya dengan perayaan ratap duka yang senantiasa mereka lakukan di tanggal 10 Muharram untuk mengenang syahidnya Husain di Karbala?
Ya. Tepatnya bukan hubungan sebab akibat, tapi sama-sama akibat. Akibat dari sebuah shock budaya dan shock peradaban. Sebuah frustrasi atas kekalahan peradaban mereka yang begitu agung dalam memori, peradaban Imperium Persia Sassaniyah. Ketika angkatan perang Khalifah ’Umar dipimpin Sa’d ibn Abi Waqqash menklukkan kekaisaran ini dan sekaligus membawakan Islam, kultus Zoroaster telah memasuki palung kebekuan, sehingga ia tak mampu melakukan perlawanan terhadap ide dinamis baru dari jazirah Arab. Peremajaan sosial dan intelektual yang sedang berkecambah di titik balik itu tiba-tiba larut oleh serbuan kekuatan baru yang sungguh-sungguh berbeda.
Islam hadir menghancurkan sistem kasta bangsa Iran kuno dan menghadirkan satu sistem sosial yang egaliter dan bebas. Islam membuka celah baru bagi berkembangnya energi-energi kebudayaan yang sejak lama menggelegak diam tak tentu bentuknya. Tetapi kultus keagungan keturunan Darius dan Xerxes yang tak serta merta terpinggir, seolah diputus, dipenggal antara hari kemarin dan esok. Hari ini, oleh Islam. Suatu bangsa yang memiliki watak begitu halus, telah mendapatkan ekspresinya dalam dualisme asing agama Zand dan pemujaan pantheistis terhadap keempat unsur –udara, air, api, dan tanah-, kini dihadapkan pada kesederhanaan Islam dengan monotheisme tak kenal kompromi. Peralihan itu, kata Assad, terlalu tajam dan perih.
Lebih dari itu, ada perasaan terpendam mendalam ketika mereka mengidentikkan kemenangan cita Islam sebagai kekalahan peradaban mereka. Perasaan sebagai bangsa yang dikalahkan dan kehancuran tak kenal ampun terhadap wadah warisan peradaban mereka memperparah keberantakan mereka, sehingga Islam, yang bagi bangsa-bangsa lain adalah pembebasan dan rangsang kemajuan, menjadi sebuah kerinduan supernatural dan simbolik yang samar.
Syi’ah, yang digarap ’Abdullah ibn Sabaa menawarkan sesuatu yang lebih dekat dengan masa lalu jiwa-jiwa kalah ini. Doktrin mistik, manifestasi Tuhan dalam jasad-jasad terpilih yang agung, kesemuanya disambut sebagai jalan tengah untuk Islam yang lebih ’ramah’ terhadap kejiwaan dan kemasyarakatan mereka. Syi’ah, yang hampir menyerupai pendewaan terhadap ’Ali dan keturunannya itu, menyembunyikan cita benih inkarnasi dan penjelmaan kembali terus menerus. Ini suatu cita yang sangat asing bagi Islam, tetapi sangat akrab bagi kalbu bangsa Iran. Syi’ah menawarkan ratap duka atas Husain sebagai cermin kepedihan atas kekalahan jiwa yang telah terjadi saat ’Umar menaklukkan peradaban lama mereka. Begitu seterusnya.
Dulu kita bertanya, mengapa Husain lebih diratapi daripada Al Hasan, atau bahkan ‘Ali? Mereka sama-sama terbunuh terzhalimi. Terlepas bahwa pembunuhan Husain memang tampak lebih dahsyat kezhalimannya, tapi ternyata Muharram punya makna tersendiri. Sepuluh Muharram bukan hanya tanggal terbunuhnya Husain. Pada tanggal yang kurang lebih sama di tahun 14 H, demikian menurut Saif ibn ‘Umar At Tamimi sebagaimana dikutip Ibn Katsir dalam Al Bidayah wan Nihayah, pasukan Sa’d ibn Abi Waqqash yang diutus ‘Umar ibn Al Khaththab untuk Futuhat Persia menghancurkan pasukan agung Imperium Sassaniyah di bawah pimpinan Rustum Farrakhzad di Qadisiyah. Muharram bukan cuma duka untuk Husain, ia juga ratapan untuk sebuah kekalahan yang takkan dilupakan.
Kini mudah menjawab, mengapa meski Syi’ah membenci Abu Bakr, ’Umar, dan ’Utsman sebagai perampas hak ’Ali, kebencian itu dibidikkan lebih ganas kepada ’Umar. ‘Hadits-hadits’ yang dikarang untuk menista ‘Umar sampai pada tingkat keterlaluan hingga risi menyebutnya. Mengapa bukan Abu Bakr si ’perampas’ pertama? Barangkali, karena ’Umarlah yang meleburkan kebanggaan psikologis bangsa Iran itu, sesuatu yang diterakan dalam jiwa sebagai kenangan pahit; Imperium Sassaniyah Persia.
Dan ’Umar pun, Allah ridha padanya, syahid di mihrab, di tangan seorang budak Persia bernama Firouz.
Buah karya Ustad Salim A. Fillah