Akunmu adalah Asetmu

Juni 8, 2014 § Tinggalkan komentar

american revolution collage 1Pada suatu petang tanggal 18 April 1775, Paul Revere mendapatkan informasi dari seorang pemuda yang bekerja di sebuah tempat penyewaan kuda di Boston bahwa tentara Inggris akan segera melakukan serangan ke Lexington, barat daya Boston, untuk menangkapi para pimpinan milisia kemerdekaan seperti Samuel Adams dan John Hancock. Paul Revere menanggapinya dengan serius dan kemudian mengajak sahabatnya Joseph Warren untuk menyebarkan informasi tersebut ke seluruh penjuru Boston.

Upaya untuk menyebarluaskan berita serangan Inggris ternyata tidak mudah. Paul Revere dan Joseph Warren harus menaiki feri lalu dilanjutkan dengan perjalanan malam selama dua jam menggunakan kuda menuju Lexington. Di kota-kota yang disinggahi sepanjang perjalanan, mereka mengetuk pintu setiap rumah dan meminta mereka menyebarkan informasi ke semua pejuang kemerdekaan. Berita tersebut kemudian tersebar dengan cepat hingga pada pagi tanggal sembilan belas April, kedatangan tentara Inggris sudah disambut oleh pejuang kemerdekaan Amerika. Tentara inggris kalah telak dan peristiwa ini menjadi awal revolusi Amerika.

Cerita di atas diambil dari bab awal buku Tipping Point karya Malcolm Gladwell. Penulis dalam karyanya mengurai tentang orang-orang yang mempunyai kemampuan untuk menyebarkan berita hingga menjadi viral.

Sehebat dan secepat apapun kemampuan Paul Revere dalam menyebarkan berita, ia tetap terkendala oleh jarak. Jarak tempuh yang dilalui dari Boston menuju Lexington tidak kurang dari 1,487 km. Hebatnya, tidak sampai 24 jam, informasi sudah dapat tersebar di seluruh kota yang dilalui. Padahal peristiwa tersebut terjadi pada akhir abad 18 saat media elektronik dan media sosial belum lahir. Bayangkan jika Paul memiliki akun twitter. Hanya dalam waktu satu menit, informasi serangan inggris dapat tersebar tidak hanya di Amerika bahkan hingga ke seluruh dunia.

“Eh bok bok, Inggris mau nyerang kota kita besok. Tolong infoin ke yang laen ya. Jangan pake lama keleus soalnya serangan inggris bakalan gede gedean bingits”.

Kemajuan teknologi telah memangkas jarak. Dengan segala kemudahan yang ada, kita bisa menjangkau mereka yang dulu sulit dijamah. Informasi dapat tersebar dengan mudah dan cepat. Lebih-lebih keberadaan jejaring sosial semakin melengkapi atribut dalam berkomunikasi. Akun di media sosial kini telah bertransformasi menjadi aset yang sangat berharga.

Anything tangible or intangible that is capable of being owned or controlled to produce value and that is held to have positive economic value is considered an asset (Wikipedia).

Sebagai aset, akun-akun di media sosial dapat dimanfaatkan untuk hal hal positif mulai dari mencari kerja, menemukan kembali orang-orang ‘hilang’ yang pernah ada dalam hidup kita atau bahkan menyampaikan berita agresi seperti yang dilakukan oleh Paul dan Joseph Warren. Namun di sisi lain ia dapat menjadi sebuah pasiva jika kita tidak bijak dalam mengelola. Akun di media sosial juga yang mampu menghilangkan pekerjaan seseorang seperti yang pernah dialami oleh Justin Sacco karena menuliskan kicauan bersifat rasial. Atau yang terjadi pada Benhan yang dipidanakan gegara twitwar yang mengarah pada pencemaran nama baik.

Jika kita berpikir bahwa akun di media sosial merupakan aset maka kita akan menggunakannya dengan hati-hati dan sebijak mungkin. Coba pikirkan dengan baik semua kicauan yang akan diposting. Timbang, apakah dia layak untuk dipublikasikan atau tidak. Apakah ia akan mengkonstruksi sebuah perubahan atau malah berpotensi menjatuhkan.

Mungkin twit-twit atau status kita tidak akan seekstrim itu. Sebagian menggunakan media sosial hanya untuk menghilangkan stress dari kepenatan dan segala hiruk pikuk. Ya tidak masalah sebenarnya. Buat gue pribadi, gue lebih cenderung me-RT atau reshare berita, status, kultwit yang informatif jika dan hanya jika gue sedang tidak ada ide untuk posting sesuatu yang bermanfaat. Tapi sekali-sekali juga perlu meninggalkan status yang tidak terlalu serius biar tidak gampang terserang stroke.

Sebuah status/kicauan dapat tersebar dengan kecepatan melebihi kecepatan cahaya *lebay*. Ia akan bertransformasi menjadi meme atau skrinsut yang kemudian akan beranak pinak di berbagai media sosial mulai dari path, twiter, bbm dan alazakam.. kalian secara mendadak menjadi terkenal. Terkenal dalam konteks positif atau negatif tergantung dengan apa yang ‘diucapkan’.

Mendekati masa pemilihan presiden berulang kali gue melihat meme saling sindir antar capres-cawapres dan para pendukungnya. Media sosial telah menjadi ‘area perang’ antar akun yang mendukung masing-masing capres. Akun jejaring sosial dapat menjadi aset bagi capres A namun justru menjadi liabilitas bagi capres B dan sebaliknya jika dan hanya jika capres-capres tersebut melakukan blunder yang kemudian hari dapat menjadi senjata makan tuan.

Blunder-blunder seperti ini dapat dimanfaatkan oleh lawan politik untuk melakukan negative campaign. Tidak ada yang salah dengan negative campaign karena muatan dalam bentuk kampanye tersebut merupakan kritik moral dan sosial pada masing-masing capres dan pasangannya selama tidak menyinggung isu SARA dan pribadi.

Beberapa meme mengungkapkan tentang kemesraan yang ternoda. Misalkan timses capres A yang dulu mesra dengan Capres B kini malah berbalik memojokkan. Atau yang lebih parah adalah cawapres yang pernah menafikan kemampuan capresnya sendiri saat mereka masih belum bermesraan untuk satu kepentingan.

JK

Coba sedari awal seorang public figure menahan diri untuk tidak mengungkapkan hal-hal negatif tentang orang lain maka mereka tidak akan menahan malu karena menjilat ludahnya sendiri. Kini mereka semua tinggal menikmati serangan dari kubu kompetitor melalui akun media sosial dan media lainnya.

Yah seperti itulah peran media sosial. Akun kita dapat menjadi senjata yang berguna atau malah berbalik menjadi bumerang yang melukai. Hati-hati dengan twit dan statusmu saat ini jika kalian tidak mau malu di masa depan.

Gambar Revolusi amerika sumbernya dari sini
Gambar JK dari sini

Iklan

White Book

Maret 25, 2012 § 2 Komentar

My White book

White book? Buku putih? Buku putih yang gw maksud di sini literally bener-bener buku yang berwarna putih, bukan sebuah istilah atau idiom. Dari sekitar 50 an buku yang ada di lemari kamar kosan di Bandung (belum lagi buku yang dibawa ke Palembang), terdapat beberapa buku favorit gw. Dan buku-buku tersebut memiliki dua kesamaan. Yang pertama sama-sama berwarna putih dan yang kedua semuanya merupakan buku tentang psikologi atau pengembangan diri.

Basically, gw mulai suka baca buku-buku tentang psikologi sejak beli buku karangan Malcolm Gladwell yang berjudul “Blink” yang gw beli tanggal 16 Oktober 2009. Sejak saat itu gw mulai tertarik dengan buku-buku psikologi praktis, bukan teori. Entah kenapa dengan membaca buku-buku psikologi praktis, gw penasaran kenapa sesuatu hal bisa terjadi dari sudut pandang kejiwaan, kenapa ada orang yang punya kemampuan-kemampuan unik. Semuanya dibahas dalam perspektif psikologis. Even further, gw malah terbersit keinginan buat terlibat langsung dengan aktifitas yang berkaitan dengan penelitan dalam scope psikologi atau kejiwaan manusia.

Buat gw, dengan membaca buku-buku psikologi praktis, gw bisa explore lebih jauh kenapa seseorang bertindak, apa yang mempengaruhi seorang pria dalam mengambil keputusan dll.

Sehabis baca blink, gw langsung suka dengan tulisan Malcolm Gladwell. Gw suka dengan penelitian yang dia lakukan, tata bahasa yang sederhana dan gampang dimengerti. Ternyata Gladwell telah menulis beberapa buku lagi yang memiliki tema psikologi namun dalam topik yang berbeda. Secara beruturut-turut gw langsung koleksi semua bukunya mulai dari Outliers, Tipping Point hingga What A Dog Saw. « Read the rest of this entry »

Bukan sarjana biasa

Juli 1, 2010 § 1 Komentar

Menjadi seorang sarjana mungkin saja mimpi setiap orang. Lulus dengan disematkan toga, menyandang gelar sarjana di belakang nama hingga jaminan pekerjaan yang menggiurkan merupakan visualisasi indah gelar akademik tersebut. Tidak semua orang bisa merasakan duduk di bangku kuliah. Terutama bagi mereka yang duduk  di universitas negeri. Salah seorang dosen yang kini menjadi rektor pernah berkata

Dik, kalian itu jadi mahasiswa karena bantuan orang lain. Kalian bisa bayar uang kuliah dengan murah karena para pedagang di pasar, karena tukang becak, karena sopir angkot yang membayar pajak hingga bisa meringankan biaya kuliah kalian. Oleh karena itu, sudah seharusnya kalian mengabdi pada masyarakat ketika kelak kalian sudah lulus.

Sebuah nasihat yang sangat bijak dan kembali menyengat empati kami saat itu. Bahwa menjadi seorang sarjana bukanlah demi kepentingan individu karena ada keringat para kuli di pasar, ada tangis para petani yang secara tidak langsung berperan mentransformasi seorang mahasiswa menjadi seorang sarjana.

Perlahan namun pasti gelar sarjana kehilangan esensinya. Sejatinya seorang sarjana dituntut lebih dengan kapasitas pribadi yang dimiliki. Karena seorang sarjanawan harus mampu mempertanggungjawabkan kesarjanaannya tersebut tidak hanya di hadapan para dosen penguji namun lebih jauh bagi masyarakat luas. Namun kini gelar sarjana tidak lagi menjadi gelar “kehormatan” bagi para akademisi. Dengan mudahnya kita bisa melihat bahwa berbagai macam spionase dilakukan dalam upaya membubuhi kata sarjana di belakang nama asli. Mulai dari tindakan-tindakan kecurangan selama proses menuju kelulusan hingga dibukanya kelas kilat menjadi seorang sarjana. Di antara berbagai alasan mereka yang menempuh proses instan menjadi seorang sarjana adalah kebutuhan yang mendesak guna kenaikan jabatan yang membutuhkan sertifikasi seorang sarjana. Masalah kapasitas keilmuan merupakan variabel kesekian karena yang dibutuhkan memang secarik kertas dengan cap sah telah menjadi seorang sarjana. Kondisi yang memang membuat kita miris.

Sarjana bukanlah sebuah hasil tapi merupakan proses panjang yang melelahkan. Empat tahun atau lebih waktu yang dibutuhkan seorang mahasiswa untuk belajar, berkompetisi dan bermandikan peluh demi tercapainya sebuah cita, menjadi sarjana yang utuh. Tahap-tahap yang dilalui inilah yang meninggalkan pengalaman, mewarisi pengetahuan, membentuk karakter dan mental seorang mahasiswa hingga pada akhirnya gelar itu memang layak untuk disandang. Bukan sekedar gelar bualan yang dipenuhi dengan kebohongan. Tidak sulit menemui mahasiswa yang kekurangan tidur, sakit, bermalam-malam di laboratorium demi tugas akhir, demi kelulusan yang dinanti-nanti. Akan tetapi semua duka, lelah, amarah terhapuskan seketika saat kita dinyatakan sebagai seorang sarjana baru.

Lalu tidak jarang seorang yang dinyatakan lulus dari kampusnya gamang dengan status yang disandang saat itu. Meninggalkan dunia kampus yang begitu dinamis menuju dunia kerja yang keras. Bahkan tidak sedikit dari sarjana-sarjana yang masih segar itu kebingungan menentukan orientasi. Menjadi sarjana di satu sisi namun tuna karya di sisi lainnya. Seolah bekal yang dibawa selama menempuh pendidikan menguap tak bersisa. Sangat amat disayangkan seorang sarjana yang diharapkan mampu menjadi agent of change bagi masyarakat luas ternyata tumpul dalam berkarya, mandul dalam mencipta. Beberapa artikel pun sempat bercerita bagaimana seorang sarjana dari perguruan tinggi tidak mendapatkan pekerjaan apalagi menciptakan pekerjaan. Apa yang salah dengan fenomena seperti ini?

Masalah di atas menjadi sebuah ironi ketika kita menyadari tugas perguruan tinggi seperti yang diucapkan oleh Muhammad Hatta. Perguruan tinggi (kampus) merupakan wahana yang sangat tepat dalam mengembangkan segala potensi baik itu akademik, organisasi maupun jaringan. Terasa pincang ketika kampus hanya dijadikan sebagai wadah mengembangkan karir akademik semata. Seorang mahasiswa harusnya mampu mengasah kecerdasannya dalam aspek lain yang bisa diakses dari kampus tersebut. Memperkokoh jaringan menjadi penting karena dalam sebuah penelitian yang disebutkan dalam buku tipping point bahwa sebagian besar pekerjaan yang diperoleh seseorang tidaklah berasal dari seorang teman melainkan oleh kenalan. Fenomena yang cukup mengejutkan memang. Pun halnya dengan peranan organisasi kampus yang mampu menjadi instrumen guna mengasah kecerdasan kita dalam berbagai hal yang semestinya mendukung performa kita dalam berinteraksi, berkomunikasi dengan orang lain sehingga menjadi nilai plus tersendiri.

Dengan memanfaatkan segala potensi yang ada di kampus kita selayaknya menjadi seorang sarjana yang siap. Sarjana yang siap menjadi profesional dalam segala bidang hingga peranan seorang sarjana benar-benar dirasakan oleh masyarakat luas. Bukan sarjana sebagai gelar tapi sarjana sebagai pembuktian. Sehingga kita bisa berujar bahwa kita bukan sarjana biasa.

Where Am I?

You are currently browsing entries tagged with tipping point at I Think, I Read, I Write.

%d blogger menyukai ini: