Kerja Untuk (Si)Apa?

Oktober 29, 2015 § 4 Komentar

FB_IMG_1445912868122Sejak punya bayi gue sering baper. Buat yang belum tau, baper adalah sebuah akronim kekinian dari ‘bawa perasaan’ yakni suatu kondisi dimana seseorang gampang terbawa suasana. Gue bener-bener kesulitan mencari padanan kata untuk baper sekaligus salut dengan orang-orang genial nan subtil yang mampu menciptakan istilah-istilah gaul yang memberontak terhadap kemapanan sistem bahasa ajeg ala Kamus Besar Bahasa Indonesia. Huft!.

Saking bapernya, setiap kali ngeliat bayi di perjalanan menuju kantor gue jadi inget Alby, anak gue yang masih 9 bulan. Saat jalan-jalan di instagram terus nemu foto bayi gue lagi-lagi inget Alby. Pun saat berdiri deket lampu merah gue jadi keinget kecrekan.

Gue rasa memang beginilah perilaku umum para orang tua saat memiliki bayi yang sedang dalam fasa lucu-lucunya. Mereka pasti baper saat melihat bayi orang lain. Juga ibunya. Ehhhh..

Beberapa hari yang lalu kos-kosan tempat gue tinggal kedatangan penghuni baru, suami istri dengan seorang balita berusia 11 bulan. Selisih dua bulan dengan anak gue. Suatu pagi saat mau berangkat kerja gue mendengar anak tersebut menangis menjadi-jadi. Teriak sana-sini dengan kencangnya. Gue pun berusaha membantu menenangkan. Mulai dari digendong hingga diusap-usap kepalanya. Akhirnya dia tenang setelah gue cekokin etanol 60% p.a.

Selidik punya selidik ternyata balita ini harus ditinggal kerja oleh bapak-emaknya setiap senin sampe jumat lebih dari 8 jam sehari. Deg. Entah kenapa tetiba saja gue haru saat tahu bahwa tangisan-tangisan yang ia buat adalah ekspresi ketidakrelaan ditinggal pergi bekerja bapak juga ibu.

Buat gue pribadi, kejadian di atas adalah pengalaman pertama melihat secara langsung seorang anak, masih balita pula, harus ditinggal oleh kedua orang tuanya untuk bekerja. Memang gue hampir setiap hari menemui wanita-wanita karir dengan anak yang masih balita diasuh oleh neneknya atau oleh babysitter di kantor tempat gue bekerja. Tapi baru sekarang gue melihat ekspresi kepedihan seorang anak saat di pagi buta ia sudah mendapati dirinya bermuram durja ditinggal ayah juga ibu dan baru bisa berjumpa kembali dengan mereka di lelap mimpinya.

Gue mengamini bahwa pengalaman, ingatan masa lalu akan membentuk kepribadian seseorang seperti teori tabula rasa ala John Locke. Sejak kecil gue hidup dengan dominasi patriarki yang kuat. Berasal dari keluarga besar dengan sembilan kepala di dalam rumah, ayah adalah satu-satunya anggota keluarga yang bekerja. Ibu kebagian tugas untuk 1×24 jam mengawasi dan mengurus anggota keluarga. Pembagian porsi rumah tangga yang sangat umum. Walaupun hidup dengan kondisi yang sangat sederhana namun kombinasi peran ayah dan ibu tersebut mampu membuat kami bertahan hingga menjadi pribadi yang baik dan tahan banting.

Tidak berhenti sampai di situ. Untuk seterusnya dalam silsilah keluarga gue, tidak ada seorang ibu baik itu saudara kandung atau pun saudara ipar yang bener-bener bekerja day to day jam 8 sampe 5. Jikapun harus membantu keuangan keluarga maka para ibu ini akan ikut berdagang dengan tetap mengalokasikan sebagian besar waktu untuk anak di rumah.

Kejadian-kejadian seperti ini yang membentuk pola pikir gue hingga sedari awal gue selalu bercita-cita jika suatu hari nanti harus menikah maka gue berharap dapat menikahi seseorang yang tidak menghabiskan sebagian besar waktunya untuk tempat dia bekerja. Maka bekerja di rumah atau setidak-tidaknya bekerja yang tidak eight to five adalah pilihan yang paling bijak.

Untungnya semua berjalan sesuai rencana.

presentTulisan ini gue buat atas dasar keprihatinan terhadap seorang balita yang terpaksa ‘dikorbankan’ dengan alasan klise ‘kami bekerja juga untuk memberikan kehidupan yang layak untuk dia’. Padahal orang-orang belum bersepakat tentang definisi kehidupan layak itu yang bagaimana. Apakah memiliki rumah dengan KPR dan suku bunga yang naik tiap tahunnya, atau memfasilitasi anak-anak dengan gadget canggih serba guna atau yang seperti apa. Jika memang kehidupan layak itu adalah segala rupa dimensi fisik yang kita sediakan lalu apa kita sudah mempersiapkan kelayakan itu dari sudut pandang kebutuhan sang anak. Apakah ia membutuhkan rumah kreditan yang nyaman atau sentuhan hangat sang bunda saat ia terjatuh di tengah upayanya belajar berjalan.

Gue pribadi tidak tega jika harus meninggalkan seorang balita setiap hari dengan merelakan mereka bersama pengasuh saja atau bahkan oleh neneknya. Selain karena faktor keamanan dan kenyamanan, anak-anak yang masih terlalu dini untuk ditinggal rasanya tetap perlu ikatan yang kuat dengan orang tua. Spesifiknya keberadaan ibu. Maka jika kedua orang tua sudah bekerja demi alasan untuk kebahagiaan sang anak, apa kebahagiaan itu sudah didapat ketika kita sendiri yang justru menjauhkan mereka dari kebahagiaan terbesarnya membersamai kita.

Saya gundah saat menyadari bahwa ternyata memang balita-balita ini jauh lebih membutuhkan ikatan emosional pagi, siang, malam dengan sang bunda namun di saat bersamaan dunia modern memaksa pelakunya untuk sibuk melunasi cicilan-cicilan.

Lalu sebenarnya kita bekerja untuk apa? atau kita bekerja untuk siapa?

Ya..ya..

Lagi-lagi gue hanya bisa berteori, nyinyir dan memandang peristiwa dengan kacamata kuda. Iya, gue tidak mengalami kegundahan orang tua, terutama ibu, saat mereka harus terpaksa meninggalkan sang buah hati yang sedang belajar ini itu demi kebutuhan-kebutuhan tertentu. Tapi hidup ini kan pilihan. Kita yang memilih apa yang kita tanam saat ini untuk apa yang kita tuai di masa depan.

Gue pun berdoa agar selalu diberikan kemudahan untuk mencari rezeki hingga istri gue tidak perlu bersusah payah membantu keuangan keluarga.

Iklan

Ini Itu Teori Parenting

Agustus 12, 2015 § Tinggalkan komentar

marshmallow

Pada tahun 1970 seorang psikolog bernama Walter Mischel melakukan serangkaian pengujian yang dikenal dengan Marshmallow test. Tes ini dilakukan dengan membiarkan sejumlah anak di dalam ruangan dan meminta mereka untuk menahan diri dari godaan kue atau terkadang marshmallow yang terdapat di ruangan tersebut. Bagi setiap anak yang dapat menahan diri untuk tidak makan kue dalam kurun waktu tertentu, mereka akan mendapatkan award berupa kue/marshmallow dua kali lebih banyak.

Pada akhir tes ditunjukkan bahwa hanya sebagian kecil anak saja yang menolak makan kue sementara yang lainnya tidak tahan godaan. Anak-anak yang berhasil menahan diri, berusaha mengalihkan rayuan marshmallow dengan melakukan aktifitas lain sebagai pengalihan perhatian.

Anak-anak tersebut dikumpulkan kembali beberapa tahun setelahnya. Hasil studi menunjukkan bahwa mereka yang mampu menahan diri untuk tidak segera memakan kue dapat menyelesaikan studinya dengan baik, memiliki pendapatan yang lebih besar dan berbagai hal positif lain dibandingkan anak-anak yang tergesa-gesa makan kue. Kemampuan menahan diri tersebut dikenal dengan delayed gratification. Studi ini juga mengajarkan bahwa kita bisa mengindahkan godaan terhadap suatu objek dengan mengalihkan fokus ke hal lain.

Lebih jauh, penelitian ini dihubung-hubungkan dengan kebiasaan yang membedakan antara orang perancis dan amerika. Ibu-ibu yang hidup di perancis cenderung tidak segera mengangkat bayi mereka saat merengek. Bayi tersebut dibiarkan untuk menangis sejenak sebelum ditimang. Pola seperti ini bertujuan untuk melatih self-control sehingga anak-anak di Perancis tumbuh menjadi anak yang lebih tenang dan tidak tergesa-gesa. Anak-anak tersebut akan lebih tahan menunggu orang tuanya selesai menelepon ketimbang menangis meminta perhatian. Kebiasaan yang tidak terjadi di Amerika.

Cuplikan di atas gue sadur dari status facebook seseorang yang kemudian gue bagikan kembali. Belakangan gue memang bersemangat untuk mengumpulkan informasi yang berkenaan dengan pendidikan anak dan pola asuh.

*****

Sejujurnya, menjadi orang tua di masa kini rasanya memiliki tantangan tersendiri yang berbeda dengan era sebelum-sebelumnya. Gue tidak akan berkata bahwa beban orang tua sekarang lebih berat daripada para pendahulu. Kenapa? Karena budaya, atmosfer, lingkungan yang dihadapi sangat spesifik. Jika tantangan kita sekarang adalah perang pemikiran di mana anak-anak kita harus dibentengi dengan segala serangan liberalisme atau homoseksual yang merajalela maka orang-orang terdahulu harus membesarkan anaknya di saat bumi ini belum aman untuk ditinggali. Perang, kelaparan, konflik menjadi pemandangan sehari-hari yang tidak akan kita temui saat ini.

Menjadi orangtua baru berarti melengkapi diri dengan segala bekal untuk bergaul dengan sesosok manusia lemah tak berdaya yang membutuhkan orang lain untuk bertahan hidup. Bekal tersebut tidak hanya berupa A-Z ilmu parenting yang belakangan semakin laris dijajakan. Modal kuat lainnya bagi ayah terutama ibu dalam mengasuh bayi adalah mental.

Jangan remehkan ketahanan mental kedua orang tua khususnya ibu. Ilmu parenting boleh terus berkembang namun mental adalah warisan genetis yang tercetak di DNA. Transformasi peran seorang istri menjadi seorang ibu berarti merubah ritme hidup menjadi lebih dinamis. Perhatikan saja bagaimana ibu-ibu baru dengan sigapnya mengganti popok tiap malem, menyusui di saat mata terkantuk lelah, ikhlas porsi kalsiumnya dipindahalihkan ke bayi demi tumbuh kembang mereka tanpa perduli bahwa tulang-tulang itu lebih cepat mengalami osteoporosis. Makanya, tidak jarang ibu-ibu yang tidak siap secara mental mengalami baby blues bahkan postpartum syndrome karena kelelahan yang memuncak. Sementara bagi ayah, beban mental yang dihadapi tidak akan pernah seberat itu.

Berkaitan dengan bekal pengetahuan, semua orang tua di dunia tidak harus membaca segala rupa dan judul buku parenting atau mengulik teori psikologi tabula rasa ala John Locke. Mungkin kita masih inget bagaimana orang-orang terdahulu mendidik anak-anaknya. Apa mereka mengaplikasikan segala teori ini itu. Teori positif dan lain lain? Gue rasa ga. Namun entah mengapa saat ini semakin banyak berkembang teori psikologi yang justru membuat kita, gue khususnya, sebagai orang tua bingung teori mana yang bener-bener sesuai dengan kebutuhan anak.

Baru-baru ini salah seorang temen membagikan tulisan tentang kontradiksi penggunaan kata ‘jangan’ dalam psikologi parenting. Penggunaan kata ‘jangan’ yang banyak digaungkan positive parenting seolah sudah melanggar dan mendelegitimasi ajaran-ajaran parenting kenabian. Belum lagi berbagai artikel-artikel di media sosial yang saling membenturkan antara kedua teori tersebut. Kondisi seperti ini bukan tidak mungkin membuat para orang tua baru menjadi ragu untuk mengambil pendekatan dalam mendidik anak. Untungnya di waktu lain salah seorang ustad yang mendalami persoalan ini membagikan pemahamannya yang cukup moderat. Ia berargumen bahwa tidak perlu terjadi friksi antara kelompok-kelompok yang pro ataupun yang kontra dengan penggunaan kata ‘jangan’. Baginya, kata ‘jangan’ sah-sah saja digunakan sebagai bagian dari upaya kita untuk mendidik dan melarang anak agar tidak melanggar nilai-nilai ketauhidan. Sementara di luar itu, dalam konteks yang lebih horizontal, para orang tua bisa menggunakan kata-kata positif ketimbang menggunakan kata larangan pada anak-anak mereka.

Kontradiksi di atas mungkin hanya satu dari sekian banyak ‘pertarungan’ dalam domain pola asuh anak. Belum lagi ribut-ribut antara ibu rumah tangga atau ibu pekerja, seberapa efektif pendidikan semiformal bagi balita dan banyak hal lainnya. Sejatinya semakin banyak teori parenting berarti semakin banyak pilihan yang bisa diterapkan oleh orang tua. Namun dalam teori psikologi, banyaknya pilihan justru dapat membuat bingung para pemilih.

Semakin maju peradaban semakin membuat orang berlomba untuk menjadi yang terdepan dan merasa kekinian dalam banyak hal. Termasuk perihal asuh-mengasuh. Padahal jika kita mau berkaca pada orang-orang era ‘pra-gadget’, kita bisa mendapati bahwa mereka tidak melengkapi diri dengan teori parenting yang jelimet. Mereka mengandalkan insting dalam merawat bayi. Insting tersebut yang menjadi default bagi para orangtua sejak zaman nabi adam hingga masa kini. Tanpa teori ini itu.

Buat gue pribadi segala macem teori tersebut tidak serta merta langsung diaplikasikan. Karena anak kita bukan kelinci percobaan yang bisa diuji untuk kebutuhan dan memvalidasi sebuah hasil penelitian. Sejelas-jelasnya teori parenting adalah yang termuat dalam beberapa buku tentang parenting nabawiyah walau tidak menutup kemungkinan dilengkapi dengan teori pola asuh kontemporer selama ia nya tidak menghapus nilai-nilai agama.

Jangan sampai kita menjadi seperti J.J Rosseau. Seorang pendidik, filsuf dan penulis novel hebat berjudul Emile yang disebut-sebut sebagai buku tentang pendidikan terbaik kedua setelah Republic­-nya Plato. Pak Rossesau nampak mapan dalam berteori tentang pendidikan namun pada realitanya ia menelantarkan anak-anaknya yang berjumlah empat dan meninggalkan mereka di panti asuhan.

Segala teori pendidikan dan pola asuh anak hanya isapan jempol jika para orang tua tidak mendandani pribadi mereka terlebih dahulu. Children see children do.

*Sumber Gambar dari link berikut

Where Am I?

You are currently browsing entries tagged with Tabula rasa at I Think, I Read, I Write.

%d blogger menyukai ini: