Afeksi Anti Dengki

Januari 1, 2014 § Tinggalkan komentar

Beberapa hari yang lalu gue melihat salah seorang teman share sebuah tulisan di blog dengan judul “Sudah Nikah Jangan Lebay Ahh”, sebuah satire yang mencoba menyentil kepekaan orang-orang yang sungguh amat sangat aktif berbagi kebahagiaan, kemesraan di media sosial.

Isi blog tersebut menceriterakan kegundahan sang penulis terhadap berbagai postingan para Newly-Wed yang terkadang terjebak dalam euforia perayaan kebahagiannya.

Sebenernya hal seperti ini sudah sering gue singgung. Tapi memang selama ini gue ga pernah membuat postingan yang secara langsung menohok pada exaggerated Newly-Couple. Dan tak lama berselang sejak gue re-post tulisan tersebut, beberapa orang memberikan berbagai spektrum respon. Beberapa setuju dengan isi blog tersebut yang terefleksi dari komentar maupun yang like dan sebagian mempunyai opini yang bersebrangan.

Perbedaan opini wajar-wajar saja menurut gue. Negara juga menjamin kebebasan berpendapat.

Salah satu kritik yang gue terima adalah “Kalo ga suka statusnya, remove friend aja”, baik oleh mereka yang menjawab di postingan tersebut ataupun yang membuat opini tandingan di status facebook mereka.

Hmm, menurut gue ide seperti itu bukan lah jawaban yang diplomatis. Mencoba memutilasi anggota tubuh tapi penyakitnya ternyata masih menjalar, menggerogoti.

Sekali lagi gue jelasin bahwa apa yang gue share tidak sama sekali bermaksud menyinggung siapapun. Don’t get me offended. Gue hanya mencoba membuka cakrawala berfikir kita bahwa banyak yang risih dengan foto-foto your shitty-share happiness. 

Dan lagi tolong digarisbawahi, yang membuat tulisan itu adalah orang yang sudah menikah, bukan jomblo yang selama ini kalian anggap IRI dengan kebahagiaan yang sudah kalian terima. Beberapa orang tidak cemburu dengan kebahagiaan kalian, kami ikut bahagia tapi kami merasa risih.

ITS TOTALLY LOGICAL FALLACY. Shame on you, dude. 

Ada dua jawaban atas tanggapan temen gue yang memberikan pilihan untuk remove orang-orang rese’ di jejaring sosial.

1. Lah kenapa lo nyuruh-nyuruh gimana gue harus bereaksi, tong. Akun facebook punya gue, kenapa pula lo yang sewot nyeramahin biar gue remove para penebar kebahagiaan di media sosial.

Gue merdeka dengan setiap keputusan yang gue ambil. Remove friend itu bertendensi pada dispute. Lebih baik saling debat diskusi opini biar lebih seru.

2. Kalo dibaca dengan seksama, tulisan yang gue share di facebook jelas-jelas menyoroti para lebaywan-lebaywati  (tolong digarisbawahi, highlight, dan CAPSLOCK) yang begitu aktif. Habis nikah share poto kawinan, bulan madu share lokasi, hamil share foto megang perut, punya anak share, bayinya gede dikit share.

“Kampret, lo pikir media sosial itu diary yang sifatnya publik”.

Padahal objek tulisan di blog tersebut adalah YANG BERLEBIHAN dalam berbagi Me, MySelf-nya tapi mengapa semua bak kebakaran jenggot?. Orang-orang akan merasa biasa jika kita bisa bersikap proporsional dalam ber-media sosial. Segala sesuatu yang berlebihan itu selalu bertendensi pada keburukan.

Entahlah kenapa orang-orang sekarang begitu sensitif. Apakah karena mereka terlalu banyak nonton kisah cintanya Jupe-Gaston yang tidak direstui orang tua?

Kalo ga merasa lebay, kenapa harus merasa tersudut dengan isi blog tersebut. Padahal oh padahal, obat hanya akan memberikan efek pada tubuh yang sakit.

Tapi memang hidup itu adil. Ada yang kalem-kalem aja ngejalanin hidup dan mereka bahagia. Ada juga yang perlu diumbar semuanya berharap orang-orang tahu dan ikut bahagia atau mendoakan agar mereka bisa meraih kebahagiaan yang sama.

Yah semoga semua berjalan seperti kalimat terakhir paragraf di atas. Tapi inget loh, tong. Apa-apa yang membuat orang mengarah ke berfikir suudzon juga kagak dibenerin.

Semuanya balik ke niat, katanya. Bab awal dalam melakukan segala sesuatu itu adalah niat. Mungkin ada yang cacat pada niatnya hingga kebahagiaan bersama orang yang dicinta menjadi euforia menghapus kesendirian yang tlah lama mendera.

Wallahu ‘alam.

Iklan

Where Am I?

You are currently browsing entries tagged with satire at I Think, I Read, I Write.

%d blogger menyukai ini: