Shaf Sholatmu, Deritaku
Juni 5, 2017 § Tinggalkan komentar
Memang, sebelum kita bermegah-megahan dalam beramal, yang lebih utama daripadanya adalah ilmu. Dan sebaik-baik penuntut ilmu adalah mereka yang mendahulukan adab atasnya. “Jadikan ilmu sebagai garamnya, dan adab itulah tepungnya,” Kata Imam Syafi’i menggambarkan “roti” penopang kehidupan. Seperti dikutip oleh Ustad Salim A Fillah dalam Sunnah Sedirham Syurga. Ia menambahkan bahwa Imam Bin Al-Mubarak berkata “Hampir-hampir adab itu senilai dua pertiga agama”.
Omong-omong tentang ilmu sebelum amal, ada sebuah pemandangan unik setiap kali saya melakukan solat berjamaah di mesjid. Entah mengapa, sebagian jamaah mesjid yang saya temui di banyak tempat enggan untuk merapatkan shaf dalam solat. Keengganan ini banyak didominasi oleh kaum tua dan terjadi lebih masif di mesjid-mesjid di sudut kota. Atau kita jamak mengejanya sebagai ‘mesjid kampung’. Orang-orang tua lebih sulit untuk diajak berdiskusi. Keengganan karena memandang remeh si muda ataupun kebiasaan yang sudah melekat seumur-umur menjadikan hal-hal kecil namun penting dalam sholat ini sering kali dilewatkan. Sebenarnya anak-anak pun banyak yang tidak merapatkan shaf namun keadaan ini tidak genting mengingat mereka lebih mudah diarahkan.
Beberapa referensi menyampaikan pentingnya merapatkan shaf dalam sholat berjamaah. Bahkan hampir tiap kali imam menyengaja diri untuk mengingatkan jamaah agar merapatkan shafnya. Tapi nampaknya beberapa orang lebih percaya diri untuk menjaga jarak dengan jamaah di sebelah kanan dan kiri.
Saya mengalami dua kejadian unik dan miris sehubungan dengan merapatkan shaf. Pernah suatu waktu di sebuah mesjid sekitaran Cisitu Bandung, di saat sedang merapihkan shaf solat magrib, salah seorang bapak paruh baya yang tepat berada di sebelah saya senantiasa menjauhi ujung jarinya setiap kali saya mencoba merapatkan. Berkali-kali saya coba merapatkan shaf, berkali-kali pula ia menjauh. Puncaknya adalah saat solat tengah berlangsung. Merasa situasi sudah aman terkendali dan kemungkinan bapak itu menjauh akan mengecil saat solat sudah dilakukan, saya pelan-pelan merapatkan kembali shaf. Ternyata apa? Sang bapak nampaknya gerah. Buktinya, kaki saya yang mencoba menggapai kaki sang bapak demi rapatnya shaf, diinjek tanpa malu-malu. Di saat bersamaan saya merasa ingin tertawa. Untung masih inget kalo sedang sholat.
“Luar biasa” pikir saya.
Setelah adegan penginjakan kaki tersebut, saya tidak lagi memaksa diri untuk merapatkan shaf. Saya paham bahwa tidak semua orang ingin didekati. Yang pacaran lama aja bisa putus apalagi yang baru pendekatan, iya kan? Loh…
Lepas sholat, sang bapak menghilang tanpa jejak. Saya pun tidak berencana lebih lanjut mencarinya untuk menjelaskan perihal duduk perkara kemestian merapatkan shaf dalam sholat.
Cerita kedua terjadi saat sholat, lagi-lagi Maghrib, di mesjid sekitaran Bintaro. Meskipun mesjid ini ramai namun orang-orang tua yang mengerjakan sholat di mesjid ini acap kali bersikap kurang ramah. Terutama pada anak muda. Saya merasa ketidaknyamanan berada di antara jamaah mesjid ini. Semoga ini hanya sekedar firasat akibat ketidaktahuan saya sahaja.
Mirip dengan kejadian pertama, bapak yang berada di kanan saya, sedari iqomah, ogah merapatkan shafnya. Saya membaui mulut, tapi tidak bau. Meskipun tidak wangi. Maklum saya kehabisan permen penyegar mulut. Ingin menyemprotkan parfum baju ke mulut, rasanya kurang etis. Mulut saya tidak terbuat dari Nylon. Ditambah belum adanya fatwa halal menyemprotkan minyak wangi ke dalam deretan gigi. Saya juga tidak mengenal bapak ini sebelumnya. Lantas mengapa ada sentimen sehingga kita harus jauh-jauhan, pak. Jangan khawatir, saya bukan admin Lambe Turah.
Dan terjadi lagi…
Niat baik saya merapatkan shaf demi kesempurnaan sholat, seperti yang kerap didengungkan oleh imam, disalahartikan oleh jamaah di sebelah saya. Beliau tanpa ragu menyemprot saya, tepat sebelum imam takbir, dengan memberikan penekanan bahwa ia tidak mau merapatkan shaf dalam barisan sholat. “Kena deh” pikir saya. Belum puas, entah disengaja atau tidak bapak tersebut menyikutkan tangannya yang bersedekap dengan keras ke tangan saya. Ebuset. Begini banget yah. Kzl.
Dua kali mendapatkan jurus ‘mematikan’ dari jamaah sholat membuat saya sedikit banyak ‘kapok’ untuk bersemangat merapatkan shaf. Saya tidak mau mengalami kejadian serupa untuk ketiga kalinya. Sejak saat itu, tiap kali bersebelahan dengan bapak paruh baya, saya mengira-ngira seberapa besar probabilitas kaki saya diinjek atau disemprot jika harus merapatkan shaf. Saya menjadi cuek. Jika mau merapatkan silahkan, jika tidak, saya merelakan saja. Ampuni Baim, Ya Allah.
Pengetahuan yang kurang, ukuran sajadah yang terlalu besar, keengganan belajar menjadi kunci ketidaktahuan kita dalam beribadah. Oleh sebab itulah agama dan tatacara ibadahnya bukan lah sekedar warisan. Jika agama adalah warisan, maka bentu-bentuk tata-cara peribadatannya mengikuti, patuh, taqlid pada orang-orang terdahulu. Padahal landasan ibadah adalah ilmu bukan kebiasaan orang-orang terdahulu yang diwarisi.
Mari kita merapatkan shaf dalam sholat, ya.
سوُّوا صُفُوفَكُمْ فَإِنَّ تَسْوِيَةَ الصَفِّ مِنْ تَماَمِ الصَّلَاةِ
Karya Ulama dan Karya Kita
Januari 2, 2015 § Tinggalkan komentar
Apa yg akan kita sombongkan dari karya kita:
1) Apa yang mau kita sombongkan; jika Imam An Nawawi menulis Syarh Shahih Muslim yang tebal itu sedang beliau tak punya Kitab Shahih Muslim?
2) Beliau menulisnya berdasar hafalan atas Kitab Shahih Muslim yang diperoleh dari Gurunya; lengkap dengan sanad inti & sanad tambahannya.
3) Sanad inti maksudnya; perawi antara Imam Muslim sampai RasuluLlah. Sanad tambahan yakni; mata-rantai dari An Nawawi hingga Imam Muslim.
4) Jadi bayangkan; ketika menulis penjabarannya, An Nawawi menghafal 7000-an hadits sekaligus sanadnya dari beliau ke Imam Muslim sekira 9-13 tingkat Gurunya; ditambah hafal sanad inti sekira 4-7 tingkat Rawi.
5) Yang menakjubkan lagi; penjabaran itu disertai perbandingan dengan hadits dari Kitab lain (yang jelas dari hafalan sebab beliau tak mendapati naskahnya), penjelasan kata maupun maksud dengan atsar sahabat, Tabi’in, & ‘Ulama; munasabatnya dengan Ayat & Tafsir, istinbath hukum yang diturunkan darinya; dan banyak hal lain lagi.
7) Hari ini kita menepuk dada; dengan karya yang hanya pantas jadi ganjal meja beliau, dengan kesulitan telaah yang tak ada seujung kukunya.
8) Hari ini kita jumawa; dengan alat menulis yang megah, dengan rujukan yang daring, & tak malu sedikit-sedikit bertanya pada Syaikh Google.
9) Kita baru menyebut 1 karya dari seorang ‘Alim saja sudah bagai langit & bumi rasanya. Bagaimana dengan kesemua karyanya yang hingga umur kita tuntaspun takkan habis dibaca?
10) Bagaimana kita mengerti kepayahan pada zaman mendapat 1 hadits harus berjalan berbulan-bulan?
11) Bagaimana kita mencerna; bahwa dari nyaris 1.000.000 hadits yang dikumpulkan & dihafal seumur hidup; Al Bukhari memilih 6000-an saja?
12) Atas ratusan ribu hadits yang digugurkan Al Bukhari; tidakkah kita renungi; mungkin semua ucap & tulisan kita jauh lebih layak dibuang?
13) Kita baru melihat 1 sisi saja bagaimana mereka berkarya; belum terhayati bahwa mereka juga bermandi darah & berhias luka di medan jihad.
14) Mereka kadang harus berhadapan dengan penguasa zhalim & siksaan pedihnya, si jahil yang dengki & gangguan kejinya. Betapa menyesakkan.
15) Kita mengeluh listrik mati atau data terhapus; Imam Asy Syafi’i tersenyum kala difitnah, dibelenggu, & dipaksa berjalan Shan’a-Baghdad.
16) Kita menyedihkan laptop yang ngadat & deadline yang gawat; punggung Imam Ahmad berbilur dipukuli pagi & petang hanya karena 1 kalimat.
17) Kita berduka atas agal terbitnya karya; Imam Al Mawardi berjuang menyembunyikan tulisan hingga menjelang ajal agar terhindar dari puja.
18) Mari kembali pada An Nawawi & tak usah bicara tentang Majmu’-nya yang dahsyat & Riyadhush Shalihin-nya yang permata; mari perhatikan karya tipisnya; Al Arba’in. Betapa barakah; disyarah berratus, dihafal berribu, dikaji berjuta manusia & tetap menakjubkan susunannya.
19) Maka tiap kali kita bangga dengan “best seller”, “nomor satu”, “juara”, “dahsyat”, & “terhebat”; liriklah kitab kecil itu. Lirik saja.
20) Agar kita tahu; bahwa kita belum apa-apa, belum ke mana-mana, & bukan siapa-siapa. Lalu belajar, berkarya, bersahaja.
Seorang Ayah, di Lapis Berkah
Agustus 19, 2014 § Tinggalkan komentar
Sebagai seorang pria yang lika-liku hidupnya kelak akan diwarnai oleh pasangan, anak dan tatanan kehidupan yang lebih kompleks, adalah sangat elok untuk mendapatkan seputar nasihat tentang bagaimana hubungan peran seorang ayah dengan keimanan terhadap Allah agar kehidupan keluarga diwarnai oleh keberkahan. Ustad muda Salim A. Fillah telah membuat sebuah karya untuk para ayah dan calon ayah yang kelak akan menjadi pahlawan pertama putranya dan juga cinta pertama putrinya.
Mari kita simak tulisan berikut yang disadur dari blog beliau
*****
Di lapis-lapis keberkahan, mari sejenak belajar dari seorang ayah, budak penggembala kambing yang bertubuh kurus, berkulit hitam, berhidung pesek, dan berkaki kecil. Tetapi manusia menggelar hamparan mereka baginya, membuka pintu mereka selebar-lebarnya, dan berdesak-desak demi menyimak kata-kata hikmahnya. Dia, Luqman ibn ‘Anqa’ ibn Sadun, yang digelari Al Hakim.
Seseorang pernah bertanya kepadanya, “Apa yang telah membuatmu mencapai kedudukan serupa ini?”
“Aku tahan pandanganku”, jawab Luqman, “Aku jaga lisanku, aku perhatikan makananku, aku pelihara kemaluanku, aku berkata jujur, aku menunaikan janji, aku hormati tamu, aku pedulikan tetanggaku, dan aku tinggalkan segala yang tak bermanfaat bagiku.”
“Dia tak diberikan anugrah berupa nasab, kehormatan, harta, atau jabatan”, ujar Abud Darda’ Radhiyallahu ‘Anhu ketika menceritakan Luqman Al Hakim. “Akan tetapi dia adalah seorang yang tangguh, pendiam, pemikir, dan berpandangan mendalam. Dia tidak pernah terlihat oleh orang lain dalam keadaan tidur siang, meludah, berdahak, kencing, berak, menganggur, maupun tertawa seenaknya. Dia tak pernah mengulang kata-katanya, kecuali ucapan hikmah yang diminta penyebutannya kembali oleh orang lain.”
“Dan Kami telah mengaruniakan hikmah kepada Luqman, bahwasanya hendaklah engkau bersyukur kepada Allah. Dan barangsiapa bersyukur, maka hanyasanya dia bersyukur bagi dirinya. Dan barangsiapa mengkufuri nikmat, sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuja.” (QS Luqman [31]: 12)
“Hikmah”, tulis Imam Ibn Katsir dalam Tafsirnya, “Yakni pengetahuan, pemahaman, dan daya untuk mengambil pelajaran.” Inilah yang menjadikan Luqman berlimpah kebijaksanaan dalam kata maupun laku. Tetapi setinggi-tinggi hikmah itu adalah kemampuan Luqman untuk bersyukur dan kepandaiannya untuk mengungkapkan terimakasih.
“Kemampuan untuk mensyukuri suatu nikmat”, ujar ‘Umar ibn ‘Abdil ‘Aziz, “Adalah nikmat yang jauh lebih besar daripada nikmat yang disyukuri itu.” Dan pada Luqman, Allah mengaruniakannya hingga dia memahami hakikat kesyukuran secara mendalam. Bersyukur kepada Allah berarti mengambil maslahat, manfaat, dan tambahan nikmat yang berlipat-lipat bagi diri kita sendiri. Bersyukur kepada Allah seperti menuangkan air pada bejana yang penuh, lalu dari wadah itu tumpah ruah bagi kita minuman yang lebih lembut dari susu, lebih manis dari madu, lebih sejuk dari salju.
Adapun bagi yang mengkufuri Allah, adalah Dia Maha Kaya, tidak berhajat sama sekali pada para hambaNya, tidak memerlukan sama sekali ungkapan syukur mereka, dan tidak membutuhkan sama sekali balasan dari mereka. Lagi pula Dia Maha Terpuji, yang pujian padaNya dari makhluq tidaklah menambah pada kemahasempurnaanNya, yang kedurhakaan dari segenap ciptaanNya tidaklah mengurangi keagunganNya.
Maka Luqman adalah ahli syukur yang sempurna syukurnya kepada Allah. Dia mengakui segala nikmat Allah yang dianugrahkan padanya dan memujiNya atas karunia-karunia itu. Dia juga mempergunakan segala nikmat itu di jalan yang diridhai Allah. Dan dia pula berbagi atas nikmat itu kepada sesama sehingga menjadikannya kemanfaatan yang luas.
“Seseorang yang tidak pandai mensyukuri manusia”, demikian Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda dalam hadits riwayat Imam At Tirmidzi, “Sungguh dia belum bersyukur kepada Allah.” Maka asas di dalam mendidik dan mewariskan nilai kebaikan kepada anak-anak sebakda bersyukur kepada Allah sebagai pemberi karunia adalah bersyukur kepada sang karunia, yakni diri para bocah yang manis itu.
Di lapis-lapis keberkahan, rasa syukur yang diungkapkan kepada anak-anak kita adalah bagian dari bersusun-susun rasa surga dalam serumah keluarga.
“Nak, sungguh kami benar-benar beruntung ketika Allah mengaruniakan engkau sebagai buah hati, penyejuk mata, dan pewaris bagi kami. Nak, betapa kami sangat berbahagia, sebab engkaulah karunia Allah yang akan menyempurnakan pengabdian kami sebagai hambaNya dengan mendidikmu. Nak, bukan buatan kami amat bersyukur, sebab doa-doamulah yang nanti akan menyelamatkan kami dan memuliakan di dalam surga.”
Inilah Rasulullah yang mencontohkan pada kita ungkapan syukur itu bukan hanya dalam kata-kata, melainkan juga perbuatan mesra. “Ya Rasulallah, apakah kau mencium anak-anak kecil itu dan bercanda bersama mereka?”, tanya Al Aqra’ ibn Habis, pemuka Bani Tamim ketika menghadap beliau yang sedang direriung oleh cucu-cucu Baginda.
“Mereka adalah wewangian surga, yang Allah karuniakan pada kita di dunia”, jawab beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sembari tersenyum.
“Adalah aku”, sahut Al Aqra’ ibn Habis, “Memiliki sepuluh anak. Dan tak satupun di antara mereka pernah kucium.”
“Apa dayaku jika Allah telah mencabut rahmatNya dari hatimu? Barangsiapa yang tidak menyayangi, dia tidak akan disayangi.”
“Dan ingatlah ketika Luqman berkata kepada anaknya dan dia sedang memberi pengajaran kepadanya, ‘Duhai anakku tersayang, janganlah engkau mempersekutukan Allah. Sesungguhnya kesyirikan adalah kezhaliman yang besar.” (QS Luqman [31]: 13)
Dengarlah Luqman memanggil putranya, Tsaran ibn Luqman dengan sapaan penuh cinta, “Ya Bunayya.. Anakku tersayang.” Alangkah besar hal yang akan dia ajarkan. Betapa agung nilai yang akan dia wariskan. Yakni tauhid. Bahwa Allah adalah Rabb, Dzat yang telah mencipta, mengaruniakan rizqi, memelihara, memiliki, dan mengatur segala urusannya. Maka mempersekutukan Dia; dalam ibadah, pengabdian, dan ketaatan adalah sebuah kezhaliman yang besar.
Kenalkanlah Allah pada anak-anak kita sejak seawal-awalnya, dengan cara yang paling pantas bagi keagungan dan kemuliaanNya. Kenalkanlah Allah pada anak-anak kita dari semula-mulanya, dengan kalimat yang paling layak bagi kesucian dan keluhuranNya. Kenalkanlah Allah pada anak-anak kita mulai sepangkal-pangkalnya, dengan ungkapan dan permisalan yang paling sesuai bagi kesempurnaan dan kebesaranNya.
Sebab janji kehambaan seorang makhluq telah diikrarkan sejak di alam ruh, maka membisikkan tauhid ke dalam kandungan, melirihkannya pada telinga sang bayi dalam buaian, atau menyenandungkannya sebagai pengajaran adalah baik adanya.
“Dan Kami wasiatkan kepada manusia kebaikan terhadap kedua orangtuanya; ibunya yang telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun, ‘Bersyukurlah kepadaKu dan kepada kedua orangtuamu. KepadaKulah tempat kembalimu.”(QS Luqman [31]: 14)
Maha Mulia-lah Dzat yang dalam pembicaraan tentang keesaanNya dari pengajaran seorang ayah kepada putra, Dia meminta perhatian sejenak tentang hak kedua orangtua. Maha Agung-lah Dzat yang dalam penuturan tentang ketauhidanNya dari wasiat seorang bapak kepada anak, Dia mengingatkan kita tentang kebaikan yang wajib kita tanggung terhadap sosok yang telah mengandung, melahirkan, mendidik, dan menumbuhkan kita.
Sesungguhnya lisan perbuatan jauh lebih fasih daripada lisan perucapan. Maka apa yang dilihat oleh anak-anak kita akan terrekam lebih kokoh di dalam benak dan jiwa mereka dibanding semua kata-kata yang coba kita ajarkan padanya. Maka siapapun yang merindukan anak berbakti bakda ketaatannya kepada Allah, bagaimana dia memperlakukan kedua orangtua adalah cermin bagaimana kelak putra-putrinya berkhidmat kala usia telah menua.
Allah menyatukan antara kesyukuran padaNya dengan kesyukuran pada orangtua, sebab melalui ayah dan ibulah Dia mencipta kita, memelihara, mengaruniakan rizqi, serta mengatur urusan. Ayah dan ibu adalah sarana terjadinya kita, terjaganya, tercukupi keperluannya, serta tertata keadaannya. Maka Allah menganugerahkan kehormatan kepada mereka dengan doa yang indah, “Rabbighfirli wa li walidayya warhamhuma kama rabbayani shaghira.”
“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tiada pengetahuan bagimu terhadapnya, maka janganlah kau taati keduanya. Dan persahabatilah mereka berdua di dunia dengan baik. Dan ikutilah jalan orang yang kembali bertaubat kepadaKu, kemudian hanya kepadaKulah tempat pulang kalian, maka akan Kuberitakan pada kalian apa-apa yang telah kalian kerjakan.” (QS Luqman [31]: 15)
Allah memberikan batas yang jelas tentang bakti kepada orangtua, yakni lagi-lagi tauhid itu sendiri. Tidak ada ketaatan kepada makhluq, siapapun dia, semulia apapun dia, dalam rangka bermaksiat kepada Al Khaliq. Tapi berbedanya keyakinan orangtua yang masih musyrik dengan kita yang mengesakan Allah sama sekali tak menggugurkan perlakuan yang patut dan sikap bakti yang terpuji terhadap mereka.
Jalan untuk menjadi orangtua yang mampu mendidik anaknya juga hendaknya mengikuti jalan orang-orang yang bertaubat nashuha. Sebab tak ada yang suci dari dosa selain Sang Nabi, maka sebaik-baik insan adalah yang menyesali salah, memohon ampun atasnya, memohon maaf kepada sesama, serta berbenah memperbaiki diri. Pun demikian terhadap anak-anak kita.
Banyakkan istighfar atas ucapan dan perlakuan kepada putra-putri kita. Jangan malu mengakui kekhilafan dan meminta maaf kepada mereka. Teruslah memperbaiki diri dengan ilmu dan pemahaman utuh bagaimana seharusnya menjadi seorang Ayah dan Ibu yang amanah. Sebab kelak, ketika seluruh ‘amal kita kembali tertampak, Allah pasti menanyakan segenap nikmat yang telah kita kecap, dan meminta pertanggungjawaban atas segala perbuatan. Pada hari itu, seorang anak yang tak dipenuhi hak-haknya oleh orangtua untuk mendapatkan ibunda yang baik, lingkungan yang baik, nama yang baik, serta pengajaran adab yang baik; berwenang untuk menggugat mereka.
“Duhai anakku tersayang, sungguh seandainya ada sesuatu yang seberat timbangan biji sawi tersembunyi di dalam sebuah batu, atau di lapis-lapis langit, atau di petala bumi; niscaya Allah akan mendatangkan balasannya. Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Tahu.” (QS Luqman [31]: 16)
Luqman melanjutkan pengajarannya dengan menjelaskan hakikat ‘amal baik dan buruk serta dasar dorongan beramal yang sejati. Ini dilakukannya sebelum memberi perintah tentang ‘amal shalih di kalimat berikutnya. Sungguh, menanamkan pada anak-anak kita bahwa Allah senantiasa ada, bersama, melihat, mendengar, mengawasi, dan mencatat perbuatan dan keadaan mereka, jauh lebih penting dibanding perintah ‘amal itu sendiri.
Sungguh memahamkan pada anak bahwa Allah-lah yang senantiasa hadir di setiap ‘amal maupun hal, bahwa Dia Maha Mengetahui segala yang tampak maupun tersembunyi, yang mereka lakukan kala ramai bersama maupun sunyi sendiri, adalah dasar terpenting sebelum memerintahkan kebajikan dan melarang dari kemunkaran. Dan bahwa Allah akan membalas semua itu dengan balasan yang setimpal dan sempurna.
Penting bagi kita untuk mengatakan pada mereka, “Nak, Ayah dan Ibu tak selalu bias bersamamu dan mengawasimu, tapi Allah senantiasa dekat dan mencatat perbuatanmu. Dia Maha Melihat dan Maha Mendengar. Jangan takut kalau kamu berlaku benar dan berbuat baik, sebab Dia akan selalu menolongmu. Jangan khawatir ketika kamu berlaku benar dan berbuat baik, sebab sekecil apapun ‘amal shalihmu, meski Ayah dan Ibu serta Gurumu tak tahu, tak dapat memuji maupun memberikan hadiah padamu; tetapi Allah selalu hadir dan balasan ganjaran dari Allah jauh lebih baik dari segala hal yang dapat diberikan oleh Ayah dan Ibu.”
“Demikian pula Nak, jika kamu berbuat keburukan atau berbohong, sekecil apapun itu, meski Ayah, Ibu, maupun Ustadzmu tak menyadarinya, sungguh Allah pasti tahu. Dialah Dzat yang tiada satu halpun lepas dari pengetahuan dan kuasaNya, hatta daun yang jatuh dan langkah seekor semut di malam gulita. Dan Allah juga pasti memberi balasan yang adil pada setiap kedurhakaan padaNya, juga atas keburukan yang kamu lakukan pada Ayah, Ibu, dan sesama manusia lainnya.”
Inilah dia pokok-pokok pengajaran; dari sejak rasa syukur, tauhid, bakti kepada orangtua, taubat, hingga pemahaman akan hakikat ‘amal di hadapan Allah. Ianya harus menjadi perhatian setiap orangtua bahkan sebelum memerintahkan ‘amal terpenting di hidup anak-anak mereka yang akan dihisab pertama kalinya, yakni shalat. Kini kita tepekur menganggukkan kepala, mengapa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memberi arahan agar kita memerintahkan shalat kepada anak barulah ketika dia berumur tujuh, dan barulah orangtua diizinkan memberi pukulan yang tidak menyakitkan dan tidak menghinakan pada umur sepuluh tahun ketika anaknya menolak shalat.
Sebab sebelum tujuh tahun, ada hal-hal jauh lebih besar yang harus lebih didahulukan untuk ditanamkan padanya.
“Duhai anakku tersayang, tegakkanlah shalat, perintahkanlah yang ma’ruf, cegahlah dari yang munkar, dan bersabarlah atas apa yang menimpamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk perkara-perkara yang ditekankan.” (QS Luqman [31]: 17)
“Dirikanlah shalat dengan menegakkan batas-batasnya”, tulis Imam Ibn Katsir dalam Tafsirnya, “Menunaikan fardhu-fardhunya, serta menjaga waktu-waktunya.” Shalat yang mencegah perbuatan keji dan munkar pada diri selayaknya diikuti tindakan untuk mengajak dan menjaga manusia supaya tetap berada di dalam kebaikan dan terjauhkan dari keburukan. Shalat yang kita ajarkan pada anak-anak kita sudah selayaknya membentuk jiwa dakwah yang tangguh pada dirinya, hingga dia mampu bersabar atas segala yang menimpanya di dalam beriman, berislam, berihsan, berilmu, dan berdakwah.
“Dan janganlah engkau memalingkan muka dari manusia serta jangan berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang sombong lagi membanggakan diri. Dan sederhanalah engkau dalam berjalan, serta tahanlah sebagian suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara adalah suara keledai.” (QS Luqman [31]: 18-19)
Kata “Ash Sha’r”, menurut Imam Ath Thabari asalnya bermakna penyakit yang menimpa tengkuk seekor unta sehingga kepala dan punuknya melekat dengan wajah yang terangkat ke atas lagi bergerak ke kiri dan ke kanan di kala berjalan. Luqman melarang putranya dari mengangkat wajah dan memalingkan muka semacam itu dengan rasa sombong yang berjangkit di hati.
Inilah buah dari iman, ilmu, ‘amal, dan dakwah dari seorang putra yang dididik oleh ayahnya. Ialah akhlaq yang indah kepada sesama, berpangkal dari lenyapnya rasa angkuh dalam dada sebab mengenal dirinya dan merundukkan diri karena tahu bahwa dia hanya salah satu makhluq Allah yang memiliki banyak kelemahan serta kesalahan. Inilah akhlaq itu, yakni saripati yang manis, harum, dan lembut dari buah pohon yang akarnya kokoh menghunjam, batangnya tegak menjulang, dan cecabangnya rimbun menggapai langit.
Dan akhirnya, akhlaq itu disuguhkan dalam tampilan yang paling menawan berupa terjaganya Adab dengan cara berjalan yang sopan dan patut serta cara bicara yang lembut dan santun. Inilah pengajaran sempurna dari Luqman kepada putranya, digenapi dengan panduan mengejawantahkan akhlaq menjadi adab. Akhlaq adalah nilai kokoh yang menetap dalam jiwa. Adab mengenal zaman dan tempat yang bertepatan baginya.
Inilah bersusun-susun rasa surga di serumah keluarga, teladan dari Luqman dalam mewariskan nilai-nilai kebajikan pada anaknya, di lapis-lapis keberkahan yang penuh cinta.
sepenuh cinta,
-salim a. fillah-
Islamic Book Fair 2014
Maret 10, 2014 § 2 Komentar
Tidak pernah ada tokoh hebat, pemikir ulung, orang-orang besar terpisahkan dari aktifitas membaca. Seorang Anis Matta menghabiskan 10 jam sehari saat masa liburan sekolah dengan membaca varian jenis buku di saat teman-teman sebayanya tengah asik bermain. Para jenius di bidangnya adalah seorang yang gemar membaca. Membaca dapat meningkatkan kemampuan verbal, membantu menyampaikan ide, meningkatkan kemampuan mengatasi masalah, meningkatkan konsentrasi, meningkatkan kemampuan menulis, serta meningkatkan daya ingat.
Membaca adalah aktifitas yang sudah dilakukan oleh para pendahulu manusia. Dalam sebuah riwayat disebutkan bagaimana Qabil yang kebingungan menguburkan jasad saudaranya tampak tertegun ketika seekor gagak menggali dan membenamkan mayat gagak yang mati ke dalam tanah. Qabil mampu membaca tanda-tanda alam dan menggunakannya sebagai tools menghadapi permasalahan yang dihadapi. Generasi pertama manusia pun sudah berhasil “membaca” dengan caranya sendiri.
Membaca tidak terbatas pada teks yang tertuang di kertas atau layar laptop. Membaca pada masa tersebut berarti menterjemahkan, mentranslasi fenomena yang terjadi di sekitar menjadi sebuah pelajaran berharga.
Semenjak Cai Lun menemukan kertas 2 abad sebelum masehi dan kemudian disempurnakan oleh Johannes Gutenberg dengan mesin cetaknya 17 abad kemudian, aktifitas membaca mengerucut pada interaksi manusia dan buku yang menghasilkan ide-ide.
***
Mulai tanggal 28 Februari-9 Maret 2014, Islamic Book Fair (IBF) kembali menghiasi Istora, Senayan, Jakarta. Pameran buku islam terbesar yang diadakan setahun sekali di Jakarta ini memberikan kesempatan bagi para penikmat buku untuk berburu buku dengan harga yang cukup miring.
Buat gue, IBF kali ini adalah yang kedua setelah setahuh sebelumnya gue juga menghadiri IBF di tempat yang sama. Ga Nanya ya? Yaudah gapapa. Blog blog gue ini..haha.
Berbekal semangat mencari ilmu dan rekening yang masih utuh (habis gajian ceritanya), gue langsung melancong ke IBF pada hari pertama mereka buka. Gue harus menyusun strategi dan memilah terlebih dahulu buku apa saja yang menjadi prioritas untuk dibeli yang sesuai dengan kebutuhan dan kantong. Buat gue, berada di lautan buku adalah kebahagiaan yang sangat luar biasa, dikelilingi oleh khazanah pengetahuan yang membuncah.
Gue berhasil memindai beberapa buku yang sangat direkomendasikan untuk dibaca. Salah satu buku yang paling dicari oleh gue dan banyak orang lainnya adalah buku terbarunya Ust Salim A. Fillah Lapis-lapis keberkahan. Cuplikan adegan beberapa orang yang menyengaja diri mampir ke stand proumedia untuk sekedar melihat dan bertanya kepada penjaganya seputar kapan buku terbaru Ust Salim terbit, masih terekam jelas di memori gue.
Sambil mencari-cari, sesekali gue melihat stand-stand yang berjajar di bilik-bilik tersusun nan ajeg. Stand Mizan masih menggurita. Koleksi buku yang berlimpah dari penulis ternama menghiasi stand yang berada di beberapa titik. Buku Ust Felix Siauw masih menjadi santapan iman yang paling laris. Bertutut-turut Stand Republika dan gema insani menjadi beberapa stand yang paling diminati oleh pengunjung.
Wajah anis matta juga turut meramaikan pameran buku. Dengan siluet setengah badannya yang tengah mengepalkan tangan bak orang yang sedang berorasi memenuhi rak-rak buku di beberapa stand. Anis matta kembali menuangkan gagasan cemerlangnya dalam buku “momentum kebangkitan”. Buku yang berisi enam orasi dan tiga narasi Anis matta dalam berbagai forum publik dan kepartaian. Sejujurnya, saya pun masih belum tertarik membeli buku ini karena masih ada antrian panjang wishlist book yang harus dibeli.
Di tengah sesak dan padatnya manusia, ada kebahagian tersendiri saat gue berada di tengah pameran. IBF memberikan ruang bagi semua buku bernafaskan islam dari semua aliran/gerakan/manhaj atau apapun klasifikasi yang orang-orang sematkan untuk pemahaman tarbiyah ikhwan, khilafah HTI, Salafi dll. Buku-buku dari berbagai pergerakan hadir dengan daya tariknya masing-masing. Yang paling mencolok adalah stand ikhwan dan HT. Stand ikhwan dapat dicirikan dari buku-buku yang mengusung ide demokrasi dalam islam, tentang PKS, buku-buku karangan kader. Sementara HTI dapat dicirikan dari konten bukunya yang berbau khilafah dan strateginya. Salafi, JT bisa dikelompokkan berdasarkan jenis buku yang lebih menitikberatkan pada fiqh kontemporer dan buku-buku yang apolitis.
Melihat toko buku tersebut berjajar berdampingan, yang bisa jadi buku-buku di sana saling menjawab ide pergerakan masing-masing, adalah gambaran bahwa semestinya setiap harokah yang ada di bumi Indonesia maupun di dunia haruslah hidup damai, rukun tanpa perlu saling sikut dan saling menyudutkan. Silahkan setiap harokah berpegang teguh pada metoda pergerakan yang dilakukan tapi harus lebih terbuka terhadap kritik. Pun bagi mereka yang bersebrangan, haruslah saling menghargai karena bagaimanapun kita semua adalah tetap bertuhan Allah, berasulkan Muhammad dan berkitabkan Al-Quran.
Ah kenapa gue berceloteh ngalor ngidul. Sok ngerti masalah pergerakan islam.
Jelas, yang paling membahagiakan setiap ada book fair adalah harga buku yang diskon besar-besaran. Salah satu stand yang memberikan diskon secara dramatis adalah toko buku Zaman dengan potongan harga hingga 40%.
Apa? 40%?? *kamera zoom in, kamera zoom out*
Beberapa waktu lalu, gue tertarik untuk membeli buku Sejarah Perang Salib karangan Karen Armstrong dan history of Arab karya Philip. K Hitti. Sayang, saat itu harga buku di gramedia masih selangit. Gue coba rayu Gayus Lumbuun buat minjemin gue duit, dia masih di penjara. Gue batalin niat tersebut dan lalu mengirimkan personal message ke akun facebooknya Zuckerberg, berharap doi menjadi begitu bodohnya memberikan gue duit secara cuma-cuma.
Beruntungnya, penerbit kedua buku tersebut, Zaman, mengisi salah satu booth di IBF 2014. Harga keduanya didiskon hingga 40%. Tanpa perlu pikir panjang, gue beli buku tersebut. Alhamdulillah, kalo jodoh emang ga kemana.
Perburuan gue berlanjut. Mata gue kemudian tertuju pada salah satu buku berjudul “Rockefeller’s files”. Ada yang pernah denger nama John D. Rockefeller? Atau pernah denger standard oil? Yup, doi adalah taipan minyak asal A.S yang berhasil melahirkan standard oil yang kini pecah menjadi Chevron, Exxon. Buku ini bertutur tentang kisah Rockefeller yang mengatur dunia, tandemnya Rothscild.
Saat tengah khusyuk mengamati, gue tanpa sengaja tersandung sebuah buku tebal dengan cover bergambar seorang pria afro-amerika yang mengenakan kacamata hitam dan jas nan gagah. Sosok seorang Malcolm-X, muslim revolusioner amerika yang memperjuangkan prinsip egaliter bagi warga kulit hitam di amerika. Sama halnya dengan Martin Luther King. Preferensi gue berubah. Gue tinggalkan Rockefeller untuk selanjutnya memilih Malcolm-X. Alasan utama gue berpindah ke lain hati adalah karena harga buku otobiografi tersebut hanya dibandrol 25.000 IDR. Tanpa menunggu Saiful Jamil nyanyi reggae, gue langsung ke kasir.
Tak lupa gue membeli buku Bahagianya Merayakan Cinta Ust Salim A. Fillah sebagai kado terindah buat temen kosan gue yang menikah. Sebuah buku suplemen yang akan membantu keluarga baru membangun cinta mereka dengan panduan kehidupan secara islami.
Untuk menutup perburuan, gue memilih buku Fiqih Demokrasi karangan Rapung Samuddin, LC. Buku yang memberikan opini tentang demokrasi dari sudut pandang fiqih. Buku ini gue jadiin sebagai referensi kalo ada orang-orang yang petantang petenteng berkoar koar demokrasi haram, mari golput, mengkafirkan mereka yang mengikuti alur demokrasi. Semoga dengan adanya buku ini, pemahaman gue menjadi semakin kokoh dan memberikan jawaban mengapa islam masih bertoleransi pada demokrasinya yunani.
Sebenernya ada satu lagi buku yang gue beli. Sebuah buku karya Ust. Muhammad Fauzil Adhim. Buku yang gue persembahkan buat seseorang di hari lahirnya yang ke-26. Semoga buku tersebut benar-benar menjadi kado terindah untuk dia. *judul buku masih dirahasiakan* :D.
Demikianlah hasil pertualangan gue di Islamic Book Fair 2014. Semoga buku-buku yang terbeli bisa diselesaikan lebih cepat. Buku yang dibeli saat IBF 2013 masih ada yang terbungkus rapih dengan plastik. Memang, membeli buku tidak selalu linier dengan membacanya. Sekian saja cerita gue, terus pantengin channel ini dan jangan lupa follow atau subscribe. Peace, love and Gaul. *lo kira youtube*.
Sumber Gambar