Rohis Antara Tarbiyah dan Politik
April 6, 2014 § Tinggalkan komentar
Konstelasi politik yang semakin kental mendekati tanggal 9 April 2014 memberikan ruang bagi setiap kepala untuk menuangkan opini, kritik, pendapatnya tentang pilihan politik sebagai bagian dari kehidupan berdemokrasi. Perang opini di media sosial berkembang secara masif dengan mengelompokkan kubu-kubu yang saling beradu argumen antara partai A dan partai B. Tidak ketinggalan pula mereka yang memilih untuk menolak gagasan demokrasi dan menggunakan hak pilih untuk tidak memilih.
Rekam jejak politik praktis buat saya pribadi telah dipupuk sejak masa SMA. Walaupun saat itu saya tidak mengenal politik an sich. Politik secara global mendekati saya melalui pintu pembinaan keislaman setiap pekan. Tarbiyah yang saya peroleh dari ekstrakurikluer Rohis memberikan pendekatan politik melalui pemahaman bagaimana seharusnya Islam menjadi rahmatan lil alamin dan menguasai setiap sendi kehidupan agar tercipta sebuah kehidupan yang madani.
Sejak pertama kali mengenakan seragam abu-abu, kakak puan saya yang jua merupakan alumni di sekolah yang sama, menyarankan agar saya memilih kerohanian islam (Rohis) sebagai pilihan kegiatan ekstrakurikuler siswa. Tanpa penolakan, saya seolah dengan ikhlas mengamini preferensi yang ia sarankan. Dan, Resmilah saya tergabung di organisasi Kerohanian Islam (Rohis) selama masa SMA. Organisasi yang membentuk karakter keislaman dan mencoba menghidupkan kembali nilai-nilai islami melalui para pengurus dan anggotanya.
Suatu hari di hari Ahad, Rohis mengadakan sebuah kegiatan yang biasa dikenal dengan Rihlah. Kegiatan hiburan yang berisi games lucu bersama para senior. Di sela acara, seorang pria dengan jenggot rapih mengguntai, senyum teduh menawan, tatapan tajam, dan aura ruhiyah yang terpancar mendatangi saya untuk mengajak berdiskusi renyah. Beliau memberikan penawaran untuk melakukan kajian islam. Penawaran yang sama juga ditujukan pada beberapa orang anggota rohis lainnya. Setelah bersepakat, ahad satu pekan setelahnya kami akan melakukan pengajian bersama beliau. Itulah saat pertama kali kami bersentuhan dengan tarbiyah.
Karena kesan pertama begitu menggoda, kami rutin menghadiri kajian pekanan tersebut. Mula-mula kami menyebutnya dengan ta’lim lalu bergeser menjadi halaqoh dan pada akhirnya kami lebih nyaman dengan liqoat atau ngaji. Pertemuan sekali sepekan memberikan wawasan tentang islam, ukhuwah islamiyah serta mengasah kembali sensitifitas kami terhadap kondisi umat islam saat ini. Perang pemikiran yang tidak bisa dihindari. Kami belajar kembali tentang akidah, sembari tetap memandang nanar terhadap realita umat.
Pertemuan setiap pekan selalu berhasil mengisi kembali ruhiyah kami yang kosong setelah satu pekan beraktifitas. Ada yang kurang saat kami absen atau bolos ngaji. Kondisi keimanan senantiasa drop karena kami menyadari bahwa iman itu yazid wa yankus.
Tidak jarang kami bermalam bersama (mabit), menghabiskan malam-malam dengan kesenduan saat tersimpuh doa di akhir solat malam. Pekatnya malam pecah oleh suara tangis kesyahduan saat sang imam melantunkan ayat dengan penuh kekhusyuan. Muhasabah selalu menjadi penutup akhir sholat. Air mata terasa mengering saat setiap renungan terucap. Dosa-dosa seolah terpampang hebat.
Kakak senior dengan ikhlas membimbing kami setiap pekannya.Untuk kemudian kami menyebutnya dengan murobbi sementara kami adalah mutarobbi. Kepedulian akan tegaknya kembali islam di bumi pertiwi yang mampu membakar semangatnya untuk menelurkan kader-kader yang kokoh secara fikrah dan jasad dari rahim tarbiyah. Karenanya ia tak pernah bosan untuk terus membina kami menjadi pribadi yang unggul.
“terlepas dari seperti apa pilihan hidup yang kalian ambil kelak, ingatlah bahwa kalian adalah dai sebelum segala sesuatunya. Sebarkanlah pesan-pesan kebaikan. Jadilah agen-agen perubahan”. Pesan yang terus membakar semangat berbuat kebajikan untuk kini dan selamanya.
Salah satu “doktrin” moral yang selalu diingatkan oleh murobbi adalah keteladanan selalu lebih baik daripada seribu nasihat. Jadilah teladan dalam setiap pilar kehidupan yang kita pilih. Di sekolah, berprestasilah hingga prestasi tersebut menjadi daya tarik bagi orang lain untuk menyadari bahwa muslim yang baik tidak melepaskan atribut dunia. Ia sholeh secara akhlak, ia juga bersinar dalam akal.
Menjadi santun dan memiliki attitude yang baik adalah buah dari tarbiyah yang menumbuhkan kami menjadi pribadi bersahaja.
Lalu tersiarlah anak-anak rohis dengan segudang prestasi. Hampir-hampir semua yang berprestasi secara akademik pernah tercelupi dengan syiar rohis sekolah. Lebih-lebih mereka yang terwarnai dengan tarbiyah. Mulai dari ketua rohis yang jago matematika, ketua divisi yang menokoh dan akhawat-akhawat yang memainkan peranannya di semua celah kebaikan.
Dan anak-anak rohis sukses besar dengan mengirimkan “agen” nya ke berbagai universitas negeri terbaik. Mereka tersebar mulai dari Jogja, Depok, Bandung, Bogor, hingga jurusan-jurusan favorit di kampus negeri lokal. Tolak ukur kecerdasan siswa dapat distandarkan dengan beberapa faktor. Selain melalui tes IQ dan angka-angka bisu yang tertuang pada buku raport, studi lanjutan siswa ke universitas favorit juga menjadi parameter yang sering didengungkan.
Prestasi mentereng tidak lantas membuat para pentolan rohis pongah.Kecerdasan dan segudang prestasi yang tersemat membuat kami menyadari bahwa keteladanan bukanlah imej yang dipaksakan. Keteladanan lahir dari ketulusan. Lalu kami mencoba mewariskan kebaikan dan segala motivasi kepada para junior di sekolah. Mengharapkan sebuah multi-level kebaikan laksana apa yang pernah murobbi kami pernah lakukan.
Sejak pertama kali kami berinteraksi dengan rohis hingga merasakan lezatnya hidangan tarbiyah, tak pernah sekalipun kami mengalami indoktrinasi dengan pilihan-pilihan politik. Selain pola pikir yang belum matang untuk meladeni domain tersebut, sang murobbi lebih menitikberatkan pada pentingnya Islam menguasai negara karena agama ini harus memenuhi semua sendi-sendi kehidupan. Agar tidak ada lagi umat yang dibantai seperti memori kelam ambon dan poso, palestina terbebas dari cengkraman zionis dan memutus mata rantai pemikiran islam nyeleneh yang akan menguasai pemerintahan.
Lambat laun, tanpa perlu dicekoki dengan berbagai hal tentang politik praktis dan segala pertimbangan baik dan buruknya, kami seolah tersadar dengan sendirinya bahwa Islam perlu menguasai parlemen. Referensi kami pun jatuh pada murobbi yang senantiasa membimbing kami. Yang memupuk dan menyinari jiwa dengan tausiyah dan segala taujih. Ia juga yang menautkan hati saya dan sodara seiman dalam ikatan ukhuwan. Ta’liful Qulub ujarnya.
“Kelak, kalian akan menemukan orang-orang yang tidak pernah kalian temui sebelumnya. Namun kecenderungan hati dan pancaran keimanan seolah menambatkan chemistry yang hadir tanpa perlu dikomandoi. Mereka adalah saudara-saudara yang akan selalu membantu dalam segala susah. Keluarga yang menempuh jalan yang sama yang kalian lalui. Sapalah mereka, senyumlah hingga pertemuan itu menjadi awal dari sebuah kejayaan”.
Saat kami menginjakkan kaki di kampus, benar apa yang diucapkan oleh Sang Murobbi. Begitu banyak orang-orang seperti apa yang beliau cirikan. Kehangatan, kesejukan berpadu menjadi elemen yang mampu membuat diri ini nyaman berlama-lama di dekat mereka. Dan ternyata mereka memiliki pandangan politik yang sama dengan murobbi semasa SMA.
Saya pun baru menyadari bahwa buah manis dari semua nilai islami yang saya peroleh semasa SMA dan kemudian berlanjut di bangku kuliah adalah kerja keras yang dilakukan oleh sebuah partai islam terbesar di Indonesia. Manusia-manusia di dalamnya sangat peduli terhadap generasi muda. Mereka membina kami dalam lingkaran-lingkaran ukhuwah sebagai upaya pembentukan karakter mulia dan mengeliminasi budaya permisif dari negeri adidaya.
Orang-orang dalam partai ini jua yang melahirkan sosok gagah nan soleh-solehah yang selalu mendidik kami menjadi manusia berguna. Kesantunan yang kami peroleh, prestasi yang kami raih adalah buah dari tarbiyah yang dengan rapih disusun oleh Partai Kita Semua.
Kini setelah bertahun-tahun saya menanggalkan seragam putih abu-abu, semangat memenangkan partai ini semakin menggelora. Kami ingin negeri ini terwarnai oleh semua kebaikan, panutan, kebaikan, kesolehan yang kami rasakan. Meskipun kami sadari fitnah dan caci datang silih berganti. Dan kami pahami bahwa mencemplungkan diri ke dalam politik adalah pilihan untuk mencelupkan tubuh ke dalam noda. Namun seberapa cepat kita bisa membersihkan diri dan lalu mengganti noda dengan cinta melalui kerja dalam harmoni menjadi kuncinya.
Setelah bertahun-tahun pula, mereka yang berprestasi tetap bertahan dengan gigih di jalan dawah ini. Alih-alih mundur teratur, beberapa orang teman SMA yang dulu terlihat gugu kini memilih langkah untuk bersatu dalam memenangkan islam di parlemen. Bahkan mereka kini memberikan dukungan tidak sendirian tapi berdua, bertiga bahkan berempat bersama pasangan dan jundi jundi yang berbicara pun masih tertatih.
Semoga kita menyadari bahwa tidak tegak islam tanpa sebuah negara dan tak tegak negara tanpa kepemimpinan. Saya mantap dengan pilihan untuk Partai Kita Semua pada Pemilu 2014. Salam 3 B3sar.
Sumber Foto :
Foto PKS dari sini
Foto Kader Tarbiyah dari koleksi pribadi
Berjuang untuk rakyat?
Maret 4, 2011 § Tinggalkan komentar
Kisruh politik kian menjadi. Koalisi, oposisi semakin menggila. Diskusi-diskusi terus bermunculan di berbagai media. Siapa yang akan ditendang keluar dari lingkungan dalam pemerintah dan siapa yang akan dirangkul untuk masuk ke dalam lingkaran yang ada. Semuanya menunjukkan kapasitas yang sangat luar biasa, untuk beretorika, bermain muka, mengadu domba.
Partai koalisi berujar “tidak masalah bagi kami berada di luar atau di dalam koalisi”. Ucapan seperti ini pun akhirnya dibalas dengan artikulasi diplomatis oleh partai oposisi, “kami sudah membuktikan bahwa kami mampu berperan baik sebagai oposisi, apa jadinya jika kami berkoalisi?”.
Satu kesimpulan dari mereka yang terus beradu argumen tentang posisi partai di koalisi ataupun oposisi. Semua sepakat dan menyerukan satu suara bahwa mereka berjuang untuk rakyat. “Tidak jadi masalah di dalam atau di luar pemerintah, selama kepentingan2 rakyat yang kami bela”, retorika seperti ini menggaung di kalangan partai. Seolah mereka bertindak sebagai robin hood yang membela hak-hak rakyat jelata tanpa peduli seperti apa posisi yang dicipta.
Satu pertanyaan yang selalu ada di otak gw. Kepentingan rakyat mana yang dibela? rakyatnya Golkar kah, rakyatnya PKS kah, rakyatnya PD kah atau rakyat yang mana? karena selama mereka berjibaku, beradu, bersikuku, rakyat Indonesia masih bergelimang kemiskinan. Rakyat Indonesia masih menangis kelaparan. Jika mereka berjuang untuk rakyat indonesia, ga perlu artikulasi manis yang dikeluarkan dan diucapkan. Cukup aksi nyata untuk kesejahteraan bangsa.
Boleh jadi partai partai beralasan bahwa apa yang dilakukan mereka sekarang untuk hal yang lebih besar di masa mendatang. Tapi sampe kapan kalian akan berdiskusi di ranah dewa sana? Sementara menanti kalian berselisih, bangsa ini merintih perih.
Gw ga mau sekedar mengkritisi. Cukuplah apa yang gw tulis ini sebagai bagian dari aspirasi dari orang-orang yang peduli. Sebagai bahan buat kita semua introspeksi. Sekarang gw cuma bisa doa buat bangsa dan negeri Indonesia tercinta. Biar kalo gw atau anak cucu gw jadi pejabat ntar-ntarnya, gw ga pengen cuma beraksi di bibir doang. Karena cukup sudah dekadensi integrasi di negeri ini. Sudah puas mendengar janji-janji tak terealisasi.