Curhat Mang Angkot : Sebuah Catatan
Desember 30, 2016 § Tinggalkan komentar
Persis beberapa malam lalu gue menaiki angkot tujuan Cileunyi-Cicaheum. Tak berapa lama, angkot tersebut menyisakan gue berdua saja dengan sang sopir. Khawatir ada setan sebagai pihak ketiga, gue mencairkan suasana dengan membahas situasi per-angkotan di Bandung saat ini.
Mang angkot ini benar nampak lusuh. Karenanya gue urungkan niatan untuk meminta ‘telolet’. Ia mengeluhkan pendapatan yang kian hari kian menukik tajam. Menurutnya beberapa waktu belakangan pengguna angkot semakin berkurang. Banyak faktor yang melatar-belakangi. Mulai dari keberadaan ojek online, murahnya harga motor, hingga kemajuan infrastruktur yang menyebabkan berkurangnya jumlah penumpang akibat hilangnya sentra ekonomi semisal pasar rakyat yang notabene menggunakan angkot sebagai sarana transportasi tepat guna.
Sebagai orang luar, gue nyaris tidak pernah terpikir bahwa keberadaan ojek online berdampak se-signifikan itu pada pendapatan supir angkot. Selama ini gue berasumsi bahwa Gojek dan sejenisnya hanya akan berkompetisi dengan ojek pangkalan. Ternyata salah. Imbas keberadaan ojek online juga terasa pada supir angkutan kota. Kita sering ber-eufimisme bahwa keberadaan ojek online sudah ‘sepatutnya’ menggeser moda transportasi lama yang tidak kunjung bertransformasi. Ternyata banyak hal tidak se-sederhana itu.
Keadaan semakin runyam jika kita memasukkan variabel murahnya harga motor sehingga sebagian besar masyarakat meninggalkan sarana transportasi tersebut.
Di Bandung, menurut sang supir, banyaknya pembangunan seiring dengan bergesernya kluster-kluster area transaksi jual-beli masyarakat. Pembangunan jalan berdampak pada berkurangnya arus hilir mudik pedagang dari dan ke pasar yang melalui trayek tersebut. Gue tidak bisa memvalidasi argumen mang angkot. Gue hanya bisa mengangguk setuju pada curhatannya.
Buat si mang angkot, yang tidak sempet gue tanya siapa namanya, pemerintahan Pak Jokowi adalah separah-parah nasib tukang supir angkutan kota. Bagaimana tidak, mereka dipaksa berpindah bahan bakar dengan cara halus demi meredam gejolak di masyarakat.
Ia menambahkan, perlahan-lahan masyarakat miskin semakin dimiskinkan. Premium sebagai variabel penting dalam kehidupan profesionalisme mereka pelan-pelan dimutilasi. Semakin banyak SPBU menghilangkan premium dari daftar jual. Bagi gue, kalian, kelas menengah ngehe yang terbiasa menggunakan pertalite atau bahkan pertamax, rasionalisasi kinerja mesin kendaraan acap kali menjadi latar belakang penggunaan BBM dengan angka oktan minimal 90. Namun bagi mang angkot, selisih beberapa ratus rupiah antara premium, pertalite dan pertamax akan berdampak pada tercapai tidak setoran, bawa uang buat makan atau tidak untuk hari itu.
Gue selama ini ngeh bahwasanya premium pelan-pelan mundur teratur dari peredaran. Ia bak mantan yang ogah balikan. Namun karena empati yang minus, gue tidak pernah menyangka eksesnya bener-bener terasa untuk kelas menengah ke bawah. Bagi mang supir, setoran 110 ribu kini semakin berat tergapai. ‘Pemaksaan’ pengalihan penggunaan energi mengharuskan mereka memutar otak agar pulang ke rumah tidak hanya membawa lelah dan keringat.
Mang supir ini sudah berprofesi sebagai tukang angkot saat gue masih kencing di popok. Supir angkot adalah profesi yang ia tekuni sejak Pak Harto masih menjabat. Artinya ia konsisten dan istiqomah menjadi supir angkot hingga pernah mengalami semua masa kepresidenan RI, kecuali Bung Karno.
Buatnya, titik nadir nasib supir angkot dimulai sejak Mega berkuasa, dilanjut saat Gusdur dan paling parah saat ini. Ia tidak menggunakan pendekatan ilmiah yang njelimet. Tidak ada hitung-hitungan inflasi, Gini Ratio, GDP, BEP, BTP atau apa pun yang sering didengung-dengungkan para intelektual saat mengevaluasi nasib rakyat kecil. Hanya sekedar naluri untuk bertahan hidup hingga mampu mengendus bagaimana pemerintah berkuasa hingga teresonasi pada lapisan masyarakat paling bawah.
Diskusi malem kemarin juga menyadarkan gue bahwa pada dasarnya tidak ada angkot yang secara sukarela ngetem berlama-lama di pinggir jalan. Ada motif ekonomi yang kuat yang mendasari mereka mencari penumpang dengan cara demikian. Jadi bolehlah kita memaafkan angkot-angkot yang sering ngetem dengan dalih empati. Tapi kalo ngetemnya kelamaan, silahkan misuh sepuas hati.
Selayaknya juga bagi kita yang berekecukupan untuk melebihkan bayaran. Setidak-tidaknya mengikhlaskan kembalian jika hanya berselisih 500-an. Toh, tidak akan membuat kita miskin dan tidak akan membuat mereka kaya.
Gue juga menyadari bahwa perspektif kita sangat dipengaruhi oleh ruang-ruang subjektifitas. Banyak kondisi di mana kita memang harus lebih banyak mendengar ketimbang berbicara. Meminjam ucapan Dalai Lama bahwa saat berbicara kita hanya mengulang hal-hal yang pernah ada. Namun saat mendengar, kita bisa mendapatkan hal-hal yang baru. Itulah yang gue rasakan.