Perjalanan ke Merbabu (1st Summit)
Agustus 28, 2013 § 5 Komentar
Pendakian gunung merbabu berawal dari ide temen-temen rombongan yang doyan ngetrip. Kami menamakan diri sebagai “Galang” alias “Gila bertualang”. Sering juga terpeleset menjadi “Galau bertualang” karena topik pembahasan di seputar grup whatsapp tidak jauh berkisar antara perasaan, galau karena beda prinsip dan seterusnya.
Suatu ketika salah seorang penghuni grup tersebut posting foto pendakian merbabunya. Gue sontak saja tertarik melihat keindahan pemandangan yang ia sajikan. Menggambarkan pendakian melewati awan. Gue tergugah. Pendirian gue selama ini, citra tentang pendakian gunung yang ribet runtuh seketika usai melihat poto tersebut. Oke, gue harus mendaki merbabu. Gue mengazamkan diri *pasang iket kepala*.
Sebagai peserta pendaikan gunung nubie, gue ga punya persiapan apa-apa buat mendaki merbabu. Karena persiapan mendeskripsikan keseriusan. Gedung belom disewa, catering belom ditelepon, undangan belom dicetak, bahkan calon pengantinnya belom ada. Persiapan gue hanyalah niat dan doa tulus. Astaga, kenapa jadi ngomongin kawinan.
Gue ga punya sepatu, ga punya matras, ga punya sleeping bag, keril dan berbagai keperluan primer seorang pendaki gunung. Walhasil, gue minjem semua barang-barang tersebut kecuali sepatu yang dengan terpaksa harus gue beli biar tidak terkesan “man without any climbing equipment”. Hingga kini sepatu itu adalah benda termahal nominalnya yang melekat di tubuh gue. Crap, naek gunung ternyata menyita dompet. Kalo mau ditotal-total, persiapan mendasar naek gunung bisa digunain buat buka franchise solaria. Hah, lebay lo!!.
Dan the judgment day finally came. Setelah berdiskusi sengit seputar perizinan cewe-cewe yang galau antara naik atau tidak, rombongan pendakian Merbabu akhirnya berangkat dengan komposisi 12 pria, 2 wanita, dan 1 “wanita” :D.
Rombongan ini terpecah menjadi dua regu besar. Regu A kita sebut dengan regu melati cayangdh kamoohh celamanya yang berangkat dari stasiun senen. Regu B kita panggil dengan regu anggrek bulan halum celalu eaaa, berangkat dari bandung. Dari 10 orang yang berangkat dari Jakarta, 3 adalah nubie, dua wanita kelas berat, satu kenalan baru, dua orang temen kosan gue sekaligus nubie level A (sudah pernah naek gunung papandayan), dan dua orang senior pendakian yang sudah malang melintang mengenyam dunia naik turun per-gunung-an. Sementara para pendaki dari titik keberangkatan Bandung terdiri dari seorang nubie level medium, wanita perkasa dan tiga orang lagi yang belum terdeteksi jejak petualangnya.
Journey was started here
Perjalanan dimulai. Kami berangkat dari Stasiun Senen jam 21.30 malem. Dua tiket mubazir karena yang bersangkutan dilarang pergi oleh orang tua. Mereka dipaksa menikahi Datuk Maringgi.
Setelah melalui perjalanan sekitar 7-8 jam, kereta kemudian tiba di stasiun lempuyangan, Yogya sekitar jam 05.00 subuh. Usai berpelukan dan menangis haru setelah bertemu tim dari Bandung (dih lebaynya), kami mengisi perut yang keroncongan. Perjalanan dimulai dengan menaiki trans jogja menuju terminal jombor (bukan jomblo) dan dilanjutkan menuju Terminal Magelang untuk seterusnya kami memilih carter bus menuju Basecamp Wekas. Jalur pendakian kami adalah naik melalui Wekas dan turun melalui Selo.
Pendakian dimulai dari jam 13.30 WIB. Semua persiapan sudah lengkap dan tiada yang terlewat. Dari awal, track terlihat menanjak dengan pepohonan rimbun yang masih menaungi perjalanan kami. Setelah berjalan lebih kurang 3,5 jam, rombongan kami tiba di pos 2 pukul 17.00 WIB.
Kami kemudian mendirikan tenda guna beristirahat sebelum melanjutkan perjalanan menuju puncak keesokan harinya. Sesaat sebelum tiba di pos 2, kami berpapasan dengan petugas penjaga hutan yang sedang berpatroli dan merazia tas serta barang bawaan para pendaki. Razia dikonsentrasikan pada pendaki jahil yang membawa senjata tajam dan tumbuh-tumbuhan endemik gunung, khususnya Bunga Edelweiss. Padahal jelas, ada peraturan yang menyebutkan bahwa setiap orang yang melakukan aktifitas pendakian, dilarang membawa senjata tajam dan membawa pulang tanaman yang ada di vegetasi pegunungan.
Namanya juga manusia, peraturan dibuat untuk dilanggar. Banyak sekali Edelweiss malang yang dibawa oleh para pendaki. Sayang, aktifitas pendakian tidak disertai oleh kearifan dalam melestarikan lingkungan. Para pelaku “pencurian” edelweiss mendapatkan opsi hukuman sebagai bentuk pertanggungjawaban yang harus mereka ambil.
Opsi pertama adalah mengembalikan edelweiss tersebut ke tempat dimana mereka mengambilnya. Opsi ini cukup berat mengingat jarak tempuh lokasi sweeping dan habitat edelweiss cukup jauh. Opsi kedua adalah push-up 100 kali dan opsi ketiga adalah mengembalikan ke peraturan pemerintah, dipenjara 5 tahun atau membayar 1 milyar rupiah. Wow. Kalo yang naek gunung adalah anaknya Aburizal Bakrie, atau cucunya Bill Gates, gue rasa mereka pasti memilih opsi ketiga. Kebanyakan para kriminil ini memilih opsi push-up sebagai konsekuensi tindakan mereka.
Lanjut cerita di pos 2
Di pos 2, kami mendirikan 5 tenda. 4 tenda cowo dan 1 tenda cewe. Dari jam 5 sore, hawa dinginnya mulai terasa. Menusuk menembus tulang, mengiris iris sembilu, dingin. Guna menambah tenaga, kami pun masak dengan menu bubur, nasi, kopi-susu-jahe, pasta dan apa saja yang bisa dimakan. Dengan menggunakan nesting dan kompor portable, acara masak memasak pun dimulai. Semangat gembel berbaur dengan energi pendaki. Logistik harus cukup untuk dibagi ke 15 mulut.
Semakin malam, dingin semakin mencekam. Dan salah seorang temen kami kedinginan, sebut saja namanya “mawar”. Dia menggigil, tidak mau makan, terus-terusan berteriak “mana anakku, mana anakku, kembalikan ia”. Mawar yang kondisi badannya tidak 100 persen fit mulai menunjukkan gejala kedinginan. Untungnya dia tidak hipotermia dan pingsan. Karena kami sudah menyiapkan tandu untuk melempar dia dari jurang terdekat..haha *becanda*.
Untungnya kondisi tersebut dapat diatasi dengan “membungkus” mawar menggunakan beberapa jaket, sleeping bag, dan tali jemuran.
Temen kita yang satu ini patut diapresiasi perjuangannya. Dari awal dia sudah mengikrarkan diri akan melakukan pendakian dengan teknik mengesot. Tidak dalam artian sebenernya. Mengesot adalah diksi yang digunakan untuk mendefinisikan proses pendakian yang dilalui dengan berjalan menggunakan kecepatan rendah, bahasa sederhananya jalan pelan. Biar lambat asal selamat.
Bangun keesokan harinya, suasana dingin masih menyelimuti tenda kami. Sleeping bag seolah useless. Dingin yang mencapai 5 derajat tersebut hanya bisa dihangatkan oleh kasih seorang ibu *apadah*.
Selepas solat subuh, kami menyaksikan pemandangan menakjubkan dari penampakan gunung kembar Sindoro-Sumbing. Keduanya tegak membusung, melemparkan semua kesombongan, menerpa semua keangkuhan seolah berkata, “lo manusia bener-bener kecil dibandingkan gue, tapi justru lo yang berani memegang amanah sebagai khalifah di muka bumi saat gunung-gunung enggan menyanggupi”
Geliat indahnya awan yang dikangkangi oleh perkasanya gunung membuat gue hanya berdecak kagum dan tak berhenti berucap “MasyaAllah”.
Euforia keindahan Sindoro Sumbing harus kami akhiri. Setelah menyantap makan pagi seadanya, kami pun bersiap menuju puncak Merbabu. Dari pos 2 menuju puncak, para pendaki tidak akan menemui mata air. Artinya apa? Artinya kami harus mengatur persediaan air. Setiap pendaki laki harus membawa minimal 3 L air yang diambil dari bak penampungan di pos 2 Wekas. Dan perjalanan pun dilanjutkan.
Rute dari pos 2 menuju puncak tetap dengan kondisi menanjak. Akan tetapi track-nya lebih berdebu. Mawar yang sempet kedinginan, kini sudah sehat kembali setelah minum contrexin. Kan ada lagunya, contrexin contrexin bila si kecil panaaaas. Sejujurnya kami tidak disponsori oleh produk ini. Barang bawaan cewe-cewe dibawa oleh para lelaki kecuali barang milik wanita tangguh yang berangkat dari Bandung.
Salah seorang senior dengan gagahnya membawa dua buah tas. Tas dia sendiri yang beratnya mirip tas Rambo saat perang Vietnam ditambah tas Mawar yang lebih mirip lemari makanan yang ada di indomaret atau alfamart. Kantong ajaib doraemon versi kuliner. Beratnya dua tas tersebut harus dibawa guna menyusuri track yang lumayan sulit.
Setelah berjalan beberapa jam, kami tiba di jembatan setan. Track pendakian yang cukup “spooky” karena menanjak sehingga “setan” disematkan untuk penamaannya. Sampe di jembatan setan, track semakin menanjak. Sebenernya kalo meliat kondisi track, gue pesimis semua anggota rombongan dapat menyentuh puncak Merbabu. Ternyata kegigihan mengalahkan segalanya. Dengan bersusah payah, dengan kerjasama, dengan butir pancasila, akhirnya titik 3145 MDPL a.k.a puncak merbabu berhasil kami jamah. Dan mawar menjadi orang pertama dari rombongan kami yang mendapat kehormatan untuk tiba di puncak.
Rasa haru mulai terasa ketika kami melihat sangsaka merah putih berkibar dengan perkasa. Tak pelak, mata berkaca ketika jiwa tersentuh oleh rasa. Ada yang menangis karena tersentilnya memori nasionalisme yang selama ini mungkin terkubur, ada juga yang menangis karena melihat betapa gigihnya perjuangan menaiki merbabu, dan tidak sedikit yang foto-foto.
Total perjalanan yang kami tempuh dari pos 2 hingga puncak sekitar 8 jam. Momen solat di puncak merbabu menjadi sebuah peristiwa yang menurut gue sungguh syahdu. Bukankah dulu Musa juga menaiki gunung guna bertanya siapa tuhannya?. Dan juga Abdul Muthalib muda, mendaki tempat tertinggi sambil berdoa demi keselamatan ka’bah dari serangan Abrahah. Mungkin apa yang kami lakukan adalah refleksi dari pemuda bernama Musa dan Abdul Muthalib yang berulang kali mempertanyakan tentang makna tauhid.
Turun Melalui Jalur Selo
Dengan perhitungan perjalanan turun melalui jalur Selo lebih cepat dan sulitnya mendirikan tenda di puncak ditambah dinginnya cuaca yang kemungkinan besar mempengaruhi kondisi fisik, maka kami sepakat untuk langsung turun sore itu juga.
Asumsi kami, jalur Selo adalah jalur yang mudah dilalui. Dengan savanna di kanan dan kiri, track yang landai, pemandangan yang indah. Dan ternyata, it’s a doom. Variabel variabel yang ada dalam imaji, runtuh semua saat kami melalui jalur selo. Arghh, who said that selo is much more easily to pass?
Pada beberapa titik, jalur Selo sungguh curam. Kondisi fisik yang lelah, perut yang kelaparan (belum makan sejak sarapan terakhir), emosi ditambah dengan angin gunung yang membuat personel pendakian kesulitan untuk melalui jalur tersebut. Target malem itu adalah tiba di basecamp Selo atau membuat tenda di salah satu dari dua pos yang ada.
Indahnya savanna tidak bisa kami saksikan karena ditutupi oleh gelapnya malam. Akhirnya setelah melalui perjalanan panjang hingga harus membuka rute baru, tibalah kami di pos 2 selo sekitar pukul 11.30 malam. Could you imagine, guys. We keep walking consecutively 9 to 5, and 6 to 11. More than 12 days hours. What a great journey!!.
Tenda langsung dibangun, tiga tenda saja, mengingat lokasi yang cukup sempit. Karena perut sudah keroncongan, acara masak-masak kembali digelar, kali ini mengundang chef Arnold dan Marinka. Menu makan malam adalah apa yang bisa dimasak. Kentang instan, super bubur (toett, iklan lagi), mie, kopi, susu de el el. Setelah perut kenyang, semua tertidur di tendanya masing-masing.
Pagi-pagi gue terbangun, masih dengan kondisi badan yang remuk serasa habis diinjek badak betina yang lagi PMS. Gue terbangun gegara ada bunyi orang masak. Yang ada dalam bayangan gue adalah penyihir yang sedang merebus air di gentong gede dan akan menjadikan mawar kami sebagai bahan masakan. Saat gue buka tenda, ternyata salah seorang senior tengah merebus air. Setelah semua bangun, acara makan besar pun mulai dilakukan. Tidak seperti biasanya, makan pagi terakhir kami di merbabu benar-benar mewah. Semua persiapan logistik digunakan sebagai menu sarapan, mulai dari mie goreng, nasi putih, kornet, sosis yang kemudian diletakkan di atas kresek hitam bekas daur ulang polipropilena. Damn, we should eat on freaking recycle plastic waste.
Oh makan pagi yang sungguh nikmat.
Lepas dari pos 2 kami pun bersiap untuk menuju basecamp Selo yang letaknya sekitar 2-3 jam perjalanan. Pukul 12.30 semua rombongan akhirnya tiba di basecamp Selo. Setelah bersih bersih dan makan siang, kami pun bersiap kembali menuju kota kesemrawutan, Jakarta.
Perjalanan pertama gue mendaki puncak gunung penuh dengan drama. Rumitnya track menjadi sarana untuk saling memahami saling mengerti saling mengisi kekurangan setiap personel rombongan. Benar adanya, pendakian gunung adalah salah satu langkah terbaik untuk mengetahui karakter seseorang. Karena dalam kondisi serba minus, wajah manusia akan terlihat yang sebenarnya. Tiada topeng kebohongan yang mungkin selama ini dikenakan.
Mengutip ucapan senior “bukan berapa banyak puncak yang berhasil dicapai, tapi seberapa banyak ilmu dan sahabat yang diperoleh”. Sederhana tapi mampu menggetarkan hati
Demikianlah petualangan first summit gue, semoga dapat menjadi inspirasi dan ilmu buat semua. Karena apa yang terucap akan menghilang, apa yang tertulis akan mengabadi.