Ignorance is bliss

Januari 10, 2017 § Tinggalkan komentar

my-wall-decal.com

my-wall-decal.com

Gue pertama kali mendapati istilah ini saat melihat status whatsaap salah seorang rekanan beberapa tahun yang lalu. Ignorance is bliss berarti ketidaktahuan atau ketidakpeduluan adalah sebuah kebahagiaan. Sebuah satir yang pertama kali diucapkan oleh Thomas Gray, pembuat puisi asal Inggris pada permulaan abad ke-18. Jika kita membuka Wikipedia, akan banyak sekali tautan yang menunjukkan bagaimana istilah ini sering kali digunakan oleh penyanyi sebagai bagian dari lirik mereka.

Saat kecil, apa yang membuat kita takut akan hantu? Ya. Informasi-informasi seputar hantu yang membuat kita tidak berani melewati kuburan atau tidur di kamar yang gelap. Personifikasi pocong sebagai mayat yang gagal beralih dunia atau kuntilanak dengan ketawa yang unik membuat otak kita dipenuhi oleh aspek kognitif tentang hantu. Misalkan saja sedari kecil kita tidak pernah diceritakan cerita serem tentang hantu atau setidak-tidaknya ilustrasi hantu itu lebih menyerupai Kaonashi (no face) dalam animasi ‘spiritted away’ gue yakin kita tidak akan merinding jika mencium bau kamboja atau melihat sosok putih sekelebat di rumah kosong.

Thomas L. Friedman dalam ‘world is flat’ mengatakan bahwa bumi ini datar. Namun ‘datar’ dalam konteks ini tidak serupa dengan teori ‘flat earth’ yang menentang keajegan teori bumi itu bulat (nyaris bulat). Buat Friedman dunia ini semakin ‘datar’ sehingga interaksi antara orang di India, Frankfurt, Nigeria tidak lagi tersekat. Globalisasi membuat bumi nampak seperti hamparan kertas. Seorang bisa melintasi tiga benua hanya dalam waktu 1×24 jam.

Narasi Thomas L. Friedman menyadarkan kita bahwa bumi yang seolah datar ini membuat orang-orang mengetahui semua hal. Orang-orang bodoh pun sama. Mereka dengan mudahnya saling berargumen didasari oleh pengetahuan yang secara membabi-buta dicuplik dari segala tautan yang ada di Google. Perilaku demikian semakin diperparah dengan seringnya media sosial menjadi ajang berbagi tautan-tautan dari situs-situs antah berantah yang tidak diketahui seperti apa etika jurnalistik maupun sanad beritanya.

Ketidaktahuan memang sering kali memberikan kedamaian dan ketenangan. Di dalam dunia tanpa sekat seperti yang terjadi saat ini, ketidaktahuan bisa menjadi aset yang penting. Di saat orang berlomba unjuk kemapanan pengetahuan bermodalkan internet yang serba cepat, menjadi tidak tahu bisa adalah sebuah kemuliaan. Kita bisa berleha-leha menyuarakan kembali kata-kata Kurt Cobain “You laugh at me because I am different. And I laugh at you because you all are the same”.

Ketidaktahuan itu adalah kebahagiaan. Bukankah kita bisa menjadi manusia merdeka yang terlepas dari semua subjektifitas liar yang lalu-lalang di jagat maya maupun nyata?.

Ketidakpedulian atau ketidaktahuan pada hal-hal yang tidak terlalu penting membuat hidup kita jauh dari prasangka. Kenapa ada manusia yang keponya maksimal? Karena mereka merasa mengetahui banyak hal itu berguna. Padahal semakin banyak tahu semakin kita dibebani oleh pengetahuan tersebut. Lebih-lebih jika pengetahuan itu tidaklah berguna dalam menjalani kehidupan yang fana ini. *cuih*

Banyak orang yang gagal move-on saat ditinggal kawin. Mereka sibuk mencari tahu sang mantan lagi dimana, dengan siapa, semalam berbuat apa. Padahal dengan mengetahui hal-hal demikian tidak akan mengubah keadaan.

Bersikap tidak peduli memang perlu dilatih. Jangan sampai kita menjadi orang yang tidak peduli pada hal-hal yang penting dan di saat yang genting. Dalam dunia psikologi ada sebuah keadaan yang dikenal dengan terminologi bystander effect atau bystander apathy. Sebuah kondisi dimana orang-orang menjadi skeptis atau tidak perduli pada keadaan sekitar dalam kondisi genting. Terminologi ini diangkat dari kasus Kitty Genovese yang dibunuh tanpa ada sedikit pun orang yang berniat menolong karena ketidakpedulian mereka.

Bukan jenis ketidakpedulian seperti ini yang harus kita tumbuh-kembangkan melainkan ketidakpedulian pada kebodohan yang diinstitusikan. Pada berita bohong yang disebar-luaskan. Pada nilai-nilai yang diliberalkan.

Dalam dunia penuh dengan citra dan polesan ada baiknya kita juga bersikap tidak peduli. Tidak peduli pada presiden yang mengenakan sarung. Tukang sate yang dipanggil ke istana presiden. Atau bentuk-bentuk fisik penjelmaan kerakyatan namun alpa dalam kebijakan. Siapa yang peduli dengan sandiwara kepedulian sementara harga bahan bakar naik dalam diam. Tarif ini itu terus disesuaikan.

Lebih baik tidak perduli ketimbang harus menjerit dalam hati.

 

Where Am I?

You are currently browsing entries tagged with Kity Genovese at I Think, I Read, I Write.