Menggeledah Alpa Copernicus
April 28, 2016 § Tinggalkan komentar
Ada yang menggelayuti pikiran Johannes Kepler (wafat 1630) saat mempelajari De revolutionibus orbium coelestium. Karya Nicolaus Copernicus (w. 1543) di hadapannya itu memang mengguncang Eropa. Meruntuhkan pandangan Claudius Ptolemeus yang berabad-abad mapan dianut kalangan gereja berikut jajaran ilmuwannya. Berbeda dengan Ptolemeus, Copernicus menetapkan matahari sebagai pusat peredaran planet-planet—yang dikenal heliosentris.
Buku setebal nyaris 600 pagina itu justru mengundang heran Kepler berkait model planet-planet jauh dan kaitannya dengan pergerakan matahari. Berabad lampau, Apollonius Pergaeus dari Yunani sudah membuat teorema soal ini, yang kemudian dipakai Ptolemeus. Teorema Apollonius ini disempurnakan oleh Mu’ayyad al-Din al-Urdi (w. 1266). Lemma al-Urdi dipakai luas oleh para astronomi sezaman maupun setelahnya. Kira-kira seabad kemudian, Ibnu as-Syatir (w. 1375) membuat model serupa untuk menjelaskan fenomena peredaran planet-planet luar dengan sedikit perbedaan.
Copernicus rupanya menggunakan model yang persis dengan model as-Syatir. Bedanya, matahari sebagai titik pusat alam semesta. Artinya, Copernicus juga menggunakan Lemma al-Urdi ini, seperti yang telah dilakukan as-Syatir sebelumnya. Hanya saja, entah mengapa komponen tambahan dari Apollonius dan al-Urdi (yang ada pada model as-Syatir) tidak disentuh arti fungsinya oleh Copernicus. ‘Kealpaan’ inilah yang membuat Kepler sampai harus menulis surat kepada gurunya, Michael Maestlin (wafat 1631).
Keterangan soal keheranan Kepler diungkap oleh George Saliba, profesor dalam Sains Arab dan Islam di Columbia University, dalam bukunya Islamis Science and the Making of European Renaissance (2007). Rangkaian Saliba membuka tabir pengaruh saintis Muslim pada Copernicus itu tertuang ulang dalam versi penerjemahan oleh Dr Syamsuddin Arif lewat karya suntingannya: Islamic Science (2015), halaman 98-114.
“Penggunaan Lemma al-Urdi oleh Copernicus ini—dalam konstruksi yang identik dengan model Ibnu as-Syatir minus heliosentrisme tentu saja—menimbulkan tanya tanya besar tentang pengetahuan Copernicus akan asal-usul model matematika yang tersedia waktu itu,” tulis Saliba.
“Apakah ia sendiri yang membuat teorema baru itu? Dan apakah ia juga sebenarnya memberikan pembuktian formal untuk teorema tersebut seperti yang diberikan oleh al-Urdi, sebagaimana ia lakukan untuk ‘Pasangan at-Tusi’? Adakah ia memperolehnya dari karya-karya saintis Muslim?” tanya lanjut Saliba.
Copernicus sendiri diyakini tidak bisa membaca bahasa Arab; bahasa yang digunakan para saintis yang modelnya diserupai olehnya. Saliba menduga peran para penerjemah sebagai asisten dalam kerja pengetahuan Copernicus. Besar kemungkinan juga, karena aspek bahasa ini, Copernicus ‘alpa’ memaparkan tuntas model as-Syatir yang dipandang turut memengaruhi tulisannya di De revolutionibus.
ADANYA KESAMAAN PADA GAGASAN-gagasan penting Copernicus di bukunya itu dengan karya para saintis Muslim akhirnya diungkap orang lain. Itu pun dalam rentang waktu lama dari masa hidupnya. Para ilmuwan abad ke-20-lah yang mengungkapkannya. Mari kita saksamai data yang dituliskan Saliba di bukunya yang sama.
Tahun 1957, Otto Eduard Neugebauer secara tidak sengaja menemukan kesamaan yang amat persis antara model pergerakan bulan yang dikemukakan oleh Copernicus dengan yang digambarkan oleh Ibnu as-Syatir. Sekalipun tidak mengerti bahasa Arab, Otto Neugebauer dengan jalas dapat melihat betapa diagram yang dibuat oleh Copernicus dalam De revolutionibus betul-betul identik dengan diagram yang terdapat dalam kitab Nihayat al-Sul fi Tashih al-Usul karya as-Syatir.
Nama berikutnya adalah Edward Stewart Kennedy, guru besar matematika di American University of Beirut. Sosok inilah yang menunjukkan fakta penting soal Copernicus kepada Otto Neugebauer. Uniknya, temuan Edward Kennedy juga tidak disengaja. Kala itu ia tengah meneliti di Perpustakaan Bodleian Oxford, yang lewat serangkaian diskusi penyertanya menghasilkan artikel ilmiah yang ditulis Victor Roberts. Judul artikel Roberts sendiri sudah bernada mencurigai Copernicus: “The Solar and Lunar Theory of Ibn al-Shatir: A pre-Copernican Copernican Model, yang dimuat dalam jurnal Isis volume 48 Nomor 4, Desember 1957. Temuan ini sontak menggegerkan kalangan ilmuwan Barat. Apa pasalnya?
“Kalau selama ini orang meyakini bahwa sains Eropa di zaman Renaissans itu muncul dengan sendirinya dari nol (ex nihilo), atau—jika berutang budi pun, hal itu karena terinspirasi oleh karya-karya saintis Yunani kuno, maka dengan adanya temuan penting ini, sejarah perkembangan sains di Eropa perlu ditulis ulang dengan mengaitkannya dengan perkembangan sains di dunia Islam,” papar Saliba.
“Bagi seorang Otto Neugebauer,” lanjut Saliba, “kesimpulan adanya koneksi langsung antara karya Copernicus dengan karya saintis Muslim itu cukup membuatnya tercengang dan masih sukar untuk dimengerti apalagi diterima oleh para sejarawan sains modern. Hanya sebagian kecil orang dapat memahami signifikasi dan implikasi temuan tersebut.”
Keterkejutan justru membuat Otto Neugebauer kian penasaran. Ia pun melebarkan cakupan riset. Meneliti lebih banyak lagi karya-karya saintis zaman Renaissans dan sebelum membandingkannya dengan karya-karya sainstis Muslim. Ia kemudian mengkaji kembali salah satu bab dari kitab at-Tadzkirah fi Ilm al-Hay’ah karya Nasiruddin at-Tusi (w. 1274), yang telah diterjemahkan ke bahasa Prancis oleh Bernard Carra de Vaux pada 1893.
Dalam kitab tersebut, at-Tusi merumuskan dan membuat generalisasi serta membuktikan secara matematis sebuah teorema yang kemudian diistilahkan sebagai “Pasangan Tusi” (the Tusi Couple) pertama kali oleh Edward Kennedy dalam artikelnya di jurnal Isis volume 57 tahun 1966, “Late Medieval Planetary Theory”. Teorema itu sebenarnya sudah jauh-jauh hari dikenalkan at-Tusi pada 1247 dalam kitabnya yang lain, Tahrir al-Majisti. Teorema ini dikemukakan at-Tusi sebagai jawaban atas kegagalan teori Ptolemeus mengenai latitud planet-planet. Namun karena latar belakang lahirnya teorema ini tidak dieksplisitkan oleh at-Tusi, Carra de Vaux pun tidak mengisyaratkannya sebagai temuan amat penting.
Kendati hanya membaca dari hasil terjemah Carra de Vaux yang sedikit dibumbui pandangan kurang positif dan meremehkan, Otto Neugebauer mampu menangkap petingnya persoalan yang ditangkap at-Tusi. Otto Neugebauer teringat bab III pasal 4 De revolutionibus tentang perlunya mekanisme yang memungkinkan dihasilkannya sebuah gerak lurus dari gabungan gerak-gerak berputar. Dan at-Tusi sudah mengungkapkan lebih awal dua abad sebelumnya daripada Copernicus. Otto Neugebauer tahu persis bahwa yang diperbuat at-Tusi betul-betul baru, tidak pernah ada dalam buku-buku astronomi Yunani.
Sebaliknya dengan Copernicus, simpul Otto Neugebauer, yakni diam-diam menggunakan teorema at-Tusi dan mengemukakan pembuktian yang sama persis namun tidak menyebutkan sumber rujukan. Andaikan temuan orisinal langsung dirinya, Copernicus pasti mengklaim dan menuliskannya. Ini justru tidak ia lakukan. Artinya, Copernicus memang sudah melakukan separuh tanggung jawab ilmiah, yakni dengan tidak mengakui langsung teorema dan pembuktian itu sebagai karyanya. Hanya saja, ia masih teranggap ‘berutang’ karena tidak mengungkap siapa rujukan pentingnya teorema itu. Alih-alih jujur, Copernicus malah mengutip Proclus dalam uraiannya untuk buku Euclid.
“Siapa pun yang membaca Proclus dengan teliti akan menangkap bahwa yang dibicarakan Proclus adalah garis-garis lengkung dan lurus yang dihasilkan oleh satu sama lain,” jelas Saliba, “dan bukan gerak berayun yang terhasil dari gerak putar sempurna yang diperlukan oleh at-Tusi maupun Copernicus untuk memecahkan persoalan astronomi tersebut di atas.”
Willy Hartner pada 1973 kian menguatkan temuan Otto Neugebauer, dengan menemukan ciri mencolok para pembuktian Copernicus yang ternyata “menyalin” karya at-Tusi. Copernicus sekadar mengganti huruf Arab dalam temuan at-Tusi!
PERJALANAN MENEMUKAN KEBENARAN DALAM pengetahuan sesungguhnya kerja-kerja kolektif. Terlebih ketika menyibak satu tabir yang masih dirasakan asing. Ada saling koneksi dengan temuan terdahulu dalam kerangka kerja berkesinambungan. Di sinilah letak penting tanggung jawab ilmiah. Ia karenanya bagian dari adab para penimba ilmu, terlepas pengetahuan terujuk itu berasal dari peradaban yang dimusuhi.
Namun budaya ilmu memang sering dihadapkan dengan prasangka-prasangka di benak kepala. Seperti Bernard Carra de Vaux, yang sekalipun andilnya besar dalam penerjemahan karya Nasiruddin at-Tusi, ternyata meluputkan satu fakta berharga. Misalkan saja prasangka ala kulit putih abad 19 tidak terjadi. Lebih-lebih kepada negeri berpenduduk dan saintis Islam. Kebanggaan pada kejayaan Renaissans Eropa menutup mata permata amat penting yang membuka fakta sebenarnya. Di lain pihak, Copernicus memang menggunakan temuan-temuan penting saintis Muslim. Sayangnya, ia tidak menerapkan penuh disiplin kejujuran. Ada alasan-alasan pribadi, apa pun itu, menutupi kesadaran diri dari bersikap ilmiah.
Ketika melontarkan gagasan matahari sebagai pusat tata surya, menggeser Bumi sebagaimana di alam berpikir dunia kala itu, Copernicus bak kesatria. Teorinya mengguncang kalangan gereja yang kadung meletakkan Bumi tidak sebatas sentral jagat tapi juga pusat teologi dan keakuan manusia. Ujian demi ujian pun dialaminya sampai kemudian ia meraih banyak pendukung. Dengan kondisi gereja yang masih memusuhi kalangan Moor (sebutan bagi orang Islam), bisa saja Copernicus memilih menyembunyikan andil mereka di balik karya pentingnya. Tanpa merujuk saintis Islam saja sudah dikecam gereja, apatah lagi jelas-jelas benderang mengekor pada teorema mereka.
Di sinilah kita paham makna penting firasat orang-orang yang hadir kemudian ketika memegang De revolutionibus. Tidak menjadikannya sebagai kitab suci dengan alibi ilmiah sekalipun tanpa berani mengungkap ada kealpaan. Kepler memang baru sebatas menulis surat penuh tanya kepada sang guru. Tapi ini sudah sebuah firasat akan adanya keganjilan di balik karya penting Copernicus. Di ulu benak Otto Neugebauer, Edward Kennedy, Willy Hartner, ataupun Victor Roberts, firasat tidak cukup dihentikan sebagai prasangka buruk. Mereka menindaklanjuti bisikan, ilham, intuisi, yang berkumulasi dengan pengalaman dan pengamatan selama ini sebagai aktivitas observasi.
Firasat bukanlah prasangka lantaran firasat bukan kalimat bertanda titik. Ia masih berlanjut untuk diteruskan dengan serangkaian aktivitas hingga titik itu tertemui, bahkan melahirkan titik-titik berikutnya. Berbeda dengan prasangka, ia sudah mengakhiri sebuah apriori dengan rasa malas bahkan sebelum aktivitas dilangsungkan.
Firasat tak ubahnya mekanisme penyelidikan sains ala Ibnu al-Haytsam, yang pengaruhnya juga tidak diragukan dalam lahirnya Renaissans. Firasat paralel dengan hipotesis yang tengah diperjuangkan. Adanya untuk membantah pandangan yang ada, memperbaiki ataupun menambah pandangan yang ada. Bisa juga untuk menyelesaikan perdebatan yang ada. Curiga di awal bukan untuk mengorek kekurangan pihak lain. Ia ingin meletakkan semua dan setiap subjek maupun objek dengan adil dan bijak. Karena itulah, berfirasat bukan saja indikasi kemajuan, namun juga mencirikan adab. Kelebihan inilah yang membedakannya dengan prasangka.
Ketertinggalan umat Islam dari negeri yang kita sebut Barat kiranya bisa dilihat dalam segi firasat. Mari kita posisikan sebagai nama-nama di atas yang menyelisik ‘kealpaan’ Copernicus. Akankah kita berhenti dan membuat kesimpulan bahwa sang saintis helosentris itu jahat dan pendusta. Atau malah sebaliknya, bekerja lebih jauh mencari tahu apa yang terjadi tanpa harus menuduh dan menyepelekan Copernicus.
Sementara di sana kerja-kerja apriori, skeptis, dan kritis berjalin erat dengan eksperimen atau observasi, kita—umat Islam—mencukupkan untuk kritis dan sinis. Meletakkan temuan awal sebagai kesimpulan. Dan ini sudah jadi kebiasaan dalam keseharian dalam praktik adab. Menilai seorang al-akh atau jamaah lain dari fakta-fakta yang ada, temuan yang tertangkap indrawi. Menilai dari yang lahiriah tanpa beranjak menguji lebih jauh gemuruh hati pada kalangan lain.
KERJA-KERJA PARA SAINTIS mari kita petik dalam rangka membenahi adab dan amal dakwah kita. Melihat fenomena bukan menjadi dasar melahirkan kesimpulan final, bahkan abadi. Dari fakta yang ada di masa lalu dan sekarang, muncul stigma-stigma yang sebenarnya lemah. Yang ada barus sebatas menarik berdasar pada kerangka pikiran kita. Sementara kemauan menguji pihak lain terbentur fanatisme pada kerangka berpikir kelompok atau diri, yang dipandang pastilah benar. Di sinilah prasangka pun melahirkan stigma abadi ke saudara sendiri sebagai Wahabi, Khawarij, Murjiah, ahli bidah, kafir, penjilat penguasa, sufi berkedok khurafat, dan label-label semacamnya. Prasangka bahkan bisa hadir di internal satu kelompok untuk menyingkirkan atau melanggengkan kepentingan dengan predikat-predikat tidak elok. Memecat kader sejamaah karena satu perbedaan ringan, merupakan ilustrasi sederhananya.
Melihat ke dalam kelompok sendiri kiranya patut diperbuat sebelum umat kokoh berhadapan dengan kekuatan lain. Berawal dari menuntaskan peliknya membedakan prasangka dan firasat kendati agama sudah memberikan batasan dan norma jelas. Sangkaan buruk dari sandaran fakta secuil mestinya tidak perlu dianggap; lain ketika mendapati kesumat kalangan luar-Islam yang sudah aksioma. Di sinilah letak kontradiksi yang jamak ditemui. Lebih sibuk menyangka buruk saudara sendiri, namun menggandeng sangka amat baik pada kalangan yang memusuhi Islam.
Hadirnya pengoyak ukhuwah di tengah rajutan pelbagai anasir umat untuk menuntaskan keberingasan kerja Densus 88 merupakan contoh aktual. Mencari fakta untuk kemudian jadi bahan sangkaan ketimbang menjadi firasat yang berujung kritis pada pihak yang sebenarnya menabrak kemanusiaan. Contoh lain adalah tidak diletakkannya kekuatan mata-batin (bashirah) pada satu jamaah dakwah ketika menepikan jauh-jauh kader vokal. Padahal, firasat mampu membedakan mana dusta mana yang silap belaka kalau mau diseriusi menegakkan kebenaran.
Otto Neugebauer saja mau menepikan dulu pandangan alam (worldview) tak enak pada dunia Islam. Bagaimana bisa Renaissans di Eropa berjalin dengan dunia saintis Muslim? Kalau saja ia berniat jahat, bisa saja dengan menutup rapat penyelidikan soal Copernicus. Tapi ia memilih menanggalkan ego, termasuk untuk membedakan bahwa sosok semacam at-Tusi, as-Syatir, al-Urdi, merupakan representasi Muslim; bukan mereduksi jadi: Arab. Amat beda Islam dan Arab dalam soal ini meski sering saling berkaitan. Dan Otto Neugebauer lugas menyebut ini karya saintis Muslim, tidak lokal sebagai ke-Arab-an. Cara berpikir semacam ini diikuti juga oleh para peneliti lainnya kemudian, semisal George Saliba.
Sementara itu, kita temui hari ini sebuah realitas umat yang masih berjuang untuk jujur dalam firasat. Untuk sebatas menanggapi fakta yang ada dan menilai adil para al-akh atau jamaah sebelah. Bukan menjadi pengumbar kesimpulan secara cepat dari fakta yang ada, namun sebetulnya mewakili wajah penghakiman penuh prasangka. Kita terbiasa dengan berpikir deduktif, menilai salah lebih dulu baru kemudian mencari bukti dan apologi—andai dikritik. Bukan memintal fakta yang berceceran untuk kemudian dengan dingin menilai firasat yang hadir di awal.
Firasat hadir untuk diuji, tanpa harus jatuh pada skeptis atau syak wasangka, untuk menilai dan mengukur kebenaran. Syak dalam epistemologi Islam amat kontras dengan Barat. Bila Barat menyanjung syak sebagai pintu menuju kebenaran, maka Islam—menurut Muhammad Naquib al-Attas dalam Tinjauan Ringkas Peri Ilmu dan Pandangan Alam (2015), menempatkan hidayah sebagai sumber kebenaran. Dalam konteks ini firasat bukan untuk mengokohkan syak, melainkan untuk menjemput kebenaran atau menggapai hidayah.
Syak (shak) menurut al-Attas adalah “keadaan hati teragak-agak tiada menentu antara dua perkara yang bertentangan dan yang hati itu tiada memberat menyebelahi mana-mana satu di antaranya kedua; ia adalah suatu keadaan hati berdiam resah di tengah-tengah dua perkara bertentangan tanpa cenderung ke arah yang satu atau yang lain. Sekiranya hati cenderung ke arah yang satu sedangkan tiada jua ia menolak yang lain, maka itu adalah dugaan. Sekiranya hati itu tegas menolak yang lain, maka ia telah tiba pada makam yakin. Penolakan yang lain oleh hati itu bukan disebabkan oleh shak akan kebenarannya, akan tetapi ia merupakan pengenalan yang pasti tentang kesilapan dan kepalsuannya. Inilah hidayah.”
Ya, mengenal yang pasti mana silap dan mana palsu itu penting bagi aktivis Islam. Ia merupakan kerja aktif yang terangkai dari rasa heran penuh menyelidik—firasat. Rasa inilah yang kemudian dipertanggungjawabkan dengan kerja pembuktian di area nyata.
Sumber : Catatan Facebook Bapak Yusuf Maulana