Capital Parenting
April 26, 2017 § Tinggalkan komentar
Beberapa hari yang lalu istri gue mengabarkan bahwa Bu Een, ART kami, tengah mengalami masalah keluarga sehingga tidak bisa masuk kerja selama dua hari. Ibu ini diancam dibunuh (iya, dibunuh) oleh anak sulungnya akibat keengganan menjual rumah yang ia miliki. Sang anak melakukan hal demikian agar mendapatkan bagian dari hasil jual rumah tersebut. Karena takut, Bu Een dengan terpaksa menjual rumahnya agar terbebas dari bayang-bayang sang anak yang sudah kalap tak karuan.
Beberapa waktu sebelumnya, media sosial dan media cetak riuh akibat kisah tentang Ibu Rokayah yang dituntut 1,8 milyar oleh sang anak karena perkara hutang. Sang anak secara tega mengekskalasi urusan utang-piutang ke ranah hukum. Sebuah tindakan amoral yang mengundang cacian dan sumpah serapah dari banyak orang. Bagaimana mungkin ada anak yang bersengketa perihal uang dan menjadikan sang ibu sebagai pesakitan.
Dua kejadian di atas bener-bener berhasil membuat geleng kepala. Jika dulu kita akrab dengan legenda Malin Kundang yang durhaka akibat ketakutan akan kehilangan kekuasaan dan harta maka kini legenda tersebut tidak lagi sebagai dongeng pengantar tidur. Anak-anak durhaka itu ada dan hidup dengan sebenar-benarnya. Anak-anak ini dengan teganya bertindak secara keji karena perkara pundi-pundi. Apa yang salah sehingga perkara ikatan kuat ibu-anak dapat putus manakalah berbenturan dengan kapital, modal, uang dan materi sejenis. Sepertinya unsur-unsur kapital tidak hanya menggerus ideologi negara namun juga menular pada masyarakatnya.
Tetiba saja gue terpikir ada yang salah dengan kedua anak dalam paragraf awal tulisan ini. Perilaku dan karakter anak sangat dipengaruhi oleh pola pendidikan dan lingkungan tempat ia berinteraksi dan bersosialisasi. Mengacu pada ulasan J.J Rosseau dalam Emily bahwasanya seorang anak itu bagai kertas putih. Maka faktor eksternal yang membentuk karakter mereka. Meskipun gue tidak sepenuhnya percaya dengan apa yang dikatakan Rosseau. Ia nampaknya terlalu pandai berteori tentang filosofi pendidikan anak hingga menelantarkan lima anak kandungnya sendiri hasil hubungan gelap dengan Theressa Lavasseur.
Faktor eksternal yang membentuk karakter secara dominan dipengaruhi pola pendidikan yang diterapkan serta lingkungan tempat sang anak tumbuh. Dengan melupakan sejenak faktor lingkungan, saya tertarik untuk mengelaborasi kaitan pola parenting dalam pembentukan karakter.
Dewasa ini, isu parenting menjadi begitu seksi. Begitu banyak kenalan di dunia maya membagikan sekelumit informasi dan teori tentangnya. Parenting A, B, C dan derivasinya yang bervariasi.
Sehubungan dengan kegaduhan pada cerita di atas, saya terpikir akan sebuah model parenting baru yang membentuk anak-anak dengan mental materialistik. Menggunakan metode cocoklogi, akhirnya tercetuslah ide tentang ‘Capital Parenting’. Entah. Tiba-tiba saja saya terpikir untuk merumuskan hipotesis tentang Capital Parenting sebagai upaya mengawinkan pola parenting dengan nilai-nilai kapitalisme. Kapitalisme sebagai sebuah paham atau isme menjadikan uang dan privatisasi sebagai basis.
Saya tidak menemukan tautan ataupun keyword tentang capital parenting yang ter-indeks di google. Mungkin penggunaan capital di depan parenting terlalu lancang dan tidak tepat sasaran. Hanya saja untuk memberikan pendekatan pada pewarisan nilai kecintaan berlebih terhadap materi dan uang saya merasa ada kecocokan pengunaan terminologi tersebut.
Dalam kasus Bu Een ataupun Bu Rokayah kita bisa saja menyalahkan sang anak karena bertindak di luar kewajaran. Namun kita juga tidak salah jika harus mengelaborasi peran orang tua dalam menanamkan nilai-nilai kapitalisme liar yang terjewantah dan mendarah daging. Saya tidak men-justifikasi hanya saja bukan tidak mungkin anak tumbuh menjadi begitu lucah, mengkomparasi kasih orang tua terhadap nominal akibat pola pendidikan yang salah.
Bagi setiap orang tua yang selalu mengimingi anak dengan harta, menstandardisasi nilai dengan uang. mereplika fungsi kasih dengan benda, akan membentuk karakter kebendaan yang melekat begitu kuat. Dan mengutamakan harta ketimbang ibu yang melahirkan bisa jadi merupakan puncak pengejewantahan nilai-nilai materialisme yang paling brutal.
Pola-pola parenting dengan menjadikan kapitalisme sebagai garda depan akan mencetak manusia yang menghalalkan segala cara agar kantong-kantong mereka terpenuhi. Bisa jadi para koruptor adalah buah didikan capital parenting.
Children see children do. Anak-anak selalu mengimitasi perilaku orang-orang terdekat. Orang tua yang senantiasa memandang rendah orang lain karena status sosial, menghambakan diri pada materi, berorientasi pada uang berpotensi menghasilkan manusia se-level anaknya Bu Rokayah dan Bu Een.
Sejenak mari kita menengok kisah menyejarah dalam Al-Quran. Lukmanul Hakim namanya. Ia selalu disebut ketika membahas hubungan orang tua dan anak. Lukma dikisahkan meninggalkan wasiat-wasiat kebaikan. Di antara nasihat dan hikmah pada anaknya adalah jangan syirik, berbuat baik kepada orang tua, dirikan sholat dan lainnya. Jika orang tua senantiasa mengajarkan serta mewarisi nilai-nilai, adab serta akhlak yang menjauhi unsur-unsur kapitala dan segala penghambaan kepada dunia maka niscaya kisah-kisah anak yang durhaka karena unsur uang tidak akan ada.
Jadi, masih mau menjalankan Capital Parenting?
Ini Itu Teori Parenting
Agustus 12, 2015 § Tinggalkan komentar
Pada tahun 1970 seorang psikolog bernama Walter Mischel melakukan serangkaian pengujian yang dikenal dengan Marshmallow test. Tes ini dilakukan dengan membiarkan sejumlah anak di dalam ruangan dan meminta mereka untuk menahan diri dari godaan kue atau terkadang marshmallow yang terdapat di ruangan tersebut. Bagi setiap anak yang dapat menahan diri untuk tidak makan kue dalam kurun waktu tertentu, mereka akan mendapatkan award berupa kue/marshmallow dua kali lebih banyak.
Pada akhir tes ditunjukkan bahwa hanya sebagian kecil anak saja yang menolak makan kue sementara yang lainnya tidak tahan godaan. Anak-anak yang berhasil menahan diri, berusaha mengalihkan rayuan marshmallow dengan melakukan aktifitas lain sebagai pengalihan perhatian.
Anak-anak tersebut dikumpulkan kembali beberapa tahun setelahnya. Hasil studi menunjukkan bahwa mereka yang mampu menahan diri untuk tidak segera memakan kue dapat menyelesaikan studinya dengan baik, memiliki pendapatan yang lebih besar dan berbagai hal positif lain dibandingkan anak-anak yang tergesa-gesa makan kue. Kemampuan menahan diri tersebut dikenal dengan delayed gratification. Studi ini juga mengajarkan bahwa kita bisa mengindahkan godaan terhadap suatu objek dengan mengalihkan fokus ke hal lain.
Lebih jauh, penelitian ini dihubung-hubungkan dengan kebiasaan yang membedakan antara orang perancis dan amerika. Ibu-ibu yang hidup di perancis cenderung tidak segera mengangkat bayi mereka saat merengek. Bayi tersebut dibiarkan untuk menangis sejenak sebelum ditimang. Pola seperti ini bertujuan untuk melatih self-control sehingga anak-anak di Perancis tumbuh menjadi anak yang lebih tenang dan tidak tergesa-gesa. Anak-anak tersebut akan lebih tahan menunggu orang tuanya selesai menelepon ketimbang menangis meminta perhatian. Kebiasaan yang tidak terjadi di Amerika.
Cuplikan di atas gue sadur dari status facebook seseorang yang kemudian gue bagikan kembali. Belakangan gue memang bersemangat untuk mengumpulkan informasi yang berkenaan dengan pendidikan anak dan pola asuh.
*****
Sejujurnya, menjadi orang tua di masa kini rasanya memiliki tantangan tersendiri yang berbeda dengan era sebelum-sebelumnya. Gue tidak akan berkata bahwa beban orang tua sekarang lebih berat daripada para pendahulu. Kenapa? Karena budaya, atmosfer, lingkungan yang dihadapi sangat spesifik. Jika tantangan kita sekarang adalah perang pemikiran di mana anak-anak kita harus dibentengi dengan segala serangan liberalisme atau homoseksual yang merajalela maka orang-orang terdahulu harus membesarkan anaknya di saat bumi ini belum aman untuk ditinggali. Perang, kelaparan, konflik menjadi pemandangan sehari-hari yang tidak akan kita temui saat ini.
Menjadi orangtua baru berarti melengkapi diri dengan segala bekal untuk bergaul dengan sesosok manusia lemah tak berdaya yang membutuhkan orang lain untuk bertahan hidup. Bekal tersebut tidak hanya berupa A-Z ilmu parenting yang belakangan semakin laris dijajakan. Modal kuat lainnya bagi ayah terutama ibu dalam mengasuh bayi adalah mental.
Jangan remehkan ketahanan mental kedua orang tua khususnya ibu. Ilmu parenting boleh terus berkembang namun mental adalah warisan genetis yang tercetak di DNA. Transformasi peran seorang istri menjadi seorang ibu berarti merubah ritme hidup menjadi lebih dinamis. Perhatikan saja bagaimana ibu-ibu baru dengan sigapnya mengganti popok tiap malem, menyusui di saat mata terkantuk lelah, ikhlas porsi kalsiumnya dipindahalihkan ke bayi demi tumbuh kembang mereka tanpa perduli bahwa tulang-tulang itu lebih cepat mengalami osteoporosis. Makanya, tidak jarang ibu-ibu yang tidak siap secara mental mengalami baby blues bahkan postpartum syndrome karena kelelahan yang memuncak. Sementara bagi ayah, beban mental yang dihadapi tidak akan pernah seberat itu.
Berkaitan dengan bekal pengetahuan, semua orang tua di dunia tidak harus membaca segala rupa dan judul buku parenting atau mengulik teori psikologi tabula rasa ala John Locke. Mungkin kita masih inget bagaimana orang-orang terdahulu mendidik anak-anaknya. Apa mereka mengaplikasikan segala teori ini itu. Teori positif dan lain lain? Gue rasa ga. Namun entah mengapa saat ini semakin banyak berkembang teori psikologi yang justru membuat kita, gue khususnya, sebagai orang tua bingung teori mana yang bener-bener sesuai dengan kebutuhan anak.
Baru-baru ini salah seorang temen membagikan tulisan tentang kontradiksi penggunaan kata ‘jangan’ dalam psikologi parenting. Penggunaan kata ‘jangan’ yang banyak digaungkan positive parenting seolah sudah melanggar dan mendelegitimasi ajaran-ajaran parenting kenabian. Belum lagi berbagai artikel-artikel di media sosial yang saling membenturkan antara kedua teori tersebut. Kondisi seperti ini bukan tidak mungkin membuat para orang tua baru menjadi ragu untuk mengambil pendekatan dalam mendidik anak. Untungnya di waktu lain salah seorang ustad yang mendalami persoalan ini membagikan pemahamannya yang cukup moderat. Ia berargumen bahwa tidak perlu terjadi friksi antara kelompok-kelompok yang pro ataupun yang kontra dengan penggunaan kata ‘jangan’. Baginya, kata ‘jangan’ sah-sah saja digunakan sebagai bagian dari upaya kita untuk mendidik dan melarang anak agar tidak melanggar nilai-nilai ketauhidan. Sementara di luar itu, dalam konteks yang lebih horizontal, para orang tua bisa menggunakan kata-kata positif ketimbang menggunakan kata larangan pada anak-anak mereka.
Kontradiksi di atas mungkin hanya satu dari sekian banyak ‘pertarungan’ dalam domain pola asuh anak. Belum lagi ribut-ribut antara ibu rumah tangga atau ibu pekerja, seberapa efektif pendidikan semiformal bagi balita dan banyak hal lainnya. Sejatinya semakin banyak teori parenting berarti semakin banyak pilihan yang bisa diterapkan oleh orang tua. Namun dalam teori psikologi, banyaknya pilihan justru dapat membuat bingung para pemilih.
Semakin maju peradaban semakin membuat orang berlomba untuk menjadi yang terdepan dan merasa kekinian dalam banyak hal. Termasuk perihal asuh-mengasuh. Padahal jika kita mau berkaca pada orang-orang era ‘pra-gadget’, kita bisa mendapati bahwa mereka tidak melengkapi diri dengan teori parenting yang jelimet. Mereka mengandalkan insting dalam merawat bayi. Insting tersebut yang menjadi default bagi para orangtua sejak zaman nabi adam hingga masa kini. Tanpa teori ini itu.
Buat gue pribadi segala macem teori tersebut tidak serta merta langsung diaplikasikan. Karena anak kita bukan kelinci percobaan yang bisa diuji untuk kebutuhan dan memvalidasi sebuah hasil penelitian. Sejelas-jelasnya teori parenting adalah yang termuat dalam beberapa buku tentang parenting nabawiyah walau tidak menutup kemungkinan dilengkapi dengan teori pola asuh kontemporer selama ia nya tidak menghapus nilai-nilai agama.
Jangan sampai kita menjadi seperti J.J Rosseau. Seorang pendidik, filsuf dan penulis novel hebat berjudul Emile yang disebut-sebut sebagai buku tentang pendidikan terbaik kedua setelah Republic-nya Plato. Pak Rossesau nampak mapan dalam berteori tentang pendidikan namun pada realitanya ia menelantarkan anak-anaknya yang berjumlah empat dan meninggalkan mereka di panti asuhan.
Segala teori pendidikan dan pola asuh anak hanya isapan jempol jika para orang tua tidak mendandani pribadi mereka terlebih dahulu. Children see children do.
*Sumber Gambar dari link berikut