Keikhlasan Sang Guru Ngaji
Februari 22, 2015 § Tinggalkan komentar
Pahlawan, ujar Anis Matta, adalah orang yang memiliki banyak pahala. Nasihat tersebut disampaikan oleh sang guru untuk mendeksripsikan sosok pahlawan yang kembali ia ceriterakan dalam salah satu bukunya. Itulah mengapa sosok guru dikenal sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Karena dari kerja keras mereka, dari setiap kata yang terucap, dari adab-adab yang diajarkan terkandung pahala saat ia berbuah ilmu yang bermanfaat bagi para murid.
Hampir semua orang yang menempuh pendidikan secara formal maupun non-formal pasti memiliki pengalaman tersendiri tentang guru mereka. Pada Butet Manurung, kita belajar makna pengabdian seorang guru yang tak dikenal media. Bekerja tanpa berharap muka disorot oleh kamera dengan kilatan cahaya. Untuknya, mengajar adalah transfer pengetahuan dari si tahu ke si tak tahu. Proses perpindahan ilmu yang tak disekat oleh batas-batas penilaian manusia, tak dijamah oleh pesona harta benda.
Buat saya pribadi, pernah ada sesosok manusia yang sangat menginspirasi. Seorang guru yang dalam diamnya mengajarkan keikhlasan. Dalam ucapnya menyampaikan kebaikan.
Entah mengapa saat ini saya sangat ingin membahas sosok beliau.
Kemarin sore, sebakda matahari mulai menginggalkan peraduan, saya melangkahkan kaki menuju masjid terdekat guna menunaikan sholat maghrib. Dalam perjalanan, terlihat sekumpulan bocah laki dan perempuan yang mengenakan pakaian muslim nan rapih tengah berkumpul di depan sebuah rumah yang sederhana. Sayup-sayup terdengar mereka mengeja ayat Al Quran dan melafazkan doa yang kelak mereka akan kenal sebagai doa sapu jagat. Di depannya nampak seorang wanita paruh baya memimpin lantunan ayat suci tersebut.
Takjub!
Dengah langkah yang tegas saya menapaki jalan sambil sesekali teringat pada masa-masa belajar mengaji di masjid dekat rumah. Kaki kecil kami berlarian, berlomba menggapai masjid dengan cepat dalam upaya merengkuh ilmu mengenali kitab mujizat nabi,
Namanya adalah Pak Mukhlis. Ia sudah mengajar di masjid tempat kami tinggal sejak kakak pertama saya, yang usianya 17 tahun lebih tua, masih duduk di bangku sekolah dasar. Pun halnya berturut-turut 5 kakak saya lainnya diajari membaca Al Quran oleh beliau. Artinya saya adalah generasi terakhir di keluarga kami yang belajar mengeja a, ba, ta dari kepiawaiannya mengajarkan.
Perawakannya tegap. Raut mukanya khas orang melayu atau orang minang. Dengan koko putuh dan peci hitam yang selalu setia menghiasi kepala, beliau hadir tepat waktu untuk membimbing kami kata per kata di lantai dua masjid Jamiatul Islamiyah.
Metoda belajar yang beliau ajarkan agak berbeda dengan yang secara umum didapatkan oleh anak-anak lain yang belajar membaca Al Quran. Kami tidak mulai dengan membaca buku iqro’ 1-6. Kami, sedari awal, langsung memegang Al Quran dan dituntun secara perlahan untuk mengenali satu per satu huruf Hijaiyah. Sesekali kami diperintahkan untuk membedah kata per kata dan huruf per huruf. Lalu dengan bimbingannya, diajarkanlah cara menghapal arti surat-surat pendek dengan irama lagu yang mengiringi.
‘Plak’
Sebilah penggaris panjang menghampiri kaki. Meninggalkan bekas merah yang sesaat kemudian padam. Pak Mukhlis memang terkenal tegas. Tak pernah berkompromi pada setiap ketidakdisiplinan maupun kemalasan-kemalasan muridnya. Tidak jarang, penggaris itulah yang menjadi saksi betapa kenalakan harus diluruskan. Kemampuan beliau mendidik kami dalam mempelajari Al Quran sungguh luar biasa. Beliau adalah sosok pengajar sejati. Tak pernah mengajar dengan emosi. Setiap kali kami melakukan pelanggaran maka ia tak marah pada sosok melainkan sifat kesembronoan individu.
Namun di balik itu semua, yang paling membuat saya kagum akan sosok beliau adalah pada bagimana ia menjadikan ikhlas bukan sekedar panduan dalam ibadah. Ikhlas telah berwujud dalam aktifitas bukan sekedar tulisan di atas kertas. Bagaimana mungkin, selama belasan mungkin puluhan tahun, ia tak pernah memungut bayaran dari kami, murid-murid yang jumlahnya puluhan. Mungkin ratusan. Kebenaran ini ditegaskan oleh para pendahulu yang pernah menjadi muridnya.
Ia tak meminta. Tak menjadikan aktifitas amalnya ternodai oleh tarif-tarif yang hanya bernilai dunia. Saat itu, saya tak mengerti bagaimana kebutuhan keluarganya tercukupi. Ia nampaknya juga bukan pegawai negeri atau pegawai swasta yang waktunya dibatasi. Setiap pagi, terkadang siang, ia kerap mengisi pengajian kami.
Sungguh, amal jariyah yang ia titipkan pada murid-muridnya akan selalu membekas. Dari setiap lantunan Al-Quran terdapat pahala-pahala untuk beliau Pahala yang tak terputus. Bahkan kelak ketika saya mengajarkan Al-Quran pada anak, maka warisan pahala untuknya akan terus mengalir menjadi penyambung ibadah dan kebaikan selepas nantinya terputus amal seseorang saat jasad telah tertanam di dalam tanah.
Saat ini saya tidak tahu di mana beliau berada. Sudah lama sekali tidak menjumpainya. Doa kami selalu menyertaimu, pak. Di manapun engkau berada. Semoga ilmu yang engkau ajarkan bermanfaat untuk kami dan menjadi amal jariah untuk engkau. Tidak hanya huruf hijaiyah namun juga tentang keikhlasan.
Sumber Gambar dari sini
Wanita
Oktober 16, 2012 § Tinggalkan komentar
Sesaat gw mendengar percakapan via telepon salah seorang rekan di kantor, dengan mesranya berbicara kepada sang anak yang masih balita, mereka bercanda dan tertawa
Gw berpikir apakah komunikasi ibu-anak lewat telepon dapat dibenarkan? sementara sebagian besar waktu sang ibu tersita oleh jam kerja. Meskipun cinta tak terhalangi oleh dimensi ruang
Apakah seorang wanita bisa memegang dua peranan sekaligus sama baiknya, sebagai ibu dan seorang wanita karir? Di saat waktu sang ibu didominasi oleh pekerjaan yang melelahkan demi kemajuan kantor, paling tidak 40 jam dalam seminggu.
Menjadi seorang ibu adalah peranan yang luar biasa bagi wanita. Ibu masa kini sudah bemetamorfosa. Tidak sedikit yang menjalankan peran seorang istri dan ibu namun juga sebagai wanita karir dengan segala dinamika dunia kerja.
Menjadi seorang ibu yang juga bekerja adalah sebuah tanggung jawab yang luar biasa berat. Terlebih jika anak yang harus ditinggal setiap harinya masih benar-benar butuh pengawasan secara langsung. Perdebatan tentang perlu-tidaknya, penting-tidaknya peran ganda yang diperankan oleh seorang wanita pasti terus terjadi. Setiap orang berpegang teguh pada pendiriannya masing-masing.
Bagi mereka yang pro terhadap pentingnya seorang wanita bekerja memiliki persepsi bahwa, wanita bekerja sebagai sebuah investasi atau persiapan jika kelak, suatu ketika sang suami mendapati musibah dan tidak lagi mampu berperan sebagai kepala rumah tangga. Terlepas itu meninggal atau memang lemah secara fisik.
Tidak sedikit juga yang beranggapan bahwa, seorang wanita harus aktif, bahkan ketika dia menjadi seorang ibu. Biasanya gaung ini banyak didengungkan oleh aktifis HAM yang menuntut kesetaraan gender. Mereka tidak ingin seorang wanita terkungkung oleh dogma ”sumur-dapur-kasur”. Tiga kata yang memang menjadi domain kaum hawa. Mereka ingin membuat wanita jauh lebih dinamis, lebih progressif daripada hanya sekedar duduk manis mengurusi rumah dan sang buah hati.
Lain lagi dengan pihak yang memiliki argumen bersebrangan terkait pentingnya seorang wanita bekerja.
Bagi mereka bekerja adalah wilayah seorang suami sebagai kepala rumah tangga. Pembagian porsi antara suami-istri adalah mutlak. Suami bekerja, istri menjaga keluarga. Pola yang dipakai terkesan kuno, konvensional. Tapi dengan begitu mereka beranggapan bahwa pola tersebut yang seharusnya hadir dalam kehidupan berumah tangga.
Asumsi bahwa seorang wanita harus bekerja agar mem-back up peran suami seandainya hal-hal buruk terjadi, tidak masuk dalam alternatif. Suami tidak hanya mencukupi kebutuhan keluarga saat ini, tapi juga nanti.
Selain kedua argumen di atas, tidak sedikit ibu rumah tangga yang memiliki tanggung jawab terhadap keluarga namun masih menyempatkan dirinya untuk bekerja. Bekerja seperti apa?
Mereka cenderung selektif dalam memilih pekerjaan. Bukan bekerja yang harus membuat si kecil menunggu kepulangan sang ibu di depan pintu, bukan pula pekerjaan yang menghilangkan harapan sang buah hati saat menghadapi ujian. Bukan, bukan pekerjaan yang begitu menyita waktu.
Ibu-ibu yang memilih langkah ini, dengan restu suami tentunya, cenderung memilih berbisnis atau freelance. Dengan demikian, mereka tidak harus kelabakan ketika tahu si kecil sedang tidak nafsu makan, atau sulit mendapatkan teman.
Apa yang gw deskripsikan di atas adalah contoh-contoh yang terjadi di sekitar kita. Tidak semuanya sesuai atau persis dengan apa yang disimpulkan. Di luar sana pasti ada sosok wanita karir yang dapat menyelaraskan kehidupan rumah tangga dan kehidupan kantornya.. Entah bagaimana mereka melakukannya, yang jelas itu akan sangat sulit. Pasti ada masa-masa si kecil yang hilang yang tidak terlewatkan bersama.
Pasti ada masa dimana sang pembantu mengetahui lebih awal kemajuan pertumbuhan anak, betapapun cerdasnya sang bunda mengatur dan membagi waktu.
Salah seorang, yang gw lupa siapa, pernah berujar
”hanya sedikit waktu bagi orang tua untuk menyaksikan dan mengikuti pertumbuhan dan perkembangan buah hati, karena pada masanya anak-anak tersebut akan memiliki dunia mereka sendiri. Dan saat itu kita akan kehilangan momen indah untuk bersama mereka. Menuju dewasa, mereka akan memilih sahabat tempat mengadu daripada berlari menuju kepada seorang ibu. Tidak akan lagi terdengar rengekan-rengekan kecil, bentuk curhat mereka saat lapar. Oleh karena itu, pergunakan waktu terbaik bersama sang buah hati.”
Sekali lagi, cerita ini hanyalah generalisasi. Bedakan dengan kasus-kasus anomali.
Gw belum pernah mendengar, menyaksikan kasus-kasus dimana kehadiran orang tua terutama ibu yang mendominasi hari-hari seorang anak menghasilkan generasi yang cacat, baik secara mental ataupun moral.
Kenapa? Karena rumah adalah madrasah pertama, dan orang tua adalah guru yang paling utama.
Karena setiap orang memiliki latar belakang kehidupan berbeda, silahkan pilih jalan mana yang akan dilalui. Yang penting dan harus selalu diingat adalah, masa masa terbaik menyaksikan tumbuh kembangnya anak tercinta tidak akan pernah bisa diulang, bahkan hingga kita melipatgandakan semua harta dan menggadaikannya.
Jangan lupa, menjadi ibu adalah pekerjaan paling mulia bagi seorang wanita. Ibu adalah guru dalam setiap disiplin ilmu. Ibu adalah manajer yang mengatur dan menata pola hidup keluarga hingga lebih rapih. Ibu adalah sahabat paling setia, yang siap mendengar semua cerita dan keluh kesah.