Ini Itu Teori Parenting

Agustus 12, 2015 § Tinggalkan komentar

marshmallow

Pada tahun 1970 seorang psikolog bernama Walter Mischel melakukan serangkaian pengujian yang dikenal dengan Marshmallow test. Tes ini dilakukan dengan membiarkan sejumlah anak di dalam ruangan dan meminta mereka untuk menahan diri dari godaan kue atau terkadang marshmallow yang terdapat di ruangan tersebut. Bagi setiap anak yang dapat menahan diri untuk tidak makan kue dalam kurun waktu tertentu, mereka akan mendapatkan award berupa kue/marshmallow dua kali lebih banyak.

Pada akhir tes ditunjukkan bahwa hanya sebagian kecil anak saja yang menolak makan kue sementara yang lainnya tidak tahan godaan. Anak-anak yang berhasil menahan diri, berusaha mengalihkan rayuan marshmallow dengan melakukan aktifitas lain sebagai pengalihan perhatian.

Anak-anak tersebut dikumpulkan kembali beberapa tahun setelahnya. Hasil studi menunjukkan bahwa mereka yang mampu menahan diri untuk tidak segera memakan kue dapat menyelesaikan studinya dengan baik, memiliki pendapatan yang lebih besar dan berbagai hal positif lain dibandingkan anak-anak yang tergesa-gesa makan kue. Kemampuan menahan diri tersebut dikenal dengan delayed gratification. Studi ini juga mengajarkan bahwa kita bisa mengindahkan godaan terhadap suatu objek dengan mengalihkan fokus ke hal lain.

Lebih jauh, penelitian ini dihubung-hubungkan dengan kebiasaan yang membedakan antara orang perancis dan amerika. Ibu-ibu yang hidup di perancis cenderung tidak segera mengangkat bayi mereka saat merengek. Bayi tersebut dibiarkan untuk menangis sejenak sebelum ditimang. Pola seperti ini bertujuan untuk melatih self-control sehingga anak-anak di Perancis tumbuh menjadi anak yang lebih tenang dan tidak tergesa-gesa. Anak-anak tersebut akan lebih tahan menunggu orang tuanya selesai menelepon ketimbang menangis meminta perhatian. Kebiasaan yang tidak terjadi di Amerika.

Cuplikan di atas gue sadur dari status facebook seseorang yang kemudian gue bagikan kembali. Belakangan gue memang bersemangat untuk mengumpulkan informasi yang berkenaan dengan pendidikan anak dan pola asuh.

*****

Sejujurnya, menjadi orang tua di masa kini rasanya memiliki tantangan tersendiri yang berbeda dengan era sebelum-sebelumnya. Gue tidak akan berkata bahwa beban orang tua sekarang lebih berat daripada para pendahulu. Kenapa? Karena budaya, atmosfer, lingkungan yang dihadapi sangat spesifik. Jika tantangan kita sekarang adalah perang pemikiran di mana anak-anak kita harus dibentengi dengan segala serangan liberalisme atau homoseksual yang merajalela maka orang-orang terdahulu harus membesarkan anaknya di saat bumi ini belum aman untuk ditinggali. Perang, kelaparan, konflik menjadi pemandangan sehari-hari yang tidak akan kita temui saat ini.

Menjadi orangtua baru berarti melengkapi diri dengan segala bekal untuk bergaul dengan sesosok manusia lemah tak berdaya yang membutuhkan orang lain untuk bertahan hidup. Bekal tersebut tidak hanya berupa A-Z ilmu parenting yang belakangan semakin laris dijajakan. Modal kuat lainnya bagi ayah terutama ibu dalam mengasuh bayi adalah mental.

Jangan remehkan ketahanan mental kedua orang tua khususnya ibu. Ilmu parenting boleh terus berkembang namun mental adalah warisan genetis yang tercetak di DNA. Transformasi peran seorang istri menjadi seorang ibu berarti merubah ritme hidup menjadi lebih dinamis. Perhatikan saja bagaimana ibu-ibu baru dengan sigapnya mengganti popok tiap malem, menyusui di saat mata terkantuk lelah, ikhlas porsi kalsiumnya dipindahalihkan ke bayi demi tumbuh kembang mereka tanpa perduli bahwa tulang-tulang itu lebih cepat mengalami osteoporosis. Makanya, tidak jarang ibu-ibu yang tidak siap secara mental mengalami baby blues bahkan postpartum syndrome karena kelelahan yang memuncak. Sementara bagi ayah, beban mental yang dihadapi tidak akan pernah seberat itu.

Berkaitan dengan bekal pengetahuan, semua orang tua di dunia tidak harus membaca segala rupa dan judul buku parenting atau mengulik teori psikologi tabula rasa ala John Locke. Mungkin kita masih inget bagaimana orang-orang terdahulu mendidik anak-anaknya. Apa mereka mengaplikasikan segala teori ini itu. Teori positif dan lain lain? Gue rasa ga. Namun entah mengapa saat ini semakin banyak berkembang teori psikologi yang justru membuat kita, gue khususnya, sebagai orang tua bingung teori mana yang bener-bener sesuai dengan kebutuhan anak.

Baru-baru ini salah seorang temen membagikan tulisan tentang kontradiksi penggunaan kata ‘jangan’ dalam psikologi parenting. Penggunaan kata ‘jangan’ yang banyak digaungkan positive parenting seolah sudah melanggar dan mendelegitimasi ajaran-ajaran parenting kenabian. Belum lagi berbagai artikel-artikel di media sosial yang saling membenturkan antara kedua teori tersebut. Kondisi seperti ini bukan tidak mungkin membuat para orang tua baru menjadi ragu untuk mengambil pendekatan dalam mendidik anak. Untungnya di waktu lain salah seorang ustad yang mendalami persoalan ini membagikan pemahamannya yang cukup moderat. Ia berargumen bahwa tidak perlu terjadi friksi antara kelompok-kelompok yang pro ataupun yang kontra dengan penggunaan kata ‘jangan’. Baginya, kata ‘jangan’ sah-sah saja digunakan sebagai bagian dari upaya kita untuk mendidik dan melarang anak agar tidak melanggar nilai-nilai ketauhidan. Sementara di luar itu, dalam konteks yang lebih horizontal, para orang tua bisa menggunakan kata-kata positif ketimbang menggunakan kata larangan pada anak-anak mereka.

Kontradiksi di atas mungkin hanya satu dari sekian banyak ‘pertarungan’ dalam domain pola asuh anak. Belum lagi ribut-ribut antara ibu rumah tangga atau ibu pekerja, seberapa efektif pendidikan semiformal bagi balita dan banyak hal lainnya. Sejatinya semakin banyak teori parenting berarti semakin banyak pilihan yang bisa diterapkan oleh orang tua. Namun dalam teori psikologi, banyaknya pilihan justru dapat membuat bingung para pemilih.

Semakin maju peradaban semakin membuat orang berlomba untuk menjadi yang terdepan dan merasa kekinian dalam banyak hal. Termasuk perihal asuh-mengasuh. Padahal jika kita mau berkaca pada orang-orang era ‘pra-gadget’, kita bisa mendapati bahwa mereka tidak melengkapi diri dengan teori parenting yang jelimet. Mereka mengandalkan insting dalam merawat bayi. Insting tersebut yang menjadi default bagi para orangtua sejak zaman nabi adam hingga masa kini. Tanpa teori ini itu.

Buat gue pribadi segala macem teori tersebut tidak serta merta langsung diaplikasikan. Karena anak kita bukan kelinci percobaan yang bisa diuji untuk kebutuhan dan memvalidasi sebuah hasil penelitian. Sejelas-jelasnya teori parenting adalah yang termuat dalam beberapa buku tentang parenting nabawiyah walau tidak menutup kemungkinan dilengkapi dengan teori pola asuh kontemporer selama ia nya tidak menghapus nilai-nilai agama.

Jangan sampai kita menjadi seperti J.J Rosseau. Seorang pendidik, filsuf dan penulis novel hebat berjudul Emile yang disebut-sebut sebagai buku tentang pendidikan terbaik kedua setelah Republic­-nya Plato. Pak Rossesau nampak mapan dalam berteori tentang pendidikan namun pada realitanya ia menelantarkan anak-anaknya yang berjumlah empat dan meninggalkan mereka di panti asuhan.

Segala teori pendidikan dan pola asuh anak hanya isapan jempol jika para orang tua tidak mendandani pribadi mereka terlebih dahulu. Children see children do.

*Sumber Gambar dari link berikut

Iklan

Where Am I?

You are currently browsing entries tagged with Emile at I Think, I Read, I Write.

%d blogger menyukai ini: