Membaca yang Berbeda

Agustus 18, 2016 § Tinggalkan komentar

Sumber: Google

Sumber: Google

Gue sangat percaya bahwa apa yang kita baca sangat mempengaruhi cara kita berpikir. Syaikh Ahmad Deedat tidak pernah mampu membalas argumen teologis dari para misionaris di sekitaran toko tempat ia bekerja. Hingga suatu hari ia membaca sebuah buku berjudul ‘Izharul Haq’. Buku yang kelak menjadikan ia seorang kristolog handal.

Ada begitu banyak buku lainnya yang bisa mengubah cara seseorang memandang dunia. Mulai dari Origin of Species milik Darwin hingga Principia kepunyaan Sir Issac Newton. Demikianlah kedahsyatan buku. Ia mampu mengubah arang menjadi intan. Andai saja takdir berkata lain. Ahmad Deedat misalkan di masa mudanya lebih memilih Das Kapital sebagai bahan bacaan maka mungkin saja saat ini ia dikenal sebagai pemimpin gerakan revolusi komunis di Afrika Selatan. Satu ideologi dengan Semaun, Nyoto, Mao dkk.

Selama ini bacaan gue bisa dikatakan nyaris seragam. Kental dengan nuansa  pergerakan islam, sejarah islam, perang pemikiran dan tema-tema yang homogen. Keberadaan buku-buku dengan topik yang satu membuat dimensi berpikir gue nyaris monokrom. Gue tidak bisa menganalisa suatu kejadian, konflik dengan spektrum yang beragam. Dunia ini nyaris hanya dua warna, hitam dan putih. Kalo misalkan suatu kejadian tidak selaras dengan bacaan yang gue geluti, maka gue akan mengutuk serta menggumam keras dalam hati. Semua harus sejalan dengan cara berpikir yang diadopsi dari buku-buku yang tertranskripsi di otak gue.

Tidak hanya buku, bacaan di media elektronik pun mengalami perlakukan serupa. Gue memilah-milah bacaan sesuai dengan apa yang gue suka. Cherry-picking itu benar adanya.

Tapi belakangan gue berubah. Salah satunya karena quote dari Haruki Murakami dalam Norwegian Wood If you only read the books that everyone else is reading, you can only think what everyone else is thinking”.

Bacaan gue sekarang lebih variatif. Gue mencoba mengakomodir tema dari dua sudut pandang yang bertolak belakang. Jika dulu gue anti membaca artikel dari mereka yang di-stempel sebagai Jaringan Islam Liberal (JIL), sekuler dan teman-temannya maka sekarang gue lebih akomodatif. Tulisan yang berhaluan ‘kiri’ pun kini gue jabanin.

Baru-baru ini gue membaca tulisan Burhanudin Muhtadi yang terbit di jurnal internasional berjudul “The Conspiracy of Jews: The Quest of Anti-Semitism in Media Dakwah”. Artikel karangan Burhan menceritakan bagaimana sebuah majalah bernama Media Dakwah di bawah asuhan Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII) terlalu sering melakukan framing terhadap Yahudi (Zionis, Israel) dan ‘mengagungkan’ teori konspirasi dengan menempatkan mereka sebagai tersalah setiap kali terdapat kerusakan di dunia islam.

Tulisan Burhan cukup menarik. Ia memberikan wawasan serta sudut pandang lain untuk memberontak keluar dari hegemoni keajegan cara berpikir yang dominan di masyarakat.

Bersamaan dengan e-book mlik Burhan, gue juga mengunduh ­e-book dari para liberalis lain semisal “Ideologi Islam dan Utopia” milik Luthfie Assyaukanie. Tidak ketinggalan e-book dengan tema yang sangat kontroversial semisal “Begini Cara Berdebat Dengan Muslim” dan “Mengapa Aku Bukan Lagi Seorang Muslim” pun gue jabanin hanya demi mencari tahu seperti apa cara berpikir ‘mereka’.

Sebelumnya gue khusyu’ membaca argumen-argumen pro dan kontra perihal teori evolusi. Kalangan liberalis menyandarkan pendapat mereka pada penafsiran kontekstual yang lentur dan adaptatif pada perubahan zaman. Sementara kalangan ‘tradisional’ bersikukuh pada tafsir literalis yang bertahan dari masa ke masa. Gue menikmati adu pendapat dengan landasan ilmiah yang kokoh ketimbang harus saling adu pukul karena perbedaan penafsiran.

Tulisan-tulisan dari mereka yang mendaku sebagai bagian dari Islam Liberal cukup menarik untuk dikaji sebagai studi komparasi terhadap tafsir yang jamak hadir di masyarakat.

Ada pergolakan batin yang sangat kuat saat kita harus membaca ide-ide yang bersebrangan dengan nilai-nilai dasar yang kita yakini. Pilihannya hanya dua : terseret bersama dengan ide-ide baru tersebut atau menjadikan kita semakin yakin dengan pandangan, prinsip dan metodologi yang kita pilih. Gue percaya membaca dua hal dalam posisi diametral akan membuat kita bisa lebih bebas memilih yang mana yang lebih sesuai dengan nurani.

Dengan mengamati serta menganalisa tulisan Burhan misalnya maka kita menyadari bagaimana kaum liberalis menggunakan framework yang sangat kebarat-baratan. Ia banyak bersandar pada pendapat orientalis. Dengan demikian pendekatan-pendekatan teologis, fiqih yang konservatif dan literalis tidak akan menemukan titik terang setiap saat kita berdiskusi dengan mereka.

Sempet juga dalam beberapa waktu gue gandrung dengan beberapa tulisan Tan Malaka, Soe Hok Gie, bahkan Nietzsche. Gue awalnya berasumsi bahwa Tan Malaka adalah seorang kiri yang sangat islamis setelah membaca tulisannya serta mendengar pendapat seorang Buya Hamka. Semua berubah sejak gue mengunduh tulisan Dr Syed Alatas yang mengatakan bahwa pendapat tersebut keliru. Datuk Tan Malaka lebih condong ke atheis ketimbang islamis.

Andai saja gue hanya bergumul dengan buku-buku bernapaskan satu maka sejatinya gue tidak akan pernah tahu bagaimana sebenernya orang ‘kiri’ bekerja dan berpikir.

Kini gue lebih mampu merespon secara bijak tulisan yang sama sekali berbeda dengan bacaan pada umumnya sehingga menjadi referensi yang cukup baik sebagai antitesis argumen yang gue percayai. Dengan demikian gue memiliki wawasan yang lebih variatif dan komprehensif.

Iklan

Where Am I?

You are currently browsing entries tagged with Dr Syed Alatas at I Think, I Read, I Write.

%d blogger menyukai ini: