#16 Muhammad Fachrie

Februari 20, 2014 § Tinggalkan komentar

IMG-20140220-WA0004[1]Gue menuliskan kisah ini di bawah tekanan hebat. Orang yang namanya menjadi judul tulisan terus menerus memaksa untuk meninggalkan kisahnya di blog gue yang imut dan sederhana. *Tetot, majas litotes!*.

Gue pun menulis di bawah todongan pistol dan senapan mesin. Entah perasaan apa yang menjalar, untuk beberapa saat gue merasakan sensasi menjadi penulis yang dinanti-nanti karyanya namun di satu sisi keselamatan gue terancam. Lebay, tong.

Gue mulai dari mana ya… Hmmm!!

Suatu hari di sebuah sekolah menengah atas, terlihat beberapa orang pemuda dengan rona wajah yang ceria, baju rapih terselip ke dalam celana, bekas air wudhu masih membasahi rambut dan sela sela jari. Sambil mengibaskan rambut hingga percikan air tersebar kemana-mana, mereka serentak bersorak “ketombe, siapa takut?”

Para pemuda ramah ini tengah mencoba mengharmonisasi suara untuk turut serta dalam lomba nasyid di salah satu SMA di pojok Kota Palembang. Perlahan tapi pasti, salah seorang siswa yang mengenakan kacamata bersiap mengambil nada dan mengeluarkan cengkok mautnya saat secara tiba-tiba salah seorang personel menginterupsi tanpa perlu menunggu sidang pleno DPR. Sontak saja, vokalis dan anggota tim yang lain sewot dan bertanya-tanya kenapa ada interupsi di saat lagu akan mulai dinyanyikan.

“Gue ga mau jadi perkusi. Gue maunya jadi Elang”

“Hah, perkusi? perkutut maksud lo? Jangkrik, jauh banget!”

“Garing ye? Hahaha.. biarin aja dah. Maksud gue, gue ga mau jadi perkusi alias akapelis di grup nasyid ini. Gue maunya jadi vokalis biar eksis dan bisa dilihat orang-orang. Gimana menurut kalian?”.

Gue pelan-pelan memandang pemuda ini. Sambil mengernyitkan dahi, gue spontan bilang

“Kalo aku sih oke aja. Ga tau kalo Mas Dani dan Mas Anang”.

Alamak, anak satu ini pengen dijitak. Interupsi di tengah latihan cuma buat menyampaikan hal yang peluang terwujudnya sama kayak peluang Meyda Safira nikah sama gue. Nol besar. Hampir saja latihan nasyid tersebut berubah menjadi latihan menguliti siswa. Untungnya kami tengah berada di musola. Alarm di balik hijab jauh lebih mengerikan daripada apapun. Akhwat-akhwat akan berkicau “afwan akhi, ada yang lagi sholat”  jika ada sedikit saja kegaduhan di area ikhwan.

Personel nasyid yang tega-teganya menginterupsi latihan demi menyerukan aspirasi yang geje kami pangggil dengan Emon. Eh maaf, Muhammad Fachrie maksud gue.

fahriJangan banding-bandingin Fachrie temen gue dengan Fahri yang membuat Maria serta Aisyah jatuh cinta ye. Kalian akan kecewa!. *Kabur sebelum ditampol*

Sebut Saja Mawar Fachrie. Pria jangkung yang sangat menyukai dunia per-IT an. Sejak masuk SMA, dia langsung bergabung dengan salah satu organisasi sekolah yang memfasilitasi siswanya untuk mengenal jauh programming, hardware, software dan kroco-kroconya.

Semasa SMA, Fachrie adalah anak yang konyol atau bahasa inggrisnya “ucak-ucak”. Dengan mudahnya, tanpa menunggu komando dari batalyon atau resimen mahasiswa, ia bisa sekonyong-konyong membahas tentang pempek, pempek rasa ayam, dimana ada penjual pempek, saat yang lain tengah berdiskusi tentang gerak lurus berubah beraturan. Kami pun hanya bisa menerka apa yang terjadi dengan anak ini. Apakah aliran informasi ke otaknya sudah tersumbat oleh cuka pempek. Atau jangan-jangan, ia tengah berfantasi, berada di dunia paralel yang berisi pempek-man, iron-pempek, spiderpempek dan galau membedakan dunia nyata dan alam pempek fantasinya.

Orientasi fachrie dengan pempek sudah sampai pada tahap mengkhawatirkan. Jika discan dengan MRI, gue khawatir dia mengalami delusi akut. Pempek seolah mensekresikan oksitosin yang membuat dia nyaman.. haha.

Keanehan Fachrie tidak berhenti sampai di sini. Setiap kali makan siang, gue dan temen-temen menempuh jarak yang cukup jauh. Dua kali bolak-balik perjalanan Tong Sam Cong dan Sun Go Kong mencari kitab ke barat. Resiko tersebut harus ditempuh demi mendapatkan harga yang pas dengan kantong kami sebagai siswa SMA yang kere.

Dengan jarak tempat makan yang berada di seberang sekolah, kami harus melalui jembatan dan area yang terpapar oleh sinar matahari. Di sinilah kita bisa menemukan betapa uniknya seorang Hamba Allah bernama MUHAMMAD FACHRIE.

Berasa seorang count drakula, Fachrie selalu berusaha menghindari sinar matahari yang menyinari tubuhnya. Entah dengan alasan kulitnya bisa berfotosintesis lalu perlahan menguap menyisakan Fachrie dan tulangnya atau ia takut kulitnya menjadi semakin gelap. Dia lupa bahwa Vas*line sudah melakukan inovasi dengan SPF 46 yang mencegah radiasi kulit dan memperlambat penuaan *bukan blog berbayar*.

Nah, kalian mungkin bisa membayangkan bagaimana perasaan kami. Saat terkena sinar matahari, Fachrie perlahan bersembunyi di balik bangunan menjulang sambil lari berjinjit dan menutupi kepala dan wajahnya dengan tangan. Jika kondisi sudah begini, gue juga yang kesulitan buat memberikan klarifikasi kepada wartawan-wartawan.

dulur2 SMA (5)Semasa SMA, Fachrie adalah salah satu pentolan ROHIS dan Nasyid SMA 3. Dia juga berada pada kondisi intelektual yang tidak berbeda jauh dengan gue. Kami berada pada kelas bulu terbang. Selama tiga tahun setia duduk sebangku dengan Hafizzanovian. Sangat mengidolakan Sheila On 7. Saking ngefansnya, dia bisa memainkan beberapa melodi lagu SO7 serta mengimitasi sosok Eros. Kurusnya sama broo!.

Oh iya, Gue hampir lupa. Fachrie juga kerap kali dipanggil dengan “nyit-nyit”. Wallahu ‘alam kenapa panggilan yang awckward tersebut bisa tersematkan, hanya Fachrie dan ibu peri yang tau. Yang jelas kami nyaman memanggil fachrie dengan nyit-nyit bahkan sampai saat ini.

Seusai menempuh pendidikan di sekolah menengah atas, doi melanjutkan kuliah ke Institut Teknologi Telkom, Bandung. Di kampus inilah Fachrie mampu memaksimalkan segenap potensinya. Dia melejit dengan menorehkan berbagai prestasi dan yang paling utama, anak yang semasa SMA nya jauh dari kesan serius, mampu bertransformasi menjadi pemuda soleh yang merengkuh jabatan sebagai Sekjen LDK di kampusnya. Wow, sebuah prestasi yang luar biasa. Bener-bener gambaran perubahan yang keren bingits.

Setiap kali berkunjung ke IT Telkom, Gue sering bertemu doi tengah ngadem di masjid kampus entah sebagai jamaah atau menemukan Fachrie sedang berebut tajil sambil sikut-sikutan dengan bocah sekitaran Dayeuh Kolot. Aura Fachrie (bukan aura kasih) nampak berubah. Dia terkesan lebih dewasa dan gosong matang dengan pemahaman keagamaan yang semakin baik.

Selesai kuliah, Fachrie tidak serta merta memutuskan untuk bekerja. Ia lebih memilih melanjutkan pendidikan tentang Artificial Intelligence di kampus UGM.  Belum sempat menyelesaikan studinya, Fachrie sudah diterima menjadi dosen di tempat ia meraih gelar sarjana. Dia kebagian jatah untuk mengisi posisi dosen ilmu pempek dan percuka-an. Hahhaa.

Fachrie, Hani dan Perwakilan IPA A

Fachrie, Hani dan Perwakilan IPA A

Januari 2014, Fachrie mempersunting seorang Gadis Jawa yang Ayahnya merupakan salah seorang Guru Besar di UGM. Gadis ini sempat menempuh kuliah di Institut Teknologi Bandung. Kisah cinta Fachrie sungguh unik jika dirunut. Kuliah di Bandung, Nyari jodoh di Bandung, melanjutkan kuliah di jogja, jodohnya orang Jogja. Sungguh (bukan) sebuah kebetulan.

Selamet akhe, ente meraih gelar ke-16 member IPA A yang sudah menikah dan yang ketiga di antara para jejaka.

Iklan

Where Am I?

You are currently browsing entries tagged with dosen at I Think, I Read, I Write.

%d blogger menyukai ini: