Dampak Sosial Perut Buncit

November 24, 2014 § 1 Komentar

Dari sekian banyak kebahagiaan yang gue peroleh paska menikah, kenaikan berat badan yang tak terkendali tetep aja bikin gue gerah. Oke, perlu gue akui bahwa bertambahnya berat badan adalah sejarah dalam fasa modern hidup gue. Bayangkan, selama lebih dari 25 tahun, timbangan-timbangan nista itu tidak pernah mau beranjak dari angka 55 atau 56. Tidak perduli berapa banyak gue makan. Gue masih bisa mentoleransi jika selama kuliah berat gue stabil pada angka yang sama. Makannya aja pake paket irit. Tempe sepotong buat tiga kali makan. Nasinya sepiring bertiga (sepiring berdua sudah terlalu mainstream). Kalo alesannya selama kuliah gue kurus, gue terima. Tapi efek kurus tersebut terus berlangsung hingga dua tahun pertama gue kerja yang seharusnya level kemakmuran semakin meningkat.

Semua berubah sejak gue menikah. Cukup enam bulan, berat badan gue naik hingga lebih dari 12 kilogram. Namun yang paling buruk dari semuanya adalah perut gue menjadi buncit. Hal yang selama ini sangat gue hindari. Meskipun apa yang gue alami sebenernya juga terjadi pada 58.6% pria menikah lainnya yang ada di muka bumi.

Istri gue senyum-senyum aja melihat kondisi gue sekarang. Bagaimana mungkin, dia yang hamil tapi perut gue yang membuncit. Oh God, Why?.

belly

Banyak alasan yang membuat pria menikah cenderung memiliki perut buncit. Salah satu alesan yang paling masuk akal berkaitan dengan apa yang dimakan dan apa yang dipikirkan. Dari riset yang dilakukan oleh De Jerica Berg, pria menikah merasakan kehidupan yang bahagia sehingga nafsu makan cenderung meningkat akibat masakan-masakan lezat yang dimasak oleh istri ditambah dengan frekuensi olahraga yang semakin berkurang. Jika melihat korelasi ini, pria menikah tapi tidak memiliki perut buncit berarti sangat mungkin istrinya tidak bisa memasak atau masakannya tidak enak :D.

Alasan lainnya adalah bagi setiap istri, perut buncit diharapkan akan menjauhkan suami mereka dari godaan wanita-wanita lain. Dengan demikian mereka sebisa mungkin ‘melayani’ kebutuhan pangan suami agar terus makan dan makan dan makan hingga akhirnya menjadi buncit dan kekurangan daya tarik bagi wanita lainnya. Sayangnya, 74% wanita lebih menyukai pria buncit ketimbang pria six-pack. Karena pria six-pack lebih disukai pria-pria lainnya… Maho woy!.

Perut buncit meninggalkan banyak permasalahan. Selain masalah kesehatan seperti kolesterol tinggi, penurunan fungsi paru-paru dan kerusakan pada pembuluh arteri, buncit juga berpengaruh terhadap permasalahan sosial.

Dengan lingkar perut yang berlebihan, para pria akan membutuhkan ruang lebih saat menempati kendaraan umum. Terlebih lagi di dalam sesaknya commuter line dan transjakarta.  Efeknya adalah muatan di dalam kendaraan jauh lebih sedikit sehingga dibutuhkan jumlah kendaraan umum yang lebih banyak untuk mengangkut penumpang dengan jumlah yang sama. Negara pastinya akan mengeluarkan anggaran lebih untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Karena sebagian besar APBN dialihkan untuk pembelian kendaraan umum, alokasi dana untuk pendidikan dan perbaikan infrastrutur pun berkurang. BBM bersubsidi akan lebih cepat dihapuskan. Gaji PNS dikurangi sehingga semakin banyak pengangguran. Negara kacau balau dan terjadilah kerusuhan dimana-mana. Negara tidak stabil dan tingkat kriminalitas semakin meningkat. Mengerikan bukan efek domino dari perut buncit?.

Permasalahan sosial lainnya adalah stereotip om-om hidung belang yang melekat pada pria dengan perut buncit. Jika kalian penikmat sinema elektronik, FTV, film bergenre misteri tapi banyakan mesumnya maka kalian akan sangat akrab dengan pemandangan para pria pencari kenikmatan dunia dengan penampilan perut buncit dan kumis tebal. Akibatnya adalah setiap pria dengan perut buncit akan dicurigai sebagai om-om girang. Mereka akan dihindari, dikucilkan dan dijauhi. Bahkan, bukan tidak mungkin mereka akan dipenjarakan karena penampakan mereka dianggap perbuatan yang tidak menyenangkan. Coba bayangkan bagaimana rasanya menjadi pria berperut buncit. Sakit mas..sakit.

Pria berperut buncit juga sangat berkorelasi dengan imej orang kaya. Padahal anak-anak penderita busung lapar pun perutnya buncit. Apa yang terjadi jika setiap orang bisa dengan mudahnya mengganggap kamu berduit hanya berdasarkan ukuran lingkar perut? Saudara dari segala penjuru bumi akan berdatangan meminta THR saat lebaran. Orang-orang akan mengaku sebagai kenalan lo dan meminjam meminta uang secara brutal. Para pengendara motor bahkan memintamu untuk mensubsidi uang untuk membeli premium. Gila ga tuh? Bagi mereka yang tidak kuat iman, cobaan ini terlalu berat. Lalu mereka akan stress dan kemudian bunuh diri. Tragis!.

Gue ngerasain banget betapa perut buncit sangat berpengaruh pada pakaian yang gue punya. Hampir semua baju kantor gue tidak muat saat hendak dikenakan. Awalnya gue ingin mengkambing hitam baju-baju tersebut karena menyusut dengan cepatnya. Tapi mereka membela diri dengan iringan backsound Cita Citata.

Dari dulu gue selalu membeli baju slim fit untuk memamerkan otot-otot bisep dan trisep yang bersemayam di tubuh gue. Tapi kini semua berubah semenjak buncit hinggap di perut. Semua baju itu terasa sempit dan gue dengan terpaksa harus membeli baju-baju baru. Sekarang gue harus memasukkan anggaran untuk membeli baju dengan ukuran lebih besar. Kondisi seperti ini tidak sehat karena bisa saja orang-orang buncit melakukan demonstrasi besar-besaran untuk menyaingi para buruh yang menuntut upah minimum menjadi 7 juta. Jika buruh tersebut memasukkan uang untuk nonton bioskop dan uang berdandan dalam angka-angka rasionalisasi UMR mereka, maka orang-orang buncit akan menuntut item uang untuk baju yang lebih besar dan uang fitness.

Dampak buruk lain dari perut buncit adalah kesulitan untuk berlari. Bagaimana mungkin mereka yang berperut buncit dapat menghindar dari kejaran apalagi dari kejaran bayang-bayang masa lalu. Jadi, masih mau buncit?.

Sumber gambar
Iklan

Where Am I?

You are currently browsing entries tagged with Dampak sosial perut buncit at I Think, I Read, I Write.

%d blogger menyukai ini: