Gelar yang Semu
Agustus 4, 2016 § Tinggalkan komentar
Gue tidak pernah tertarik dengan penyematan gelar di depan nama. Bahkan cenderung skeptis terhadap semua aksesoris predikat, gelar atau embel-embel sejenis. Makanya setiap kali mendapati orang-orang yang menuliskan predikat semacam ‘haji’ atau ‘ustad’ atau gelar-gelar akademik yang mereka punyai, gue langsung saja sinis. Apa untungnya orang-orang tahu dengan label-label tersebut.
Sebelum akad nikah, gue pernah wanti-wanti keluarga istri untuk tidak menyebutkan gelar saat akan memanggil pengantin pria oleh panitia pernikahan. Gue merasa tidak nyaman. Biarkanlah gue tampil apa-adanya tanpa perlu menyematkan predikat keilmuan gue. Karena toh apa efeknya ke dalam kehidupan berumah tangga kalo misalkan gue adalah seorang lulusan sarjana, atau master atau doktor sekalipun. Keharmonisan rumah tangga tidak ditentukan oleh hal demikian.
Daripada ‘memamerkan’ gelar gue lebih seneng memberi tahu orang-orang kalo gue bisa ngangkat galon ke dispenser tanpa numpahin air sedikitpun. Gue juga mampu memasang gas LPG ke kompor dalam satu kali percobaan. Kewl, kan?.
Gue bahkan nyaris tidak menyematkan gelar di undangan pernikahan. Karena menurut gue undangan pernikahan itu harusnya sekedar menyiarkan alias menyebarluaskan siapa yang nikah, waktu dan tempat. Itu saja. Sayangnya kebanyakan orang menyamaratakan undangan pernikahan dengan curriculum vitae. Semua gelar ditambahkan.
Rasanya cuma ada dua alasan gelar itu menjadi penting untuk dibubuhkan di depan nama
1. Saat mengisi seminar ilmiah
2. Saat pemilihan kepala daerah
Di luar kedua kegiatan tersebut, menyebut-nyebut gelar tidak akan memberikan efek signifikan pada kehidupan seseorang. Tidak akan menambah harta kekayaan. Apalagi menambah ketampanan.
Sangat lah wajar memberikan gelar di depan nama saat akan memberikan seminar ilmiah karena hal ini berhubungan dengan kredibilitas dari pembicara. Orang pun enggan mendatangi penyampaian pidato ilmiah jika yang menyampaikan adalah ‘orang biasa’ nir gelar.
Untuk kondisi kedua, pemilihan kepala daerah acapkali menjadi ajang pamer gelar. Percaya atau tidak, di luar segala praktek culas para politikus tengil selama periode pemilihan pucuk pimpinan, gelar akan sangat mempengaruhi psikologis para pemilihnya. Di luar faktor non-teknis lain semisal calon mana yang lebih cakep dan enak diliat. Calon mana yang lebih santun. Dan calon mana yang cuma bermodalkan mulut besar dan senang menjilat ludahnya sendiri.
Itulah mengapa setiap kali ada momen pemilihan kepada daerah, baliho dan pamflet yang terpampang manis di pohon serta tiang listrik selalu menampilkan gambar calon kepala daerah lengkap dengan nama serta gelarnya. Orang-orang masih selalu percaya bahwa gelar-gelar tersebut memproyeksikan tingkat intelektual serta kearifan.
Misalnya saja pembubuhan huruf ‘H’ sebagai singkatan gelar ‘Haji’ seolah memberikan kesan kedalaman ilmu agama sehingga menjadi komoditas untuk mempengaruhi para pemilih. Isu-isu religius masih laku untuk dijual oleh para politisi. Banyak yang beranggapan bahwa gelar haji berarti sinyal kesolehan sehingga berada pada kasta yang lebih tinggi dari mereka yang tidak memiliki gelar serupa. Padahal kita mengenal Haji Muhidin yang ngeselinnya minta ampun.
Gelar-gelar akademis juga selalu menjadi atribut yang siap dipasang para calon kepala daerah sehingga menjadi etalase untuk memamerkan intelektual. Padahal tidak selamanya orang-orang dengan seribu satu gelar memiliki kecakapan untuk memimpin. Andai saja gelar-gelar itu berkorelasi positif dengan kemampuan mengurusi urusan rumah tangga kenegaraan maka niscaya orang-orang akan mengumpulkan gelar sebanyak-banyaknya ketimbang memaparkan visi dan misi kepala daerah.
Gelar akademik kini bisa dibeli. Tidak lagi menjadi hak prerogatif orang-orang pinter. Siapa pun, asal punya duit, bisa mendapatkan gelar tanpa perlu bersusah payah kuliah dan kejer-kejeran sama dosen pembimbing demi revisi skripsi. Enak, toh?.
Lagian kalo kampanye gitu siapa yang mau nanyain sampeyan dapet gelarnya dari universitas mana. IPK berapa. Apa judul tugas akhir anda. Ini kampanye bung, bukan nyari kerja.
Jadi kesimpulannya tak usah lah kalian berbangga-bangga dengan segenap gelar yang kalian punya. Gelar itu semu, bang. Kalo kalian tidak sedang mengadakan pidato ilmiah atau tidak sedang bertarung memperebutkan kursi kepala daerah, simpan saja gelar-gelar akademik itu rapat-rapat. Tingkat intelektualitas, kecakapan, serta nilai diri kalian tidak ditentukan oleh gelar yang berlimpah itu.