Catatan Hari Seorang Suami

September 10, 2015 § Tinggalkan komentar

FB_IMG_1440496804194

Sabtu pekan lalu, di sela-sela waktu rehat bersama keluarga, istri gue bercerita tentang temen satu kelompok pengajiannya perihal masalah rumah tangga mereka. Ia harus terpisah jarak Bandung-Kalimantan dengan sang suami yang harus bekerja di salah satu perusahaan pertambangan di kepulauan borneo. Dengan terbatasnya jumlah pertemuan fisik, beberapa pekan saja dalam dua bulan, mau tidak mau mereka harus menggunakan telepon sebagai sarana komunikasi intens.

Prinsip LDR yang mereka jalani menghasilkan sebuah komitmen berupa kewajiban untuk saling telepon setiap harinya mulai pukul tujuh hingga sembilan malem. Terasa simpel memang. Namun pada prakteknya perjanjian tersebut menghasilkan kerumitan tersendiri saat sang istri yang juga sangat sibuk dengan studinya kelabakan untuk memenuhi target tersebut. Tidak jarang ia harus menunda makan malam hingga pukul 10 yang menyebabkan kondisi badannya semakin lemah dan rentan terserang oleh penyakit semisal maag. Menikah berarti siap untuk menghadapi rumitnya dinamika dua kepala manusia dalam satu ikatan.

Gue mencoba meresapi dengan khidmat cerita tersebut. Entah mengapa, beberapa pekan terakhir gue sering menemui permasalahan rumah tangga dari beberapa orang terdekat. Sebelumnya, gue diceramahin hanya karena berusaha berempati terhadap permasalahan keluarga seorang temen baik. Temen gue ini menghadapi pertarungan mental menjadi seorang ibu rumah tangga (full-time mother) di tengah kencangnya hegemoni pentingnya seorang istri untuk bekerja.

Dari dua pengalaman yang gue dan istri amati secara langsung, gue semakin yakin bahwa tidak ada keluarga yang tidak mendapati masalah dalam rumah tangga mereka. Ketiadaan masalah mungkin adalah masalah itu sendiri.

Gue dan istri pun bukan tanpa masalah selama 17 bulan menikah. Pola komunikasi tetap menjadi porsi terbesar sumber cekcok kami. Sebagai pribadi yang belajar menjadi laki, tidak jarang gue kesel dengan perilaku istri yang belum ideal. Sifat dasar gue tergesa-gesa. Tidak jarang gue meminta ini-itu dengan cepat. Mengangkat telepon lebih cepat, mengasuh anak lebih gesit dan segala tuntutan yang serba instan. Gue sering lupa bahwa ritme hidup gue yang serba terburu-buru tidak seharusnya dipaksakan ke istri. Lebih-lebih istri gue punya banyak kewajiban yang harus ditunaikan.

Gue mencoba berkontemplasi bahwa bisa jadi karena kelalaian gue sebagi suami beresonansi pada ketidakidealan istri. Dosa-dosa gue yang mungkin menjadi sumber kekesalan tersebut.

Di luar itu, gue mencoba mencerna bahwa setiap keluarga ‘dibekali’ dengan permasalahan. Spektrumnya pun bervariasi mulai dari masalah keuangan, hilangnya rasa hormat pada pasangan dan banyak lainnya. Jadi, karena setiap pasangan punya domain problematika masing-masing, gue sepakat bahwa tidak perlu gembar-gembor menceritakan kepada semua orang apalagi mencoba menyentil kepekaan massa tentang masalah rumah tangga kita. Lebih-lebih update di media sosial tentang ini itu, tentang anak gue yang nakal, tentang bini gue yang harga lipstiknya 500K, tentang laki gue yang jadi supir Go-Jek. Curhat ini itu hanya semakin memperjelas status kita sebagai manusia yang tidak dewasa dalam menghadapi masalah.

Ada dua kemungkinan seseorang gemar mengumbar konflik rumah tangganya. Kemungkinan pertama dia adalah artis. Yang kedua mereka belum pernah membaca nasihat Ali r.a bahwa menceritakan masalah kita kepada orang lain itu tidak diperlukan. Karena yang cinta dengan kita tidak membutuhkan informasi itu. Dan yang benci tidak akan percaya.

Gue bersyukur mendapat referensi bahwa keluarga lain juga mengalami permasalahan rumah tangga serupa tapi tak sama. Dengan begitu gue bisa mensyukuri bahwa rumitnya cekcok di dalam rumah kami tidak seheboh orang lain. Bisa jadi saat gue melakukan hal yang sama, curhat ini itu, maka orang lain yang akan membanding-bandingkan permasalahan rumah tangga mereka dengan apa yang gue alami. Di situ mungkin mereka yang merasa bersyukur.

Pada akhirnya kita harus bersepakat dengan Socrates yang berujar bahwa

‘Menikahlah. Jika istrimu baik kau akan bahagia. Jika istrimu tidak baik, kau akan jadi filsuf.”

Iklan

Mengapa Blog Menjadi Tempat Curhat yang Lebih Baik

Februari 2, 2014 § 13 Komentar

Joni ga sayang aku lagi. Dia udah ga mau diajakin jalan bareng. Kemarin, waktu dia jalan sama emaknya ke pasar naek sepeda, aku ga dibolehin bonceng tiga. Kalo begini aku lebih baik ngelupain dia. Udah ga ada lagi orang yang sayang sama aku. Lebih baik mati saja *pasang foto tangan yang disilet* pake hestek #luka #korbancinta #merahmerona #gudbye (Posted on Wed, 08:00 AM) 

Masih ada aja makhluk norak bernama manusia yang lalu lalang memajang status curhat. Padahal udah sering gue ingetin bahwa ga ada orang yang akan peduli. Emaknya aja belum tentu ngeh. Orang-orang sadar bahwa mereka yang curhat dan galau putus cinta hingga harus update status di jejaring sosial sebelum bunuh diri tidak pernah benar-benar serius untuk menemui Sang Pencipta lebih cepat. Alih-alih mendapatkan dukungan moral, banyak orang yang mendukung bunuh diri tersebut benar-benar dilakukan, tidak sebatas wacana di status sahaja.

status alay

For God Sake, Gue bisa dengan mudahnya mencari status curhat di media sosial yang bergentayangan di mesin pencari. Dan yang biasanya curhat di facebook punya username yang umm.. *speechless*.

Jejaring sosial mainstream masih mendapatkan porsi perhatian yang besar dari curhat-ers. Posting kegalauan di facebook sudah mirip minum obat, 3x shari, 1×24 jam tamu wajib lapor. Namun kini seiring dengan majunya rhoma irama sebagai capres, status-status curhat di facebook semakin berkurang dan berpindah menjadi twit galau yang menjamah dunia twitter bikinan Jack Dorsey.

Sepertinya ada korelasi yang kuat antara media sosial dengan curhat. Ikatan yang terjalin ini bahkan lebih kuat dari hubungan gelap Tuan Krab yang entah bagaimana bisa melahirkan anak seekor paus.

Bersyukurnya Twitter dibatasi dengan 140 karakter (ada rimanya –ter). Dengan demikian para curhat-ers tidak bisa menceritakan kegalauan mereka dengan semena-mena. Tapi tetap saja. Limitation drives your creativity. Mereka bisa membuat twit bersambung dengan hestek tertentu, curhatnya dikasih nomor sampe sekian ratus yang berisi kisah cinta remaja. In the name of God, Please annihilate them.

Path jauh lebih strict terhadap status-status labil. Kecenderungan user path memanfaatkan media ini untuk posting meme dan update buku, film atau musik yang sedang dinikmati. Sangat jarang ditemui user yang membuat status galau. Kalaupun ada, makhluk tersebut pasti sudah galau akut dan kronis. Mereka perlu diruqyah!

Gue khawatir, kerjasama Dave Morin (yang punya path) dengan Bakrie group justru akan membuat mandul path dalam mengatasi curhat jamaah. ARB jangan sampe memanfaatkan path untuk curhat tentang kondisi perpolitikan dan kansnya jadi presiden (Lah siapa gue). Meme-Path-Bakrie-3

Jauh sebelum jejaring sosial menjamur sebagai tempat berbagi semua keluh kesah dan cerita, orang-orang terdahulu lebih banyak bersikap introvert untuk hal-hal yang sifatnya pribadi. Generasi 80 dan 90 an cenderung memanfaatkan diary untuk bercerita, terutama buat cewe. Diary sifatnya sangat pribadi dan disimpan di tempat yang lebih rahasia daripada lokasi Davy Jones menyimpan harta karunnya.

Berkembangnya internet mengubah perilaku sosial dan budaya masyarakat. Orang-orang lebih terbuka dalam menuangkan ide dan perasaan. Pada tahun 1997, Jorn Barger mengenalkan istilah Web log yang kemudian dengan setengah bercanda, Peter Merholz menyingkatnya menjadi “We blog”. Akhirnya Evan Williams dan Pyra labs menggunakan istilah “blog” sebagai kata benda maupun kata kerja untuk aktifitas bloging yang dikenal hingga saat ini (Wikipedia).

Nah kebiasaan menulis hal-hal penting, krusial, sampe yang paling bizarre pun kemudian berpindah dari pulpen ke tuts keyboard, yang awalnya tertulis di kertas kini tercetak di monitor PC/laptop. Namun esensinya tetap sama, bercerita suka-suka.

WRITEBlog bukan didesain untuk para penulis profesional semata, karena pada dasarnya mereka yang bisa membaca pasti bisa menulis. Penulis terkesan seseorang yang mendedikasikan hidupnya untuk membuat tulisan-tulisan megah, dengan gaya bahasa digdaya. Padahal ga. Lo yang demen curhat di status juga bisa menjadi penulis. Lo tinggal copy-paste aja status alay lo itu ke blog dan tara.. lo seketika menjadi bloger. That simple!

Jangan bayangin ngeblog itu adalah selalu bicara tentang penulis hebat. Ga usah ngarep juga setiap kali posting tulisan, ada penerbit yang ngeliat tulisan lo lalu postingan curhat lo yang miris, lebih sedih daripada kisah cinta Asmirandah-Jonas Rivano, dijadiin buku yang lepas beberapa bulan kemudian dibuat filmnya. Lalu buku lo terbit sekuelnya, filmnya dibuat lagi, lalu dibuat sinetronnya sampe 700 episode dan lo tiba-tiba jadi milyuner menyaingi J.K Rowling atau Stephen King hanya dengan menceritakan cerita cinta lo yang kandas.

Ada beberapa alasan yang menjadikan blog sebagai tempat yang lebih layak, lebih pantas untuk menceritakan semua kisah dan cerita yang kita alami sehari-hari.

1. Lebih Menjaga Privasi

Alasan pertama adalah blog sifatnya jauh lebih privasi daripada facebook dkk. Maksud gue, setiap tulisan berisi curhatan lo tidak dengan mudahnya dapat dibaca oleh pengguna internet yang lain. Jumlah bloger yang tidak semasif penggunaan media sosial mainstream juga turut serta dalam menjaga privasi muatan yang ditulis di blog pribadi. 

Meskipun blog tidak se-strict diary dalam menjaga kerahasiaan tulisan, karena pada dasarnya blog adalah tempat berbagi, namun tetap saja curhatan di blog tidak leluasa diakses. Untuk setiap blog yang terintegrasi dengan twitter, linkedin, G+ dll mengharuskan orang-orang membuka link yang tertaut di akun jejaring sosial kita. Kondisi ini sedikit banyak membuat orang tidak serta merta membaca curahan hati yang menohok yang termuat dalam blog. Tidak seperti facebook yang semua orang bisa dengan mudahnya membaca status yang kita buat.

“Apa ruginya jika orang lain membaca status curhatan kita”?

Ga ada sih. Paling lo dianggap makhluk paling merana dan masuk dalam list 7 makhluk paling menyedihkan di dunia versi on the spot.

2. Lebih Berkelas 

Saat curhat di facebook dan twitter lekat dengan kesan remaja alay dan labil maka curhat di blog terkesan lebih berkelas. Setiap orang yang menuliskan curhatan di blog dituntut untuk meninggalkan jejak tulisan yang baik. Tidak seperti curhat di facebook atau twitter yang cenderung seenaknya saja tanpa dipikir panjang terlebih dahulu.

Mereka yang memuat jeritan hati lewat blog mampu menggubah puisi paling indah, menyisakan prosa paling bijaksana dan merangkai kata penuh romansa. Bukan curhat tidak jelas yang dipenuhi dengan makian dan sumpah serapah nista.

Curhatlah di blog, siapa tau kalian akan menjadi the next Raditya Dika atau paling tidak kalian mengurangi populasi orang bodoh yang curhat ga jelas di facebook, twitter, path dan teman-temannya.

3. Latihan Menulis 

Bagi orang yang patah hati, banyak masalah, menulis menjadi salah satu wadah paling efektif untuk menuangkan segala permasalahan tersebut. Saat lisan tak mau berkata, saat itulah tangan dan kepala bersinergi untuk menghasilkan tulisan yang menyejarah.

Kang Abik menulis Ayat-ayat cinta saat beliau tengah dirawat akibat patah kaki. Kisah dalam novel Tere-Liye gue rasa juga adalah buah dari pengalaman yang kemudian diubah menjadi pelajaran bagi orang yang berpikir.

Tuh, terbukti jika kita mau menuliskan apa yang ada di benak kita, bukan tidak mungkin ia berubah menjadi sebuah karya.

“Ah tapi gue kan bukan penulis, ga ngerti harus mulai dari mana”.

Matt Cutts dalam salah satu video TED mengatakan bahwa kita bisa menjadi apa saja dengan melakukan hal rutin dalam 30 hari. Lakukan selama 30 hari penuh dan lihat bagaimana hasilnya.

4. Tidak Terbatas Karakter 

Salah empat kelebihan dari Curhat di blog adalah tidak terbatas oleh karakter. Memang Facebook juga tidak dibatasi karakter namun gue jamin friendlist lo bakal berkurang drastis seandainya lo curhat di status facebook sampe dua halaman penuh. Ngeliat status curhat yang sedikit aja sudah bikin eneg, apalagi yang panjang.

“Itulah bedanya curhat di facebook dan blog. Kalo facebook curhatnya pendek, kalo blog curhatnya bisa panjang. Ga usah ada dikotomi”.

Ya silahkan aja kalo lo masih bersikukuh curhat di facebook. Tapi jangan salahkan gue kalo Detasemen Salep 88 nyergap kosan lo karena lo dianggap sebagai teroris yang berusaha melakukan makar atas pemerintahan yang resmi. *abaikan*.

5. Lebih Ekspresif 

Dengan curhat di blog, kalian bisa lebih ekspresif daripada sekedar menuangkan kata-kata di dinding facebook atau timeline twitter. Blog menyediakan ruang improvisasi untuk melengkapi tulisan dengan gambar, video, suara sekaligus dalam satu bentuk tulisan. Keunggulan yang tidak dipunyai oleh yang lain. Curhat kalian bisa lebih maksimal.

Banyak bloger berhasil menerbitkan buku gegara curhatan mereka yang mengalami berbagai benturan kondisi. Alit berhasil mengarang buku skripshit akibat mentok dengan tugas akhir yang tak kunjung kelar. Derma mampu dengan cerdas menyusun kenangan semasa kuliahnya dalam buku Derita Mahasiswa dan banyak lagi penulis yang berangkat dari blog.

Nah sekarang kalian tahu kan bagaimana mengekspresikan diri. Ada wadah bernama blog yang memberikan ruang untuk kita bercerita sepuasnya. Jadi jika kalian mempunyai dorongan sangat besar untuk update status tidak penting dan bermuatan curhat, tahan!. Alihkan status-status kalian tersebut ke dalam tulisan yang kemudian di share melalui blog.

Cukuplah media sosial berisi iklan-iklan online dan undangan bergabung di games facebook. Jangan menambah kalut keadaan dengan status yang absurd.

Namun sebaik baik curhat adalah curhat ke orang-orang terdekat yang bisa memberikan solusi atau bahkan sekedar mendengarkan curahan hati kita. Lebih baik lagi adalah cerita semua masalah kepada Sang Khalik karena Ia lah yang berkuasa atas segala sesuatunya *benerin jilbab*.

*Sumber Gambar

Gambar 1 diambil dari sini
Gambar 3 dari sini asalnya
Gambar 2 dari sini

Where Am I?

You are currently browsing entries tagged with curhat at I Think, I Read, I Write.

%d blogger menyukai ini: