Perjalanan ke Cina (Tiongkok)
Juni 3, 2014 § Tinggalkan komentar
Cina, sebuah kata yang merujuk pada beragam makna. Sebagai negara, ia mahsyur sejak dahulu kala. Sebagai bangsa, banyak peninggalan bersejarah berhasil ditorehkan mulai dari penemuan teh, ditemukannya kertas oleh Cai Lun hingga berdirinya Great Wall pada masa Dinasti Ming. Dan sebagai bahasa, ia menjadi bahasa yang paling banyak digunakan di dunia. Tidak salah jika pepatah arab mensugesti seorang bani adam untuk menuntut ilmu hingga ke negeri ini.
Secara khusus Indonesia dan Cina memiliki banyak benang merah. Beberapa teori menyebutkan nenek moyang orang Indonesia berasal dari tiongkok.
Pertengahan April 2014, tepat dua hari setelah melepas status jomblo karatan selama 24 tahun, gue diharuskan berangkat ke Cina (tiongkok) sebagai perwakilan perusahaan menghadiri Chinaplast, pameran plastik terbesar yang diselenggarakan di Shanghai.
Gue sebenernya ragu untuk turut serta dalam keberangkatan ini mengingat lidah gue masih belum kering bekas ijab qabul. Di sisi lain gue sama ngebetnya untuk melihat dan menginjakkan kaki di negara selain Indonesia. FYI, paspor gue masih virgin. Belom pernah gue jamah sama sekali. Untungnya dia tidak minta cerai :D.
Dalam suatu kesempatan, gue hampir saja menggunakan paspor dengan cap imigrasi Korea Selatan. Gue diminta sutradara untuk menjadi stuntman Lee Min Ho yang berperan sebagai pria dengan luka bakar parah 70%. Tapi niatan tersebut gue urungkan karena gue merasa terhina, harusnya luka bakar 95%.
For real, gue batal ke Korea Selatan sebagai konsekuensi batalnya gue melanjutkan studi ke negeri ginseng. Selepas kuliah magister, gue mendaftarkan diri ke salah satu universitas di Seoul. Gue sudah mempersiapkan semuanya termasuk beasiswa, professor pembimbing hingga rambut ala K-pop. Namun beberapa waktu sebelum keberangkatan, gue membatalkan niatan tersebut dan memilih menjadi kuli di kantor membosankan tempat gue sekarang bekerja.
Dan, petualangan pertama gue ke luar negeri menguap seiring dengan profesi baru sebagai kacung.
Kemudian, tidak pernah lagi ada peluang untuk pergi ke luar negeri. Gue hanya bisa memandang nanar setiap foto yang terpajang di media sosial berisi aktifitas mereka di belahan bumi lain. Gue envy ngeliat mawar (bukan nama sebenarnya –red) kayang sambil ngupil di depan Patung Merlion. Sama irinya saat melihat mereka yang makan kelinci janda muda di Vietnam. Atau betapa pengennya gue pergi ke tempat temen gue selfie dengan latar belakang eifel yang bertambah miring tiap tahunnya. Itu…menara Pisa. Eifel ga pernah miring. Kecuali waktu kamu bilang ‘Eifel (I feel) I love you so much’ :p.
Dua tahun berselang, Maret 2014, bos gue menawarkan sebuah paket perjalanan ke negeri asalnya Panda.
Paket perjalanan tersebut sebagai bentuk apresiasi kepada karyawan agar mereka dapat terus berkembang dan bertambah wawasannya. Bos gue berceloteh. Gue pun mengangguk-angguk sebagai ekspresi (pura-pura) mengerti. Kantor hanya menyediakan dua buah tiket. Gue pun galau mengingat kami membutuhkan dua tiket tambahan karena perjalanan Tong Sam Cong ke barat selalu bersama ketiga muridnya.
Perlu digarisbawahi bahwa keberangkatan gue ke Cina bukan dalam rangka hura-hura. Selama di Cina, gue harus menghadiri pameran mesin dan aditif yang berhubungan dengan plastik dalam acara bertajuk Chinaplast. Bayang-bayang petualangan ke Great Wall, belajar kung-fu dengan Jet Lee, dan berburu vampir harus sedari awal dikubur karena gue tau selama di sana gue bakalan kerja rodi.
*****
Keberangkatan gue ke Cina dilepas oleh istri tercinta. Perpisahan kami mengharu biru. Pasangan pengantin yang belum genap seminggu menikah harus dipisahkan oleh tugas negara. Dentingan melodi gitar tohpati diiringi gesekan biola idris Sardi mengiringi lambaian tangan istri gue. Ayam pun turut bersedih ketika gue menaiki taksi menuju travel yang akan membawa gue ke bandara. Mereka bersimpati dengan kemudian berkokok bersahutan.
Terbang dengan Cathay Pacific menempuh perjalanan selama 5-6 jam untuk transit di Hongkong, ternyata cukup melelahkan. Bandara internasional hongkong sangat luas dan modern dengan dikelilingi oleh bukit-bukit dan berada di pinggir lautan. Entah akan jadi apa bandara ini jika tsunami dan gempa datangnya janjian.
Satu jam transit, kami melanjutkan perjalanan menggunakan pesawat menuju Shanghai. Yang pertama kali terbayang di otak gue adalah semua orang di sini bisa menggunakan kung fu. Mereka mungkin berlari di atas daun-daun dengan jurus meringankan tubuh. Bermain sepakbola dengan tendangan tanpa bayangan. Atau mungkin menyalakan lampu-lampu taman menggunakan tenaga dalam sambil menyaksikan Chow yun fat dan Andy lau beradu tembak ala triad. Ahhh, membayangkannya saja gue sudah penasaran plus was-was terkena pukulan naga yang salah sasaran.
Setibanya di bandara Shanghai, yang tidak kalah bagusnya dibandingkan bandara hongkong, gue dan rombongan dari Indonesia disambut oleh travel agent yang akan menjadi guide selama kami berada di Tiongkok. Tidak ada pesta barongsai penyambutan atau vampir yang berkeliaran.
Ada hal menarik yang gue temukan di hotel tempat kami menginap. Para pramusaji tidak berpakaian dengan rapih. Baju mereka sepertinya tidak disetrika, terlihat kusut dan tidak dimasukkan ke dalam celana secara sempurna alias asimetri. Apa gaya berbusana tersebut adalah trend 2014 di Tiongkok? Entahlah. Yang jelas, gue sangat ingin mengambil setrika dan lalu menyetrika pakaian mereka satu per satu.
Selama di Shanghai gue harus bener-bener selektif memilih makanan. Makanan yang paling aman adalah yang tidak mengandung daging dan ayam. Sebenernya setiap masakan di negeri ini tidak terjamin kehalalannya mengingat kita tidak tahu apakah penggorengan untuk memasak babi dipisah atau tidak. Gue mencoba meminimalisir peluang untuk mengkonsumsi barang haram dengan tidak makan semua yang berbau daging.
Setibanya di area Chinaplast yang sangat luas, kami langsung mendatangi berbagai booth mulai dari mesin pembuat botol, pembuat container, resin, masterbatch, aditif dan banyak lagi. Kami pun mengamati satu per satu sebagai prasyarat jika nanti ditanya bos tentang apa yang kami peroleh. Setidaknya kami bisa mengarang bebas dengan sedikit referensi dari booth yang kami kunjungi.
Selama beberapa hari di Shanghai, tidak banyak tempat yang didatangi. Kami hanya dibawa menyaksikan sirkus yang terkenal di Shanghai. Aksi-aksi kelenturan tubuh dibalut keberanian dengan resiko kematian jika terjadi sedikit saja kesalahan teknis.
Selain itu kami digiring ke tempat penjualan teh dan batu giok. Iya, tempat penjualan bukan tempat budidaya. Kami disuguhkan presentasi tentang jenis-jenis teh dan batu giok dengan bahasa Cina yang sangat fasih. Materi yang sebenernya bisa dengan mudah didapatkan di Google. Di tempat yang sama, para SPG “memaksa” para pengunjung membeli barang dagangan mereka. Kegigihannya membuat gue semakin yakin mengapa orang-orang Cina sangat pandai berdagang.
Orang Cina memiliki semua bekal untuk menjadi pedagang tangguh: Kegigihan dalam bekerja dan “kelicikan” dalam berpikir.
Salah satu keindahan Shanghai adalah Shanghai Tower yang menjulang tinggi ke angkasa dengan ketinggian mencapai 632 m. Shanghai Tower bukan satu-satunya menara yang berada di lokasi Pudong, Shanghai. Masih ada Shanghai World Financial Center dengan ketinggian 492 m dan Oriental Pearl Tower. Dan gue berkesempatan untuk bernarsis ria dengan berlatar belakang salah satu menara tersebut.
Orang Cina juga terkesan ‘jorok’. Mungkin gue terlalu mengeneralisir keadaan namun toilet toilet yang gue temui di tempat umum tidak jarang ditinggalkan dalam keadaan kotor. Kita tidak sedang berbicara mengencai terminal atau stasiun, karena gue yakin Indonesia pasti juara, namun kita sedang membicarakan sebuah tempat konvensi seperti JCC atau JI Expo.
Jalanan di Shanghai bersih dan lebar. Mereka berjalan di ruas kanan. Di siang hari, kota dengan jumlah penduduk puluhan juta ini terasa lengang. Ternyata, kehidupan sebagian besar warga shanghai banyak dilakukan di bawah tanah. Mereka mirip kura-kura ninja.
Sama halnya dengan orang Jepang dan Korea, negara-negara Asia Timur bangga dengan bahasa nasionalnya. Kebanggan itu juga yang membuat gue kewalahan saat menanyakan menu makanan yang halal.
Wifi sangat sulit dijangkau. Bahkan hotel 150 ribu yang gue tempati di Belitung menyediakan akses wifi 24 jam sementara di Cina para tamu masih harus membayar akses internet gratis saat menginap di hotel berbintang. Beberapa jejaring sosial juga diblokir. Google pun tidak bisa berkutik karena negara padat ini lebih percaya diri menggunakan mesin pencari lokal “baidu”.
Dengan jumlah penduduk yang hampir 2 milyar, Cina berhasil meyakinkan rakyatnya untuk menggunakan produk dalam negeri.
Hari terakhir di Shanghai dihabiskan dengan berbelanja di pasar yang mirip dengan tanah abang. Pedagang di pasar ini bisa berkomunikasi dengan bahasa inggris umum. Jangan coba-coba menawar terlalu murah atau batal membeli setelah melakukan tawar menawar karena mereka akan mengomel dan ‘menghina’ kalian dengan bahasa inggris berdialek mandarin. Pasar ini menjual semua produk KW. Persis dengan anekdot “Tuhan menciptakan dunia dalam 7 hari. Di hari keenam, Ia istirahat dan kemudian membuat orang cina. Sisanya, orang Cina yang menyelesaikan”.
Akhirnya, kesimpulan gue adalah Cina sekilas bukan tempat yang ‘wah’ untuk dikunjungi. Tidak termasuk negara yang unik dan spesial. Jika ada kesempatan lagi untuk pergi ke Cina, gue lebih baik tidak turut serta.
*Gambar Tong Samcong dkk dari sini
*Gambar shanghai dari sini
Islamic Book Fair 2014
Maret 10, 2014 § 2 Komentar
Tidak pernah ada tokoh hebat, pemikir ulung, orang-orang besar terpisahkan dari aktifitas membaca. Seorang Anis Matta menghabiskan 10 jam sehari saat masa liburan sekolah dengan membaca varian jenis buku di saat teman-teman sebayanya tengah asik bermain. Para jenius di bidangnya adalah seorang yang gemar membaca. Membaca dapat meningkatkan kemampuan verbal, membantu menyampaikan ide, meningkatkan kemampuan mengatasi masalah, meningkatkan konsentrasi, meningkatkan kemampuan menulis, serta meningkatkan daya ingat.
Membaca adalah aktifitas yang sudah dilakukan oleh para pendahulu manusia. Dalam sebuah riwayat disebutkan bagaimana Qabil yang kebingungan menguburkan jasad saudaranya tampak tertegun ketika seekor gagak menggali dan membenamkan mayat gagak yang mati ke dalam tanah. Qabil mampu membaca tanda-tanda alam dan menggunakannya sebagai tools menghadapi permasalahan yang dihadapi. Generasi pertama manusia pun sudah berhasil “membaca” dengan caranya sendiri.
Membaca tidak terbatas pada teks yang tertuang di kertas atau layar laptop. Membaca pada masa tersebut berarti menterjemahkan, mentranslasi fenomena yang terjadi di sekitar menjadi sebuah pelajaran berharga.
Semenjak Cai Lun menemukan kertas 2 abad sebelum masehi dan kemudian disempurnakan oleh Johannes Gutenberg dengan mesin cetaknya 17 abad kemudian, aktifitas membaca mengerucut pada interaksi manusia dan buku yang menghasilkan ide-ide.
***
Mulai tanggal 28 Februari-9 Maret 2014, Islamic Book Fair (IBF) kembali menghiasi Istora, Senayan, Jakarta. Pameran buku islam terbesar yang diadakan setahun sekali di Jakarta ini memberikan kesempatan bagi para penikmat buku untuk berburu buku dengan harga yang cukup miring.
Buat gue, IBF kali ini adalah yang kedua setelah setahuh sebelumnya gue juga menghadiri IBF di tempat yang sama. Ga Nanya ya? Yaudah gapapa. Blog blog gue ini..haha.
Berbekal semangat mencari ilmu dan rekening yang masih utuh (habis gajian ceritanya), gue langsung melancong ke IBF pada hari pertama mereka buka. Gue harus menyusun strategi dan memilah terlebih dahulu buku apa saja yang menjadi prioritas untuk dibeli yang sesuai dengan kebutuhan dan kantong. Buat gue, berada di lautan buku adalah kebahagiaan yang sangat luar biasa, dikelilingi oleh khazanah pengetahuan yang membuncah.
Gue berhasil memindai beberapa buku yang sangat direkomendasikan untuk dibaca. Salah satu buku yang paling dicari oleh gue dan banyak orang lainnya adalah buku terbarunya Ust Salim A. Fillah Lapis-lapis keberkahan. Cuplikan adegan beberapa orang yang menyengaja diri mampir ke stand proumedia untuk sekedar melihat dan bertanya kepada penjaganya seputar kapan buku terbaru Ust Salim terbit, masih terekam jelas di memori gue.
Sambil mencari-cari, sesekali gue melihat stand-stand yang berjajar di bilik-bilik tersusun nan ajeg. Stand Mizan masih menggurita. Koleksi buku yang berlimpah dari penulis ternama menghiasi stand yang berada di beberapa titik. Buku Ust Felix Siauw masih menjadi santapan iman yang paling laris. Bertutut-turut Stand Republika dan gema insani menjadi beberapa stand yang paling diminati oleh pengunjung.
Wajah anis matta juga turut meramaikan pameran buku. Dengan siluet setengah badannya yang tengah mengepalkan tangan bak orang yang sedang berorasi memenuhi rak-rak buku di beberapa stand. Anis matta kembali menuangkan gagasan cemerlangnya dalam buku “momentum kebangkitan”. Buku yang berisi enam orasi dan tiga narasi Anis matta dalam berbagai forum publik dan kepartaian. Sejujurnya, saya pun masih belum tertarik membeli buku ini karena masih ada antrian panjang wishlist book yang harus dibeli.
Di tengah sesak dan padatnya manusia, ada kebahagian tersendiri saat gue berada di tengah pameran. IBF memberikan ruang bagi semua buku bernafaskan islam dari semua aliran/gerakan/manhaj atau apapun klasifikasi yang orang-orang sematkan untuk pemahaman tarbiyah ikhwan, khilafah HTI, Salafi dll. Buku-buku dari berbagai pergerakan hadir dengan daya tariknya masing-masing. Yang paling mencolok adalah stand ikhwan dan HT. Stand ikhwan dapat dicirikan dari buku-buku yang mengusung ide demokrasi dalam islam, tentang PKS, buku-buku karangan kader. Sementara HTI dapat dicirikan dari konten bukunya yang berbau khilafah dan strateginya. Salafi, JT bisa dikelompokkan berdasarkan jenis buku yang lebih menitikberatkan pada fiqh kontemporer dan buku-buku yang apolitis.
Melihat toko buku tersebut berjajar berdampingan, yang bisa jadi buku-buku di sana saling menjawab ide pergerakan masing-masing, adalah gambaran bahwa semestinya setiap harokah yang ada di bumi Indonesia maupun di dunia haruslah hidup damai, rukun tanpa perlu saling sikut dan saling menyudutkan. Silahkan setiap harokah berpegang teguh pada metoda pergerakan yang dilakukan tapi harus lebih terbuka terhadap kritik. Pun bagi mereka yang bersebrangan, haruslah saling menghargai karena bagaimanapun kita semua adalah tetap bertuhan Allah, berasulkan Muhammad dan berkitabkan Al-Quran.
Ah kenapa gue berceloteh ngalor ngidul. Sok ngerti masalah pergerakan islam.
Jelas, yang paling membahagiakan setiap ada book fair adalah harga buku yang diskon besar-besaran. Salah satu stand yang memberikan diskon secara dramatis adalah toko buku Zaman dengan potongan harga hingga 40%.
Apa? 40%?? *kamera zoom in, kamera zoom out*
Beberapa waktu lalu, gue tertarik untuk membeli buku Sejarah Perang Salib karangan Karen Armstrong dan history of Arab karya Philip. K Hitti. Sayang, saat itu harga buku di gramedia masih selangit. Gue coba rayu Gayus Lumbuun buat minjemin gue duit, dia masih di penjara. Gue batalin niat tersebut dan lalu mengirimkan personal message ke akun facebooknya Zuckerberg, berharap doi menjadi begitu bodohnya memberikan gue duit secara cuma-cuma.
Beruntungnya, penerbit kedua buku tersebut, Zaman, mengisi salah satu booth di IBF 2014. Harga keduanya didiskon hingga 40%. Tanpa perlu pikir panjang, gue beli buku tersebut. Alhamdulillah, kalo jodoh emang ga kemana.
Perburuan gue berlanjut. Mata gue kemudian tertuju pada salah satu buku berjudul “Rockefeller’s files”. Ada yang pernah denger nama John D. Rockefeller? Atau pernah denger standard oil? Yup, doi adalah taipan minyak asal A.S yang berhasil melahirkan standard oil yang kini pecah menjadi Chevron, Exxon. Buku ini bertutur tentang kisah Rockefeller yang mengatur dunia, tandemnya Rothscild.
Saat tengah khusyuk mengamati, gue tanpa sengaja tersandung sebuah buku tebal dengan cover bergambar seorang pria afro-amerika yang mengenakan kacamata hitam dan jas nan gagah. Sosok seorang Malcolm-X, muslim revolusioner amerika yang memperjuangkan prinsip egaliter bagi warga kulit hitam di amerika. Sama halnya dengan Martin Luther King. Preferensi gue berubah. Gue tinggalkan Rockefeller untuk selanjutnya memilih Malcolm-X. Alasan utama gue berpindah ke lain hati adalah karena harga buku otobiografi tersebut hanya dibandrol 25.000 IDR. Tanpa menunggu Saiful Jamil nyanyi reggae, gue langsung ke kasir.
Tak lupa gue membeli buku Bahagianya Merayakan Cinta Ust Salim A. Fillah sebagai kado terindah buat temen kosan gue yang menikah. Sebuah buku suplemen yang akan membantu keluarga baru membangun cinta mereka dengan panduan kehidupan secara islami.
Untuk menutup perburuan, gue memilih buku Fiqih Demokrasi karangan Rapung Samuddin, LC. Buku yang memberikan opini tentang demokrasi dari sudut pandang fiqih. Buku ini gue jadiin sebagai referensi kalo ada orang-orang yang petantang petenteng berkoar koar demokrasi haram, mari golput, mengkafirkan mereka yang mengikuti alur demokrasi. Semoga dengan adanya buku ini, pemahaman gue menjadi semakin kokoh dan memberikan jawaban mengapa islam masih bertoleransi pada demokrasinya yunani.
Sebenernya ada satu lagi buku yang gue beli. Sebuah buku karya Ust. Muhammad Fauzil Adhim. Buku yang gue persembahkan buat seseorang di hari lahirnya yang ke-26. Semoga buku tersebut benar-benar menjadi kado terindah untuk dia. *judul buku masih dirahasiakan* :D.
Demikianlah hasil pertualangan gue di Islamic Book Fair 2014. Semoga buku-buku yang terbeli bisa diselesaikan lebih cepat. Buku yang dibeli saat IBF 2013 masih ada yang terbungkus rapih dengan plastik. Memang, membeli buku tidak selalu linier dengan membacanya. Sekian saja cerita gue, terus pantengin channel ini dan jangan lupa follow atau subscribe. Peace, love and Gaul. *lo kira youtube*.
Sumber Gambar