Maaf, Saya Sedang Nyetir

Oktober 11, 2016 § Tinggalkan komentar

Sumber: kars4kids.org

Dalam bukunya yang berjudul ‘Ayah’, Irfan Hamka bercerita bahwa ia suatu waktu pernah berbohong. Ia sangat paham resikonya karena di dalam keluarga mereka nilai-nilai kejujuran dan integritas sangat dijunjung tinggi. Tapi rasa takut yang menjalar membuat ia secara otomatis menekan tombol auto-pilot guna menyelamatkan diri. Tahu bahwa Irfan mencoba menjadi kriminal cilik, Buya Hamka dengan tenang menasihati sang anak bahwa setidaknya ada tiga syarat agar berbohong itu dapat berjalan dengan baik.

Syarat pertama adalah adanya rasa percaya diri yang tinggi. Jangan pernah meninggalkan keraguan sedikit pun terhadap kebohongan yang tengah kita lakukan jika tidak ingin orang lain bisa dengan mudahnya mengendus dusta di antara kita.

Syarat kedua adalah tidak lupa dengan kebohongan tersebut. Jangan pernah lupa. Alpa dengan kebohongan yang pernah kita buat hanya akan menjadi bumerang. Meskipun saat ini ruang bagi para pembohong semakin sempit. Hampir setiap gerak-gerik kita diawasi oleh sebaran yang viral di media sosial. Jadi alibi ‘lupa’ pada kebohongan yang kita lakukan adalah kebohongan paling gagal dalam sejarah.

Syarat ketiga dan paling penting adalah kita punya kebohongan lain untuk menutupi kebohongan yang sudah ada. Semacam multi-level marketing. Konsep dasar ini lah yang digunakan oleh Dimas Kanjeng Taat Istri untuk menggandakan uang.

Dewasa ini, tiga syarat ketat perihal ‘kebolehan’ berbohong yang pernah diujarkan oleh Buya Hamka sudah tidak lagi dianggap relevan. Dalam kehidupan bermasyarakat kita sering mendapati perilaku kaum urban yang mengganggap remeh sebuah kebohongan.

Pada banyak interaksi, kebanyakan dari kita tidak jarang berbohong untuk mengalihkan pembicaraan atau meredam sebuah isu. Mereka sering berdalih dengan kalimat sakti semisal “saya sedang rapat” atau “saya sedang menyetir” setiap saat hendak mengakhiri dengan cepat dialog dengan orang-orang yang tidak dikehendaki, semisal telepon dari perusahaan asuransi atau customer service TV berbayar. Dua kalimat “sedang” tersebut menjadi jaminan ampuh untuk menyudahi percakapan mas/mbak di ujung telepon yang semakin handal menunda closing dari calon pelanggan.

Maka simplifikasi dialog menjadi sebuah kebiasaan. Setiap saat mendapati diskusi, banyak dari kita menyudahinya dengan kebohongan-kebohongan sederhana. Memang, tidak akan ada sales asuransi yang menyocor pertanyaan dan mematahkan argumen-argumen kebohongan yang tengah kita bangun. Tidak juga memaksa kita untuk membuat kebohongan baru. Karena ucapan “saya sedang rapat” adalah senjata sakti mandraguna yang tidak bisa meninggalkan koma.

Sebagian kita dengan sukarela memanfaatkan aktifitas menyetir dan rapat sebagai kamuflase untuk menghindari percakapan lebih lanjut. Padahal apa salahnya jika kita mengakhiri basa-basi diskusi dengan kata-kata yang aktual, tajam, terpercaya. Kita bisa saja mengatakan dengan jujur dan tegas bahwa diskusi tidak bisa lagi dilanjutkan dengan mengemukakan alasan-alasan rasional. Namun sayangnya budaya basa-basi sudah menjalar mendarah daging sehingga rasa tidak enak mengakhiri percakapan harus diakhiri dengan kebohongan.

Nampaknya sudah menjadi kebiasaan orang Indonesia untuk meninggalkan cerita bohong. Saat sedang santai mau pun saat genting.

Dulu, sebelum ada ribut-ribut surat Al-Maidah ayat 51, para pendiri bangsa juga ribut-ribut tentang dasar negara. Terjadilah gontok-gontokan antara kaum nasionalis dan islamis. Saat menyepakati dasar negara, tersiar rumor bahwasanya rakyat Indonesia timur lebih memilih lepas dari Indonesia ketimbang harus menyepakati Piagam Jakarta. Menurut Bung Hatta, ada orang Jepang yang mengabarkan demikian. Kelak, informasi tidak jelas ini menghapus tujuh kata piagam Jakarta yang kini menjadi pembukaan UUD 1945.

Bung Hatta, oleh beberapa sejarawan, dianggap berbohong atas penggorengan isu di atas. Ya, ternyata perkara berbohong anak negeri memang sudah diwariskan bahkan sejak proklamasi belum berkumandang.

Perlu diingat bahwa semakin mudah kita berbohong pada hal yang sederhana maka kita tengah mempersiapkan diri untuk berbohong pada hal-hal yang lebih rumit. Jika memang harus berbohong, gunakanlah alasan-alasan lain yang lebih masuk akal semisal “Kucing tetangga tengah sesak napas, saya sibuk memberikan napas buatan” atau “saya sedang menyiapkan calon pengantin untuk Annabelle”.

Meminjam ucapan Lenin bahwa kebohongan yang disampaikan terus menerus akan menjadi sebuah kebenaran. Silahkan jika tetap ingin hidup dalam kebenaran hasil rekayasa kebohongan.

Iklan

Membaca yang Berbeda

Agustus 18, 2016 § Tinggalkan komentar

Sumber: Google

Sumber: Google

Gue sangat percaya bahwa apa yang kita baca sangat mempengaruhi cara kita berpikir. Syaikh Ahmad Deedat tidak pernah mampu membalas argumen teologis dari para misionaris di sekitaran toko tempat ia bekerja. Hingga suatu hari ia membaca sebuah buku berjudul ‘Izharul Haq’. Buku yang kelak menjadikan ia seorang kristolog handal.

Ada begitu banyak buku lainnya yang bisa mengubah cara seseorang memandang dunia. Mulai dari Origin of Species milik Darwin hingga Principia kepunyaan Sir Issac Newton. Demikianlah kedahsyatan buku. Ia mampu mengubah arang menjadi intan. Andai saja takdir berkata lain. Ahmad Deedat misalkan di masa mudanya lebih memilih Das Kapital sebagai bahan bacaan maka mungkin saja saat ini ia dikenal sebagai pemimpin gerakan revolusi komunis di Afrika Selatan. Satu ideologi dengan Semaun, Nyoto, Mao dkk.

Selama ini bacaan gue bisa dikatakan nyaris seragam. Kental dengan nuansa  pergerakan islam, sejarah islam, perang pemikiran dan tema-tema yang homogen. Keberadaan buku-buku dengan topik yang satu membuat dimensi berpikir gue nyaris monokrom. Gue tidak bisa menganalisa suatu kejadian, konflik dengan spektrum yang beragam. Dunia ini nyaris hanya dua warna, hitam dan putih. Kalo misalkan suatu kejadian tidak selaras dengan bacaan yang gue geluti, maka gue akan mengutuk serta menggumam keras dalam hati. Semua harus sejalan dengan cara berpikir yang diadopsi dari buku-buku yang tertranskripsi di otak gue.

Tidak hanya buku, bacaan di media elektronik pun mengalami perlakukan serupa. Gue memilah-milah bacaan sesuai dengan apa yang gue suka. Cherry-picking itu benar adanya.

Tapi belakangan gue berubah. Salah satunya karena quote dari Haruki Murakami dalam Norwegian Wood If you only read the books that everyone else is reading, you can only think what everyone else is thinking”.

Bacaan gue sekarang lebih variatif. Gue mencoba mengakomodir tema dari dua sudut pandang yang bertolak belakang. Jika dulu gue anti membaca artikel dari mereka yang di-stempel sebagai Jaringan Islam Liberal (JIL), sekuler dan teman-temannya maka sekarang gue lebih akomodatif. Tulisan yang berhaluan ‘kiri’ pun kini gue jabanin.

Baru-baru ini gue membaca tulisan Burhanudin Muhtadi yang terbit di jurnal internasional berjudul “The Conspiracy of Jews: The Quest of Anti-Semitism in Media Dakwah”. Artikel karangan Burhan menceritakan bagaimana sebuah majalah bernama Media Dakwah di bawah asuhan Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII) terlalu sering melakukan framing terhadap Yahudi (Zionis, Israel) dan ‘mengagungkan’ teori konspirasi dengan menempatkan mereka sebagai tersalah setiap kali terdapat kerusakan di dunia islam.

Tulisan Burhan cukup menarik. Ia memberikan wawasan serta sudut pandang lain untuk memberontak keluar dari hegemoni keajegan cara berpikir yang dominan di masyarakat.

Bersamaan dengan e-book mlik Burhan, gue juga mengunduh ­e-book dari para liberalis lain semisal “Ideologi Islam dan Utopia” milik Luthfie Assyaukanie. Tidak ketinggalan e-book dengan tema yang sangat kontroversial semisal “Begini Cara Berdebat Dengan Muslim” dan “Mengapa Aku Bukan Lagi Seorang Muslim” pun gue jabanin hanya demi mencari tahu seperti apa cara berpikir ‘mereka’.

Sebelumnya gue khusyu’ membaca argumen-argumen pro dan kontra perihal teori evolusi. Kalangan liberalis menyandarkan pendapat mereka pada penafsiran kontekstual yang lentur dan adaptatif pada perubahan zaman. Sementara kalangan ‘tradisional’ bersikukuh pada tafsir literalis yang bertahan dari masa ke masa. Gue menikmati adu pendapat dengan landasan ilmiah yang kokoh ketimbang harus saling adu pukul karena perbedaan penafsiran.

Tulisan-tulisan dari mereka yang mendaku sebagai bagian dari Islam Liberal cukup menarik untuk dikaji sebagai studi komparasi terhadap tafsir yang jamak hadir di masyarakat.

Ada pergolakan batin yang sangat kuat saat kita harus membaca ide-ide yang bersebrangan dengan nilai-nilai dasar yang kita yakini. Pilihannya hanya dua : terseret bersama dengan ide-ide baru tersebut atau menjadikan kita semakin yakin dengan pandangan, prinsip dan metodologi yang kita pilih. Gue percaya membaca dua hal dalam posisi diametral akan membuat kita bisa lebih bebas memilih yang mana yang lebih sesuai dengan nurani.

Dengan mengamati serta menganalisa tulisan Burhan misalnya maka kita menyadari bagaimana kaum liberalis menggunakan framework yang sangat kebarat-baratan. Ia banyak bersandar pada pendapat orientalis. Dengan demikian pendekatan-pendekatan teologis, fiqih yang konservatif dan literalis tidak akan menemukan titik terang setiap saat kita berdiskusi dengan mereka.

Sempet juga dalam beberapa waktu gue gandrung dengan beberapa tulisan Tan Malaka, Soe Hok Gie, bahkan Nietzsche. Gue awalnya berasumsi bahwa Tan Malaka adalah seorang kiri yang sangat islamis setelah membaca tulisannya serta mendengar pendapat seorang Buya Hamka. Semua berubah sejak gue mengunduh tulisan Dr Syed Alatas yang mengatakan bahwa pendapat tersebut keliru. Datuk Tan Malaka lebih condong ke atheis ketimbang islamis.

Andai saja gue hanya bergumul dengan buku-buku bernapaskan satu maka sejatinya gue tidak akan pernah tahu bagaimana sebenernya orang ‘kiri’ bekerja dan berpikir.

Kini gue lebih mampu merespon secara bijak tulisan yang sama sekali berbeda dengan bacaan pada umumnya sehingga menjadi referensi yang cukup baik sebagai antitesis argumen yang gue percayai. Dengan demikian gue memiliki wawasan yang lebih variatif dan komprehensif.

Antara Jawa dan Minang

Desember 29, 2013 § 13 Komentar

Belakangan ini gue lagi seneng-senengnya baca buku bertemakan sejarah. Kemana-mana gue bareng dia. Gue ajak dia nonton, candle-light diner, poto bareng sampe akhirnya gue kenalin dia ke orang tua gue. Duh jomblo. Miris banget sih lo!.

Semua berawal saat negara api menyerang saat gue membeli buku Sejarah Tuhan-nya Karen Armstrong dan Api Sejarah milik Ahmad Mansur Suryanegara. Gue udah dari lama ngebet banget punya dua judul buku itu. Apa daya, saat itu gue takut buku bertemakan sejarah hanya menjadi bahan bakar buat api unggun pas perayaan malem tahun baru. Pengalaman yang sudah-sudah, beberapa buku bertemakan sejarah nyaris ga gue sentuh. Bukan, bukan karena mereka non-mahram gue.

Sebut saja buku tentang Kartosoewiryo, Nietschze, dan umm.. Gue kesulitan menyebutkan buku sejarah apa lagi yang gue punya. Oh iya, buku tentang sejarah cuma dua itu doang. Sisanya buku sejarah bekas sekolah dulu. Gue membutuhkan waktu lama untuk mencerna buku-buku sejarah. Mereka terlalu berat untuk otak gue yang ga lebih gede dari otak semut hidrosefalus. I feel like doom reading historical books. 

Ketidaksukaan gue terhadap sejarah adalah buah dari pelajaran yang gue peroleh selama sekolah. Jam pelajaran sejarah adalah saat dimana lo bisa dininabobokan oleh guru yg terus terusan berceloteh

Sejarah itu pelajaran yang menakutkan. Materi pertama aja gue udah disodorin pengetahuan tentang monyet sebagai nenek moyang manusia. Gosh!. Teori yang gagal menurut gue. Mana mungkin monyet bisa berevolusi jadi makhluk secakep Raline Shah. Terus ntar Raline Shah berevolusi jadi apa/siapa?

Raline Shah hasil evolusi kera?

Raline Shah hasil evolusi kera?

Pernah salah seorang guru sejarah gue menerapkan “metoda prasasti”. Beliau (alm) menjabarkan sejarah dengan sangat detail di atas artefak papan tulis hitam kami. Gue hanya bisa menganga, takjub dengan memori sang guru yang bahkan tahu secara detail kapan Hayam Wuruk PDKT sama istrinya.  Dan saat itu, kami berasa seorang arkeolog demi mentranslasi huruf-huruf paleograph yang ditulis ulang oleh guru sejarah tersebut.

Sejarah sendiri diambil dari bahasa arab “syajarotun” yang berarti pohon. Artinya sejarah dianalogikan seperti pohon yang memiliki cabang dan ranting, memiliki bibit dan kemudian tumbuh dan berkembang. Sementara sejarah dalam bahasa inggris disebut dengan “history” yang berasal dari bahasa Yunani, istoria yang berarti ilmu. (Samsul Munir Amin).

****

Tentang Sejarah Tuhan, gue memang berniat membeli buku ini bahkan sejak Nobita belum ketemu Doraemon. Gue penasaran sebenernya ada rahasia apa di balik makna “Tuhan”. Sejak kapan manusia mengenal terminologi tuhan dipandang dari sejarah perkembangannya.

Walhasil seperti prediksi, gue kesulitan menerjemahkan tulisan Karen Armstrong walau buku tersebut sudah khatam dibaca,  gue masih berharap bisa mengerti Karen cerita tentang apaan. Karen bener-bener ga ngertiin akooh.

Buku kedua yang membangkitkan minat sejarah gue adalah “Api Sejarah”. Api Sejarah adalah buku yang mengupas tentang penyelewengan dokumentasi sejarah Indonesia dari masa kerajaan hingga masa penjajahan. Buku yang terbagi menjadi dua jilid ini menggambarkan wajah lain dari sejarah Indonesia yang sangat berbeda dari bekal ilmu sejarah yang kita peroleh selama pendidikan di sekolah dulu.

Oke, lupakan tentang penyelewengan sejarah yang ada di kurikulum pendidikan kita. Gue ingin menyoroti hal lain.

Jika kalian membaca buku Api Sejarah, kalian akan semakin menyadari betapa hebatnya perjuangan rakyat Indonesia untuk melepaskan diri dari cengkraman penjajah. Perjuangan yang tak kenal lelah. Memang benar jika ada yang berucap bahwa sejarah perjuangan suatu bangsa/negara itu atas hitam tinta para ulama dan merah darah para syuhada.

Hebatnya perjuangan mereka dimulai sejak era kerajaan masih tumbuh subur. Sejak dulu, sentra perjuangan rakyat Indonesia terpusat di pulau jawa. Keadaan kemudian berubah. Memasuki fasa perjuangan kemerdekaan sejak rakyat mulai menyadari pentingnya bersatu. Tanpa mengabaikan daerah lain, Para tokoh besar perjuangan bangsa ini mengerucut pada dua suku/daerah yakni jawa dan padang (minang).

Gue ga bisa menutupi kekaguman terhadap orang jawa dan padang sebagai bagian terintegrasi dari kemerdekaan Indonesia. Di sini gue ga berniat untuk menonjolkan aspek kesukuan atau chauvinisme. Gue juga bukan berasal dari suku keduanya. Ini sebatas opini dan kekaguman gue pada dua daerah pencetak tokoh bangsa.

Pada banyak hal kita seolah bisa “mengadu” antara tokoh-tokoh asal jawa dan minang. Sendi-sendi perjuangan indonesia juga berasal dari tokoh asal kedua suku ini yang memainkan peranan yang sentral dan menunjukkan “rivalitas”. Lo bisa, gue juga!.

Kita tidak akan pernah bisa menyebut sejarah perjuangan negeri ini tanpa melibatkan tokoh keturunan jawa. Sejarah nusantara tidak pernah terlepas dari sini. Tengok saja betapa sejarah selalu mengagungkan kerajaan majapahit dengan rajanya Hayam Wuruk dan patihnya Gajah Mada. Borobudur, Prambanan sebagai warisan budaya juga merupakan peninggalan jawa.

Beralih ke masa perjuangan modern, saat rakyat Indonesia mulai menyadari pentingnya bersatu. Perjuangan kemerdekaan masih berkisar di sekitar orang jawa. Organisasi kebangkitan berakar dari rakyat jawa mulai dari Sarikat Islam, Budi Utomo, hingga Muhammadiyah dan Nahdathul Ulama.

Pesantren sebagai sekolah bagi para pribumi maupun sekolah bagi para bangsawan juga banyak berada di jawa. Dari pesantren lah lahir ulama-ulama hebat yang kemudian membangkitkan semangat perjuangan. Namun orang minang tidak mau ketinggalan dalam memainkan perannya untuk mengusir penjajah. Banyak tokoh hebat yang jua lahir di sini.

Dan pada akhirnya, kolaborasi jawa-minang lah yang memproklamirkan kemerdekaan negeri ini. Soekarno yang seorang jawa, orator ulung, berapi-api disandingkan dengan Hatta, seorang minang yang lebih kalem, diplomatis dan cerdas. Namun meskipun berbeda dalam banyak hal termasuk dalam pandangan tentang bentuk negara, kedua insan ini tetap dicap sebagai dwitunggal yang bersatu untuk menyuarakan anti penindasan. Walau pada akhirnya Hatta mundur dari jabatannya pada tahun 1956 karena banyaknya perbedaan pendapat dengan sang presiden.

tan malakaKita juga mengenal sosok Ibrahim Tan Malaka. Sosok kontroversial yang memiliki ideologi yang dianggap “bersebrangan” dengan Soekarno. Pernah suatu ketika tak lama dari proklamasi kemerdekaan, terdapat tiga poros dalam menghadapi politik pecah-belah belanda. Soekarno-Hatta, Sjahrir-Amir Syarifuddin, dan Soedirman-Tan Malaka. Ketiga poros tersebut adalah pertemuan jawa-padang kecuali Amir Syarifuddin yang merupakan seorang batak.

Jangan lupakan juga pergerakan ulama yang memimpin perang. Dari padang kita mengenal Muhammad Shahab (Imam Bonjol) yang memimpin perang padri. Tak berselisih waktu cukup jauh, di jogjakarta juga lahir seorang ulama yang memimpin perang Diponegoro, Sang Pangerang Diponegoro.

Kedua sosok ini memiliki penggambaran yang persis yang sering kita lihat di foto-foto. Keduanya mengenakan sorban layaknya ulama dan memiliki sorot mata tajam dengan perawakan gagah.

Keduanya memimpin perang dengan durasi waktu yang cukup lama. Perang Padri berlansung selama 35 tahun sementara perang diponegoro lima tahun, meskipun begitu, perang diponegoro tercatat sebagai perang dengan korban paling banyak dalam sejarah indonesia.

Ada H.O.S Tjokroaminoto yang juga merupakan ketua pertama Sarikat Islam. Tjokroaminoto dikenal sebagai bapak para pemimpin besar indonesia. Sebut saja Tan malaka, Kartosuwiryo, hingga Soekarno pernah menjadi murid beliau. Tjokroaminoto yang adalah keturunan jawa digantikan oleh K.H Agus Salim selaku orang minang sebagai penerus beliau memimpin Sarikat Islam.

Untuk tokoh pergerakan perempuan, Putri minang dan jawa kembali “bersaing”. Jawa memiliki kartini dengan idealismenya memperjuangkan prinsip egaliter bagi perempuan.

Kartini sangat terkenal dengan emansipasinya.  Sementara dari tanah minang lahirlah seorang Rasuna Said yang juga berjuang demi persamaan hak antara wanita dan pria. Kini nama “Rasuna Said” digunakan di jalan arteri Jakarta.

****

Minang dan Jawa juga terkenal dengan para ulama. Kita sangat mengakrabi Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau lebih dikenal dengan Buya Hamka. Mantan Ketua MUI pertama ini memiliki pemahaman keagamaan yang sangat luas dan moderat. Selain itu ada tokoh ulama seperti Muhammad Natsir serta Agus Salim. Keduanya berasal dari ranah minang.

Sosok Muhammad Natsir mungkin tidak setenar Buya Hamka, namun beliau adalah ulama besar pendiri sekaligus pemimpin partai politik masyumi. Beliau juga pernah menjabat sebagai perdana menteri indonesia dan juga pernah menjabat sebagai presiden liga muslim se-dunia dan ketua dewan mesjid se-dunia. Sebuah prestasi luar biasa dari putra minang.

Dari jawa kita mengenal banyak ulama hebat. Yang paling terkenal saya rasa adalah K.H Hasyim Asyari dan K.H Ahmad Dahlan. Dua tokoh yang masing-masing mendirikan organisasi massa islam terbesar di Indonesia, NU dan Muhammadiyah.

“Rivalitas” antara jawa-minang diperkuat dengan penunjukkan Ibukota indonesia di dua ranah tersebut pada suatu periode setelah masa kemerdekaan Indonesia. Jawa terwakili oleh jogjakarta dan Minang oleh bukittingi.

Ibukota Indonesia pernah berada di jogjakarta kala kemerdekaan baru seumur jagung. Saat itu Sultan Hamengkubuwono IX menawarkan pemindahan ibukota negara dari Jakarta ke Jogjakarta karena situasi yang sangat tidak kondusif. Selama setahun ibukota Indonesia berpindah ke Jogjakarta.

Pada masa pemerintahan darurat Republik Indonesia (PDRI), ibukota negara Indonesia dipindahkan ke bukit tinggi mulai dari Desember 1948 hingga Juli 1949, lebih kurang enam bulan. Pemerintah darurat ini diadakan karena pada saat itu Belanda menangkap Soekarno-Hatta sehingga dibutuhkan pemerintah darurat untuk menjaga keutuhan negara.

Demikianlah sengitnya tandem Jawa-Minang dalam pergerakan perjuangan kemerdekaan Indonesia maupun sumbangsih mereka atas ide dan karya besarnya. “Pertarungan” tersebut dilanjutkan oleh Warung tegal sebagai simbol warung jawa dan Warung Padang perlambang minang.

Sumber Gambar

Gambar Raline Shah dari sini
Gambar Tan Malaka dari sini

Where Am I?

You are currently browsing entries tagged with buya hamka at I Think, I Read, I Write.

%d blogger menyukai ini: