#24 Endang Tepo Palupi
April 15, 2015 § 1 Komentar
Menulis itu tidak mudah, lebih-lebih bagian prolog. Makanya, gue terkadang kewalahan mencari preambule untuk cerita yang isi dan kesimpulan telah gue rampungkan sewindu sebelumnya. Pembukaan sebuah tulisan kadang lebih ribet daripada nemenin cewe belanja. Tapi kalo istri gue mah pengecualian. Dia ga suka keliling ke semua toko demi mencari harga baju yang hanya selisih lima ratus perak *kedip-kedip*.
Menulis itu mudah mungkin hanya ada dalam kisah Dijah Yellow dengan novel Rembulan Love-nya. Tahu Dijah Yellow? tahu novelnya?. Kalo lo ga tau, lo kebangetan. Penggiat media sosial sangat mengenal Dijah Yellow sebagai artis media sosial yang naik daun karena tingkat pede dengan level Bintang Canis Majoris. Selain foto-foto ‘mempesona’ di Instagram, Dijah telah menghasilkan sebuah novel yang diselesaikan hanya dalam waktu 10 hari. Iya, 10 hari. Lebih hebatnya lagi, novel ini rampung tanpa menggunakan editor. Amazing. Covernya tak kalah keren. Khas buku Teka-Teki Silang.
*****
Untuk kesekian kalinya, gue akan bercerita tentang temen kelas gue yang menikah. Setelah Chotimah yang lebih dulu berijab qabul pada awal Maret, dua minggu kemudian, temen gue lainnya menempuh jalan yang sama.
Nama lengkapnya Endang Tepo Palupi tapi biasa dipanggil dengan Marsha. Haha, Ndak lah. Doi sehari-hari dipanggil dengan Endang. Sosok mungil satu ini adalah satu dari tiga personel Lingua kelas kami. Duanya lagi, Aas dan Fachrie telah lebih dulu mengakhiri masa lajang. Bukan, mereka bertiga tidak membentuk grup vokal selama kami sekolah dulu. Endang, Aas dan Fachrie memiliki tanggal lahir yang sama yaitu 23 Maret 1989. Sebuah kebetulan mereka berkumpul di satu kelas selama menyelesaikan sekolah menengah atas.
Gue cukup memiliki hubungan akrab dengan Endang karena selama kepengurusan Kerohanian Islam di SMA, Endang adalah koordinator akhwat (perempuan) untuk divisi hubungan masyarakat sementara gue bertindak sebagai koordinator umum. Dengan jabatan yang sama, maka sangat mungkin gue banyak berinteraksi dengan doi. Gue paham betul kenapa gue dan Endang sama-sama ditugaskan untuk memegang jabatan sebagai divisi kehumasan Rohis. Kami berdua sama-sama berisik dan talkative sehingga ‘bakat’ tersebut diarahkan sesuai dengan kebutuhan.
Dari kacamata gue selama tiga tahun sekelas, Endang adalah sosok siswi yang teges, suaranya kenceng dan kalo jalan ga kenal istilah ‘rem’. Dia bisa jalan ngeloyor tau-tau muncul di Senegal.
Salah satu hal yang paling gue inget tentang Endang adalah saat pelajaran Bahasa Indonesia. Sang guru meminta kami memainkan sebuah roleplay. Kebetulan gue dan Endang berada di satu kelompok. Di tengah dialog, tetiba Endang menggunakan kata ‘absurd’ untuk mengekspresikan rasa kecewa pada lawan dialognya. Saat itu, ‘absurd’ belum menjadi kosakata yang familiar buat kami. Seusai pelajaran, ‘absurd’ terngiang-ngiang di otak gue. Mau makan teringet ‘absurd’. Mau tidur keinget ‘absurd’. Mau jogging keinget mantan. Eh maap. Mantan darimana, pacaran aja kagak pernah :(.
Di waktu yang lain saat pelajaran kesenian, ibu guru melakukan pengambilan nilai dengan membuat kelompok yang terdiri dari 8-10 orang untuk menyajikan penampilan musik seperti ‘koor’ atau, jika memungkinkan, menampilkan drama musikal semisal ‘glee’ atau sinetron ind*siar yang dikit-dikit nyanyi diiringi naga dengan special effect photoshop. Penilaian akan dilakukan berdasarkan kekompakan, harmonisasi dan juga kostum yang digunakan.
Setiap grup berbusana dengan baik dan rapih kecuali kelompok gue yang lebih mirip pemain lenong. Entah apa yang ada di pikiran kami waktu itu dan kenapa juga tidak ada yang protes dengan cara kami berpakaian yang sama sekali tidak mengikuti kaidah aturan berpakaian yang baik dan benar. Crap!.
Sebelum pengambilan nilai masing-masing kelompok, kami diberikan kesempatan untuk melakukan gladi resik guna memantapkan penampilan. Sayup terdengar oleh gue harmonisasi yang apik lagu dari Hadad Alwi. Diselingi oleh permainan gitar yang tak kalah baiknya, kelompok yang mengenakan seragam warna pink ini nampak sangat meyakinkan. Endang adalah salah satu personelnya. Sebagian besar personel grup ini adalah punggawa Rohis Sekolah sehingga wajar diisi oleh para akhwat-akhwat berjilbab. Agar kompak, semua anggota kelompok itu mengenakan jilbab. Iya, termasuk Fachrie, Idris, Hendra, dan Dedy :D.
“Wah, kelompok ini pasti dapet nilai gede” pikir gue setelah melihat penampilan mereka pada saat latihan.
Yak, tibalah Endang bersama grupnya naik ke panggung.
“Jreng…” Fachrie mulai memainkan gitarnya. Yang kemudian disusul oleh paduan suara sepersekian detik kemudian.
‘Engkau mengenalnya, insan yang utama’.
‘Lelaki pilihan, menjadi utusan,.
Setelah lirik dinyanyikan, gue menangkap sinyal fals sejak huruf pertama terdengar. Ternyata bener. Ada satu jenis suara yang tidak harmonis dengan suara lainnya. Suara ini nampak one man show. Dan gue tau persis suara ini karena agak nyempreng tapi bass nya gede. Wah, tidak salah lagi pasti ini suara Momo Geisha. Ya ga mungkinlah. Itu suara Endang Tepo. Entah apa penyebabnya, harmonisasi yang ditampilkan pada saat latihan lenyap seketika saat berlangsungnya pengambilan nilai. Dan semua menjadi kalut.
Seusai tampil, kelompok ini nampak sangat lesu. Fachrie sibuk mengomel karena harmonisasi yang diciptakan saat latihan tidak berhasil ditularkan pada saat penampilan di panggung. Gue pun senyum-senyum sendiri.
Memang harus disadari bahwa seseorang yang memiliki suara bagus tidak selalu bisa tampil dalam grup. Karena Victoria Adams mungkin lebih ciamik tampil bersama Spice Girls tapi Beyonce sepertinya lebih memukau saat tampil sendiri. Terus apa hubungannya dengan Endang? Ga ada, gue cuma nambah-nambahin tulisan aja. Hahaha.
Ngomongin Endang maka kita tidak bisa terlepas dengan sosok bernama Agustin Rosalina alias Anggi karena mereka satu paket. Dari sejak awal SMA, bahkan SMP, mereka selalu bersama. Persis Ipin-Upin. Kemana-mana bareng. Akan sangat sulit menemukan Endang tanpa Anggi. Mereka berdua mengingatkan kita pada Si buta dari Goa hantu dengan Kliwon :D. Namun semenjak kuliah, mereka terpisah. Anggi memilih bergabung bersama Iko Uwais ke Padang, Sumatera Barat untuk berburu kitab suci. Sementara Endang setia bertahan di Palembang guna menyelesaikan pendidikan S-1 di Universitas Sriwijaya.
Selesai kuliah, Endang akhirnya mendapatkan pekerjaan di Lampung sebagai guru SMP. Ini yang dari dulu membuat gue khawatir. Khawatir kalo kalo orangtua murid sulit membedakan yang mana siswa yang mana guru. bahahaha. Ampun Ndang.
Endang akhirnya menikah pada tanggal 15 Maret 2015 dengan seorang pria asal Cirebon yang juga adalah pegawai bea cukai. Di tanggal yang sama, temen kami lainnya, Hartawan Mulya juga melakukan pernikahan. Cerita tentang pernikahan Hartawan akan gue bahas di tulisan berikutnya. Selamat Endang, kamu mendapatkan peringkat ke-23. Semoga menjadi keluarga yang barokah.