Beginilah Tontonan Kita
Januari 4, 2014 § Tinggalkan komentar
Kemaren malem gue dateng ke dokter umum. Gue pengen minta vitamin karena gue lagi ga enak badan. Iya, my body is not delicious.
Di salah satu sudut ruangan, gue mendapati TV yang menyala saat tengah menunggu antrian ketemu dokter. TV peninggalan Thomas Alfa Edison saat masih muda itu memutar salah satu sinetron remaja. Gue cuma menghela nafas saat melihat sinetron tersebut.
Entah, gue bener-bener bingung dengan sutradara sinetron di TV lokal. Mereka ga pernah move on dari scene-scene norak dan tolol yang terus-terusan dibuat demi sebuah rating.
Udah ga jamannya sinetron pake ngomong dalam hati tapi kedengeran sama semua orang. Ditabrak mobil lalu jatuh cinta. Cerita-cerita gitu udah basi.
Ah sudah begitu banyak tulisan yang menyindir acara TV yang tidak bermutu. Tapi apa daya, uang berbicara lebih banyak daripada kritikan yang tak membuat para pemilik stasiun tv bergeming. Tapi tanpa tendensi mendukung, rating memang sudah seharusnya menjadi faktor utama sebuah program acara di stasiun tv dibuat.
Tanpa rating, darimana stasiun TV bisa mengejar pemasukan dari iklan. Padahal rating adalah tolak ukur bagi semua iklan untuk mempromosikan produknya.
Nah yang perlu para sineas lakukan, yang para kritikus perlu sampaikan adalah bagaimana stasiun TV menghadirkan acara-acara yang jauh lebih bermutu daripada yang sudah ada. Acara yang ada di TV sekarang bak virus ebola, menyebar dan menjangkiti. Satu terkena yang laen terkena.
Saat satu stasiun TV menayangkan joget-joget sampah, yang laen bertransformasi menjadi lebih sampah. Apa tidak terbayang di otak mereka saat ada anak-anak yang menonton acara di jam prime time berisi joget dengan gerak tubuh yang mengundang syahwat.
Apa, otak gue yang porno? Cek gih, jangan-jangan otak lo yang cacat. Saat ngeliat tarian yang mengarah kepada erotisme dan lo ga bereaksi maka cuma ada dua kesimpulan, “Lo homo atau otak lo mengalami gangguan seksual”.
Sinetron klise masih aja menampilkan adegan ga realistis, copy cat¸ dan dipersuram (vicky) dengan akting seadanya dari aktor dan aktris yang awalnya suka nyanyi secara lypsinc.
Rok selalu di atas lutut, paha kemana-mana. Harusnya polisi dan Komnas HAM serta Perlindungan Anak menegur bahkan jika perlu mereka menangkap para pembuat sinetron yang membuat set dengan menampilkan pakaian-pakaian anak sekolah yang mini.
Sekolah cuma dijadikan sebagai tempat untuk pamer harta, cinta-cintaan. Ga heran kalo ada anak SMP yang menjadikan sekolah sebagai tempat berbuat mesum.
Sekolah yang digambarkan di stasiun TV kebanyakan tidak menggambarkan sebuah dimensi moral. Mengapa sinetron tersebut tidak menunjukkan siswa-siswa yang cerdas dan berprestasi dengan karyanya. Mainkan scene saat mereka beradu inteligensia dalam karya lmiah. Pun ketika mereka harus jatuh cinta, perankan itu secara elegan. Bukan sekedar kisah percintan picisan yang kalian balut dengan nafsu anak-anak berseragam.
Namun sekali lagi, ini masalah rating. Rating berarti berapa banyak iklan yang mensponsori dan berapa besar pemasukan ke kantong para cukong-cukong itu.
Ah gue rindu dengan sinetron mendidik ala si Doel. Sinetron yang menggambarkan kehidupan yang sebenernya. Tanpa embel-embel dan ornamen memuakkan dan berlebihan dari akting aktor/aktris yang bahkan nangis pun maksa.
Gue sudah jarang melihat acara kuis bermutu macem Indosat Galileo, who wants to be a millionaire, siapa berani yang membantu mengasah pengetahuan. Kuis yang ada dewasa ini dipenuhi oleh games yang merendahkan martabat seorang wanita, seorang ibu saat mereka disuruh melakukan hal-hal yang awkward. Damn it!. Belum lagi yang membuat kuis tapi bermuatan kampanye…..
Acara gosip semakin banyak. Semua detail kehidupan artis sepertinya penting banget buat diketahui oleh khalayak. Mulai dari siapa pacarnya, nenek dari paman kedua ibunya. Ditambah lagi reality show yang presenternya terlalu semangat hingga memaju-majukan bibir dan terus-terusan berupaya mencari-cari kesalahan orang lain. Hartanya dibahas, kosmetiknya dibahas. Really piss me off.
Belom lagi kemaren, gue liat di acaranya si Buya Kaya, masa ada anak kecil yang ngomong pun masih terbata sedang bernyanyi lagunyaaaa… ADELE.
“Dont you remember…huwooo”
Mennnn…. bener-bener sakit, saat bocah yang baru putus hubungan dengan ASI tapi sudah familiar dengan lagu-lagu orang dewasa. Apa mereka tidak sadar bahwa anak-anak seperti ini akan menjadi matang sebelum waktunya. Dan akhirnya mereka berujung pada gadis cabe-cabean atau pria terong-terongan.
Tapi memang sulit saat kapitalisme yang merangsek masuk dan menginfiltrasi pola pikir masyarakat. Mereka hanya berorientasi pada nilai jual acara. High demand leads to high supply. Apakah dapat disimpulkan bahwa banyaknya acara menjijikkan ini sebagai refleksi dari masyarakat? Bisa jadi.
Sebenernya acara ga akan laku kalo ga ada yang nonton. Mereka saling mendukung satu sama lain. Yang nonton butuh acara-acara yang saat ini hadir di layar kaca sehingga diadakan acara serupa. Atau logika sebaliknya. Pembuat acara melihat respon masyarakat dengan menghadirkan program-program tertentu, saat rating tinggi program dibuat sepanjang mungkin, kalo bisa sampe berabad-abad.
Tukang bubur naek haji, salah satu contoh acara yang awalnya dibuat untuk mengisi program ramadhan. Apa mau dikata, hingga tukang buburnya tidak muncul lagi, sinetron tetap berjalan. Ada-ada saja.
Dan daripada menggerutu pada acara yang membuat dada kita semakin sering dielus, lebih baik kita menghentikan niat untuk menyaksikan mereka. Stop nonton goyang-goyang sampah yang terus menghantui stasiun TV. Stop menyaksikan sinetron remaja yang lebih banyak pamer paha daripada pamer daya intelektual.
Dengan tidak adanya dukungan dari para penikmat TV, acara-acara tak bermutu tersebut akan mati dengan sendirinya. Tapi gue rasa ga akan mudah. Masyarakat kita sudah terhipnotis dengan acara semacam ini.
Balik ke diri sendiri masing-masing dan sebisa mungkin mengajak orang terdekat untuk memutus rantai koneksi antara kita selaku penikmat TV dengan tontonan-tontonan yang tak bermutu. Masih banyak acara lain yang layak ditonton bagi orang dewasa maupun anak-anak. Mari lebih selektif karena hakikatnya tuntunan saat ini menjadi tontonan dan tontonan menjadi tuntunan.
Dan pesen gue untuk para pemilik stasiun TV (yakali mereka baca), tolong jangan cuma perhatiin rating. Perhatikan juga moral bangsa ini mau dibawa kemana kalau setiap hari TV kita hanya diisi oleh joget-joget, siswa tak bermoral dan gosip murahan. Ga semua orang tua bisa mengontrol tontonan anak mereka. Karena mencegah jauh lebih baik daripada mengobati. Nasihat lawas tapi bener.
*Sumber gambar dari sini