Kitab yang Menguji Ketulusan
November 22, 2016 § Tinggalkan komentar
Hampir 40 tahun usianya ia habiskan mempelajari-menyusun-menulis syarah al-Musnad al-Imam bin Ahmad al-Syaibani. Kitab susunan Imam Ahmad ini memerlukan ketekunan luar biasa bagi sesiapa yang ingin mempelajarinya. Sebab, al-Musnad ibarat samudra tak bertepi. Demikian ditutur Ibnu Katsir. Ibnu Katsir pun hingga akhir hayatnya belum sempat menulis satu karya terkait al-Musnad. Awalnya, ia hanya ingin mengelompokkan hadits-hadits dalam al-Musnad menurut tema sejenis dan urutan tertentu. Sayang, upaya membuat tartib pun belum tercapai.
Perlu sepuluh abad sejak al-Musnad disusun Imam Ahmad, seorang mekanik jam di Mahmudiyah (Mesir) bernama Ahmad Abdurrahman merintis upaya pengelompokan hadits. Awalnya sekadar membuat tartib, yang dikelompokkan dalam tujuh bagian: tauhid dan ushuluddin, fiqih, tafsir, targhib (pahala bagi yang beramal saleh), tarhib (ancaman bagi para pendosa), tarikh, serta hari kiamat dan alam akhirat. Sekira tiga tahun Ahmad membuat draf tartib. Dilanjutkan penulisannya. Saat penulisan itulah ia merasa ada yang kurang. Dibacanya lagi al-Musnad, hingga ia pun bertekad membuat syarah dan istinbath—membuat satu simpulan hukum berdasarkan hadits. Sembari melanjutkan aktivitas penyelidikan dan penulisan hadits, bagian yang sudah disyarah oleh Ahmad dicetak. Karena keterbatasan dana, ia mencetak sendiri karyanya itu.
Karya seorang yang sekadar mekanik jam dan imam tidak tetap di Masjid Mahmudiyah (sebelum pindah mukim ke Kairo) itu mendapat perhatian para ulama di negerinya. Dua ulama terpandang di Mesir kala itu, Muhammad Rasyid Ridha dan Ahmad Muhammad Syakir, berpolemik atas satu hadits. Ahmad Abdurrahmanlah yang menengahi keduanya dengan santun dan mewibawakan kedua alim besar tersebut. Bagian Kementerian Wakaf Mesir juga mengapresiasi karyanya.
Dalam keterbatasan yang mendera sehari-hari, Ahmad Abdurrahman tidak pernah beranjak untuk lepas dari mengkaji al-Musnad. Penghasilan sebagai mekanik jam dihentikannya karena berfokus pada al-Musnad. Alhamdulillah, Allah karuniakan ia putra sulung, seorang guru, yang sangat berbakti. Darinya ia rutin dikirimi uang untuk sekadar menegakkan tulang punggung.
Terpujilah karya gemilang dalam kesabaran Ahmad Abdurrahman. Kecintaan pada karya Imam Ahmad bukan lantaran ia pengikut mazhabnya. Ia memang cinta karya itu sebagai warisan umat. Maka, derita dan perjuangan menyusun-menulis-mencetak-menjual karyanya tak sebanding dengan kebesaran al-Musnad. Jadilah al-Fath al-Rabbani li Tartib Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal al-Syaibani semerbak ilmu dari lelaki bersahaja yang biasa disapa ‘tukang jam’.
Kitabnya melintasi perbedaan mazhab. Pada masa Ahmad Abdurrahman hidup, al-Fath al-Rabbani mendapat apresiasi dari Muhammad bin Abdul Lathif, anak keturunan langsung Muhammad bin Abdul Wahab bin Sulaiman al-Tamimi. Raja Abdul Aziz dari Arab Saudi memborong 100 eksemplar untuk dibagikan kepada para ulama. Dari Madinah, ulama hadits Mahmud Syuwail memberikan pujian atas al-Fath al-Rabbani. Karya yang sama ini tidak dimonopoli sebagai referensi ulama Hanbaliyah. Yusuf al-Dijawi, seorang anggota Hai’ah Kibar al-Ulama yang juga kontra pemikiran Ibnu Taimiyah dan Muhammad bin Abdul Wahab, termasuk yang memetik manfaat al-Fath al-Rabbani.
Sayangnya, meski diakui manfaatnya oleh ulama-ulama terpandang, di Mesir sendiri sebagian ulama kurang ramah menanggapi karya Ahmad Abdurrahman. Al Azhar salah satunya. Meski Kementerian Wakaf pernah membeli beberapa edisi al-Fath al-Rabbani, ini tak diikuti dengan tanggapan memadai pada penulisnya. Termasuk ketika Ahmad Abdurrahman wafat dan menyisakan beberapa juz yang belum disyarah, ulama Al Azhar yang awalnya dimintai keluarga almarhum menolak. Alasannya selain merasa tidak mampu juga ingin ada kompensasi bayaran atas kerja mereka!
Ada 24 juz yang akhirnya terselesaikan dari al-Fath al-Rabbani. Sebanyak 21 juz dan separuh juz 22 dikerjakan sepenuhnya oleh Ahmad Abdurrahman. Setengah juz 22 dilanjutkan oleh rekan penulis. Dua juz tersisa dikerjakan oleh tim yang dipimpin salah satu putra almarhum. Kitab inilah yang hari ini masih bisa kita petik manfaatnya, termasuk versi daring. Ada jasa seorang Ahmad Abdurrahman. Lelaki yang warisannya mutu manikam tak tertandingi. Yang bahkan seorang Syekh Utsaimin tak malu memuji kualitas karyanya itu.
Hari ini, kitab itu menjadi saksi, betapa ketulusan dan kecintaan pada ilmu semestinya tak boleh didiskriminasi. Mestilah ada adab adil menilai tanpa fanatik golongan. Apakah mereka yang hari ini mendaku Hanbaliyah dengan manhaj Salafi enggan membuka hati kalau tahu penulis al-Fath al-Rabbani adalah seorang Ikhwani! Betapa tajam dan beringas kata-kata di rekaman dan tulisan para dai dan murid Salafy di sini terhadap organisasi Ikhwanul Muslimin.
Entah bagaimana para alim dan awam tersebut begitu tahu fakta di balik kitab induk yang jadi rujukan ulama-ulama besar mereka yang adil itu di masa lalu. Ahmad Abdurrahman adalah saksi bagaimana perjuangan putranya, Hasan al-Banna. Ia relakan rumahnya jadi markas Ikhwan. Ia pula yang jadi penanggung jawab keberlangsungan majalah organisasi bentukan putranya ini. Ia pula yang harus menunda beberapa hari penulisan al-Fath al-Rabbani pada saat Hasan ditembak mati. Penulis kitab yang dihargai penuh hormat oleh raja dan keturunan ulama di negeri yang mendaku Salafi itu, adakah masih engkau terima dengan lapang? Dialah yang tangannya dipakai menulis kitab rujukan manhajmu, dan tangan yang sama pula pernah membopong sendiri jenazah putranya ke liang lahat dalam awasan tentara! Apakah tangan yang sama untuk memboyong lelaki yang acap engkau bid’ah-kan itu masih diperhinakan?
Di tanah airnya, sebagian ulama Syafi’iyah memang masih menaruh curiga pada Ikhwan. Dari Hasan masih hidup hingga kini, selalu ada curiga. Entah mengapa, dalam kebesaran mengarusi zaman, Al Azhar lewat polah sebagian ulamanya malah perlihatkan sikap tak elok. Dulu al-Fath al-Rabbani seperti diremehkan. Mungkin hanya karena penyusun-penulisnya seorang mekanik jam! Berikutnya, ia ayahanda dari pendiri Ikhwan, organisasi yang dipandang seteru penguasa. Bahkan Ahmad Abdurrahman juga tak menutupi fakta sebagai bagian dari Ikhwan. Kalaulah hari ini sebagian alim dan penyokong Al Azhar termasuk di sini, acap teriakkan keharmonian umat dan persatuan antar0mazhab, adakah nama ayah-anak di balik al-Fath al-Rabbani mesti diluputkan?
Saya tulis ini, 19 November 2016, tepat 58 tahun lalu ketika Ahmad Abdurrahman al-Banna as-Sa’ati wafat. Lelaki yang mengarungi Kairo lewat karya yang ulama sekaliber Ibnu Katsir tak sempat menuangkan. Al-Fath al-Rabbani li Tartib Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal al-Syaibani menjadi saksi permata warisan pertamanya. Dan warisan kedua tak lain sang putra, Hasan al-Banna, yang darinya sebuah pergerakan dakwah menyebar ke banyak negara dengan banyak pengikut dan pengaruh.
Referensi: Ahmad Jamaluddin, Khitabat Hasan al-Banna al-Shab li Abihi, (edisi bahasa Indonesia: Lelaki Penggenggam Kairo, 2009.
*Disalin dari status facebook-nya bapak Yusuf Maulana