Ramadhan Bersama Kalian
Juli 10, 2013 § Tinggalkan komentar
Indahnya ramadhan terukir jelas dari guratan wajahku ketika membersamai para sahabat seiman dalam ukhuwah yang terjalin kala berseragam abu-abu.
Kompetisi iman sungguh terasa. Fastabiqul khairat, ujar kalian. Bahkan lembaran juz al-quran yang tengah kau baca, sengaja ditutup-tutupi agar kami tidak bisa mengukur sudah berapa juz tilawahmu. Belum lagi ibadah-ibadah tersembunyi yang engkau lakukan. Bahkan mungkin semut pun tak tahu. Kisah itu hanyalah sepenggal dari ribuan ragam cerita ramadhan kita.
Aku terbayang bagaimana kompetisi kebaikan Umar R.A dengan sahabat terbaik sekaligus mertua rasululluah SAW, Abu Bakar As Siddiq. Suatu ketika, beberapa waktu setelah rasul wafat. Umar bertekad melanjutkan kebaikan rasul kepada orang-orang dhuafa. Engkau wahai Al Faruq, berusaha memikul gandum untuk kau bawakan kepada si fakir. Berharap engkaulah, hamba yang bisa meneruskan apa yang nabi telah mulai. Tapi apa daya, betapa tertegunnya dirimu, ketika engkau menyaksikan bahwa engkau kalah cepat. Seseorang sudah mendahului engkau wahai Umar. Seseorang yang tidaklah segagah engkau, namun memiliki keimanan yang menggetarkan angkasa.
Dengan kesahajaan, ia memangkul gandum dan membagikannya kepada para fakir. Iya Umar, itu adalah sahabatmu, sahabat terkasihmu, Abu bakar. Ia selalu selangkah mendahului engkau. Betapa manisnya ukhuwah yang kalian ciptakan. Mengharu biru hingga langit tak menyangsikan.
Aku mengingat kembali kenangan kisah ukhuwah terindah kita, sahabat. Mushola Al Muttaqin menjadi saksi di saat pundak bersentuhan rapat. Berharap aku adalah abu bakar, dan engkau adalah umar. Tapi kau tak mau kalah. Kau berucap engkaulah zaid bin tsabit, sementara aku adalah “tokichi” .
Tak luput, saat kita saling mendahulukan satu sama lain untuk menjadi imam. Bukan karena fastabiqol khairat, tapi cenderung karena keengganan kita pda waktu itu. Lalu kalian berkata “ayo akhi, latihan jadi imam, seblum menjadi imam keluarga”. Kala itu kita berkata sambil tertawa, bercanda tak terkira, tanpa terasa salah satu dari kita sudah menjadikannya sebagai sebuah kisah nyata.
Ramadhan adalah masa di kala kita beraksi. Bukan unjuk gigi dalam demo anarki. Kita memilih seni sebagai aktualisasi diri.
Masih segar terlintas, betapa fragmen kelam sesaat aku melantunkan “cucucucu” yang merdu. Yang menggemparkan satu sekolah. “Eh adek cucucucu” kata salah seorang senior. Kisah tak terlupa, hingga kelak anak-anak kita mampu bercerita.
Ramadhan adalah segala tentang perbaikan. Satu, dua, tiga, dan terus bertambah. Bukan dalam kelipatan biasa. Perlahan tapi pasti sekolah kita menjadi lautan hijrah. Banyak yang berubah. Mengenakan pakaian terindah sebagai perhiasan terbaik dunia. Di saat itu kita serentak berucap hamdalah. Apalagi ketika ia, sang primadona sekolah, mengenakan hijab rapih :D.
Lautan hijrah, tak usah bertanya siapa yang menjadi pelopor. Cukup kita saksikan bagaimana akhwat-akhwat tangguh yang tak kenal lelah, berjuang di tengah pandangan sinis tentang jilbab yang mengguntai, yang lebar. Bahkan kami pun mengira kalian adalah “ninja” yang bisa berpindah dalam sekejap kemanapun kalian suka. Tapi itu bukan ekspresi benci. Hanyalah media pelebur agar tak kaku dalam berinteraksi.
Kalian akhwat, adalah makhluk yang lebih terjaga. Dan kalian tak kalah, melabeli kami dengan ikhwan sepotong. Tapi itu bukan caci, kami anggap sebagai pengingat diri.
Ini bukan tentang aku, bukan tentang kamu, ini tentang kita. Tentang indahnya ukhuwah yang kita rajut.
Masih ingatkah engkau, saat kita masih begitu lucu dan lugu. Mendatangi masjid terbesar kota, menghadiri tabligh Akbar Aa Gym. Riuh suasananya, gegap gempita dada ketika bersama kita bertakbir. Ini bukan sekedar kebahagiaan biasa, bukanlah bias semata bak orang yang menyaksikan konser ataupun menonton pertandingan bola.
Mabit kita di masjid al aqobah, akhi. Tak terlupa jua kisah mabit dengan Murobbi tercinta. Murobbi kita, apa kabar ia? Semoga semua kebaikan tercurah untuk beliau. Tak terkira bagaimana hidayah tersampai oleh sang Murobbi terhebat. Ukhuwah ini, beliau perantaranya. Perantara semua keindahan dalam dekapan ukhuwah di jalan cinta para pejuang. Membungkus semua kebaikan, menafikan semua keburukan, menyatu dalam harmoni keikhlasan.
Setiap Ramadhan, aku berkontemplasi. Berhegemoni dalam kisah yang lalu. Lawas tapi tak mudah terlepas. Ia selalu menggelayuti neuron. Cerita ramadhan di SMA adalah masa tak terlupa. Saat kita bersatu padu membantu menyukseskan pesantren ramadhan. Mengisi mentoring di setiap kelas. Multi level marketing pahala. Konsep yang kini masih kita pegang dengan erat.
Mungkin engkau lupa, Muhammad ayat 7 “Barangsiapa yang menolong agama Allah, maka Allah akan menolongmu. Dan Dia akan meneguhkan kedudukanmu.”
Ayat ini adalah senjata kita. Bahwa tidak ada yang sia-sia. Setiap peluh yang menetes, setiap air mata yang mengalir, setiap jerih yang tertatih, semua terhitung. Dan Allah sebaik-baik pembalas kebaikan.
Ukhuwah itu indah dilihat manis dirasa. Ia dibangun atas pondasi keimanan. Ingin kembali menyambut ramadhan bersama kalian, ikhwah fillah. Sing teman sejatinya Brothers.