Islamic Book Fair 2015
Maret 7, 2015 § 2 Komentar
Penulis yang hebat adalah pembaca yang rakus
Islamic Book Fair (IBF) hadir kembali mulai tanggal 27 Februari sampai 8 Maret 2015 di Istora Senayan. Seperti tahun-tahun sebelumnya, gue selalu bergembira dengan kehadiran pameran buku islam terbesar di Indonesia ini. Berada di tengah tumpukan buku adalah satu dari dua hal yang bisa dengan mudahnya membuat gue bahagia. Satunya lagi adalah menemukan jarum di dalam tumpukan jerami. Krik..krik!.
Masih jelas bayang-bayang kunjungan ke IBF tahun lalu. Saat itu, gue masih berstatus calon suami karena penyelenggaraan IBF 2014 berselisih beberapa hari dengan prosesi lamaran gue. Karena timing nya yang sangat pas, gue secara sengaja dan sadar membeli buku ‘kado pernikahan untuk istriku’ sebagai buah tangan yang dibawa turut serta pada saat lamaran. Lebih tepatnya, buku itu gue hadiahkan buat sang istri yang kebetulan berulang tahun satu hari sebelum kedatangan keluarga gue ke Cianjur untuk ngantri raskin. Menurut lo?!. Ya buat lamaran lah.
Beberapa buku yang gue beli tahun lalu masih tersampul rapih dan tersimpan di kardus di pojok kamar kontrakan. Mereka seolah tergugu. Tertunduk lesuh tak tersentuh. Buku Karen Armstrong tentang Perang Salib baru sepertujuhnya selesai dibaca. Biografi Malcolm X malah belum dijamah sama sekali. Di situ kadang buku saya merasa sedih.
Ada yang berbeda dengan IBF 2015 kali ini. Durasi gue untuk memburu buku tidak bisa seleluasa saat masih bersatus jomblo keren. Sekarang, gue harus mengunjungi anak dan istri tercinta yang ada di kota bunga setiap akhir pekan. Jadi, gue harus sempet-sempetin datang ke IBF sepulang jam kantor. Keterbatasan waktu ini juga yang menghalangi gue mencari buku dengan seksama.
Setelah berthawaf di sekitar Istora, gue memilih singggah di beberapa tenan. Tenan pertama yang gue kunjungi tidak lain dan tidak bukan adalah tenan pro u media. Memang, sudah sejak lama pro u media menjadi penerbit yang menghasilkan bacaan-bacaan sesuai dengan selera gue. Buku-bukunya ditulis oleh penulis yang relatif masih unyu dengan topik yang anak muda banget. Mulai dari Fadlan Al Ikhwani, Egha Zainur Ramadhani, Solikhin Abu Izzudin, hingga Salim A Fillah. Setelah melihat-lihat buku yang tersusun rapih di biliknya, tidak ada buku yang menarik perhatian saya dengan amat sangat. Berbeda dengan tahun lalu saat buku Lapis-Lapis Keberkahan Salim A Fillah mencuri perhatian banyak orang.
Sejak awal adanya IBF, gue sudah berazam dan berdiskusi dengan istri untuk mencari buku-buku bertemakan parenting. Jika tahun sebelumnya, gue sangat berapi-api untuk memperoleh buku bertemakan pernikahan maka kali ini gue lebih banyak memfokuskan diri untuk melengkapi koleksi buku tentang bagaimana cara mendidik anak dengan baik dan sesuai tuntunan Al-Quran. Karena segala sesuatu itu harus ada ilmunya. Seperti apa yang dinasihatkan oleh Ali bin Abi Thalib bahwa ibadah yang tidak ada ilmunya lebih besar potensi kerusakannya. Karena membimbing anak adalah sebuah ibadah maka diperlukan ilmu sebagai bekal. Berapa banyak orang tua yang mengaku memiliki anak tapi tidak tahu bagaimana cara mengurusnya. Berapa banyak di antara mereka percaya diri dengan melabeli ayah-ibu sebatas panggilan saja tanpa tahu bagaimana seharusnya seorang anak dibimbing dan diarahkan. Padahal ketahanan keluarga adalah pilar dalam membangun sebuah peradaban.
Sebelumnya, gue sudah memiliki beberapa buku tentang Parenting seperti Prophetic Parenting, Buku karangan Ibnu Taimiyah hingga buah karya Ust Fauzil Adhim ‘Saat Terbaik Untuk Anak Kita’. Setibanya di Tenan Pro U Media, mata gue tertuju pada buku karangan Ust Fauzil Adhim yang berjudul ‘segenggam iman untuk anak kita’ dan ‘membuat anak gila membaca’. Fauzil Adhim sudah sangat dikenal dengan kemampuannya menganggit kata untuk disarikan menjadi nasihat bagi para orang tua agar menyadarkan orang tua akan pentingnya membekali anak-anak dengan iman, membangun jiwa anak-anak mereka. Dan kedua buku ini diharapkan menjadi wahana untuk mencapai tujuan tersebut.
Selain buku tentang parenting, sejujurnya tidak ada buku yang benar-benar menarik perhatian gue. Berbeda dengan tahun lalu saat buku milik Karen Armstrong dan Rapung Samuddin begitu menggoda untuk dibaca. Waktu berburu yang terbatas pun menjadi faktor utama ketidakbisaan gue melakukan pencarian buku secara mendalam,. Duh lebaynya!.
Di antara buku-buku yang bertebaran dan setelah mengelilingi hampir semua tenan yang ada, gue akhirnya menjatuhkan pilihan pada ‘wajah peradaban barat’ karangan Ust Adian Husaini. Gue sebenernya mengikuti tulisan-tulisan beliau sejak lama. Jauh sebelum negara api menyerang. Selama ini gue hanya bisa menyimak tulisan Ust Adian melalui Web Insist atau status-statusnya yang termuat di facebook. Tulisan beliau bagus dan bernas sebagai referensi untuk menghalau pemikiran-pemikiran liberal dan serangan-serangan orientalis terhadap islam. Kebetulan sudah lama buku tersebut jadi target operasi.
Masih di rak buku yang sama, duduk manis ‘The Art of Deception’ nya Jerry D Gray. Buku yang memang gagal gue beli tahun lalu karena keterbatasan dana. The Art of Deception bercerita tentang peristiwa pembajakan WTC yang terjadi pada tahun 2001. Penulis memaparkan cerita dari sudut pandang ‘konspirasi’. Jadilah dua buku yang akan sangat berjasa menambah pengetahuan gue tentang peradaban barat serta wawasan tentang ‘penipuan’ yang selama ini terjadi di sekitar kita.
Di arena lain, gue mendapati tenan yang tenang nian sore itu. Tak banyak aktifitas kehidupan nampak di sana. Hanya ada penjaga tenan dan beberapa buku islami yang diobral 5-10 ribu. Sepintas gue melihat buku dengan judul ‘inilah politikku’ karangan Muhammad Elvandi. Gue sudah mengetahui sepak terjang sang penulis sejak menyelami tulisan di web yang ia asuh. Tulisannya sangat baik dengan referensi yang luas. Maklum, beliau adalah lulusan sarjana Mesir dan magister Prancis yang saat ini tengah menyelesaikan pendidikannya PHd nya di kampus Manchester, Inggris. Buku ini banyak bercerita tentang prinsip-prinsip politik islam di era modern. Sebuah tulisan yang cerdas dan sarat makna.
Sisanya, gue membeli buku tentang parenting lagi yang dijual secara paket. 4 buku seharga 100 ribu. Di antaranya bertemakan tentang pola asuh anak dan cara-cara menangani emosi anak. Lumayan, guna menambah referensi bagaimana cara menghadapi Alby, Si Jagoan. Ditambah lagi sebuah buku yang dibuat untuk meluruskan salah paham atas pemikiran dan aktifitas Sayyid Quthb. Pembela Ikhwanul Muslimin yang syahid di tiang gantungan setelah sebelumnya menggegerkan Mesir bahkan dunia dengan Tafsir fi Zhilail Quran dan buku ‘Petunjuk Jalan’.
Selain buku-buku yang berhamparan di rak-rak yang tersusun nan ajeg, hal lain yang membuat gue gembira selama berada di IBF adalah gue melihat kembali tenan yang menjual majalah Sabili dan Tarbawi. Sebagi informasi, Sabili sudah lama tidak hadir menemani pembacanya. Majalah umat yang berdiri sejak tahun 1994 ini sempat vakum selama beberapa tahun. Per Juni 2014, ia kembali hadir. Menurut mereka, selama ini terjadi kendala distribusi. Loper koran yang diamanahi menjual sabili banyak yang tidak menyetor uang kepada tim sabili. Untuk menghindari hal yang sama agar tidak terjadi lagi, Sabili kini tidak lagi dapat ditemui di loper-loper koran. Mereka menjual langsung kepada pembacanya.
Sabili adalah majalah yang sering gue baca sejak SMP. Dari majalah ini, gue banyak mendapatkan informasi tentang kondisi umat islam di berbagai belahan dunia. Betapa mencekamnya kehidupan di negeri-negeri non Muslim. Penindasan di Checnya, Palestina dan negara lain. Boleh dibilang Sabili adalah bacaan pertama yang membuka wawasan gue tentang betapa mirisnya nasib muslim di negara lain.
Majalah Tarbawi sendiri sudah 8 bulan tidak hadir menyapa pembacanya. Mereka berkilah bahwa tengah dilakukan evaluasi. Kini mereka hadir kembali untuk memperluas tsaqofah para pembacanya. Sejujurnya gue bukanlah pelanggan Tarbawi, namun mendapati majalah ini eksis kembali, gue ikut berbahagia.
Seperti itulah petualangan gue di IBF 2015. Semoga tahun-tahun berikutnya Islamic Book Fair tetap ada. Dan Semoga juga gue masih memiliki kesempatan untuk sowan untuk membeli buku-buku terbaik dengan harga miring.
Belajar Menjadi Seorang Ayah
Februari 21, 2015 § 1 Komentar
“Bagi seorang wanita, ayah adalah cinta pertama”
“Dan bagi seorang pria, ayah adalah jagoan perdana”
Bagi anak perempuan, ayah adalah pria pertama yang hadir dan merayu dengan penuh mesra. Mengucapkan kata-kata cinta tanpa ada jeda untuk mengeja bualan dan romansa picisan. Pada seorang ayah, mereka menjatuhkan hati. Bermanja penuh kasih tanpa perlu takut merasa kecewa. Ayah adalah pangeran tampan berkuda yang selama ini hanya ada di imajinasi.
Untuk anak laki-laki, ayah adalah wujud ksatria sebenar-benarnya. Jauh mendahului jagoan bertopeng di tivi. Lebih-lebih pendekar mandraguna nan sakti. Pada pundaknya, tertumpah semua keluh kesah. Bercerita ini itu tentang perkelahian di sekolah, atau murid bandel yang selalu berulah.
Seperti itulah ungkapan yang pernah saya dengar tentang bagaimana seharusnya seorang ayah berperan dalam keluarga. Terma ‘ayah’ sudah selaiknya dilekatkan pada pribadi yang hanyasanya menjadi sosok teladan bagi anak-anak di rumah.
Beberapa waktu lalu, saya mendapati sebuah video yang dibagikan jejaring pertemanan daring. Bercerita tentang pengorbanan seorang ayah yang sungguh mengharu biru, Tak perlu waktu lama, selang beberapa menit setelah menyimak kisahnya, saya menumpahkan air mata meresapi pesan yang tertuang dalam video yang kini menjadi viral dan tersebar di ragam media sosial.
Cerita dalam video tersebut mengajarkan saya makna sejati seorang ayah. Karena pengorbanan yang kalah oleh ibu, maka sudah seharusnya ayah mencintai putra-putri mereka dengan cara yang berbeda. Diceritakan, sang ayah tega berbohong pada sang anak. Berbohong demi melihat seuntai senyum bahkan seringai tawa yang menghiasi wajah. Darinya, kita belajar bagaimana seorang ayah dapat menerima beban seberat apapun demi kebahagiaan sang buah hati.
*****
Baru beberapa pekan terakhir saya belajar menjadi seorang ayah. Sejak saat mendampingi istri memasuki ruang persalinan, bayang-bayang kehadiran buah hati sudah menghampiri. Ternyata, mendampingi istri melahirkan sungguh pengalaman yang tak terlupakan. Bagaimana tidak, kalian harus menghadapi situasi dimana wanita terkasih harus menahan sakit dan mules selama lebih dari 12 jam. Sungguh, saat terbaik untuk menyadari betapa banyak dosa kita pada kedua orang tua, khususnya ibu, adalah pada saat membersamai istri di detik-detik melahirkan. Kita tidak akan pernah bisa merasakan cinta kasih, suka duka, lemah bertambah-tambah orang tua jika kita tidak pernah menjadi mereka.
Semua sakit, sedih, gundah, was-was yang datang menghujam kelak akan sirna dalam sekejap sebakda sang buah hati lahir ke dunia. Saat itu pula peran sebagai ayah dan ibu sejatinya harus sudah siap dipikul.
Menjadi seorang ayah adalah pengalaman yang benar-benar berbeda daripada semua fasa kehidupan yang pernah dijalani. Sesosok bayi yang lemah, tak berdaya yang mengandalkan orang lain untuk bertahan hidup, kini hadir di depan mata. Pada bayi ini lah kita akan menyadari betapa gerak-gerik diri kini selalu diawasi dan dijadikan cermin.
Belajar menjadi seorang ayah berarti mengambil hikmah dan teladan dari orang-orang terdahulu agar tahu bagaimana seharusnya laku seorang pemimpin rumah tangga. Dalam geraknya. Dalam diamnya. Dalam nasihatnya. Dalam marahnya. Dalam senyumnya. Dalam imannya. Maka Rasulullah Muhammad, Luqman Al-Hakim dan ayah saya adalah sebaik-baik contoh yang paling layak untuk diikuti.
Pada Muhammad kita belajar makna sejati seorang ayah. Ia mengasihi, bersikap lemah lembut, diteladani dan tak pernah mencaci. Teringatlah kita pada ucapan Anas bin Malik yang berujar bahwa selama sepuluh tahun membersamai rasul, tak pernah sekalipun ia mendengar ucapan ‘mengapa kau melakukan ini?’ atau ‘mengapa tak kau lakukan itu’. Pada Rasul, kita belajar sebaik-baik akhlak seorang ayah.
Pada rasul kita meneladani sikap kasih sayang nan mulia. Rasul tahan berlama-lama diam sujud saat sang cucu menaiki pundaknya. Hampir-hampir para sahabat berpikir bahwa wahyu tengah turun di antara sujudnya.
Dari Luqman kita belajar sebenar ketakwaan. Agar diri terhindar dari sikap lacur. Tak banyak yang Luqman ajarkan pada sang anak namun itulah kunci-kunci keselamatan, bak dian di tengah kegelapan. Berimanlah kepada Allah, Jangan sekutukan ia. Mula-mula Luqman mendaraskan tauhid, lalu ihsan, kemudian mendidik sang putra untuk beribadah dan kemudian ditutup dengan peringatan menghindari sikap congkap. Sungguh mulia seorang Luqman. Yang kisahnya nan abadi termuat dalam Al-Quran.
Pada ayah, mari belajar tentang makna sabar dalam kesederhanaan. Senantiasa mengajarkan kejujuran dalam setiap aspek kehidupan. Bergaullah dengan baik dan tak memandang temeh siapapun. Dan hingga kini namanya masih tergaung kebaikan. Dari sosok ayah, saya memahami arti kesahajaan dan ringan tangan. Ayah, semoga amalmu tak terputus. Semoga segala kebaikan yang engkau wariskan menjadi penebus dosa, pengangkat derajat, penyambung pahala.
Dan akhirnya sebagai seorang ayah, senarai doa kami ucapkan untukmu, nak. Seperti doa yang dituliskan Salim A Fillah dalam salah satu bukunya
“Nak, sungguh kami benar-benar beruntung ketika Allah mengaruniakan engkau sebagai buah hati, penyejuk mata, dan pewaris bagi kami. Nak, betapa kami sangat berbahagia, sebab engkaulah karunia Allah yang akan menyempurnakan pengabdian kami sebagai hamba-Nya dengan mendidikmu. Nak, kami amat bersyukur, sebab doa-doamulah yang kelak akan menyelamatkan dan memuliakan kami di dalam surga.”
Tentang Sebuah Nama
Januari 31, 2015 § Tinggalkan komentar
Apalah arti sebuah nama. Bahkan jika sekuntum mawar memiliki nama yang lain, ia akan tetap wangi.
Seperti itulah parafrase sajak William Shakespare yang termuat dalam kisah cinta picisan yang menyejarah antara keluarga Montague dan Capulet atau lebih dikenal dengan Romeo dan Juliet. Hebatnya, gaung sajak tersebut bisa kita rasakan hingga saat ini, setiap kali ‘nama’ menjadi sebuah topik pembahasan. Dan, sebagai anti teori dari penafian sebuah nama yang membawa ideologi ‘barat’ maka akan dipostulatkan ungkapan ‘nama adalah doa’. Bak pertarungan ideologis antara orient dan occident, keduanya mewakili seperti apa barat dan timur memandang sebuah nama.
Di negeri kita sendiri, masalah nama sempat menjadi sebuah kontroversi. Pada suatu masa di era orde baru, warga Indonesia keturunan Cina harus memiliki nama bercorak Indonesia atau setidaknya seperti nama seorang muslim sebagai identitas. Maka nama macam Husin, Ali, Wijaya sangat laku di pasaran. Salah seorang warga keturunan bahkan mengganti namanya menjadi Diponegoro yang artinya Dipokso Negoro.
Oprah Winfrey adalah contoh dari seseorang yang sempat mengalami kesalahan dalam namanya. Nama asli Oprah adalah ‘Orpah’ karena orang tuanya terinpirasi dari Alkitab. Namun karena kesalahan pada surat keterangan lahir maka kita mengenalnya dengan ‘Oprah’ hingga saat ini. Tak ada yang tahu apakah jika ia masih menyandang nama Orpah dia akan tetap terkenal seperti sekarang. Kalian juga bisa memilih nama-nama unik agar terkenal. Pilihlah nama yang anti-mainstream agar meninggalkan kesan buat orang lain. Ayu ting-ting dan Cita Citata melakukannya dengan baik.
Sehubungan dengan nama, gue sudah bahas di tulisan sebelumnya bahwa pemilihan nama bayi kami melalui sebuah mekanisme yang panjang. Jauh sebelum bayi kami lahir, gue sudah mencari-cari nama yang cocok untuknya. Lewat beberapa referensi dan interupsi hingga ada banyak nama tandingan, kami memutuskan bahwa sang bayi bernama ‘Alby Shofwan Moissani’. Dan kalian perlu tahu saat berhasil memperoleh nama yang baik untuk bayi kita rasanya seperti ingin berucap ‘Eureka’ ala Archimedes.
Saat duduk di bangku sekolah dasar, gue dan temen sepermainan pernah berandai andai jika nanti punya anak, siapa kira-kira namanya. Iya, gue memang alay sejak SD. Bukannya mikirin bagaimana membantu Kotaro Minami melawan Gorgom dan Jendral Jack, gue malah berleha-leha memilih nama calon anak. Tiba-tiba gue pengen minjem mesin waktunya doraemon buat balik ke masa sekolah dasar dan ketok kepala gue yang masih bocah tapi udah ngomongin anak.
Tapi ada yang unik. Saat itu, di tengah ke-alay-an tersebut, gue sadar bahwa belum ada nama-nama beken sepeti Aliando, Kenzo, Zahra. Nama-nama yang beredar masih sangat amat KONVENSIONAL. Hanya ada Suraji, Ahmad dan Joko. Sangat berbeda dengan nama-nama anak kekinian. Yes, saat gue bertanya pada temen-temen yang lebih dulu mempunyai bayi, nama anak mereka pun tak lazim di telinga. Mulai dari Alaric, Azkadina, Gibraltar. Wow! Gue berdecak kagum. Apa bapak-ibu muda ini membuka Sirah Nabawiyah sebelum memilih nama. Atau mereka terlebih dahulu mengkonsumsi biskuat biar semua bisa jadi macan? Entahlah.
Sudah sangat jarang nama-nama seperti Andri, Dedy, Putri menjadi pilihan para orang tua. Deretan nama tersebut nampak terlalu old school. Nama Dedy tak lagi menjual Karena public figure dengan berawalan ‘Dedy’ tidak mencolok secara fisik. Tengok saja Dedy Corbuzier, Dedy dukun hingga Dedy dores.
Memberikan nama yang baik adalah satu dari tiga kewajiban seorang ayah pada anaknya. Jika Juliet terlalu mabuk dalam cintanya pada romeo hingga sebuah nama nir arti. Maka memang, bagi seorang muslim nama adalah representasi dari harapan orang tua pada sang anak. Pada nama, kita bisa bercermin tentang sosok anak di masa depan.
Sebaik-baik nama adalah Abdullah. Itu kata rasul yang termuat dalam prophetic parenting karya Dr. Muhammad Nur Abdul Hafizh. Jangan mentang-mentang berharap nama keren lalu memberi nama yang dilarang atau agar nampak kearaban lalu dipilih ‘Abu Lahab’ atau ‘Abu Jahal’. Ulama juga melarang memberikan nama dengan nama seseorang yang masih hidup karena kita tidak mengetahui bagaimana akhir hidup seseorang. Jadi tidak disarankan untuk memberikan nama ‘Erdogan’ misalnya hanya karena ingin berharap sang anak memiliki sepak terjang layaknya Presiden Turki tersebut.
Saran gue, nama seorang anak sebaiknya terdiri dari minimal dua suku kata agar mereka tidak kesulitan saat mendaftar di jejaring sosial yang mensyaratkan dua kotak untuk nama usernya. Tapi juga jangan terlalu panjang seperti nama berikut
Red Wacky League Antlez Broke the Stereo Neon Tide Bring Back Honesty Coalition Feedback Hand of Aces Keep Going Captain Let’s Pretend Lost State of Dance Paper Taxis Lunar Road Up Down Strange All and I Neon Sheep Eve Hornby Faye Bradley AJ Wilde Michael Rice Dion Watts Matthew Appleyard John Ashurst Lauren Swales Zoe Angus Jaspreet Singh Emma Matthews Nicola Brown Leanne Pickering Victoria Davies Rachel Burnside Gil Parker Freya Watson Alisha Watts James Pearson Jacob Sotheran Darley Beth Lowery Jasmine Hewitt Chloe Gibson Molly Farquhar Lewis Murphy Abbie Coulson Nick Davies Harvey Parker Kyran Williamson Michael Anderson Bethany Murray Sophie Hamilton Amy Wilkins Emma Simpson Liam Wales Jacob Bartram Alex Hooks Rebecca Miller Caitlin Miller Sean McCloskey Dominic Parker Abbey Sharpe Elena Larkin Rebecca Simpson Nick Dixon Abbie Farrelly Liam Grieves Casey Smith Liam Downing Ben Wignall Elizabeth Hann Danielle Walker Lauren Glen James Johnson Ben Ervine Kate Burton James Hudson Daniel Mayes Matthew Kitching Josh Bennett Evolution Dreams.
Dan luar biasanya, kalian cukup memanggil nama yang terdiri dari 161 kata tersebut dengan ‘Red’. Silahkan menghela napas.
Hello World
Januari 22, 2015 § 1 Komentar
Hello world!!!
Please welcome me..
Namaku adalah Alby Shofwan Moissani. Aku lahir pada hari Ahad (Minggu) tanggal 18 Januari 2015 tepat sesaat setelah adzan dzuhur di Rumah Sakit Limijati dengan bantuan Prof Sofie dan para suster. Setelah ditimbang, suster memberi tahu ayah dan bunda kalo beratku 2.95 kg dengan panjang 51 cm dan diameter kepala 32 cm. Aku lahir dalam keadaan normal loh setelah bunda berjuang dengan sekuat tenaga menahan mules dan sakit selama lebih dari dua belas jam di rumah sakit.
Kata temen temen ayah dan bunda, mataku bagus. Mukaku juga mirip anak cewek karena saat ayah menginformasikan ke teman-temannya bahwa aku telah lahir, fotoku yang tersebar di whatsapp lebih mirip anak cewe karena suster yang membedong menutupi semua tubuh aku sampe kepala. Jadinya aku seolah-olah mereka kerudung.. hihihi. Tak lama kemudian, banyak yang mendoakan agar aku jadi anak sholehah. Loh kok sholehah? hiks.
Kata ayah, perjuangan mencari nama buatku tidaklah gampang. Ayah terus mencari referensi di internet untuk mendapatkan nama yang baik. Karena kata ayah, Khalifah Umar ra pernah berkata bahwa kewajiban seorang ayah atas anaknya ada 3 yaitu mencarikan ibu yang baik, memberikan nama yang baik serta mengajarkan al quran. Alhamdulillah ayah sudah mencarikan sosok ibu yang baik, ibu yang luar biasa agar aku bisa tumbuh dan bersemayam di rahimnya. Lalu tugas berikutnya sebelum aku lahir, ayah mencarikan sebaik-baik nama buatku. Awalnya, kata ayah, namaku harus terdiri dari 3 suku kata dengan berawalan huruf ‘A’ karena kami ingin membentuk keluarga ‘A’ setelah ayah dan ibuku namanya diawali abjad pertama alfabet tersebut. Selain itu, namaku juga harus terdiri dari Bahasa Arab, Bahasa Indonesia (Sansekerta) serta Bahasa asing lainnya atau nama yang modern.
Ayahku selalu berharap bahwa aku kelak dapat tumbuh menjadi anak yang soleh, cerdas namun tetap dengan identitas dalam negeri.
Setelah berdiskusi panjang dengan bunda, ayah kesulitan memadupadankan semua unsur tersebut sehingga setelah berselancar lebih jauh di dunia maya, namaku disepakati berawalan dengan ‘Alby’. Alby diambil dari Bahasa Jerman yang berarti mulia dan cerdas. Semoga aku kelak tumbuh menjadi anak yang cerdas seperti otak orang Jerman yang terkenal encer seperti Max Planck, Hertz, Heisenberg dan lainnya. Tapi, kata temen ayah, Alby juga adalah nama maskot lebah toko ritel yang menjamur di Indonesia. Tapi tak apa-apa, lebah juga kan banyak manfaat seperti termuat dalam surat AN-Nahl :D.
Kata ‘Shofwan’ sendiri diambil dari Bahasa Arab yang berarti ‘Teman yang baik’. Ayah ingin aku meniru sosoknya yang selalu berusaha menjadi teman yang baik bagi semua orang. Ayah berharap kelak aku dapat menjadi orang yang bersahabat bagi siapapun. Nama tengahku ini juga sangat dipengaruhi salah seorang penulis favorit ayah ‘Shofwan Al Bana’ yang tulisannya tentang dawah dan Palestina sangat menginspirasi.
Moissani. Unik ya nama belakangku. Moissani itu kalo mengacu ke referensi yang ada di internet, diambil dari Bahasa Arab ‘Al-Maisan’ yang berarti bintang paling terang di konstelasi Orion. Wow, keren ya!. Moissani juga adalah nama unsur kimia yang berasal dari batuan asteroid dan bernilai mahal. Kelak, ayah-bunda ingin aku menjadi seorang anak yang ‘bersinar’ di antara milyaran manusia di muka bumi.
Jadi, jika dirangkum, ayah dan bunda menitipkan doa pada namaku. Mereka berharap aku akan menjadi seorang anak yang cerdas, menonjol (berbakat, bersinar) dan juga sahabat yang baik bagi semua orang. Oh iya, namaku tidak mengandung unsur indonesianya. Tapi semoga aku tetap berupaya mengabdi dan cinta pada negara ini. Nanti di masa depan aku akan menjadi salah seorang yang bermanfaat dan berguna bagi negeri ini dengan tindakan-tindakan nyataku. Semoga aku akan menjadi salah seorang pemimpin bangsa. Aamin ya rabb
Ikut doain dong!!
Cinta yang Berbeda
Desember 10, 2014 § Tinggalkan komentar
Ada perasaan yang berbeda yang bersemayam di hati. Getaran ini tak sama. Ia menciptakan riak takjub, mensintesa cemas, menimbulkan sebuah kecintaan yang jauh dari apa yang selama ini pernah dirasakan. Getaran itu kini beresonansi dan bermuara pada haru yang membiru saat gerakan-gerakan ajaib itu menghentak kencang dari dalam rahim.
Keluarga adalah miniatur sebuah peradaban. Karenanya, setiap orang seharusnya menyadari bahwa menikah merupakan proses membentuk peradaban baru dengan keluarga sebagai batu bata penyusunnya. Atau istilah kerennya ‘menikah adalah sebuah proyek peradaban’.
Saya dan istri merasa sangat bersyukur atas kehamilan yang relatif sangat cepat yang Allah amanahkan. Saat mengetahui bahwa di dalam rahim istri saya tengah hidup sebuah nyawa yang berkembang setiap waktunya, ada cinta yang turut serta tumbuh. Rasa ini tak biasa. Ia tidak berupa cinta dengan aroma nafsu. Cinta ini berwujud perasaan untuk mengerahkan segenap kemampuan untuk melindungi dan mencurahkan perhatian atasnya lebih daripada yang pernah ada.
Ada simponi haru setiap kali aku merapatkan telinga ke perut istri. Denyut jantung itu berdegup lemah namun setiap detakan itu sudah cukup untuk menguatkan semangat menyiapkan diri menjadi orangtua. Tak jarang kaki dan tangan itu meninju atau mungkin menendang rahim tempat di mana ia tinggal. Mungkin kelakuan tersebut adalah bentuk pembangkangan atau upaya pemberontakan karena tempatnya berdiam sudah tidak bisa berkompromi dengan ukuran tubuhnya yang semakin membesar seiring bertambahnya waktu.
Semakin hari tendangan dan pukulan itu semakin kencang. Kelak, kami ingin engkau menjadi seorang pejuang yang gagah perkasa dalam membela hak-hakmu dan hak-hak agamamu. Jadilah kau sekokoh karang laksana ketangguhan Muhammad Al Fatih saat merobohkan tembok bizantium.
Nak, cinta kami atasmu bukanlah cinta biasa. Dulu ayah tak mengerti mengapa kakek dan nenek melindungi ayah atau ibu dengan cara yang sama dengan apa yang kami lakukan kepadamu. Sekarang ayah sadar bahwa saat menjadi orang tua ada cinta yang berbeda yang mengalir dalam setiap hela nafas mereka. Cinta ini mengedepankan sebuah proteksi, rasa cemas dan kebanggaan atas objek yang dicinta.
Kami senantiasa mendoakan engkau dalam setiap lirih. Kami ingin engkau menjadi anak yang shalih. Oleh sebab itu, kami memilah apa yang selayaknya dan sepatutnya kau dengar sejak di usia kandungan. Jika para orientalis atau ilmuwan barat merekomendasikan Mozart guna membantu meningkatkan kemampuan otak maka kami lebih memilih lantunan Ar-Rahman Syaikh Mishary. Sungguh, sebaik baik perkataan adalah Al Quran. Kami ingin apa yang pertama kali kau kenal dan terdengar olehmu adalah kalam Ilahi bukan not balok karya musisi atau lantunan merdu para biduan.
Nak, saat usia kandungan ibumu memasuki 7 bulan, dokter mengatakan bahwa ada cairan berlebih di otakmu. Saat ibumu memberitahu ayah kondisi tersebut, ayah langsung kalut dan sedih. Belum pernah ayah merasakan sebuah kekhawatiran lebih-lebih daripada ini. Cinta ini memang berbeda, nak.
Sontak ayah menduga apakah itu hidrosefalus ataukah kemungkinan kelainan lain pada otakmu. Pikiran ayah tak tenang kemudian. Pun halnya dengan ibumu. Kami mencoba ikhlas dan menyiapkan semua kemungkinan terburuk yang mungkin terjadi kepada engkau. Selang beberapa pekan, dokter mengatakan bahwa cairan berlebih di otakmu sudah hilang, nak. Bukan main bahagianya ayah serta ibu mendengar berita itu. Berita yang jauh lebih membahagiakan daripada saat ibumu menerima lamaran ayah. Saat kau sudah dewasa, ucapkanlah terimakasih dan selipkan doa pada setiap orang yang mendoakan kesehatanmu.
Nak, tak ada kebahagiaan lain selain mengetahui bahwa engkau sehat-sehat saja di dalam janin. Beratmu kini sudah mencapai 2,3 kg. Padahal 2 pekan lalu, angka itu masih berada di satu koma lima. Kami sempat khawatir dengan pertumbuhanmu. Namun tak ada yang dapat kami lakukan selain doa tak terputus agar engkau senantiasa sehat.
Nak, maafkan ayah yang tak bisa menyapamu setiap hari. Ayah hanya menyisihkan waktu-waktu sisa untuk menyapamu saat engkau tengah bercengkrama dengan ibu lewat setiap gerakan-gerakan yang membuat ibumu bertanya-tanya, apa yang sebenarnya kau lakukan di dalam sana. Kami mengira kau tengah bermain bola. Atau mungkin kau sedang mengerjakan model matematika untuk memecahan persoalan kimia fisika?.
Setiap kali ayah membisikkan kata cinta melalui suara yang menerobos dinding rahim, ayah berharap doa dan harap terdengar oleh telingamu. Sampaikah kata-kata itu kepadamu, nak?. Ayah dan ibu mendoakan kau menjadi anak yang shalih. Sehingga kelak kau termasuk 1 di antara tiga hal yang tidak akan memutuskan pahala kami.
Nak, cinta ini tak sama.
Sumber Gambar
Gambar 1 dari facebook
Gambar 2 dari koleksi pribadi
Petrichor
Desember 6, 2014 § 2 Komentar
Petrichor, pernahkah kau mendengar kata ini?
Mungkin tak pernah, namun hampir setiap kali kau merasakannya kau berteriak bahagia. Dengannya kau, mungkin juga aku, selalu merasa damai. Memang, tak semua yang kita cintai harus diberikan nama atau istilah atasnya.
Petrichor. Pernahkah kau mengenal ia?
Sesaat setelah hujan turun di kota ini, aku mencoba membaui hujan. Dalam setiap tetesan yang menjumpai bumi, Ia selalu menyediakan kedamaian di tengah hiruk pikuk dan lalu lalang kehidupan. Iya, mungkin seperti apa yang sudah kau kira. Petrichor adalah bagaimana orang-orang menyebut aroma yang senantiasa dihadirkan oleh hujan manakala ia datang. Berterimakasihlah pada bakteri-bakteri, pada batu-batu yang kau injak dan kau hina, pada kekeringan yang melanda karena tanpa mereka semua, kau tak akan pernah merasakan kesejukan yang selalu dihadirkan oleh hujan.
Petrichor, engkau selalu mampu membangkitkan cerita-cerita yang pernah terjadi di bawah dentingan rinai. Pernah suatu ketika, aku berlari lincah menghindari kejaran teman-teman sebaya saat hujan datang beriringan. Saat itu aku tak takut dengan dinginnya. Yang lebih aku takutkan justru teriakan ibu atau sosok ayah yang sudah menunggu di depan pintu. Sesegera mungkin aku pulang ke rumah sebelum ayah dengan sigap menghukumku. Tapi, itu adalah bukti cinta mereka agar sang buah hati tidak lantas menggigil karena terlalu banyak memeluk hujan.
Masa-masa bercengkrama dengan hujan, menjadikannya sahabat dan wahana permainan tidak bertahan lama saat aku mencium aroma yang membawaku kembali ke masa-masa remaja. Kini hujan tidak lagi kuanggap sebagai teman permainan. Kedatangannya tak melulu menjadi inspirasi senyuman. Hujan hanya sebatas alasan untuk mengakrabkan diri dengan sahabat di dalam masjid sekolah. Bersenda gurau dan menghangatkan diri dengan canda tawa atas kekonyolan-kekonyolan manusia-manusia yang beranjak dewasa.
Petrichor. Aromamu menerbangkan khayalku dalam pergulatan kisah yang lebih jauh. Saat jatuh cinta,saat bertemu calon mertua, saat bersama sang teman hidup. Kini, aromamu akan membawa kami menanti kehadiran sang buah hati.
Petrichor. Hadirmu sangat berarti.
Antara Istri, Sahabat dan Cacar Air
Oktober 24, 2014 § 2 Komentar
Satu minggu kemarin gue berkenalan dengan penyakit bernama Varicella Simplex. Keren kan nama penyakitnya?. Dalam Bahasa Indonesia, penyakit menular tersebut dikenal dengan cacar air. Yaelah keren banget penyakit lo!.
Gue ga tahu apa hubungan antara cacar air dan cacar handika (itu caca). Ah bodo Amat. Pokoknya hidup gue menderita pas didiagnosa menderita sakit ini. Badan gue gatel, tenggorokan sakit, belom gajian. Kombinasi yang pas. Ditambah lagi gue harus makan-makan sendiri, cuci baju sendiri, tidur pun sendiri. Persis lagu si Cacar Handika itu.
Gue memang pelupa level kecamatan. Gue lupa kalo di Bandung ada seorang wanita yang siap menampung dan merawat gue selama sakit. Yes, dia adalah Sang Istri Tercinta… Kampret, sama bini aja lo bisa lupa. *Becanda yang*. Dan di tengah badan yang mulai dipenuhi oleh bentol bentol berisi oncom. Woi, itu cacar bukan comro. Gue pun menuju Bandung guna dirawat di sana. Dokter menyarankan gue untuk beristirahat selama paling tidak satu pekan.
Sebenernya gue ga enak harus ninggalin kantor dengan tugas yang menumpuk. Tapi bagaimana lagi. Daripada penyakit ini menular ke mereka yang belom pernah terjangkiti. Karena Virus Varicella-Zoster penyebab cacar air dapat menular melalui interaksi dengan penderita melalui sentuhan bahkan udara. Hal inilah yang dikhawatirkan akan terjadi kalo gue memaksa untuk masuk kantor.
Cacar air yang gue derita adalah warisan dari adik ipar gue yang terjangkiti virus tersebut sepekan sebelumnya. Gue yang awalnya sehat dan tidak menunjukkan gejala sakit apa pun, tiba tiba demam dan sukar menelan makanan apalagi saat gue nelen kulit duren. Saat bangun tidur, di tubuh gue banyak bintil-bintil. Terus kedua taring gue tumbuh lebih panjang dari biasa. Padahal gue ga ikutan casting sinetron ganteng-ganteng ngepet.
Setibanya di Bandung, gue langsung istirahat penuh. Semua obat yang diberikan oleh dokter langsung saja gue minum. Gue pake jaket dan tidur dengan lelap. Besok paginya, badan gue mandi keringat sebagai efek dari obat Asiklovir sebagai pembunuh virus yang juga bertindak sebagai antibiotik. Walau badan penuh keringat tapi istri gue bersikeras kalo penderita cacar air TIDAK DIPERBOLEHKAN MANDI. Itu berdasarkan pengalaman nyonya saat dia terkena cacar air zaman SMP dulu. Perilaku yang sama juga diterapkan ke adik ipar gue. Mandi hanya dianggap akan memperbanyak bintil di tubuh.
Oke, gue anak bawang. Gue ngikut aja petunjuk praktis dari sang istri daripada harus tidur di luar rumah.
Berbekal rasa penasaran yang tinggi, gue langsung berdiskusi dengan sohib SMA yang mengambil kuliah di jurusan kedokteran. Dalam kondisi seperti ini, gue merasa memiliki banyak teman adalah sebuah keberkahan tersendiri. Mempunyai sahabat dengan spektrum latar belakang yang sangat bervariasi memberikan kita sebuah akses dan kemudahan untuk mengatasai masalah-masalah yang tengah dihadapi. Contohnya saja pas gue tanyain tentang penyakit cacar ini, mereka memberikan masukan-masukan tersebut sangat bermanfaat. Ada yang menganjurkan gue harus mandi dengan air hangat dicampur dengan cairan ‘PK’ atau sabun antiseptik. Yang lain memberikan informasi bahwa ibu hamil yang belom pernah terkena cacar akan cukup rawan ke janinnya jika berinteraksi langsung dengan penderita, hingga berkonsultasi masalah obat yang diberikan oleh dokter umum. Ada juga sih yang menyarankan gue mandi kembang tengah malam. #NowPlaying -Mandi Kembang (Cacar Handika)-.
Wait, Kenapa jadi Caca Handika lagi???
Well, coba lo bayangin. Kalo harus mendatangi dokter umum, paling tidak gue sudah harus membayar 150 ribu untuk konsultasi tersebut. Dan gue, menanyakan tiga orang dokter tanpa biaya sepeser pun. Ah, benarlah jika kita seharusnya memang harus memperpanjang tali silaturahim. Bukan sekali ini saja gue berkonsultasi masalah kesehatan dengan temen-temen dokter. Acapkali gue berkesempatan untuk bertanya-tanya masalah medis hingga jodoh. Ehhhh..
Bahagia jika kita bisa mempunyai sahabat dari ragam latar belakang mulai dari dokter, arsitek, polisi, analis, rampok (?). Dengan demikian kita bisa saling menunjang kebutuhan masing-masing.
Dan rasa syukur terbesar yang harus gue panjatkan selain kepada Allah dan Nabi Muhammad serta orang tua adalah keberadaan Istri Tercinta yang sangat penyabar (bukan buat dibaca oleh jomblo). Istri gue dengan sigap merawat gue mulai dari nyiapin makanan, bantuin nyari dokter kulit sampe milihin jilbab yang harus gue pake. KEBALIK WOI. EH iya!!
Di tengah kehamilannya yang enam bulan, ia masih begitu gesit merapihkan rumah dan merawat gue. I LOVE YOU HONEY. Terkadang dia juga tepar karena kelelahan. Istri shalihah bener-bener anugerah terindah yang dikaruniai Tuhan kepada kita. Masih lekat dalam ingatan gue gimana rasanya menjalani sakit di saat masih sendiri dulu. Di dalam kamar 3×4 m, gue menderita sakit gejala tipes. Ah, gue hanya bisa diam tergolek tanpa ada tenaga. ‘Mati juga ga bakalan ada yang tau’ piker gue dulu.
Mungkin salah satu keberkahan orang-orang yang sudah menikah adalah adanya perhatian dari suami/istri untuk merawat dan menjaga kita. Fase yang dulu saat kita kecil dapat diproleh dari kasih sayang ayah dan ibu yang mulai memudar saat kita tumbuh dewasa. Bukan kasih sayang ortu yang teralineasi namun wujud syukur kita sebagai seorang anak yang mulai menafikan cinta tersebut.
Saat gue menuliskan kisah ini, badan gue masih dipenuhi oleh ruam ruam merah yang cukup gatal. Tapi menurut dokter, penderita tidak boleh menggaruk ruam tersebut karena akan meninggalkan luka yang bisa terjangkiti infeksi sekunder. Luka tersebut tidak bisa hilang dan membekas di kulit kita. Sama seperti ingatan kalian tentang mantan…..tsahhh. Kayak gue pernah pacaran aja. Hih!.
Gue sebenernya kasihan kalo sampe ada harimau yang terkena cacar air. Kalo dibiarin gatel, digaruk bukan cuma cacar yang ilang tapi juga kulit beserta dagingnya.
Yang paling penting adalah jaga imunitas tubuh dengan banyak mengkonsumsi vitamin C dan jangan banyak beraktifitas. Saran gue, sebaiknya bagi mereka yang belum terkena cacar agar segera terjangkiti saja. Karena semakin bertambah usia biologis seseorang maka penyakit cacar ini akan semakin kompleks. FYI, Ustad Buya HAMKA juga terkena cacar air hingga menyebabkan banyak bekas di wajahnya.
Demikianlah ngalor ngidul gue tentang cacar air.
Disclaimer : Gambar di atas diambil dari web ini
Tapi itu gambar ‘pacar air’ bukan ‘cacar air’ (-__-)’
Kisah Satu Pekan
Oktober 15, 2014 § 2 Komentar
‘Distance means so little when someone means so much’
Adalah lumrah ketika dua manusia dalam suatu ikatan pernikahan menghabiskan waktu berdua dengan berjalan beriringan, merapatkan jemari saling berpegangan hingga kemudian salah seorang dari mereka terlelap dan merebahkan kepala ke atas pundak seorang lainnya.
Adalah biasa saat kita berharap berbagi cerita dengan mereka yang tercinta setiap malamnya dalam temaram yang diselingi saut-sautan jangkrik disusul parodi kerlap kerlip cahaya kunang-kunang yang berpendar. Sayup sayup kita meramalkan akan apa yang terjadi pada dunia esok hari, bagaimana hasil pertandingan sepakbola antara Indonesia melawan Australia. Mungkin pula kau bercerita apa menu sarapan esok yang harus kusantap.
Boleh jadi hari ini kau berharap semua keindahan yang sama. Saat mata dapat saling bertatap dan raga begitu dekat tanpa perlu dihantui apakah besok adalah hari kerja. Kita mungkin terperangkap dalam sebuah situasi yang tidak memberikan keleluasaan untuk bercengkrama setiap hari. Namun kita mencoba menarik kesimpulan laksana ucapan orang-orang bijak yang termuat dalam kitab yang kita percaya bahwa ‘semua ada hikmahnya’.
Hari ini kita terpaksa menunda sajak yang telah dianggit dari setiap kata yang kau rencanakan untuk dibaca bersama. Ini hari senin. Masih ada empat hari lagi yang sengaja dibentangkan oleh dimensi bernama ‘ruang’ yang membuat jumlah pertemuan kita terbatas dalam satu pekan. Namun ‘waktu’ mencoba berbaik hati. Ia, selalu berjalan lebih cepat daripada apa yang kita kira. Setiap akhir minggu kita masih bisa menyusun agenda-agenda bersama mulai dari menghadiri pernikahan, berjalan tanpa arah , bersantai sambil bercerita di kedai kopi dengan segelas mocchacino dan wafel kesukaanmu. Ah iya, aku tak pernah perduli bahkan saat sadar bahwa kau tidak bisa berkompromi dengan kopi. Asamnya terlalu kuat untuk ditanggung oleh lambungmu. Kita juga menghabiskan sisa-sisa waktu bersama dengan bercanda ala remaja yang sedang di mabuk asmara.
Jarak yang memisahkan bukan menjadi sebuah halangan yang sanggup meluluhlantakkan indahnya pernikahan, bukan?. Boleh jadi kita terpisah oleh jarak ratusan kilometer, tapi bukankah udara yang kita hisap adalah udara yang sama. Rasi bintang orion yang kita pandang jua tetap serupa.
Tak ada sebuah ujian perpisahan yang lebih pedih dari seorang Hajar ketika ia harus ditinggal Ibrahim saat ismail, anak yang dinanti selama 70 tahun lamanya, baru saja lahir. Hajar harus menerima kenyataan harus berpisah dengan suami tercinta. Berat rasanya ditinggal oleh orang terkasih saat sang bayi masih merah. Tapi karena cinta jua, ia merelakan Ibrahim melangkah pergi. Jarak yang membentang antara Jakarta-Bandung bukanlah sebuah angka yang berarti jika kita melihat perjuangan bapak para nabi. Mereka terpisah Mekkah-Syam. Waktu itu Wright bersaudara belum bersepakat untuk membuat pesawat terbang pertama.
Hari ini masih selasa, masih ada tiga hari lagi untuk menjumpai sabtu pagi. Kita mulai terbiasa berbagi cerita melalui perangkat komunikasi yang ada. Untungnya tidak diperlukan secarik kertas dengan bubuhan alamat dan perangko yang diselipkan di atas amplop. Tapi sadarkah engkau, surat yang didasari cinta seorang istri atas sang suami atau sebaliknya adalah seindah-indah pesan yang pernah disampaikan. Ia mungkin tak dihiasi oleh emoticon-emoticon lucu namun setiap goresan pulpen dalam simfoni kata-kata justru mewakili sedalam dalamnya perasaan. Apa daya, kita hanyalah manusia yang tunduk pada teknologi.
Kita bisa membunuh waktu dengan melahirkan imaji dari kata-kata yang disisipkan ekspresi dalam setiap tekanan intonasi, diksi dan canda-canda melalui perangkat komunikasi. Aku senantiasa menanyakan bagaimana kuliahmu, apa kabar si jagoan, apa ia masih sibuk dengan keaktifannya di dalam rahim, bagaimana dengan makanan dan obat yang harus kau konsumsi serta apa yang terjadi hari itu. Iya benar. Pertanyaanku baku. Bahkan sepertinya pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat direkam dan diputar kembali setiap kali kita berbincang melalui telepon. Tapi kau selalu penuh semangat menjawab setiap retorika pertanyaan yang aku ucapkan.
Hari pun berganti rabu. Namun nampak mendung sedikit merundung. Kau tak berkabar sedikitpun. Aku pun mencoba menyapa. ‘Sedang banyak kuliah’ ujarmu. Aku mencoba memahami bahwa cinta itu berarti saling mengerti. Aku sadar bahwa bagi seorang pencinta, misinya adalah memberi. Memberi perhatian, memberikan segenap usaha dan hati bagi mereka yang dicinta. Karena cinta, sebut Anis Matta, adalah kata kerja sehingga kita akan mengupayakan semua kerja untuk mereka yang dicinta.
Tidak seperti kemarin. Pagi ini kau sudah menyapa dengan prosa. Aku rasa itu sudah cukup untuk membuat hariku lebih ceria. Melalui whatsapp kau pun berbagi kisah perjuangan nabi, aktifitas dawahmu yang tak kenal lelah, serta tausiyah-tausiyah dari para asatidz. Kamis terasa cepat saat kemudian aku terlelap dan berjumpa dengan jumat pagi. Bergegas waktu terasa melesat kencang. Tanpa disadari ia telah berganti malam.
Jumat malam selalu berbeda. Ia adalah saat di mana pekatnya langit memancarkan binar semangat yang akan menuntunku melepaskan penat dari padatnya ibu kota menuju sejuknya kota bunga. Travel yang senantiasa menanti di pool keberangkatan nampak lebih indah daripada kereta kencana bahkan lebih gagah daripada kuda asli eropa milik salah seorang mantan calon kepala camat di negeri ini. Ia melesat di antara himpitan truk-truk pembawa muatan yang akan berlabuh di pabrik-pabrik di sekitaran Cikarang.
Saat tiba di rumah, kau biasanya memasang senyum termanis yang membuat para bidadari cemburu. Kau menungguku sambil terkantuk-kantuk. Dalam sujud panjang di sepertiga malam terakhir, kita bermunajat dengan syahdu atas segala kenikmatan yang telah dianugerahi. Kita pun berharap keberkahan atas apa apa yang Ia berikan karena sebaik-baik nikmat adalah yang diberkahi oleh Nya.
Kita berharap sabtu hari ini berjalan lebih lambat agar tak terburu-buru berganti ahad. Kita benci ahad, lebih-lebih ahad sore karena ia dengan pongah merenggut semua kebersamaan kita. Tapi kita sadar bahwa menikmati waktu terbaik bukan dengan menghabiskan hari-hari panjang bersama namun bagaimana waktu yang sedikit dapat ditafakuri menjadi sebuah kesyukuran atas kesempatan untuk masih bisa kembali dipertemukan dalam kerangka cinta dan ibadah. Karena di luar sana, pertemuan fisik bukanlah jaminan kebahagiaan.
Hari ini kita masih bermunajat sendiri dalam bilik kamar dan di atas hamparan sajadah masing-masing. Sesekali aku juga merasakan kesepian yang menggelayuti. Tapi itulah uji keimanan. Tuhan tidak pernah menyia-nyiakan hambanya yang berserah diri. Dan kini, mungkin kita tengah diuji dalam sekat jarak. Tapi kau harus selalu ingat bahwa tidak ada jarak atas sebuah doa. Ia terbang tinggi melayang-layang di angkasa. Berselip-selip di antara jutaan doa yang tiap harinya dipanjatkan oleh mereka yang memupuk rindu sama sepertimu, sepertiku.
Jika kau merindukanku dalam harimu. Pejamkan mata dan selipkan doa terindah untuk segala kebaikan dan keberkahan atas kita.
*Ditulis di dalam kamar kontrakan sambil menikmati momen ‘pacaran’ jarak jauh dengan istri*
Sumber gambar dari sini
Cerita di Balik Sebuah Foto
Agustus 24, 2014 § 2 Komentar
Berterimakasihlah pada Frans Mendoer (Mendur). Berkat Hasil jepretannya, kita setiap tahun masih dapat menyaksikan detik-detik bersejarah proklamasi kemerdekaan 1945. Frans bersama sang kakak, Alex, adalah juru foto yang bertepatan hadir pada momen di mana Bung Karno membebaskan Indonesia dari penjajahan selama bertahun-tahun. Sial bagi Alex, semua hasil dokumentasinya dirampas dan dihancurkan oleh tentara Jepang. Untungnya negatif foto hasil bidikan Frans disimpan di sebuah pohon di halaman kantor harian Asia Raya. Setelah Jepang pergi, negatif tersebut dipublikasi secara luas hingga kita bisa menikmatinya sampai sekarang.
Banyak momen penting lain yang sengaja diabadikan untuk mengenang sebuah peristiwa. Terkadang foto bercerita lebih banyak daripada kata-kata. Ia bahkan mampu mewakili sebuah sejarah. Maju sedikit ke tahun 1989, kita terbelakak oleh aksi berani seorang pria yang menghadang konvoi tank di dekat Tiananmen Square, Beijing. Foto tersebut mendapatkan perhatian yang sangat luas dari penduduk dunia. Pria tersebut sekarang melegenda dengan sematan “Tank Man”.
Gue ga akan bercerita tentang foto-foto lainnya karena blog ini bukan on the spot. Yang ingin gue tekankan adalah setiap foto yang kalian dokumentasikan mengandung ceritanya sendiri. Buat gue, Sebagian foto adalah sumber inspirasi. Gue terinspirasi memasang foto selfie gue di dapur dan loteng. Diharapkan hasilnya Lebih bagus untuk mengusir tikus, nyamuk dan kecoa daripada racun serangga komersial walaupun ga perlu bayar lebih mahal.
Foto-foto yang terdokumentasikan dalam setiap perangkat, ada baiknya dimanfaatkan untuk peristiwa yang bersejarah dalam hidup kalian. Sebelum hari-H pernikahan, gue berusaha membuat video dari foto-foto perjalanan gue dan istri. Video tersebut rencancanya diputar pada saat hari pernikahan dengan memanfaatkan salah satu layar di sudut gedung. Well, pembuatan video tersebut cukup menyita waktu. Selain harus memilah foto yang akan digunakan, mencari aplikasi yang cukup menunjang pembuatan video dari foto tidak semudah yang gue bayangkan sebelumnya. Walau memang tidak harus bayar lebih mahal. Oi, tadi udah dibahas.
Dari segenap foto yang ada, terpapar sebuah benang merah bahwa gue dan istri memang memiliki hobi jalan-jalan. Dia sangat menyukai pantai dan saya menambahkan gunung dalam destinasi perjalanan.
Untuk mengenang video tersebut, gue secara sengaja mempersembahkannya kembali ke dalam blog ini
Yang tak Berubah
Agustus 12, 2014 § 1 Komentar
Ada hal-hal yang tak berubah seiring menuanya usia bumi. Ia tetap bertahan dalam posisinya. Terkadang siklus kehidupan mengikis dimensi fisiknya namun secara makna ia rigid. Jauh lebih stabil daripada artis yang suka lepas-pasang jilbab. Idul fitri kemarin menjadi saksi bagaimana ‘kekekalan’ tersebut berlaku. Bukan hanya termodinamika saja yang boleh memiliki hukum kekekalan. Beberapa hal ini juga ‘kekal’ setidaknya buat gue.
Dari tahun 2003, kekonyolan yang dibalut dengan rasa persahabatan yang lebih kental daripada kuah mie sedap kari ayam selalu menyelimuti pertemuan bersama teman-teman sekolah menengah atas. Katanya sih persahabatan tak mengenal usia. Tak perduli seberapa cepat waktu bergulir, segala kegilaan bersama sohib SMA adalah salah satu momen yang mengabadi. Bayangkan saja mulai dari hari-hari yang diisi wajah culun berseragam abu hingga sebagian sudah menikah dan membawa bayi, tingkah laku manusia-manusia pada gambar di atas tak berubah. Yang jayus tetap jayus. Yang heboh masih sama. Ya, karena bagi kami usia hanyalah angka angka yang berderet. Bertambahnya usia tak mengubah perilaku sosok yang pernah hadir setiap senin-jumat selama 3 tahun.
Selain momen bersama sahabat, kehangatan berkumpul bersama keluarga juga tak pernah berubah. Setiap tahun berkumpul bersama keluarga dalam momen idul fitri menjadi energi tersendiri untuk menapaktilasi kisah masa kecil, melihat tumbuh kembang keponakan dan canda-tawa renyah bersama ibu dan kakak-kakak diselingi tangis dan riuh rendah bocah-bocah yang bersautan.
Tahun ini kami tak bersama dengan ayah. Beliau selaku kepala keluarga yang senantiasa memimpin ‘seremoni’ idul fitri setiap tahunnya harus menghadap Allah terlebih dahulu. Kehadiran istri saya dalam keluarga besar kami semoga menjadi pelipur lara untuk menutupi kehilangan sosok sang jagoan pertama.
Keluarga dan sahabat adalah dua faktor yang menjadi magnet untuk selalu ingin kembali ke kampung halaman. Kehadiran mereka menjadi hawa dingin untuk menyejukkan teriknya Kota Palembang. Alhamdulillah gue ga butuh adem sari kalo begini.
Satu hal lagi yang tak berubah selama idul fitri adalah THR. Ssst.. Suka tidak suka, sadar tidak sadar, para kurcaci itu akan menghantui lo dengan todongan dan rengekan
‘Om, THRnya mana?’