1 Bulan Afnan
November 3, 2016 § Tinggalkan komentar
Sudah sebulan sejak anak kedua kami, Afnan, menangis dengan keras untuk pertama kalinya. Hari-hari awal dalam kehidupan Afnan menyisakan banyak cerita.
Afnan mengalami kesulitan minum ASI sehingga menyebabkan berat badannya menurun drastis beberapa hari setelah kelahiran. Meskipun begitu Afnan tidak ‘menguning ‘seperti halnya sang kakak. Fenomena menguning pada anak memang hal lumrah yang terjadi. Dulu kami sempat panik karena satu minggu setelah keluar dari rumah sakit, hasil laboratorium menunjukkan bahwa kadar bilirubin Alby masih cukup tinggi sehingga harus dirawat beberapa hari. Sebagai orang tua baru, kami sangat gagap dan panik menghadapi keadaan tersebut. Untungnya kali ini kami tidak harus menghadapi keadaan serupa.
Di usia satu bulan kami mendapati Afnan tumbuh layaknya bayi pada umumnya. Dengan memperkecil ruang lingkup, kami serta merta ‘membandingkan’ bagaimana tumbuh kembang Afnan dengan menjadikan sang kakak, Alby sebagai referensi. Tidak hanya perihal tumbuh kembang namun juga kebiasaan dan perilaku di awal kehidupan mereka.
Pada beberapa hal, Afnan terlihat cukup berbeda dengan Alby. Secara fisik mereka bisa dikatakan tidak mirip. Meskipun terlalu dini memprediksi fisik seorang anak berdasarkan penampakan bayinya. Coba saja tengok gimana transformasi Aurel dari bayi, balita, hingga menginjak usia remajanya. Beda Angeeet.
Bentuk muka Afnan lebih ‘sumatra’ ketimbang Alby yang ‘nyunda’. Afnan sangat mirip muka sepupu-sepupu dari garis keluarga sang ayah (gue maksudnya). Ia mirip Akbar, Fathia, Muthia dan sepupu-sepupu yang ada di Palembang. Sementara Alby semakin besar semakin mirip dengan sang nenek dari garis ibu. Sejauh ini keduanya memang tidak mewarisi fenotip dari gue maupun emak-nya. Hiks.
Secara fisik Afnan nampak tegas dan jauh dari kesan ambiguitas. Maksudnya sesiapa yang pertama kali melihat pasti ngeh kalo Afnan adalah bayi laki-laki. Beda halnya dengan Alby yang sangat sering disangka anak perempuan.
Alby termasuk anak yang sensitif dengan kulit dan pencernaan. Sedari lahir mukanya acap kali bermasalah. Ditambah dengan kebiasaannya mencakar-cakar muka dengan kuku yang tumbuh belum seberapa. Untungnya Alby adalah anak manusia tulen. Coba kalo misalkan dia anak mutan macem X-Men. Lebih-lebih anaknya Logan. Kebayang tuh nyakar muka pake cakar adamantium.
Belum lagi kelenjar air mata yang belum berfungsi sempurna sehingga saban hari harus dirangsang dengan pijatan untuk menghindari belek yang datang silih berganti. Pusernya pun sempat bermasalah. Beberapa saat setelah puput sisa kulit di puser Alby belum bersih sempurna sehingga harus disempurnakan dengan separuh agama. . . Pusernya harus diolesi dengan Albotyl. Yes, Albotyl yang perihnya lebih-lebih daripada ditinggal kawin oleh mantan.
Untuk perilaku keseharian, Afnan relatif tidak rewel. Dia hanya merengek mana kala lapar, dan tidak sepanjang malam. Pun jika harus terjaga maka ia akan bermain sendiri tanpa perlu melibatkan ibunya. Sebuah kondisi yang setidak-tidaknya membuat sang ibu bisa lebih banyak ber-istirahat.
Di satu bulan pertamanya Afnan relatif lebih aman dari semua keluhan di atas. Tentu gue tidak berusaha membanding-bandingkan an sich antara Alby dengan Afnan karena pada dasarnya semua anak berbeda dan unik. Sebagai anak kedua, kami lebih memiliki persiapan untuk mengurus Afnan. Dibandingkan Alby yang mana pengetahuan kami tentang mengurus anak masih terbatas. Sehingga banyak variabel yang menentukan perbedaan fisik dan psikologis keduanya.
Lepas satu bulan Afnan diharuskan kontrol untuk mengevaluasi pertumbuhan serta menerima jatah vaksin wajibnya. Grafik pertumbuhan menunjukkan berat Afnan naik sekitar 600-700 gram dari berat lahir. Namun jika ditilik dari berat saat keluar dari rumah sakit maka terjadi peningkatan sekitar 1 kg. Menurut dokter pertambahan berat harus didasarkan pada berat lahir sehingga kenaikan 700 gram masih berada batas bawah angka kenaikan normal berat badan. Karenanya dokter ‘memaksa’ Afnan agar bergerilya minum ASI dengan lebih semangat lagi.
Saat kontrol wajib, dokter berseru bahwa Afnan sudah bisa dilatih tengkurep. Komando tersebut lantas memberikan lampu hijau bagi kami untuk senantiasa memposisikan Alby dengan posisi demikian. Dan di saat Afnan tengkurep lah gue punya kesempatan untuk memegang TOA dan berteriak keras.
“Ayo merayap lebih cepat, kopral”. “Lamban, kamu!”.
Disertai tangis keras Afnan dan omelan bundanya ke telinga gue.
Oh iya, bini gue lagi demen foto-foto Afnan dengan berbagai kostum. Foto di atas diambil dengan peralatan seadanya. Biar mirip-mirip foto bayi yang lagi heitz macam berikut.
Afnan Sakha Avicenna
Oktober 5, 2016 § Tinggalkan komentar
Di era digital, bayi-bayi yang baru lahir ke dunia terbebani dengan nama-nama yang njelimet tidak karuan. Para orang tua berlomba-lomba memberikan nama unik, tidak pasaran dan berbeda daripada generasi sebelumnya. Tulisan di mojok sudah membahas dengan apik perihal betapa rempongnya nama-nama bayi yang lahir belakangan ini.
Beberapa bulan sebelum kelahiran bayi kedua, gue dan istri gencar bergerilya mencari nama yang pas. Patokannya jelas, nama anak kami haruslah berawalan huruf ‘A’ biar kompak dengan tiga penghuni rumah lainnya. Selain itu harus terdiri dari tiga kata biar se-rima dengan anak pertama. Ternyata memilih nama dengan memadu-padankan dua unsur tersebut tidaklah mudah. Langkah pertama yang kami lakukan adalah mencari nama depan yang berawalan ‘A’.
Ada begitu banyak nama anak pria yang berawalan dengan huruf ‘A’. Meskipun hampir setiap referensi tidak pernah lagi merekomendasikan nama-nama ‘konvensional’ semisal Agus, Andi atau Ahmad. Gue dan istri mengerucutkan kandidat-kandidat nama berawalan ‘A’ menjadi beberapa saja. Ada Ahza, Agha, Abyan dan beberapa lainnya. Istri gue tidak bersepakat dengan Agha karena menurutnya penggunaan nama ‘Agha’ sedikit sulit untuk dieja. Sama halnya dengan Abyan. Ia jatuh hati dengan ‘Ahza’.
Saat gue dan anak pertama kami Alby berkeliling perumahan, gue bertemu dengan penghuni baru komplek. Ia tinggal bersama dengan seorang istri dan seorang anak berusia 1,5 tahun. Saat gue tanya siapa nama anak tersebut, bapaknya berkata . . . Ahza!.
Mengetahui hal tersebut, istri gue langsung bersegera mencari nama pengganti. Kami mendapati nama Afnan dan Affan. Nama Affan terlalu melekat pada sosok Usman. Bukan berarti kami tidak mau menjadikan kesalihan dan kedermawanan utsman sebagai contoh. Kami hanya sekedar menyiapkan nama yang unik karena unsur kesalihan yang kami selipkan dalam doa bisa direkayasa pada nama lengkapnya. Jadilah kami memilih ‘Afnan’ sebagai nama depan. Afnan terkesan mudah untuk diucapkan. Afnan diambil dari Bahasa Arab yang berarti tampan.
Lalu untuk kata kedua kami memiliki kendala yang sama. Awalnya gue menyarankan nama ‘Faqih’ yang berarti berwawasan luas. Setelah ditelaah kembali ada baiknya nama tengah anak kedua kami berawalan ‘S’ seperti halnya Alby dengan ‘Shofwan’nya. Entah dapat Ilham dari mana gue tetiba kepikiran nama ‘Sakha’. Mungkin akibat novel ‘Sabtu Bersama Bapak’ di mana salah seorang tokohnya dinamai dengan Sakha. Gue juga sempat kagum dengan pemain Arsenal, Granit Xhaka. Selain karena permainannya yang ciamik namanya pun oke.
Sakha berarti dermawan. Gue berharap anak gue kelak menjadi anak yang menyantuni orang lain. Ya, mengikuti jejak Usman bin Affan dalam hal memposisikan harta.
Wajib kami akui bahwa penamaan Alby menjadi patron untuk nama anak berikutnya. Jika kami dulu memberikan Moissani pada Alby maka kata terakhir untuk anak kedua gue harus terdiri dari empat suku. Akan tetapi mencari nama berawalan huruf ‘M’ dan terdiri dari empat suku kata tidaklah mudah. Akhirnya kami berkesimpulan bahwa kata terakhirnya cukup memenuhi syarat jumlah suku kata. Setelah tetap mentok karena tidak menemukan pilihan yang pas, gue menyarankan ‘Avicenna’ sebagai kata terakhir.
Telah kita ketahui bersama bahwa Avicenna adalah sebutan oleh orang eropa untuk Ibnu Sina, bapak kedokteran islam yang kitabnya pernah menjadi rujukan kedokteran hingga abad ke-19. Ibnu Sina terkenal dengan kecerdasannya yang mendunia. Patut disadari bahwa kehidupan Ibnu Sina tidak lepas dari kontroversi. Imam Ghazali bahkan pernah ‘menyerang’ pemikiran filsafat Ibnu Sina dalam Tahafut al-falasifah. Gue, sejatinya, berniat mengadopsi semangat, ketekunan dan inteligensia seorang ibnu sina sahaja. Sementara unsur-unsur kontroversi seorang Ibnu Sina sebisa mungkin menjauh dari orbit kehidupan Afnan.
Jadi demikianlah asal-usul nama anak kedua kami, Afnan Sakha Avicenna. Semoga kelak Afnan menjadi anak yang tidak hanya menarik secara fisik namun juga memiliki nilai-nilai keluhuran budi juga kecerdasan yang bermanfaat untuk sesama juga memiliki kedermawanan serta zuhud dalam memandang dan memperlakukan harta.
Sehat-sehat terus ya dedek Afnan biar bisa main bareng kakak Alby.
A yang Keempat
September 29, 2016 § 4 Komentar
Gue mesti berterima kasih kepada Vina Panduwinata. Vina, seperti halnya Armand Maulana, telah memberikan semangat kebahagiaan dan kasih sayang pada bulan-bulan yang mereka jadikan sebagai tembang. Seturut terimakasih kasih juga tersampaikan pada Sapardi Djoko Darmono karena telah menyusun ‘Hujan Bulan Juni’ dengan sangat apik. Khusus untuk Vina, lagu September Ceria nya menjadi backsound yang tepat buat gue dan keluarga karena pada 22 September 2016 jam 08:28, anak kedua kami lahir dengan sehat wal-afi’at.
Sebuah kebahagiaan lagi untuk saya dan istri untuk diamanahi Putra kedua setelah 20 bulan sebelumnya kehidupan kami dilengkapi oleh kehadiran Alby. Kini rumah kecil kami akan kembali diramaikan oleh tangis bayi. Malam-malam gue, oopss.. Malam-malam istri gue, maksudnya (gue cuma kebagian pas wiken doang) akan kembali gaduh.
Selamat kembali menjadi manusia nokturnal, sayang.
Untuk merekam memori detik-detik proses persalinan, gue akan mengulasnya dengan rincian sebagai berikut.
22 September 2016, 03:30 WIB
Gue terbangun dari tidur lalu menuju kamar mandi untuk menunaikan hajat. Saat sedang khusyu’ ponsel gue berdering. Ternyata dari bini gue. Gue curiga ia akan segera lahiran karena belom pernah ada riwayatnya bini gue nelpon se-pagi itu. Telkomsel malah lebih perhatian. Subuh-subuh aja mereka ngirim SMS.
Gue telepon balik dan benar saja ia sudah pembukaan tiga dan tengah menunggu pembukaan berikutnya di rumah sakit.
05:30 WIB
Gue menuju Bandung menggunakan travel dengan keberangkatan paling awal. Tak lupa gue terus menelepon istri guna menanyakan kondisinya. Ia bilang bahwa mulesnya semakin menjadi. Namun belum diperiksa oleh dokter kandungan.
06:00 WIB
Bukaan lima!
Dokter kandungan menjelaskan bahwa sang anak mungkin lahir sekitar jam 10 atau 11 pagi. Gue merasa tenang karena dengan asumsi perjalanan Bintaro-Bandung memakan waktu paling lama 3 sampai 4 jam maka gue bisa tiba sebelum proses melahirkan. Gue merasa menjadi ayah terkutuk jika tiba tidak tepat pada waktunya.
06: 30 WIB
Jadwal Spongebob di Global TV
*ngapain lo tulis*
06:40 WIB
Masih bukaan lima. Bawel, lo.
07:00 WIB
Istri gue sudah berada di ruang persalinan. Nampaknya pembukaan jalan keluar bayi sudah semakin besar. Kontraksi semakin menjadi. Gue tidak bisa membantu apa-apa selain doa. Andai bisa, biarkan rasa sakit itu berpindah ke tubuh Jessica. Iya, Jessica yang sidang pembunuhannya tiap hari tayang di tivi. Biar Jessica merasakan bagaimana sakitnya empat puluh tulang dipatahkan sekaligus. Biar tidak ada lagi sidang-sidang nista itu.
08:00 WIB
Gue tiba di Bandung. Dan segera saja menuju ke rumah sakit. Ternyata dokter salah perkiraan. Proses persalinan yang diprediksi pukul 10.00 WIB ternyata meleset. Dedek bayi nya pengen keluar lebih cepat dan mematahkan asumsi dan perkiraan-perkiraan manusia. Istri gue tengah berupaya dengan sekuat tenaga untuk mendorong bayi keluar. Gue di sampingnya untuk membantu menguatkan dan memberikan semangat serta doa agar proses persalinan tersebut dimudahkan.
Sejujurnya proses persalinan kedua ini meninggalkan sedikit rasa khawatir, takut, cemas akan keselamatan ibu dan bayinya. Meskipun memang tidak se-intens saat menanti kelahiran Putra pertama.
Dokter dan perawat yang empat orang terus memberikan aba-aba kapan harus mendorong, kapan harus menarik napas, kapan harus menghembuskan nafas. Mereka terus mengarahkan agar pandangan sang ibu terus tertuju ke arah tempat keluarnya bayi agar sang ibu tidak teralihkan oleh hal-hal lain. Toko on-line misalnya.
08:28 WIB
Terdengar tangisan bayi yang pecah. Anak kedua kami, Alhamdulillah, terlahir dengan selamat. Begitu pun ibunya. Proses persalinannya terlihat lancar jaya. Perawat tidak perlu naik ke atas ranjang dan bersanggah pada dinding guna mendorong bayi keluar dari perut seperti pada proses persalinan pertama.
Anak kedua kami lahir dengan berat badan 3380 gram dengan panjang 48 cm. Ia terlihat gemuk dengan pipi yang cubit-able. Namun seperti Alby, anak kedua kami sepintas tidak mencetak fenotip ayah maupun ibunya. Ia terlihat seperti bayi oriental dengan mata yang agak sipit.
Usai Adzan di telingan kanan dan iqomah di telinga kiri, bayi tersebut kemudian didekatkan kepada sang ibu untuk proses IMD. Penting untuk bayi yang baru lahir, terlebih melalui proses persalinan dengan operasi, untuk mendapatkan inisiasi menyusui dini selama 1 jam pertama kehidupan bayi, menurut rekomendasi WHO.
Bayi lucu yang kini menjadi anggota keempat dalam keluarga kami diberi nama dengan inisial ‘A’ untuk melengkapi tiga A yang sudah terlebih dahulu hadir. Ia dinamai dengan Afnan Sakha Avicenna. Makna dari nama tersebut akan diurai pada tulisan lainnya. Yang jelas terselip doa sebesar-besarnya agar Afnan menjadi anak sholih, penyejuk mata dan hati kedua orang tua.
Welcome to the club, pal.
Kala Alby Sakit
September 16, 2016 § Tinggalkan komentar
Di suatu siang ponsel gue bergetar hebat. Terpampang nama “mon amour” panggilan gue untuk istri. Di ujung telepon istri gue berucap dengan suara parau
“Yah, aku hapal Mars Perindo”
“Terus?” sambung gue
“Dengan not baloknya”
Bangke!!
Istri gue terisak berseru bahwa Alby tengah demam tinggi. Mulanya gue bersikap tenang mengingat bukan sekali dua Alby panas hingga nyaris 40°C. Namun ketika dipertegas dengan keadaan Alby yang sempat step alias kejang akibat demam yang ekstrim, gue tercekat. Istri gue melanjutkan bahwa sejak pagi Alby demam lalu tiba-tiba saat hendak tidur siang, matanya melotot melihat tagihan listrik dan mulutnya mengeluarkan buih. Tapi, lanjut bini gue, Alby tidak meraung-raung seperti macan layaknya acara pemburu hantu di stasiun TV swasta.
Gue makin panik karena yakin bahwa Alby tidak sedang syuting.
Tidak menunggu lama, Alby dibawa ke rumah sakit terdekat. Istri gue sangat panik melihat Alby yang kejang sepanjang perjalanan. Baru pertama kali kami mendapati kondisi seperti ini. Istri gue menambahkan bahwa Alby langsung ditempatkan di unit gawat darurat.
Lepas maghrib gue tiba di Bandung dan bersegera menuju rumah sakit. Miris. Itu kata pertama yang berada di otak gue saat menyaksikan bagaimana kondisi UGD di rumah sakit tempat Alby dirawat. Pasien berserakan. Sebagian tidak mendapatkan partisi ruangan.
Kondisi Alby tidak lebih baik. Di tengah penuh sesaknya ruangan berisi pasien dengan segala jenis penyakit, Alby terbaring lemah dengan tusukan infus di lengan kiri. Ia nampak begitu tak berdaya.
Istri gue menjelaskan bahwa selain panasnya yang mencapai 41°C, Alby juga mengalami diare akut. Infus yang tertanam di lengannya adalah tusukan kesekian setelah beberapa kali percobaan. Pelayanan di rumah sakit tersebut tidak mumpuni. Jumlah pasien sangat tidak sebanding dengan dokter maupun perawat.
Rumah sakit pemerintah nampaknya harus berpuas diri memberikan pelayanan se-ala kadarnya mengingat sebagian besar pasien tidak dijamin oleh asuransi-asuransi swasta juga tidak berasal dari kalangan berada. Mentok-mentoknya dijamin oleh BPJS. Gue pun tak mampu menyalahkan pelayanan minim demikian mengingat banyaknya keterbatasan rumah sakit. Gue berkesimpulan bahwa orang miskin memang tidak boleh sakit. Kalo mau sakit maka berpuaslah dengan pelayanan apa adanya.
Tidak tahan melihat keadaan Alby yang nampak tidak membaik, kami memutuskan untuk memindahkan perawatan ke rumah sakit tempat Alby dilahirkan. Mengingat dokter spesialis anak (DSA) langganan kami pun berada di lokasi yang sama. Saat hendak transfer rumah sakit kami menghadapi kendala lainnya. Pihak rumah sakit tempat Alby dirawat memberikan informasi berbeda terkait dengan proses transfer pasisen. Dokter yang kami tanyai menyatakan bahwa tidak ada ambulans untuk keperluan tersebut. Sementara bagian administrasi menyatakan sebaliknya. Setelah ngotot-ngototan dengan pihak rumah sakit kami akhirnya diperbolehkan menggunakan ambulans untuk memindahkan Alby.
Pindah Rumah Sakit
Alby langsung ditangani oleh suster setempat. Ia masih nampak lemes. Mencretnya tidak berkurang. Pospak yang sebungkus isi 24 habis dalam sehari semalem. Di RSIA ini, jarum infus pun masih tidak bersahabat. Lebih kurang 14 tusukan mampir ke lengan hingga kakinya. Nadi yang kecil ditambah rapuh akibat panas terlalu tinggi membuat suster kesulitan. Jadilah, semua obat harus diminum dengan menggunakan media pipet.
Untungnya Alby masih suka susu sehingga cairan tubuhnya tidak terkuras secara dramatis. Susu pun harus diganti dengan yang non-laktosa untuk mengurangi resiko mencret. Efisiensi pencernaan Alby nyaris 100%. Mirip Hukum Kirchoff 1 di mana arus masuk sama dengan arus keluar. Berapa banyak susu yang masuk nyaris segitu juga yang keluar. Seolah-oleh usus hanya sekedar gerbang tol.
Hasil pengecekan awal laboratorium menunjukkan bahwa alby ter-infeksi virus pencernaan sehingga membuatnya sering poop. Kondisi Alby perlahan mulai membaik setelah dua malam di rumah sakit. Panasnya tidak lagi se-tinggi sebelumnya meskipun terkadang masih naik-turun akibat daya tahan tubuh yang bergerilya melawan virus.
Obat-obat yang diberikan untuk mengatasi virus tersebut ternyata belum mampu membendung poop nya Alby yang masih sering. Pengecekan feses kedua menunjukkan bahwa Alby menderita penyakit paratifus. Penyakit yang disebabkan oleh bakteri turunan salmonella yang notabene menyerang usus. Sejenis penyakit tipes yang diakibatkan oleh kondisi tubuh tidak fit juga oleh asupan makanan yang kurang higienis.
Penyakit Alby memang agak aneh. Tipes dan turunannya tidak seharusnya menjangkiti balita. Tipes lazimnya menjangkiti mahasiswa atau anak kos lainnya akibat terlalu gandrung dengan mie instan juga akibat sanitasi yang buruk. Gue pun sempet satu pekan full tepar di kosan akibat tipes. Waktu itu belum nikah jadi ga ada yang ngerawat. Hampir saja gue buat surat wasiat andaikan gue tidak disemangati oleh angan-angan jangan mati sebelum menikah.
Alby memang sering memasukkan apa saja ke dalam mulut. Kebiasaan yang masih belum berubah hingga di usia ke 19 bulan-nya. Karpet puzzle, makanan yang sudah jatuh ke lantai lebih dari 5 menit, bahkan kami mendapati kotoran cicak pun ia telan. Hiks. Perlukah ayah mendaftarkanmu ke MURI, nak?
Berbagai hipotesis berhasil gue dan istri kemukakan sehubungan dengan alasan Alby bisa terjangkiti oleh tipes. Selain karena kebiasaan Alby memasukkan semua jenis barang ke dalam mulut, faktor lain juga menentukan semisal higienitas masakan yang dibuat untuk Alby hingga kebersihan mereka yang menyuapi Alby saat makan.
Alby berangsur pulih
Memasuki hari ke-4 Alby sudah bisa makan makanan dengan tekstur lembut. Poop nya mulai berkurang. Kondisi ini menunjukkan Alby sudah jauh lebih baik. Dan pada hari keenam sejak ia kejang, Alby diperbolehkan pulang namun tetap dalam pantauan dokter anak.
Kejadian kejang ini memang membuat kami panik. Banyak fakta ataupun mitos sehubungan dengan kejang pada anak. Namun menurut DSA nya kejang bisa disebabkan dua hal. Yang pertama adalah karena panas yang terlalu tinggi dan yang kedua adanya gangguan pada otak. Kejang akibat demam biasanya merupakan sifat bawaan alias genetis. Anak yang pernah mengalami kejang jenis ini relatif berpotensi untuk kejang kembali manakala panasnya cukup tinggi di kemudian hari. Kondisi ini bisa terjadi hingga mereka mencapai usia 5 tahun. Lepas 5 tahun, kejang serupa mengindikasikan adanya gangguan pada syaraf maupun otak.
Wanti-wanti dari dokter membuat kami harus waspada. Semua obat demam harus siap sedia untuk menghindari kejang lainnya. Menurut suster tempat Alby dirawat, kejang disebabkan oleh kurangnya pasokan oksigen ke otak. Mirip dengan penyebab ngantuk. Karena pemicunya sama maka bisa jadi obat penangkalnya sama yaitu kopi. Beberapa orang pun menasihati hal serupa bahwa kopi adalah salah satu cara untuk menghindari kejang pada anak. Namun secara medis, belum ada penelitian yang menunjukkan kopi dapat mengurangi kejang. Malah sebaliknya.
Sakitnya Alby mengajarkan kami banyak hal. Yang pertama adalah mencegah itu memang jauh lebih baik daripada mengobati. Kami, mulai saat ini, akan lebih over-protective terhadap asupan gizi Alby. Proses memasak hingga menyuapi harus lebih higienis. Pelajaran kedua yang tak kalah pentingnya adalah kami semakin sadar bahwa sakit itu mahal, komandan. Meskipun gue wajib bersyukur bahwa tagihan yang nyaris 10 juta itu dibayarin sepenuhnya oleh kantor. Alhamdulillah. Jika harus bayar sendiri, gue pun bingung barang mana di rumah yang layak untuk digadaikan.. Hahaha. I mean it literally.
Alby dan Adiknya
Juli 26, 2016 § Tinggalkan komentar
Hai.. Halo apa kabar?
Nyaris sebulan gue ga memutakhirkan blog ini. Tidak lain tidak bukan alesannya karena gue harus menghabiskan waktu berkualitas gue yang dua minggu lebih itu bersama keluarga besar di bagian selatan pulau Sumatra.
Apa kabar jagat media sosial? Sesekali (baca: sering) menengok isi timeline facebook, gue masih mendapati medsosnya Jukerbek ini masih dipenuhi oleh makhluk-makhluk sumbu pendek dan para pelaku pro-kontra isu-isu sentimental. Apa kabar Erdogan? Sudah selesai kudetanya? Itu para fanboy garis keras masih ribut-ribut dan membahas dari A sampai Z faktor kegagalan kudeta? Apa sekarang sudah saling serang dan saling tuding dengan para pembela Fethullah Gulen?.
Itu yang suka pamer-pamer ini itu di jejaring sosial sudah pada tobatkah? Atau masih terjebak pada hegemoni ala bocah alay yang dikit-dikit mengemis perhatian dan like para jejaringnya? Kalo kehabisan ide dan bahan buat dipamerin, kalian mungkin bisa foto isi kulkas atau isi lemari terus diunggah ke semua media sosial yang kalian punya disertai dengan caption religius semisal ‘ah, nikmat Tuhan mana lagi yang kalian dustakan’ atau sedikit melankolik ‘isi kulkas boleh ganti-ganti. Tapi kang mas selalu di hati’. Iya gue tengah nyinyir.
Saat ini banyak-banyak berinteraksi dengan media sosial rasanya lebih ampuh bikin otak bego ketimbang nyemil mecin.
*****
Dalam beberapa bulan ke depan, Insyaallah keluarga kami akan kehadiran anggota baru. Berdasarkan hasil USG, calon bayi ini memiliki kelamin laki-laki. Tentu, hasil USG bukanlah suatu hal yang wajib diimani seratus persen layaknya rukun iman. Namun juga tidak bisa ditolak mentah-mentah dengan alasan mendahului ketetapan tuhan.
Hasil USG pekan kemarin menunjukkan kandungan istri saya memasuki usia 31 pekan. Beratnya sudah mencapai 1,5 kg dengan lingkar kepala dan kondisi yang sehat. Alhamdulillah. Berat yang sama juga dimiliki kakaknya, Alby, di usia serupa. Implikasi dari hasil USG tersebut adalah persiapan rupa-rupa untuk sang calon bayi. Mulai dari nama, pakaian yang disiapkan, hingga jumlah kambing untuk persiapan aqiqah.
Mulanya kami berniat untuk melakukan USG 4D. Kami mengupayakan 4D untuk melihat seperti apa kondisi detail dede janin sejauh ini. Namun sulitnya mendapatkan dokter perempuan membuat kami mengurungkan niat dan menunda hingga syaratnya terpenuhi. Menyadari kenyataan ini gue terkadang kesel dengan orang-orang yang berkoar-koar menolak wanita untuk bekerja. Dunia ini tetap membutuhkan wanita untuk profesi-profesi yang memang diperlukan. Mereka yang menghimbau agar wanita menjauhi keprofesian tak jarang juga ujung-ujungnya mencari dokter perempuan manakala sang istri akan melahirkan. Hypocrite as its best.
Untuk kehamilan kedua ini, kami sebagai orang tua lebih siap secara mental. Euforia menyambut kehadiran buah hati, gue akui, tidak segegap gempita seperti menyambut kehadiran putra pertama. Kami tidak menyiapkan perlengkapan secara berlebihan mengingat beberapa pakaian dan kebutuhan bayi masih bisa diwariskan dari kelahiran pertama karena jarak yang relatif cukup dekat. Hanya kelang kurang dari dua tahun. Gue juga tidak membuatkan surat terbuka di blog seperti yang gue lakuin sebelum kelahiran Alby.
Yang tetap sama antara kelahiran pertama dan kedua adalah doa yang kami panjatkan agar proses kehamilan hingga proses persalinan diberikan kemudahan dan kelancaran. Juga doa terpanjat agar calon bayi tersebut lahir dalam keadaan selamat, sehat wal afiat, normal dan tanpa kekurangan satu apa pun. Lebih jauh sedari dini kami mendoakan ia menjadi anak yang sholeh jika nantinya benar berkelamin pria dan solehah jika prediksi via USG ternyata salah.
Tokoh lainnya dalam tulisan ini adalah Alby. Alby Shofwan Moisaani.
Entah Alby sadar atau tidak bahwasanya sebentar lagi ia akan punya adik. Fase yang akan membuatnya kehilangan peran protagonis utama dalam keluarga. Keseluruhan perhatian dan kasih sayang orang tua akan terpecah dan tidak lagi menjadikan ia sebagai pusat gravitasi.
Sejauh ini Alby kerap kali bergumam ‘dede’ manakala melihat perut sang ibu yang semakin membuncit. Mulanya kami mengira ia benar-benar tahu bahwa ada janin bukan TV layar datar, yang bersemayam di dalam perut ibunya. Tapi ternyata ia menggunakan gumaman sejenis setiap kali melihat perut yang tidak rata. Ia memanggil perutnya sendiri sebagai dede. Perut teman sebayanya sebagai dede. Dan mutlak. Perut ayahnya sudah pasti dinamai dengan dede.
Di usia satu tahun lebih enam bulan Alby sudah bisa mengikuti perintah sederhana seperti membuang sampah pada tempatnya, mengambilkan barang, mendatangi kala dipanggil serta pulang tanpa diantar. Menurut dokter, tahap perkembangan Alby termasuk normal. Hanya saja ia perlu lebih banyak diajak berkomunikasi agar kosakatanya bertambah tidak hanya ‘ayah’, ‘aduh’, ‘dede’, dan ‘udah’. Kami hampir setiap hari mengajak Alby ngobrol mengenai pengaruh tax amnesty pada audisi tatanan dunia baru. Tapi Alby lebih senang menyimak ipin juga upin bercakap dalam Bahasa Melayu yang seronok sangat. Macem mane ini?.
Tapi sebenernya kami masih merasa cukup tenang mengingat tetangga kami yang memiliki anak sebaya dengan Alby memiliki laju perkembangan yang tidak jauh beda. Atau kami sering menggunakan alasan gender dengan menyebut bahwa balita perempuan memiliki tahap perkembangan yang lebih cepat ketimbang anak pria.
Satu hal yang masih sering dialami Alby adalah kejedot tembok. Hampir setiap hari ada saja aksi kepala bersentuhan mesra dengan dinding rumah dengan laju dan energi yang cukup untuk membuatnya menangis. Kami berupaya sebisa mungkin untuk menghindari Alby dari terbentur untuk yang kesekian kalinya guna menghindari cedera otak atau menjauhkan ia dari anak yang keras kepala.
Pada akhirnya Alby harus sadar bahwa ia akan mengemban peran baru sebagai kakak yang harus melindungi, mengayomi dan menjaga adik-adiknya. Peran baru yang menjadikan ia sebagai wakil saya sebagai kepala keluarga.
Sarkasme Anak
Juni 2, 2016 § 2 Komentar
Minggu malem kemaren, di sela waktu menunggu travel yang siap membawa gue dari Bandung menuju Jakarta, gue menyaksikan sebuah pemandangan nanar.
Kejadiannya begitu singkat. Sekejap setelah mata gue berpaling dari TV yang memutar Mars Perindo, gue melihat seorang anak berusia sekitar 8 atau 9 tahun tengah bermuka masam. Ia menggerutu, menggumam dan tak henti-hentinya menyimpul bibir pertanda sedang marah. Di sebelahnya duduk sang adik yang berusia sekira 4 tahun lebih muda. Jelas terdengar dari ceracauannya, bocah dengan tubuh tambun ini marah kepada adik dan juga kakeknya yang berada di lokasi serupa.
Entah apa yang menjadi penyebab kemurkaan sang anak. Yang jelas ekspresi kemarahan terbesar ia tujukan kepada kakeknya. Sang ibu merasa tidak enak atas ulah anak tersebut dan memaksanya untuk meminta maaf. Namun ia tetap bergeming. Drama yang gue saksiin terus berlanjut dengan si anak yang keras kepala masih menjadi tokoh antagonis. Kelakuannya mengingatkan gue pada Haji Muhidin versi under-age. Gusti, pengen rasanya gue bentak terus gue tabok pake kulkas dua pintu yang desainnya ergonomis. Gimana ga. Tampak jelas terlihat air muka sang kakek yang sedih dan kecewa melihat kelakuan sang cucu.
Kalo sudah ada adegan sedih-sedih seperti ini saya selalu teringat Hatchi. Lebah yang selalu kesepian dan terus-terusan mencari mamanya.
Mata gue tidak lepas mengamati tingkah sang bocah sambil sesekali ngasah cangkul yang sengaja gue beli di toko online. Siapa tahu kakek itu membutuhkan sukarelawan buat ngubur hidup-hidup anak di bawah umur tanpa ketahuan Kak Seto.
Kronis, si bocah tambun tak henti menggerutu sambil terus menyalahkan sang kakek dengan gestur dan bahasa yang melebihi usianya. Sayang, belum ada legenda cucu dikutuk menjadi batu.
Kakek yang terlihat emosional, dari raut wajahnya, nampak berpikir bagaimana mungkin anaknya, yang berarti ibu dari bocah tambun, tidak bisa mendidik sang cucu dengan baik hingga bersikap demikian. Itu sih perkiraan gue. Bisa jadi juga ia berpikir bahwa hanya di era Jokowi sebagai presiden ada cucu yang bisa se-kurang ajar ini terhadap kakeknya. Andai saja Prabowo yang jadi presiden, pasti….*ilang sinyal*. Ternyata sang kakek adalah fans berat Abangnda Jonru.
*****
Lain lagi cerita temen gue. Saat terakhir kali ke bandara, ia duduk untuk memesan makanan di salah satu warung cepat saji. Sejenak kemudian di sudut lain ruangan ia melihat seorang bapak dan dua orang anaknya yang masih balita tengah menikmati es krim. Semua berjalan normal hingga salah seorang anak menjatuhkan es krim yang ia punya. Sang bapak yang kesal kemudian marah dengan kerasnya.
Bapak ini marah karena anaknya tidak bisa menjaga dengan baik apa yang dia punya. Kalo menjaga es krim saja tidak bisa bagaimana mungkin ia bisa menjaga pasangan. Sang bapak baper mengenang masa-masa jomblo menahun.
Sontak saja. Kericuhan tersebut menarik perhatian orang-orang di sekitar.
Tak berselang lama, saat mereka beranjak pulang, es krim yang sempat terjatuh kini terinjak oleh anak yang lain. Semakin murka lah sang bapak. Tanpa berpikir panjang ia berteriak dengan lantang
‘Anjing semua!!!!’
Bapak dengan dua anak ini menghardik membabi-buta. Tak tahu kemana arah cacian tersebut ditujukan. Ia nampak begitu marah. Gue sebenernya ragu ada anjing berkeliaran di Bandara Soekarno-Hatta. Kalo ‘anjing’ yang dimaksud adalah kedua anaknya maka bapak itu apa? Mutan anjing yang menyamar menjadi manusia? Atau ia menikahi siluman anjing seperti dayang sumbi yang kawin dengan Tumang?.
Ada-ada saja. Manusia kok disamakan dengan anjing. Kesian kan anjingnya.
*****
Dua cuplikan cerita di atas mengajarkan gue bahwa mendidik anak itu tidak mudah.
Buat gue yang sudah berpredikat ‘ayah’, mendengar kata-kata kasar dari warisan genetis kita sendiri adalah situasi yang membuat emosi berkecamuk. Bagimana mungkin, anak-anak yang kita besarkan dengan lelah dan susah payah, berani bersikap kurang-ajar yang menohok harga diri sebagai orang tua. Namun, jika pada akhirnya anak-anak tidak berperilaku dengan baik maka keluarga sebagai lingkar terdekat adalah unsur yang pertama kali patut dipertanyakan.
Gue bukannya ga mau ber-husnudzon. Gue bisa saja berasumsi bocah tambun pada cerita pertama menjadi pemarah karena ia sedang nahan kentut sampe ke ubun-ubun atau kesal karena tidak tahu kemana Ultraman terbang sehabis berantem sama monster. Namun naluri alami kita sebagai manusia pasti mengasosiasikan perilaku negatif anak pada kegagalan orang tua dalam mendidik.
Gue sangat menyayangkan jika ada anak-anak yang tidak memiliki sopan-santun kepada orang yang lebih tua, lebih-lebih kakek atau orang tua kita sendiri. Tapi lebih disayangkan lagi jika melihat orang tua yang berperilaku minus di hadapan anak-anak. Apa yang diharapkan ayah serta ibu pada anaknya jika dalam keseharian mereka memberikan contoh yang negatif seperti mengucapkan ‘anjing’, ‘brengsek’, ‘bangsat’. Belum lagi ratusan cuplikan perilaku yang sama sekali tidak layak. Orang tua sering lupa bahwa ‘children see children do’.
Anak gue saat ini usianya 1,5 tahun. Di usianya saat ini, ia sudah bisa meniru gerakan solat yang kami lakukan meskipun, gue yakin, ia tidak sebenar-benarnya dalam tempo sesingkat-singkatnya tahu dan mengerti aktifitas apa yang tengah ia geluti. Sesekali pula ia mengangkat tangan meniru para muazin di TV yang seringkali membuat dia takzim dan takjub. Gue berpikir ulang. Anak-anak di usia sedini itu sudah bisa meniru apa yang dilakukan oleh orang terdekatnya. Jika lingkungannya baik maka ia baik. Ya meskipun kita sadar bahwa orang tua bukanlah faktor tunggal yang bisa membentuk karakter anak. Tapi setidaknya kita sudah berdamai dengan warisan genetis atas hal-hal yang tidak kita sukai yang berpotensi menjangkiti mereka.
Jadi kalo kita sebagai orang tua terlalu banyak menonton sinetron, berkata-kata kasar, mengumpat, merokok lalu bermuram durja saat anak-anak kita tawuran, melakukan kejahatan seksual. Siapa yang tolol?. Siapa? Coba jelaskan ke Hayati, bang!.
Kejadian-kejadian memilukan belakangan ini harusnya menyadarkan para orang-tua bahwa ada yang salah dengan remaja-remaja di sekitar kita. Sangat mungkin, perilaku negatif anak adalah sebuah bentuk sarkasme atas ketidakidealan orang tua dalam mendidik sehingga mereka melakukan hal yang serupa untuk ‘mengingatkan’ orang tua bahwa ‘ini loh, hasil didikan kalian selama ini’.
Gue juga ga tahu bakal seperti apa kelakuan anak-anak gue kelak. Tapi gue harus berikhtiar sekuat mungkin untuk setidak-tidaknya menghindari perilaku negatif di depan mereka. Gue emoh jika harus mendapati keturunan gue menampar keras hasil didikan orang-tuanya dengan rupa-rupa sarkasme yang brutal.
Seputar Mitos Tentang Kehamilan
Mei 17, 2016 § Tinggalkan komentar
Hamil dan memiliki anak adalah pekerjaan yang membutuhkan pengetahuan dan kemampuan. Sehingga menjadi kewajiban bagi setiap orang yang ingin mendapatkan predikat suami, istri, ibu atau ayah untuk membekali diri mereka dengan key competencies yang seharusnya. Tapi akan menjadi sumir manakala label ‘ayah’ atau ‘ibu’ tersebut harus diklasifikasi menjadi ‘ibu/ayah profesional’ merujuk kepada definisi profesional itu sendiri. Buat gue, tanpa embel-embel ‘profesional’ pun para orang tua sudah seharusnya menjalankan tugas-tugas tersebut.
Bini gue hamil lagi. Di kehamilan kedua ini gue dan istri sudah lebih siap secara mental. Kami belajar bagaimana seharusnya mempersiapkan kehamilan dengan baik berdasarkan pengalaman kehamilan pertama. Pengalaman adalah guru terbaik. Pengalaman adalah guru yang tidak menggurui. Sayang, gue ga pernah diajar oleh ‘pengalaman’ di sekolah.
Usia kehamilan istri gue tengah memasuki 20 pekan saat tulisan ini diterbitkan. Sang calon bayi sudah memberikan reaksi berupa hentakan-hentakan di perut meskipun tidak terlalu sering. Jika bukan disebabkan oleh faktor biologis maka sifat malu-malu calon anak kedua ini lebih disebabkan faktor psikologis.
Faktor paling membedakan kehamilan kedua dengan kehamilan pertama adalah morning sickness yang sangat intens. Dedek janin bisa membuat ibunya mengalami mual berbulan-bulan. Lebih daripada kehamilan pertama. Referensi menyebutkan bahwa kehamilan yang disertai morning sickness bisa menandakan tingginya IQ sang bayi.
Untuk menjaga kehamilan agar ibu dan sang janin tetap selalu sehat, istri gue sebisa mungkin memelihara makanan dan melakukan akftifitas yang tidak terlalu berat untuk menghindari resiko. Kehamilan kedua ini relatif lebih menguras tenaga karena istri juga diharuskan menjaga dan menemani Alby yang keaktifannya makin hari makin menjadi. Menjadi ibu juga berarti menjadikan kesabaran sebagai pijakan. Karena sangat rentan terhadap stress.
Isu stress selama kehamilan selalu berdampak buruk pada janin sudah dibantah oleh penelitian terakhir yang menunjukkan bahwa pada level tertentu, stress baik untuk sistem syaraf dan mempercepat perkembangan janin. Wanita dengan level stress yang moderat selama kehamilan cenderung memiliki bayi dengan kemampuan kerja otak dua kali lebih cepat dibandingkan ibu tanpa stress sama sekali. Pertanyaannya adalah seberapa ‘moderat’ kah stress yang masih dapat ditoleransi?
Untuk menjaga otak agar tetap waras dan tidak terlalu stress akibat kelelahan mengurus bayi dan calon bayi, istri gue memilih untuk melanjutkan aktifitas jahit menjahit yang sudah dilakoninya sejak beberapa waktu yang lalu. Aktifitas bernama menjahit tidak semudah kelihatannya. Jika saat mengandung Alby istri gue dipusingkan dengan statistika dan derivasinya maka saat ini ia harus bersitegang dengan kain, mesin jahit, pola baju yang serumit bilangan-bilangan matematika.
Selain berurusan dengan aspek keindahan dan ekonomi, menjahit juga sering dikaitkan dengan unsur-unsur mitos dan mistisme. Orang-orang tua sering mengingatkan para wanita hamil untuk tidak menjahit karena dikaitkan dengan potensi melahirkan bayi yang cacat. Wajar jika mitos ini berkembang dengan pesat jika kita hidup di masa di mana Bell belum menemukan pesawat telepon. Karena keterbatasan informasi sangat mungkin menjadikan seseorang membuat kesimpulan yang tergesa-gesa. Tapi untuk era sekarang, mitos dan takhayul serupa perlu divalidasi kebenarannya. Selain karena bertendensi kepada syirik, mitos-mitos yang beredar di masyarakat sering kali hanya warisan turun-temurun yang sifatnya ‘wajib’ untuk diimani tanpa diperkenankan untuk dikritisi apalagi direvolusi.
Sebagai generasi yang hidup di persimpangan masa antara zaman takhayul penuh mitos dan era internet cepat, kami memahami kedua domain tersebut sebagai tantangan dalam mendidik generasi. Orang-orang terdahulu sangat mempercayai mistisme dalam setiap aspek kehidupan. Mereka selalu mengaitkan peristiwa dengan keanehan sebagai buntut dari pola pikir deduktif. Pola pikir yang sejak jauh-jauh hari telah ditolak mentah-mentah oleh Tan Malaka dengan konten ‘logika’ dalam wacana Madilog-nya. Sungguh berbeda dengan manusia masa kini yang lebih peka dengan teknologi dan melek informasi sehingga kebenaran sebuah informasi dapat dengan mudahnya divalidasi.
Ibu mertua gue memiliki pendapat lain. Beliau berkata bahwa larangan menjahit bagi wanita hamil disebabkan oleh getaran mesin jahit berpotensi membahayakan janin. Agak masuk akal memang. Tapi dokter anak tempat kami biasa berkonsultasi tidak memberikan larangan apa pun sehubungan dengan kegiatan jahit-menjahit. Referensi di beberapa artikel daring pun menyatakan hal serupa.
Banyak mitos yang tidak terbukti secara ilmiah tidak lantas menjadikan kita nyinyir atau melabeli syirik serta-merta kepada bentuk-bentuk ‘kuno’ nasehat seputar kehamilan. Boleh jadi kemasan wejangan bernada minor mistis seperti orang terdahulu sampaikan sudah tidak laku tergerus oleh kemajuan zaman. Hanya saja di balik wacana mistis tersebut tidak jarang terselip pesan moral yang sangat baik. Misalnya saja mitos wanita hamil dilarang makan di depan pintu. Larangan seperti ini pada dasarnya adalah himbauan agar orang-orang tidak menghalangi jalan masuk. Atau ibu hamil tidak boleh merendam baju kotor dan piring kotor karena dikhwatirkan anaknya kudisan. Bisa jadi muatan pesan dalam larangan tersebut adalah agar ibu hamil tidak kerja berat agar tidak membahayakan janin.
Mitos-mitos seputar kehamilan tidak hanya ada di negeri kita. Di Meksiko misalnya. Ibu yang menginginkan sesuatu selama ngidam harus dipenuhi kemauannya agar sang anak tidak memiliki tanda lahir seperti apa yang diminta. Atau di Bolivia, sama halnya di Indonesia, wanita hamil dilarang merajut karena dipercaya bisa menyebabkan tali pusar meliliti di leher bayi. Jepang, Mongol, Kenya, Jamaika, hingga Portugal juga memiliki mitos-mitos yang menjadi ‘kearifan budaya’ nya sendiri.
Jika mitos seputar kehamilan hanya dianggap laku di belahan negara ketiga maka pernyataan ini salah. Sampai saat ini jutaan orang di US masih percaya dengan mitos berbentuk pseudo-psychology perihal mendengarkan Mozart berpengaruh pada kecerdasan anak. Jadi, mitos tidak secara langsung berhubungan dengan kemajuan IPTEK suatu negara.
Kisanak, mitos seputar kehamilan apa yang beredar di tempat anda?
Saat Alby Belajar Berkata
April 11, 2016 § Tinggalkan komentar
Tidak salah memang ketika Sergey Brin dan Larry Page memutuskan untuk mengganti ‘google’ dengan ‘Alphabet’ sebagai induk perusahaan. Menurut Page, Alphabet (atau alfabet dalam Bahasa Indonesia) adalah penemuan paling penting dalam sejarah peradaban manusia karena ia melingkupi semuanya dari A hingga Z. Keberadaan alfabet memungkinkan kita untuk berkomunikasi dengan cara-cara yang lebih mudah. Para makhluk kekinian tertolong dengan rentetan huruf yang 26 sehingga mereka bisa update status unyu di media sosial. Netizen bisa saling adu argumen dan ‘anjing-meng-anjingkan’ juga karena bantuan alfabet. Bandingkan saja jika kita harus menggunakan semaphore atau morse jika harus berkomunikasi setiap saat. Susunan kalimat dari alfabet ini yang kemudian membantu manusia untuk berkomunikasi, menyampaikan pesan ke lawan bicara.
Proses manusia berkomunikasi memang melalui tahapan-tahapan tertentu yang dimulai sejak dalam rahim. Janin bisa memberikan respon setiap kali ada yang mengajak mereka berbicara. Bayi usia 4 bulan bisa mengenali nama mereka sendiri dan membedakannya dengan kata lain. Usia 6 bulan, bayi sudah mengenali ‘ayah’ dan ‘ibu’. Hingga akhirnya mereka mengalami ledakan kata di usia dua tahun Tahapan-tahapan itu bahkan bisa dikelompokkan, berdasarkan referensi, menjadi ‘cooing’, ‘gurgling’, ‘babbling (berceracau)’ lalu berbicara. Gue sulit mengggunakan transliterasi untuk dua tahapan pertama.
Beberapa anak memang berbicara lebih cepat. Belum sampai usia satu tahun mereka sudah bisa menggunakan kata pertamanya. Beberapa lainnya membutuhkan waktu lebih lama. Alby, jagoan gue, termasuk yang kedua.
Kami sebagai orang tua sering mengajak Alby berbicara dengan topik apa pun. Mulai dari gosip artis hingga debat antara Zakir Naik dan William Campbell. Karena kami sadar proses berbicara selalu didahului dengan mendengar. Berdasarkan riset oleh Roberta Golinkoff, balita sangat menyukai suara dengan nada yang tinggi. Setiap saat mereka melakukan ‘cooing’ pada saat diajak bicara menandakan mereka tengah memperhatikan apa yang dibicarakan. Bahkan sebelum mereka bisa berbicara dengan jelas, para bayi sudah bisa menterjemahkan emosi yang ada dalam nada saat seseorang bicara.
Usia Alby kini masuk 15 bulan. Ia sudah lancar berjalan. Kemana-mana maunya jalan. Sebagai rangkaian dari proses pertumbuhan bayi maka berjalan seyogyanya dipadupadankan dengan kemampuan bayi untuk berbicara. Masa-masa di mana bayi bertransisi dari ‘berceracau’ menjadi mampu untuk berbicara dengan sebenar-benarnya adalah masa-masa kritis. Mereka berupaya untuk menyampaikan keinginannya namun terbatas pada ketidakmampuan mengartikulasikan kata sehingga hasil akhirnya adalah mereka mengekspresikan ketidakmampuan tersebut dengan merengek dan menangis manakala apa yang mereka ingin tidak dimengerti oleh orang dewasa.
Beberapa waktu belakangan Alby sering sekali menguji kesabaran gue. Ia bersikukuh menolak dimandikan. Entah apa sebabnya. Padahal sebelum melakukan aksi penolakan terhadap mandi pagi, ia tidak pernah se-drama saat ini. Setiap kali kami membuka pakaiannya, entah apakah itu diniatkan untuk mandi atau sekedar mengganti baju yang basah, ia berontak. Menangis meraung-meraung seolah-olah dihukum oleh ibu tiri.
Gue yang kebagian jatah mandiin Alby setiap akhir pekan, sering kehilangan akal kenapa ia bisa segarang itu menghindari aktifitas bernama mandi. Gue yakin Alby sebenarnya ingin menyampaikan alasan spesifik kenapa ia bisa berubah 180 derajat hingga harus membenci mandi sedemikian rupa. Mungkin Alby mendalami filosofi ‘Kenapa mandi kalau besok harus mandi lagi’. Atau ia mengalami paranoid, khawatir saat di dalam kamar mandi ia diculik, disekap dan saat bangun tiba-tiba berada di ruang sempit tanpa bisa melihat dunia luar. Oke gue berhalusinasi. Bagian terakhir paragraf ini adalah sketsa film ‘room’ yang apik itu. Alby sejatinya tidak mampu mengatakan apa yang membuatnya memboikot mandi. Ia hanya bisa mengekspresikannya dengan tangisan dan teriakan yang membabi buta.
Menurut sang ibu yang sempat mendatangi dokter anak, bayi memiliki memori yang kuat sehingga jika terjadi trauma secara psikologis maka bayi tersebut akan mampu mengingatnya dengan sangat baik. Masih menurut istri gue, Alby mungkin pernah mengalami kejadian tidak enak pada saat mandi yang membuatnya menjadi rewel seperti saat ini. Kami pun harus terbiasa dengan tangisan Alby setiap pagi hingga dia bisa menyampaikan alasan mengapa mandi pagi begitu menakutkan.
Aktifitas rewel sebagai wujud belum mampunya Alby mengkomunikasikan keingingan terulang lagi pekan lalu. Saat kami bertiga harus menempuh perjalanan lebih dari satu jam, Alby menangis menjadi-jadi di dalam mobil. Mulanya kami mengira ia kepanasan karena AC mobil sengaja dimatikan mengingat kondisi istri yang tidak kuat berdingin ria. Sejenak setelah AC nyala, tangis tersebut tidak berhenti. Kemudian kami berspekulasi bahwa Alby kelaparan. Lalu kami menyerahkan biskuit agar bisa segera ia makan. Tapi tangis tersebut tak berubah sedikit pun menjadi diam. Gue hampir ngebakar menyan dengan asumsi Alby lebih doyan menyan ketimbang biskuit.
Pasrah kehilangan ide, kami menghentikan mobil di alfamart untuk membeli susu dan menyeduhnya saat itu juga. Alby perlahan mulai berangsur tenang. Ternyata kericuhan itu disebabkan oleh panasnya cuaca Bandung yang dikombinasikan dengan ketiadaan susu yang senantiasa menjadi dopingnya. Gue tidak pernah tahu betapa susu bisa membuat bayi teradiksi dengan parah. Jadilah siang itu menjadi hari menangis sedunia.
Sebagai manusia dewasa yang tidak mengerti bahasa bayi, gue terkadang pasrah menghadapi segala tangis dan rengekan anak. Sesekali karena kekesalan yang memuncak, gue kehilangan bentuk-bentuk kesabaran. Nampaknya gue mesti membaca kembali kisah para Sahabat terutama Anas bin Malik yang tidak pernah mendengar sedikit pun kata-kata kasar selama lebih 10 tahun membersamai Nabi. Atau belajar kembali ketabahan Ibunda Imam Masjidil Haram, Syaikh Sudais, yang mendoakan kebaikan di tengah kemarahan.
Komunikasi selalu menjadi sumber konflik terbesar umat manusia. Jika para balita memiliki concern khusus untuk mengungkapkan apa yang di kepala namun dibatasi oleh fungsi anggota tubuh yang belum bekerja dengan sempurna maka orang dewasa memiliki masalah komunikasi yang lebih kompleks. Anak-anak yang berlari, membuat gaduh masjid setiap kali sholat berjamaah berlangsung sering kali mendapatkan ragam hardikan yang berkelindan dengan cacian. Orang-orang yang mendaku dirinya sebagai faqih, ulama acap kali lupa bagaimana dan dengan siapa mereka berkomunikasi. Orang-orang dewasa lainnya yang menikah pun bercerai karena masalah komunikasi. Jadi anakku Alby, jangan galau. Semua orang memiliki masalah yang sama.
Hingga saat tulisan ini dibuat, Alby masih berusaha dengan keras untuk membuat orang-orang dewasa mengerti apa yang mereka mau. Satu-satunya kata bermakna yang secara jelas berhasil ia ucapkan adalah kata ‘ayah’. Alby bisa dengan ‘semena-mena’ memanggil semua orang yang ia lihat dengan ‘ayah’. Kemampuan ini tidak terlepas dari kebiasaan kami yang sering mengajari Alby mengucapkan ‘ayah’ dan ‘bunda’ sedari awal. Hanya karena ‘bunda’ lebih sulit diartikulasikan maka ‘ayah’ adalah pilihan kata yang paling mudah untuk terucap.
Kami tidak menuntut Alby untuk sesegera mungkin berbicara. Apa-apa yang tumbuh dengan instan dan terpaksa tidak akan pernah bisa menyaingi semua yang tumbuh dengan alami. Semoga Alby terjaga dari berkata-kata yang tidak bermanfaat dan semoga lisannya mengandung hikmah.
Cerita Tentang Kehamilan Kedua
April 2, 2016 § 2 Komentar
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik Indonesia (BPS), jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2010 adalah 237.641.326 jiwa yang mencakup 49,79 persen penduduk yang tinggal di perkotaan dan 50,21 persen penduduk tinggal di daerah pedesaan. Ketersebaran penduduk tersebut tidak merata. 60% penduduk terkonsentrasi di pulau jawa. Jika dijumlah dengan jumlah penduduk yang ada di Sumatra, angka tersebut bertambah menjadi 80%. Seks rasionya adalah 101, berarti terdapat 101 laki-laki di antara 100 perempuan. Alasan klise poligami untuk menjawab tantangan jumlah wanita lebih banyak daripada pria patah dengan sendirinya berdasarkan angka statistik ini.
Pada tahun 2035, berdasarkan proyeksi oleh BKKBN, angka penduduk Indonesia akan mencapai 305,6 juta penduduk. Banyak? Memang.
Omong-omong mengenai jumlah penduduk, kelahiran, kematian dikenal dengan istilah demografi. Urusan demografi menjadi penting karena berhubungan dengan perencaaan pendidikan, perpajakan, perekonomian, kesejahteraan dan pada ujungnya beririsan dengan eksistensi sebuah negara.
*****
Orang tua gue punya tujuh orang anak. Di era beliau, slogan ‘banyak anak banyak rezeki’ berhembus dengan kencang. Itulah mengapa era tersebut memberikan sumbangsih yang sangat signifikan pada anatomi penduduk Indonesia saat ini.
Jika saja emak gue mengikuti anjuran ‘dua anak cukup’ maka seyogyanya gue dan empat orang kakak gue lainnya tidak akan pernah melihat betapa kerennya Kotaro Minami. Tapi tidak. Nyokap ga berenti di dua anak karena pada saat itu beliau belum mendapatkan anak perempuan. Gue masih inget ucapan nyokap yang berujar bahwa memiliki anak perempuan memberikan rasa aman dan nyaman tersendiri bagi orang tua. Mereka sangat berharap kepada anak gadis sebagai jaminan hari tua mereka. Dan pada akhirnya gue memiliki 3 orang kakak laki dan 3 orang kakak perempuan secara berturutan.
Orang tua gue hebat. Mereka mesti ngurusin 7 orang anak tanpa ikut seminar parenting ini dan itu. Tanpa rupa-rupa jenis susu. Dan kami tetap tumbuh dengan sehat dan normal. Coba bandingkan dengan orang-orang generasi Y, Z. Memiliki anak berarti menyajikan peluang bisnis dan pundi-pundi uang bagi kaum kapitalis. Bayi-bayi yang baru lahir ke dunia sudah ditunggu oleh semua produk mulai dari makanan, popok hingga mainan. semua orang khawatir dengan tumbuh kembang anak sehingga mereka menjadi korban empuk pariwara yang berseliweran di televisi. They who can share opinion, can shape event.
Keluarga besar gue sedikit banyak bertolak belakang dengan istri. Ia hanya memiliki seorang adik. Perbedaan demografi keluarga tidak menghalangi kami untuk bersikap demokratis dalam menentukan jumlah anak yang akan kami miliki. Gue pribadi berharap memiliki empat orang buah hati. Sementara istri tidak memproyeksikan angka tertentu. Gue ga takut dengan ledakan populasi. Saat gue berusaha memiliki anak lebih daripada anjuran pemerintah, gue hanya berusaha menyeimbangkan jumlah penduduk Indonesia karena di belahan bumi lain Indonesia pasti ada keluarga yang kesulitan ber-regenerasi. Tidak percaya?.
Berdasarkan data dari BKKBN, pertumbuhan rata-rata per tahun penduduk Indonesia selama periode 2010-2035 menunjukkan kecenderungan terus menurun. Dalam periode 2010-2015 dan 2030-2035 laju pertumbuhan penduduk turun dari 1,38 persen menjadi 0,62 persen per tahun. Juga, persentase penduduk Indonesia yang tinggal di Pulau Jawa terus menurun dari sekitar 57,4 persen pada tahun 2010 menjadi 54,7 persen pada tahun 2035. Persentase kelahiran penduduk di pulau jawa relatif menurun tahun ke tahunnya. see?
Semenjak adanya Alby, kami tidak pernah mendiskusikan secara khusyuk kapan sebaiknya Alby memiliki adik. Sesekali kami hanya berdiskusi ringan bahwa memiliki anak kedua secepat mungkin adalah pilihan bijak karena kami selalu mengingat-ingat nasihat yang dituliskan di bagian bawah buku tulis ‘Jangan menunda sampai esok apa yang bisa kalian lakukan hari ini’. Lagian, kami khawatir jika harus menunda maka bisa saja ada potensi kesulitan untuk mendapatkan anak kedua. Kami satu suara bahwa setidak-tidaknya boleh memiliki dua orang anak dalam rentang waktu yang berdekatan. Anak-anak setelahnya akan diatur kembali berdasarkan syarat dan ketentuan yang berlaku.
Kami tidak menggunakan alat kontrasepsi apa pun selepas kelahiran anak pertama. Air susu ibu adalah alat kontrasepsi yang efektif. Selama 1 tahun setelah kelahiran Alby, istri gue belom pernah dapet menstruasi. Artinya selama masa itu ia dorman alias ga bisa hamil. Sebulan setelah mendapatkan ‘kiriman’ pertamanya istri gue mendadak sering pusing, lemes, tidak bertenaga. Apalagi abis liat dompet di tanggal tua. Lemesnya semakin menjadi-jadi. Gue curiga. Apa istri gue mengidap sindrom Olshopilia. Sebuah gangguan hasil imajinasi gue di mana seseorang mengalami gelisah apabila tidak bisa belanja onlen diakibatkan oleh bokek dan alasan lainnya. Tapi rasanya tidak mungkin. Tanpa bermaksud sombong, uang belanja tiga bulan yang lalu aja masih bisa beli tas hermes mirip punya Syahrini. Setelah berpikir keras, gue berkesimpulan ibunya Alby hamil lagi. Untuk memastikan gue minta ia buat testpack.
Saat testpack pertama, hasilnya negatif. Istri gue lupa bahwa testpack bekerja dengan menggunakan urin bukan air liur. Saat testpack kedua hasilnya ternyata POSITIF. Alhamdulillah. Alby bakalan punya adek.
Sejujurnya kehamilan kedua ini di luar dugaan kami. Saat tahu istri tengah mengandung untuk kedua kalinya, Alby baru berusia satu tahun lebih beberapa minggu. Jika saat mengandung Alby kami dikhawatirkan dengan persiapan menyambut anak pertama maka untuk hamil kedua yang menjadi konsentrasi adalah bagaimana mempersiapkan Alby menjadi kakak di usianya yang nanti belum genap dua tahun juga di saat bersamaan harus mengurusi kembali rupa-rupa tetek bengek keriweuhan bersama bayi yang baru dilahirkan. Tapi bagaimana pun kami sangat senang menyambut anggota keempat keluarga.
Sulit sebenarnya saat harus tetap memperjuangkan ASI untuk Alby namun di saat bersamaan harus mengandung. Setelah berdialog dengan dokter kandungan, dokter anak dan sms yang kami terima setelah mendaftar ke ‘reg <spasi> hamil’, kami dengan sangat terpaksa menghentikan pasokan ASI untuk Alby. Dan menurut gue Alby pun sepakat dengan keputusan ini. Buktinya waktu gue minta pendapat, Alby bergumam tidak jelas yang gue anggap sebagai sebuah bentuk persetujuan.
Menurut dokter kandungan, memaksakan diri untuk tetap menyusui di saat mengandung dapat memicu kontraksi. Memang ada beberapa kasus mereka yang berhasil melakukan keduanya dengan baik. Tapi demi keselamatan dan kenyamanan serta kesempurnaan cinta, kami pun memutuskan untuk tidak melanjutkan proses menyusui. Biarlah sapi yang selanjutnya menggantikan peran tersebut.
Masalah lain saat harus memutus ASI untuk Alby adalah mencari susu pengganti. Dan mencari susu pengganti ternyata tidak gampang. Sebagian orang pro susu UHT, sebagian lagi cenderung kepada susu bubuk. Mereka bertarung dengan argumennya masing-masing hingga salah seorang temen gue yang berprofesi sebagai dokter menjelaskan bahwa susu apa pun sama baiknya untuk balita. Suplai energi terbesar mereka ada pada makanan bukan susu. Susu hanya berperan sebagai pendamping. Mendengar penjelasan tersebut, gue semakin percaya diri untuk memilihkan Alby SUSU KUDA LIAR.
Awalnya kami memberikan susu UHT. Apa yang terjadi? Alby mencret. Perutnya belum bisa beradaptasi dengan susu sapi. Lalu kami memberikan susu bubuk. Ia tetep mencret. Makanan yang ia cerna keluar bersama dengan fesesnya. Dokter anak berkata bahwa kemungkinan besar Alby belum bisa mengkonsumsi susu dengan laktosa. Dokter merekomendasikan susu non-laktosa. Dan ternyata benar. Fesesnya kembali normal setelah minum susu tersebut. Sayang gue ga sempet mengabadikan bukti.
Kembali ke konteks kehamilan kedua.
Untuk kehamilan kali ini, istri gue lebih sensitif dibandingkan kehamilan pertama. Ia sangat tidak bisa membaui segala bentuk sabun, masakan, dan banyak aroma lainnya. semua bau tersebut membuatnya mudah mual dan muntah. Kehamilan kali ini juga ditandai dengan fisik yang semakin cepat lelah. Kondisi ini cukup berbeda saat mengandung Alby. Saat hamil pertama, Nisa (bini gue) juga mengalami mual parah namun hanya terjadi sesekali saja. Tidak sesering kehamilan yang sekarang. Kami menduga-duga apakah gejala kehamilan yang berbeda ini berhubungan dengan jenis kelamin bayi. Jika benar, berarti anak kedua kami berjenis kelamin perempuan. Ah, ini cuma logika cocoklogi gue aja. Yang paling penting anak tersebut lahir dengan sehat, Selamat tanpa kekurangan satu apa pun.
Gejala-gejala lain saat hamil kedua ini adalah untuk pertama kalinya bini gue ngidam. Ngidamnya kedondong. Untung cuma kedondong. Kebayang kalo dia ngidam durian botak atau salak tanpa biji atau ngidam kurma yang dipetik oleh Tapasya.
Yang bikin gue khawatir adalah bini gue bermasalah dengan makan selama kehamilan kali ini. Selain rentan muntah gejala lainnya adalah kesulitan minum. Ia harus memberi jeda beberapa menit hingga jam sebelum bisa menenggak air. Atau biasanya air mineral harus dicelupi teh, lemon atau bahan lain yang memberikan nuansa warna atau rasa berbeda. Sempet istri gue minum air teh setiap saat setelah makan namun air teh dikhawatirkan mengikat zat besi yang notabene seharusnya diperlukan oleh bayi.
Hingga akhir pekan kemarin usia kandungan Nisa sudah 13 pekan. Alhamdulillah janin tersebut nampak sehat dan terlihat bergerak saat alat USG menyentuh kulit ibunya. Sungguh sebuah kebahagiaan terbesar untuk kami saat diamanahkan kembali untuk merawat seorang anak.
Semoga dedek janin, A keempat dalam keluarga kami sehat selalu. Semoga ibunya pun diberikan semua kesehatan dan kebaikan. Semoga semua lelah, mual, letih, lemah yang didera menjadi penebus dosa. Semoga saya selaku kepala keluarga mampu menjadi teladan untuk Alby dan adiknya. Dan semoga Alby mempunyai teman bermain dan bersedia membagi mainannya.
Selamat Ulang Tahun, Bunda
Maret 7, 2016 § Tinggalkan komentar
Beberapa pekan sebelum tanggal 7 Maret 2016, gue sibuk mengubek-ubek internet perihal benda apa yang paling pas diberikan oleh suami pada istri tercinta di hari ulang tahunnya. Tidak ada informasi baru yang gue dapet dari internet. Hadiah-hadiah yang direkomendasikan terlalu umum. Masih seputar memberikan emas, sepatu hingga istri baru. Yang terakhir seriusan cuma bercanda, yang.
Berhubung artikel-artikel tersebut dicari oleh mesin yang notabene tidak memiliki afeksi maka sejatinya gue harus mencari referensi pada orang-orang yang sudah memiliki khasanah rumah tangga dan per-cinta-kasih-an yang sudah mapan. Oleh karena itu, gue, tanpa ragu, menghubungi Eyang Subur. Istrinya ada 8, bro. Satu orang lagi udah bisa bikin girl band nyaingin SNSD. Masalah rumah tangga? Jangan ditanya. Kuantitas menunjukkan segala-galanya. Tapi berhubung gue khawatir disamperin Arya Wiguna terus bikin dia terkenal lagi, niat tersebut gue batalin. Sudah cukup tipi gue dipenuhi sama orang-orang konyol yang menjadi popular karena ‘didukung’ oleh penonton dengan level kecerdasan yang sama.
Gue, pada akhirnya, berdiskusi dengan temen SMA gue yang sering gue anggap sebagai guru spiritual. Ceile.
Menurut temen gue ini, sebagai seorang istri dia sih ga pernah minta apa-apa kalo ulang tahun. Palingan minta dibeliin tas hermes mirip punyanya Syahrini. Dan saat itu juga gue berasa pengen nampol seseorang.
“Beliin aja sepatu atau tas atau baju” Ujar temen gue.
“Ohh!!” gumam gue.
Berarti inisiatif gue untuk ngebeliin istri baju, sepatu dan tas saat ultahnya ga melenceng dari nasehat temen gue yang udah punya buntut tiga ini.
Istri gue sebenernya juga ga pernah minta apa-apa. Gue udah pernah menyinggung perihal hadiah apa yang dia pengen saat ulang tahun tapi dia tidak pernah menyebut secara spesifik hadiah yang dia mau. Dia cuma bilang, dengan tersirat, bahwa kalo mau beliin hadiah jangan beliin tas. Kalo bisa sih sepatu. Soalnya sepatu sebelah kirinya tertinggal saat sedang ikut pesta bersama pangeran. Jadi dia ga punya stok sepatu lagi. Hmm… lucu ga, lucu ga? Ga ya?
Dari semua diksi tak berguna yang gue tulis di atas, gue menyimpulkan bahwa di hari ulang tahun bini tercinta, gue akan memberikan kado yang bukan tas. Bisa dipakai. Dan digunakan di kaki. Maukah kau membantuku menjawabnya?
Iya benar!.
Gue akan membelikan BAJU. B.A.J.U…
Dan juga sepatu.
Kenapa baju? Gue tahu persis bini gue belakangan ini sangat jarang membeli baju. Selepas menikah, ia lebih banyak menjahit bajunya sendiri mengingat baju-baju lamanya sudah memasuki fasa ‘kekecilan’. Berangkat dari realita tersebut ditambah dengan alasan tidak lama lagi istri gue akan membutuhkan baju dengan ukuran yang lebih besar, gue pun berinisiatif membelikan baju untuk berpergian.
Bicara mengenai baju, khusunya dress untuk berpegian wanita muslimah, pikiran gue tertohok pada bisnis baju onlen temen kuliah gue yang karena passi-on dan juga force-on (:p) rela meninggalkan kenyamanan bekerja sebagai PNS demi merengkuh mimpi bersama sang istri untuk mengembangkan bisnis baju muslimah onlen. Baju-baju tersebut berseliweran di Instagram gue. Dengan sigap gue hubungin dia untuk bertanya-tanya mengenai baju yang ia jual. Sebenarnya pada saat kehamilan pertama, istri gue sempet membeli salah satu baju di olshop yang sama sekaligus mengukuhkan predikatnya sebagai pelanggan pertama.
Gue berdiskusi baju yang cocok untuk sang istri. Pilihan gue akhirnya terhenti pada long-dress warna biru dengan corak hitam yang sangat manis. Ah, lagi-lagi jiwa melankolis gue keluar. Untung gue ga pernah ketemu Saipul Jamil. Oke. First Mission Completed!.
Tugas kedua gue adalah mencari kado bernama SEPATU. Seperti yang sudah gue jelasin di atas bahwa gue tertarik memberikan sepatu sebagai kado ulang tahun istri didasari oleh sedikitnya koleksi sepatu yang ia miliki. Gue langsung bergerilya mencari tahu seperti apa sepatu yang pas. Setelah berdiskusi dengan temen kantor dan mendapatkan berbagai masukan, gue akhirnya tercerahkan dan mendapatkan gambaran sepatu yang akan gue beli.
Ada banyak faktor yang sangat mempengaruhi kecocokan antara sepatu dan pemakainya. Berhubung gue berniat memberikan surprise ke istri, gue ngubek-ngubek toko sendirian bermodalkan contoh berupa sepatu istri yang gue simpen di dalam tas. Dan ternyata, mencari sepatu itu tidak semudah mencari jodoh (sok iye). Setelah berthawaf keliling toko selama beberapa putaran, gue nyerah. Gue khawatir sepatu yang gue beli tidak sesuai ukuran maupun bentuknya dengan preferensi istri. Karenanya niatan gue untuk menghadiahkan sepatu harus tertunda.
Dikarenakan ulang tahun istri jatuh di hari senin, kami merayakannya dengan makan-makan di Karnivor, Bandung, sehari sebelumnya. Buat kami berdua makan-makan adalah jalan keluar terbaik dari setiap permasalahan yang ada. Karena setelah makan, otak dapat kembali bekerja dengan baik sehingga solusi dari setiap permasalahan bisa muncul dengan sendirinya. Sepulang dari acara makan-makan tersebut, gue secara jujur mengakui bahwa gue sempet mencari-cari sepatu sebagai hadiah. Sayangnya niatan tersebut urung terealisasi karena masalah sepatu ini sangat berhubungan dengan selera sambil berjanji akan mencari sepatu bersama-sama manakala ia sudah semakin sehat dan tidak dihampiri kembali oleh rasa mual seperti saat ini.
Gue tidak pernah menjadi orang sabaran. Mungkin kalo ‘On The Spot’ bikin video ‘7 orang paling tidak sabar di dunia’ gue pasti menjadi salah satu nominasinya. Berangkat dari ketidaksabaran tersebut, rencana gue memberikan kado pada hari-H ulang tahun batal. Gue sekonyong-konyong memberikan kado berisikan baju yang sudah gue beli setibanya di rumah sepulang dari makan-makan. Gue juga berpesan agar kotak kadonya jangan dibuang karena harganya mendekati harga baju. Iya, harga kotak buat kado hampir sama dengan isi kado itu sendiri.
Gue sadar bahwasanya segala rupa materi yang gue berikan untuk istri tidak akan berarti manakala tidak diiringi dengan doa yang tulus dari palung hati. Semua bentuk tas, sepatu, baju, berlian dan banyak lainnya hanyalah benda yang usang bersamaan dengan bertambahnya waktu. Kecuali berlian. Usangnya lama. Makanya gue ga pernah ngasih berlian.
Selamat hari lahir, sayang.
Semoga pertambahan usia ini dimaknai dengan pertambahan segala kebaikan dan keberkahan. Ayah dan Alby selalu mengharapkan yang terbaik buat, bunda. Terimakasih atas segala lelah, letih, payah yang bertambah-tambah selama mengurus keluarga. Semoga semua dibalas dengan pahala yang berlimpah.
Selamat hari lahir, sayang.
Semoga janin yang ada di kandunganmu terus tumbuh dalam keadaan sehat hingga hari dimana kelak ia dilahirkan. Semoga engkau juga selalu sehat dalam upaya mengandung sang adik. Semoga semua mual, rasa lemas selama kehamilan kedua ini menjadi penebus dosa.
Selamat hari lahir yang ke-28, bunda.