Toleransi Umar

Juli 26, 2017 § Tinggalkan komentar

Sumber : Theweek.in

Oleh: Dr Hamid Fahmy Zarkasyi

Jika barometer toleransi abad 20 ini dideteksi di setiap penjuru dunia, maka Jerussalem mungkin adalah yang terburuk.

Pada akhir tahun 1987 saya sempat berkunjung ke kota Jerussalem lama. Kota kuno di atas bukit yang dikelilingi tembok raksasa itu menyimpan tempat suci utama tiga agama. Ketiganya adalah Masjid al-Aqsa, Wailing Wall (Dinding Ratapan) dan Gereja Holy Sepulchre (Kanisat al-Qiyamah). Di zaman modern tempat ini adalah daerah konflik yang paling menegangkan di dunia.

Ketika menapaki jalan-jalan di kota tua itu banyak perisiwa menegangkan. Saya menyaksikan seorang pendeta Katholik dan seorang rabbi Yahudi saling memaki dan sumpah serapah, nyaris saling bunuh.

Di lorong-lorong pasar saya melihat ceceran darah segar Yahudi dan Palestina. Di pintu masuk dinding ratapan saya bertemu seorang Yahudi Canada. Dengan pongah dan percaya diri dia teriak, “I come here to kill Muslims”. Di pintu gerbang masjid Aqsa, seorang tentara Palestina menangis selamatkan masjid al-Aqsa! Selamatkan masjid al-Aqsa!.

Namun jika deteksi toleransi itu dialihkan abad ke 7 dan seterusnya mungkin Jerussalem justru yang terbaik. Setidaknya sejak Muslim memimpin dan melindungi kota ini. Jika kita menelurusi lorong via dolorosa menuju Gereja Holy Sepulchre orang akan tersentak dengan bangunan masjid Umar. Masjid Umar itu terletak persis didepan gereja yang diyakini sebagai makam Jesus. Di situ semua sekte berhak melakukan kebaktian. Melihat lay-out dua bangunan tua ini orang akan segera berkhayal “ini pasti lambang konflik dimasa lalu”. Tapi khayalan itu ternyata salah. Fakta sejarah membuktikan masjid itu justru simbol toleransi.

Sejarahnya, umat Islam dibawah pimpinan Umar ibn Khattab mengambil alih kekuasaan Jerussalem dari penguasa Byzantium pada bulan Februari 638. Mungkin karena terkenal wibawa dan watak kerasnya Umar memasuki kota itu tanpa peperangan. Begitu Umar datang, Patriarch Sophronius, penguasa Jerussalem saat itu, segera “menyerahkan kunci” kota.

Syahdan diceritakan ketika Umar bersama Sophronius menginspeksi gereja tua itu ia ditawari shalat di dalam gereja. Tapi ia menolak dan berkata: “jika saya shalat di dalam, orang Islam sesudah saya akan menganggap ini milik mereka, hanya karena saya pernah shalat disitu”.

Umar kemudian mengambil batu dan melemparkannya keluar gereja. Ditempat batu itu jatuh ia kemudian melakukan shalat. Umar kemudian menjamin bahwa Gereja Holy Sepulchre tidak akan diambil atau dirusak pengikutnya, sampai kapanpun dan tetap terbuka untuk peribadatan umat Kristiani. Itulah toleransi Umar.

Toleransi ini kemudian diabadikan Umar dalam bentuk Piagam Perdamaian. Piagam yang dinamakan al-‘Uhda al-Umariyyah itu mirip dengan piagam Madinah. Dibawah kepemimpinan Umar non-Muslim dilindungi dan diatur hak serta kewajiban mereka.

Piagam itu di antaranya berisi sbb: Umar amir al-mu’minin memberi jaminan perlindungan bagi nyawa, keturunan, kekayaan, gereja dan salib, dan juga bagi orang-orang yang sakit dan sehat dari semua penganut agama.  Gereja mereka tidak akan diduduki, dirusak atau dirampas. Penduduk Ilia (maksudnya Jerussalem) harus membayar pajak (jizya) sebagaimana penduduk lainnya; dan seterusnya.

Sebagai ganti perlindungan terhadap diri, anak cucu, harta kekayaan, dan pengikutnya Sophorinus juga menyatakan jaminannya. “kami tidak akan mendirikan monastery, gereja, atau tempat pertapaan baru dikota dan pinggiran kota kami. Kami juga akan menerima musafir Muslim kerumah kami dan memberi mereka makan dan tempat tinggal untuk tiga malam… kami tidak akan menggunakan ucapan selamat yang digunakan Muslim; kami tidak akan menjual minuman keras; kami tidak akan memasang salib … di jalan-jalan atau di pasar-pasar milik umat Islam”.  (lihat al-Tabari, Tarikh al-Umam wa al-Muluk; juga History of al-Tabari: The Caliphate of Umar b. al-Khattab Trans. Yohanan Fiedmann, Albany, 1992, p. 191).

Bukan hanya itu. Salah satu poin dalam Piagam itu melarang Yahudi masuk ke wilayah Jerussalem. Ini atas usulan Sophorinus. Namun Umar meminta ini dihapus dan  Sophorinus pun setuju. Umar lalu mengundang 70 keluarga Yahudi dari Tiberias untuk tinggal di Jerussalam dan mendirikan synagogue. Konon Umar bahkan mengajak Sophorinus membersihkan synagog yang penuh dengan sampah. Itulah toleransi Umar.

Piagam Umar ternyata terus dilaksanakan dari sau khalifah ke khalifah lainnya. Umat Islam tetap menjadi juru damai antara Yahudi  dan Kristen serta antara sekte-sekte dalam Kristen. Ceritanya, karena sering terjadi perselisihan antar sekte di gereja Holy Sepulchre tentara Islam diminta berjaga-jaga di dalam gereja. Sama seperti Umar, para tentara juru damai itu pun ditawari shalat dalam gereja dan juga menolak. Untuk praktisnya mereka shalat dimana Umar dulu shalat.

Di tempat itulah kemudian Salahuddin al-Ayyubi pada tahun 1193, membangun masjid permanen. Jadi masjid Umar inilah saksi toleransi Islam di Jerussalem.

Namun, kini Jerussalem yang damai tinggal cerita lama. Belum ada jalan kembali menjadi kota toleransi. Lebih-lebih makna toleransi seperti dulu sudah mati oleh liberalisasi. Umar maupun Sophorinus tidak mungkin akan dinobatkan menjadi “Bapak pluralisme”. Sebab menghormati agama orang lain kini tidak memenuhi syarat toleransi. Toleransi kini ditambah maknanya menjadi menghormati dan mengimani kebenaran agama lain. Tapi “ini salah” kata Muhammad Lagenhausen. Kenneth R. Samples, pun sama “Ini penghinaan terhadap klaim kebenaran Kristen”. Biang keladinya adalah humanis sekuler yang ateis dan paham pluralisme agama (The Challenge of Religious Pluralism, Christian Research Journal). Bagi saya toleransi model pluralisme ini adalah utopia keberagamaan liberal yang paling utopis.

Iklan

Shaf Sholatmu, Deritaku

Juni 5, 2017 § Tinggalkan komentar

Sumber: ibtimes.co.uk

Memang, sebelum kita bermegah-megahan dalam beramal, yang lebih utama daripadanya adalah ilmu. Dan sebaik-baik penuntut ilmu adalah mereka yang mendahulukan adab atasnya. “Jadikan ilmu sebagai garamnya, dan adab itulah tepungnya,” Kata Imam Syafi’i menggambarkan “roti” penopang kehidupan. Seperti dikutip oleh Ustad Salim A Fillah dalam Sunnah Sedirham Syurga. Ia menambahkan bahwa Imam Bin Al-Mubarak berkata “Hampir-hampir adab itu senilai dua pertiga agama”.

Omong-omong tentang ilmu sebelum amal, ada sebuah pemandangan unik setiap kali saya melakukan solat berjamaah di mesjid. Entah mengapa, sebagian jamaah mesjid yang saya temui di banyak tempat enggan untuk merapatkan shaf dalam solat. Keengganan ini banyak didominasi oleh kaum tua dan terjadi lebih masif di mesjid-mesjid di sudut kota. Atau kita jamak mengejanya sebagai ‘mesjid kampung’. Orang-orang tua lebih sulit untuk diajak berdiskusi. Keengganan karena memandang remeh si muda ataupun kebiasaan yang sudah melekat seumur-umur menjadikan hal-hal kecil namun penting dalam sholat ini sering kali dilewatkan. Sebenarnya anak-anak pun banyak yang tidak merapatkan shaf namun keadaan ini tidak genting mengingat mereka lebih mudah diarahkan.

Beberapa referensi menyampaikan pentingnya merapatkan shaf dalam sholat berjamaah. Bahkan hampir tiap kali imam menyengaja diri untuk mengingatkan jamaah agar merapatkan shafnya. Tapi nampaknya beberapa orang lebih percaya diri untuk menjaga jarak dengan jamaah di sebelah kanan dan kiri.

Saya mengalami dua kejadian unik dan miris sehubungan dengan merapatkan shaf. Pernah suatu waktu di sebuah mesjid sekitaran Cisitu Bandung, di saat sedang merapihkan shaf solat magrib, salah seorang bapak paruh baya yang tepat berada di sebelah saya senantiasa menjauhi ujung jarinya setiap kali saya mencoba merapatkan. Berkali-kali saya coba merapatkan shaf, berkali-kali pula ia menjauh. Puncaknya adalah saat solat tengah berlangsung. Merasa situasi sudah aman terkendali dan kemungkinan bapak itu menjauh akan mengecil saat solat sudah dilakukan, saya pelan-pelan merapatkan kembali shaf. Ternyata apa? Sang bapak nampaknya gerah. Buktinya, kaki saya yang mencoba menggapai kaki sang bapak demi rapatnya shaf, diinjek tanpa malu-malu. Di saat bersamaan saya merasa ingin tertawa. Untung masih inget kalo sedang sholat.

“Luar biasa” pikir saya.

Setelah adegan penginjakan kaki tersebut, saya tidak lagi memaksa diri untuk merapatkan shaf. Saya paham bahwa tidak semua orang ingin didekati. Yang pacaran lama aja bisa putus apalagi yang baru pendekatan, iya kan? Loh…

Lepas sholat, sang bapak menghilang tanpa jejak. Saya pun tidak berencana lebih lanjut mencarinya untuk menjelaskan perihal duduk perkara kemestian merapatkan shaf dalam sholat.

Cerita kedua terjadi saat sholat, lagi-lagi Maghrib, di mesjid sekitaran Bintaro. Meskipun mesjid ini ramai namun orang-orang tua yang mengerjakan sholat di mesjid ini acap kali bersikap kurang ramah. Terutama pada anak muda. Saya merasa ketidaknyamanan berada di antara jamaah mesjid ini. Semoga ini hanya sekedar firasat akibat ketidaktahuan saya sahaja.

Mirip dengan kejadian pertama, bapak yang berada di kanan saya, sedari iqomah, ogah merapatkan shafnya. Saya membaui mulut, tapi tidak bau. Meskipun tidak wangi. Maklum saya kehabisan permen penyegar mulut. Ingin menyemprotkan parfum baju ke mulut, rasanya kurang etis. Mulut saya tidak terbuat dari Nylon. Ditambah belum adanya fatwa halal menyemprotkan minyak wangi ke dalam deretan gigi. Saya juga tidak mengenal bapak ini sebelumnya. Lantas mengapa ada sentimen sehingga kita harus jauh-jauhan, pak. Jangan khawatir, saya bukan admin Lambe Turah.

Dan terjadi lagi…

Niat baik saya merapatkan shaf demi kesempurnaan sholat, seperti yang kerap didengungkan oleh imam, disalahartikan oleh jamaah di sebelah saya. Beliau tanpa ragu menyemprot saya, tepat sebelum imam takbir, dengan memberikan penekanan bahwa ia tidak mau merapatkan shaf dalam barisan sholat. “Kena deh” pikir saya. Belum puas, entah disengaja atau tidak bapak tersebut menyikutkan tangannya yang bersedekap dengan keras ke tangan saya. Ebuset. Begini banget yah. Kzl.

Dua kali mendapatkan jurus ‘mematikan’ dari jamaah sholat membuat saya sedikit banyak ‘kapok’ untuk bersemangat merapatkan shaf. Saya tidak mau mengalami kejadian serupa untuk ketiga kalinya. Sejak saat itu, tiap kali bersebelahan dengan bapak paruh baya, saya mengira-ngira seberapa besar probabilitas kaki saya diinjek atau disemprot jika harus merapatkan shaf. Saya menjadi cuek. Jika mau merapatkan silahkan, jika tidak, saya merelakan saja. Ampuni Baim, Ya Allah.

Pengetahuan yang kurang, ukuran sajadah yang terlalu besar, keengganan belajar menjadi kunci ketidaktahuan kita dalam beribadah. Oleh sebab itulah agama dan tatacara ibadahnya bukan lah sekedar warisan. Jika agama adalah warisan, maka bentu-bentuk tata-cara peribadatannya mengikuti, patuh, taqlid pada orang-orang terdahulu. Padahal landasan ibadah adalah ilmu bukan kebiasaan orang-orang terdahulu yang diwarisi.

Mari kita merapatkan shaf dalam sholat, ya.

سوُّوا صُفُوفَكُمْ فَإِنَّ تَسْوِيَةَ الصَفِّ مِنْ تَماَمِ الصَّلَاةِ

Halal dan Haram

Januari 6, 2017 § 1 Komentar

Prinsip-prinsip Islam Menyangkut Halal dan Haram oleh Dr Yusuf Qaradhawi

  1. Pada dasarnya semua hal itu diperbolehkan
  2. Menghalalkan dan mengharamkan sesuatu hanyalah milik Allah
  3. Mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram sama dengan perbuatan syirik
  4. Larangan atas sesuatu dikarenakan keburukan dan bahayanya
  5. Yang halal mencukupi, yang haram tidak berguna
  6. Apapun yang menyebabkan kepada yang haram, termasuk haram
  7. Menyiasati yang haram, hukumnya haram
  8. Niat baik tidak dapat membatalkan yang haram
  9. Hal yang meragukan harus dijauhi
  10. Hal yang haram dilarang bagi semua manusia tanpa kecuali
  11. Hal yang haram diperbolehkan dalam keadaan darurat

Ketupat Lebaran

Juli 15, 2015 § Tinggalkan komentar

Alby

Satu hari usai tulisan ini diterbitkan oleh WordPress, ramadhan sudah berakhir untuk digantikan oleh idul fitri. Lebaran tahun 2015 Masehi atau 1436 Hijriah terasa spesial mengingat tidak perlu ada ‘perpecahan’ antara pemerintah dan ormas-ormas sehubungan dengan tanggal jatuhnya idul fitri. Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya dimana pemerintah yang menentukan 1 Syawal dengan Ru’yatul Hilal harus ‘berhadapan’ dengan ormas seperti Muhammadiyah yang menggunakan metoda Hisab. Belum lagi aliran seperti Naqsabandiyah atau Jamaah Aboge yang menggunakan metoda lainnya.

Lebaran tahun ini juga menjadi lebaran pertama Alby. Walau mungkin di usia enam bulannya, ia belum mengerti tentang gegap gempita hari raya. Alby juga untuk pertama kali akan mudik ke Palembang. Pertama kali naik pesawat. Dan pertama kali juga bertemu dengan sepupu, nenek serta om-tante yang ada di Palembang. Sebuah ekskalasi yang hebat mengingat gue ataupun istri baru mencicipi pesawat terbang untuk pertama kali saat mengingjak usia belasan.

Saat berangkat ke kantor tadi pagi, gue sekilas melihat rombongan penjual dadakan yang menggantung ketupat untuk dijajakan di sepanjang jalan Veteran, Bintaro. Hari Raya memang menjadi suatu fenomena ekonomi yang mendorong  terjadinya bisnis-bisnis insidental. Pola yang sama dilakukan oleh penyedia jasa tukar uang untuk THR yang berada di pinggir-pinggir jalan kota besar. Meskipun pada praktiknya, mereka menjalankan bisnis riba.

Ketupat sudah menjadi bagian dari tradisi lebaran di Indonesia. Sejak kecil, keluarga gue tidak pernah melewatkan ketupat sebagai pelengkap momen idul fitri. Ketupat akan disajikan bersamaan dengan lauk pauk khas daerah masing-masing. Di Pariaman, ketupat biasanya ditemani oleh Tunjang. Sementara di Palembang kami biasanya menyantap ketupat bersama dengan Opor dan Malbi.

Gue mencoba mencari tahu apa yang melatarbelakangi ketupat hingga begitu lekat dengan momen lebaran. Dari referensi yang gue baca, ketupat menjadi simbol perayaan hari raya islam dimulai pada masa pemerintahan Kerajaan Islam Demak, awal abad ke-15. Penjelasan ini disampaikan oleh H.J. de Graff dalam Malay Annal. Ia menambahkan bahwa daun ketupat dari janur mendeskripsikan masyarakat pesisir yang ditumbuhi oleh banyak kelapa. Sementara warna kuning janur melambangkan identitas masyarakat Jawa untuk membedakan dengan warna hijau timur tengah atau warna merah asia timur.

Sunan Kalijaga menjadikan ketupat sebagai perayaan tersendiri dengan istilah Lebaran Ketupat seminggu setelah idul fitri atau setiap tanggal 8 syawal. Lebaran ketupat diangkat dari pemujaan Dewi Sri, Dewi pertanian dan kesuburan yang dipercaya oleh masyarakat pra islam. Asimilasi budaya selalu menjadi bagian dari tradisi keagamaan selalu menjadi instrumen penyebaran agama islam oleh wali songo.

Sementara Menurut Slamet Mulyono dalam Kamus Pepak Basa Jawa, Kata ‘ketupat’ berasal dari ‘kupat’ yang berarti ngaku lepat atau mengakui dosa. Sementara Janur adalah singkatan dari Jatining nur atau hati nurani. Beras yang dimasukkan ke dalam janur adalah simbol nafsu duniawi. Jadi ketupat melambangkan nafsu duniawi yang dibungkus oleh hati nurani. Bagi sebagian masyarakat jawa, bentuk persegi ketupat menggambarkan empat arah mata angin.

Pendapat lain menjelaskan bahwa anyaman bungkus ketupat adalah simbol kesalahan manusia yang rumit. Setelah dibuka akan nampak beras/nasi putih yang berarti kebersihan dan kesucian hati memohon ampun atas segala kesalahan. Gue Pribadi cenderung sepakat dengan pendapat kedua ini.

Apapun definisinya, ketupat lebaran selalu menjadi ciri khas lebaran di sebagian besar masyarakat Indonesia. Ia nya adalah penyemarak momen lebaran. Disantap bersama dengan kuah santan atau lauk-pauk khas daerah. Semoga lebaran kita tidak hanya menyemangati masak ketupat, atau bersibuk dengan segala hal yang baru mulai dari ujung kepala hingga ujung kaki. Lebaran kita akan jauh lebih bermakna jika ramadhan kita sukses. Suksesnya dapat diinterpretasikan dari pribadi yang lebih baik nan bersahaja selepas melewati pesantren ramadhan.

Selamat Hari Raya Idul Fitri 1436 H.

Taqobbalallahu minna wa minkum. Shiyamana wa shiyamakum.

Islam dan Syiar Dakwah Nusantara

Juli 13, 2015 § Tinggalkan komentar

Oleh : Ustad Salim A Fillah

Islam. Betapa kata ini  sederhana lagi sempurna, utuh dan menyeluruh, indah serta menyejarah.

Adalah Imam Al Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan sebuah kisah dari Thariq ibn Syihab, bahwa telah datang seorang laki-laki dari kalangan Ahli Kitab Yahudi kepada ‘Umar ibn Al Khaththab. Pria itu lalu berkata, “Wahai Amirul Mukminin, ada sebuah ayat dalam kitab kalian dan kalian membacanya, sekiranya ayat itu turun kepada kami sungguh akan kami jadikan hari di waktu ayat itu turun sebagai hari raya tiap tahunnya”. Sayyidina ‘Umar bertanya kepadanya, “Ayat manakah yang engkau maksudkan?” Lelaki Ahli Kitab itu menjawab,

“..Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian, dan telah Kucukupkan atas kalian nikmat-nikmatKu, dan telah Kuridhai Islam sebagai agama bagi kalian..” (QS Al Maidah [5]: 3)

Maka, Sayyidina ‘Umar menimpali, “Sesungguhnya aku benar-benar mengetahui hari dan tempat ketika ayat itu turun kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, yaitu ketika hari Jumat bertepatan dengan hari ‘Arafah.”

Lihatlah betapa cemburu seorang Ahli Kitab, pada sebuah penyebutan dan penegasan yang gamblang dari Rabb semesta alam tentang agama yang diridhaiNya. Islam. Jadi nama risalah ini tersurat secara resmi di dalam ayat yang suci, sementara sejauh ini sulit menemukan agama lain yang mendapati namanya termaktub di kitab-kitab mereka. Umumnya, nama sebuah agama berasal dari penisbatan masyhur yang dilakukan oleh manusia dari sosok kunci atau ajaran.

Demikian pula sebutan untuk pemeluk agama ini, diumumkan dari langit dengan penuh kebanggaan, bahwa Allah sendiri yang memberi julukan sejak dahulu. Maka Islam adalah risalah seluruh Nabi dan Rasul, dan muslim adalah nama untuk para pengikut mereka di sepanjang zaman hingga kelak tiba masa pohon dan batu berbicara tentang musuh kebenaran yang bersembunyi di belakangnya.

“Dan berjihadlah kalian di jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kalian, dan Dia tidak menjadikan kesukaran untuk kalian di dalam agama. Ikutilah agama bapak moyang kalian Ibrahim. Allah telah menamakan kalian sebagai para Muslim sejak dahulu, dan begitu pula dalam Al Quran ini, agar Rasul itu menjadi saksi atas kalian dan agar kalian semua menjadi saksi atas segenap manusia. Maka laksanakanlah shalat dan tunaikanlah zakat, dan berpegangteguhlah kepada Allah. Dialah pelindung kalian; sungguh sebaik-baik pelindung dan sebaik-baik penolong.” (QS. Al Hajj [41]: 78)

Ialah tali Allah yang terentang teguh menjadi pegangan ummat manusia sepanjang zaman. Maka untuk mewakili matarantai Islam dan Muslim itu, Allah memilih nama Ibrahim ‘Alaihis Salam kekasihNya. Inilah sosok yang ketika Allah perintahkan padanya, “Aslim.. Islamlah engkau!”, bergegas dia menyambut, “Aku berislam pada Rabb semesta alam.” Maka inilah agama yang mudah, luas, dan tegas. Inilah risalah yang sederhana, indah, dan menyejarah.

Bahwa pengertiannya sederhana; yakni sebersahaja Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab ketika ditanya oleh Malaikat Jibril yang menyamar, apa itu Islam, dalam hadits panjang dari Sayyidina ‘Umar yang dibawakan oleh Imam Muslim. Adalah beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak berrumit-rumit dengan asal kata dan istilah. Tetapi menjawab dengan definisi ‘ilmiah yang ‘amaliah, “Islam itu bahwasanya engkau bersaksi bahwa tiada Ilah selain Allah dan Muhammad adalah RasulNya, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa Ramadhan, dan berhaji ke Baitullah jika memampuinya.”

Berpunca jaminan Allah “Kusempurnakan agama kalian” hingga makna ‘amal yang bersahaja dari Rasulullah inilah, kata “Islam” itu telah cukup, utuh, lagi menyeluruh.

Maka memberi sandaran berupa sebuah kata ataupun frasa di belakang kata Islam rasanya tidak perlu, juga merepotkan. Bahkan kata segagah “kaaffah” dan frasa secantik “rahmatan lil ‘aalamiin” pun ketika digandengkan dengannya menjadi “Islam Kaaffah” serta “Islam Rahmatan lil ‘Aalamiin” telah bermasalah sejak pengambilan asalnya.

“Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara kaaffah.” (QS Al Baqarah [2]: 108)

Dalam susunan ayat ini, kata “kaaffatan.. secara keseluruhannya” adalah kata keterangan untuk “udkhuluu.. masuklah kalian.” Jadi yang kaaffah adalah masuknya. Yakni masuklah secara kaaffah ke dalam Islam. Adapun kata “As Silm.. kedamaian” yang oleh Imam Ath Thabari setelah menyampaikan banyak riwayat tentang tafsirnya dari Mujahid, Qatadah, Ibnu Abbas, As-Suddiy, Ibnu Zaid, dan Adh-Dhahhak disimpulkan sebagai “Islam”, di dalam ayat ini berdiri tunggal, tidak diberi sandaran apapun.

Sebagaimana riwayat yang disebutkan oleh Imam Al Baghawi bahwa ayat ini turun tentang sebagian Ahli Kitab yang ketika masuk Islam masih mengagungkan hari Sabtu dan bahkan meminta izin untuk tetap membaca Taurat dalam shalat dengan alasan bahwa ianya adalah Kalamullah; maka tuntutan ayat ini menunjukkan kesempurnaan dan kemenyeluruhan Islam yang menjadikan segala lain tak diperlukan sebab ia telah cukup lagi mencakup.

“Dan tidaklah Kami utus engkau wahai Muhammad melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam.” (QS Al Anbiya’ [21]: 107)

Pun di ayat ini, kita mendapati bahwa frasa “rahmatan lil ‘aalamiin” adalah keterangan untuk “arsalnaaka.. Kami utus engkau”. Dengan demikian maknanya, rahmat semesta alam itu adalah Rasulullah. Sehingga gabungan kata yang menjadi simpulannya adalah “Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam rahmat bagi semesta alam”, dan bukan “Islam Rahmatan lil ‘Alamin.”

Ini sebagaimana yang disampaikan Imam Ath Thabari dalam Jami’ul Bayan maupun Imam Al Qurthubi dalam Al Jami’ li Ahkamil Quran, bahwa; “Rahmat ini dalam makna umum dan merata bagi semuanya. Karena lafazh al ‘aalamiin menunjukkan makna mutlak dan menyeluruh, maksudnya rahmat untuk alam manusia, yang mukmin dan yang kafir; untuk alam Malaikat; rahmat untuk alam jin, yang mukmin dan yang kafir; dan rahmat untuk alam hewan.”

“Adapun rahmat untuk yang beriman, maka Allah telah memberikan hidayah kepada mereka, dan menanamkan iman ke dalam hati mereka. Kemudian juga memasukkan mereka ke dalam surga dengan rahmat itu karena mereka telah mengamalkan ajaran yang dibawa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dari sisi Allah ‘Azza wa Jalla. Sedangkan rahmat untuk orang-orang kafir, yaitu bahwa Allah ‘Azza wa Jalla tidak langsung mengadzab mereka di dunia ini seperti Dia telah membinasakan orang-orang kafir sebelum mereka yang telah mendustakan para Nabi dan Rasul dengan penenggelaman dan pembenaman, melainkan menundanya hingga hari akhirat.”

Jadi, jika kata segagah “kaaffah” dan frasa secantik “rahmatan lil ‘aalamiin” pun ketika digandengkan dengan Islam telah bermasalah sejak pengambilan asalnya; kita akan lebih kesulitan lagi memberi argumentasi pada penisbatan Islam terhadap kata lain yang tak diambil dari Al Quran semisal “Liberal”, “Progresif”, atau juga “Timur Tengah” dan “Nusantara.”

***

Islam. Betapa kata ini sederhana lagi sempurna, utuh dan menyeluruh, indah serta menyejarah. Adapun jika kita mentafakkuri tentang Islam di Nusantara, ada hutang besar yang sudah seharusnya kita bayar. Ialah syi’ar dakwah, untuk, oleh, dan dari Nusantara bagi seluruh ummat manusia.

Meski Islam telah hadir di negeri ini sejak abad pertama Hijriah, terlacak dari surat menyurat antara Maharaja Sri Indrawarman dari Kerajaan Sriwijaya dengan Mu’awiyah ibn Abi Sufyan dan ‘Umar ibn ‘Abdil ‘Aziz, barangkali yang dapat kita catat sebagai masa dakwah paling intensif dan massif di jazirah ini adalah enam abad lalu. Untuk menyebutnya, dalam sejarah peradaban Islam kita dikenalkan dengan istilah Futuhat.

Futuhat inilah pembebasan yang dibawakan oleh Rasulullah dan para sahabat, sebagaimana Allah istilahkan bagi perjanjian Hudaibiyah; “Inna fatahna laka fathan mubiinaa.. Sesungguhnya Kami telah bukakan bagimu kemenangan yang nyata..” (QS Al Fath [48]: 1); kota Makkah “Fa ja’ala min duuni dzalika fathan qariibaa.. Maka Dia jadikan di sebalik itu kemenangan yang dekat..” (QS Al Fath [48]: 27); dan juga seluruh jazirah, “Idzaa jaa-a nashrullaahi wal fath, wa ra-aitannaasa yadkhuluuna fii diinillaahi afwaajaa.. Apabila datang pertolongan Allah dan kemenangan, dan kamu lihat manusia berbondong-bondong memasuki agama Allah.” (QS An Nashr [110]: 1-2)

Melihat ketiga peristiwa tersebut, sungguh indah bahwasanya Allah menunjukkan kepada kita metode-metode bagi Futuhat yang tidak tunggal, apalagi sebagaimana sering dituduhkan yakni melulu melalui peperangan. Tampak bahwa ia bisa berbentuk perundingan damai yang selepas itu membawa begitu banyak kebaikan, atau juga pengerahan kekuatan militer dengan pertumpahan darah yang amat minimal, dan pula perutusan-perutusan yang membawakan kabar gembira, peringatan, seruan, serta cahaya ini ke segala penjuru dunia.

Lalu apa nilai pencerahan yang ditawarkan oleh Futuhat ini? Mari kita kenang sebuah kalimat bersejarah. “Kami adalah kaum yang dibangkitkan Allah; untuk membebaskan manusia:

1) dari penghambaan kepada sesama makhluq, menuju peribadahan pada Khaliq semata.

2) dari sempitnya dunia, menuju luasnya akhirat.

3) dari kezhaliman agama-agama, menuju keadilan Islam.”

Jawaban indah ini menjadi syi’ar Futuhat. Mulai dari Sa’d ibn Abi Waqqash sang panglima besar, Al Mughirah ibn Syu’bah sang komandan lapangan, hingga Ribi’ ibn Amir si prajurit kecil dalam kesempatan berbeda menyatakannya dengan amat kompak kepada Rustum, panglima agung Persia dalam pertempuran Qadisiyah.

Maka “tangan Allah bersama jama’ah”. Jika Musa ‘Alaihis Salaam yang berkata “Inna ma’iya Rabbi sayahdin.. Sesungguhnya Rabbku bersamaku, Dia akan memberi petunjuk padaku” dibelahkan laut untuknya, hingga kaumnya menyeberang dalam takut diapit gelombang besar yang menggunung; pasukan Sa’d ibn Abi Waqqash bergandeng tangan menyeberangi lebar dan derasnya arus Dajlah dengan karamah yang membuat musuh terperangah. Selama tiga nilai Futuhat ini dipelihara; jadilah ia da’wah yang mencahayai semesta.

Tapi sejarah kita juga berisi pengalaman tentang bagaimana kiranya jika nilai-nilai Futuhat ini tidak dijaga.

Di Andalusia, saat raja-rajanya berrebut memperbudak kulit putih hingga jangat hitam dan rambut pirang hingga mata biru; kekuasaan 7 abad di sana jadi sedikit sekali membawakan ruh dakwah. Seperti digambarkan Ahmad Thompson dalam Islam in Andalus, kolam-kolam khamr direnangi dalam pesta, permainan optik dan air raksa menakutkan duta-duta Franka, bebangunan indah lagi rumit menjulang, ornamen-ornamen ukir dan keramik menakjubkan, pun Ziryab mengenalkan fine dining hingga mode pakaian tiap musim. Tapi bangsa keturunan Visigoth melihat itu semua sebagai lambang penjajahan.

alhambra-granada

Saat kuasanya rapuh dan antar penguasanya rusuh, Ferdinand dari Arragon dan Isabella dari Castillia memulai reconquesta. Satu per satu; Cordoba, Malaga, Huelva, Toledo, Sevilla, Almeria, dan akhirnya Granada jatuh. Maka tergulunglah muslimin nyaris tanpa sisa hingga bukit tempat sang Sultan terakhir menangisi lepasnya daulah terujung diberi nama “El Ultimo Sospiro del Moro”; desah nafas terakhir orang Mor. Dan hingga hari ini, Spanyol dan Portugal di semenanjung Iberia masih mencatatkan diri dalam tingkat Islamophobia yang amat tinggi.

andalusia_rondacanyon

Empat abad lamanya pula, muslim Mughal memerintah tiga perempat anak benua. Tapi seperti ditangisi Aurangzab Alamghir tentang Syah Jahan ayahnya; ketika cinta pada 1 perempuan mengorbankan 30.000 budak Hindu yang dibunuh sebakda diperas tenaganya untuk pembangunan kuburan mewah bernama Taj Mahal serta 3 tahun kas negara bangkrut dan pajak dipungut paksa demi pembangunannya. Hari ini, hanya sepuluh perratus kaum muslimin tersisa di negeri Bharata, India.

Adapun Nusantara ini diasasi berkah da’wah para Wali dan Sultan Demak. Inilah kesultanan yang mampu mengerahkan 300 kapal untuk berjihad melawan Portugis di Malaka; tapi bahkan sisa istananya tak ditemukan. Sebab, demikian menurut sebagian sejarawan, Sultannya amat bersahaja, hingga tempat tinggalnya pun tak jauh beda dengan rakyatnya. Ia menjadi kontras dengan Majapahit yang sudah lemah dan remuk oleh paregreg serta kesewenang-wenangan, tapi tetap bermewah-megah para penguasanya.

100_2727

Para Sultan inipun tunduk pada Majelis Syuraa para ‘Ulama di Masjidnya. Mereka, dengan gelar “Sunan” di depan nama, menjadi pelanjut dari generasi dakwah sebelumnya yang penuh hikmah. Dan sahibul hikayat berkisah, sejak catatan kelana Ibn Batuththah “Ar Rihlah” dihadiahkan Sultan Maroko kepada Muhammad I dari Daulah ‘Utsmaniyah di Turki, dengan penuh semangat sang Sultan-Ghazi mengirimkan da’i-da’i tangguh ke kepulauan ini.

Sebagai gambaran tentang betapa terrencana dan rapinya kerja tim Futuhat ini dalam merancang syi’ar dakwah Nusantara, sebuah Kropak rangkaian lontara yang tersimpan di Ferrara, Italia, ternyata mencatat isi rapat para Wali itu dan merangkum pengajaran-pengajaran yang mereka sepakati dalam mendakwahi masyarakat Jawa saat itu. Jauh sebelum itu, Het Boek van Bonang telah menjadi rujukan para sejarawan untuk melacak strategi dakwah yang dahsyat dari tim yang masyhur dikenal sebagai Wali Sanga ini.

Dahsyat, sebab, betapapun mereka belum sempurna menunaikan tugas dakwahnya, dan siapakah memangnya yang sempurna dalam dakwah selain Rasulullah; tapi hingga hari ini, belum ada lagi satu tim beranggotakan hanya beberapa mu’allim yang dalam waktu kurang dari 50 tahun atas izin Allah mampu menjadikan sebuah kerajaan besar yang tegak dengan Hindu dan Budha sebagai agama resmi, nyaris semua penduduk jazirah intinya bersyahadat. Belum lagi nantinya kita melihat, bagaimana pusat pendidikan mereka di Ampel, Giri, Kadilangu, Kudus, dan Cirebon  mendidik para calon ‘Ulama dan Sultan untuk Banten, Banjar, Mataram, Gowa, Ternate, Tidore, Bima, hingga Palembang.

Menyimak bagaimana misalnya Maulana Malik Ibrahim yang ahli irigasi dan persawahan menjawab persoalan pangan; bagaimana Maulana Maghribi I yang ahli ruqyah mengalahkan para dukun, klenik, tempat angker, dan sihir; bagaimana Maulana Ahmad Jumadil Kubra mendakwahi para penduduk gunung yang dikeramatkan; bagaimana Maulana ‘Aliyuddin dan Taqiyyuddin menekuni pengajaran di pelabuhan-pelabuhan; bagaimana Maulana ‘Ali Rahmatullah mendirikan sekolah kasatriyan di Ampeldenta untuk mengatasi krisis ketatanegaraan Majapahit; bagaimana Sunan Ngudung dan Maulana Ja’far Ash Shadiq menjawab persoalan strategi perang dan keprajuritan; hingga bagaimana Sunan Kalijaga menggubah budaya Islami untuk memassifkan tabligh; kita semakin takjub tentang bagaimana tim ini bekerja.

Maka inilah hutang besar kita, pada bangsa kita sendiri maupun dunia, sebuah syi’ar dakwah Nusantara.

Hutang terhadap diri sendiri sebab hari-hari ini kita berada di masa maraknya syi’ar namun sering tak terpimpin, tanpa arah, dan tak jelas hendak menuju mana dan meraih capaian apa; hingga kitapun susah menyebutnya “dakwah” apatah lagi “Futuhat”. Tak usah sejauh itupun, sejak kemerdekaan Republik Indonesia beberapa sensus telah digelar, dan prosentase jumlah ummat Islam terus menurun.

Litbang Kementerian Agama juga pernah merilis data, bahwa antara tahun 1970-an hingga 1990-an awal, buku-buku yang terbit di kalangan ummat Islam didominasi wacana Islamisasi pengetahuan, ekonomi Islam, hingga Politik Islam. Maka kitapun memanennya di akhir periode itu dengan tumbuhnya Ikatan Cendikiawan Muslim, ekonomi syari’ah, perbankan syari’ah, hingga kesadaran politik Islam.

Sebaliknya, antara tahun 1990-an akhir hingga hari ini, buku yang terbit kebanyakannya kembali mempertajam sisi-sisi khilafiyah furu’iyyah di kalangan ummat, antar ormas Islam, organisasi dakwah, dan antar harakah. Detail sekali peruncingan perbedaan itu hingga kitapun kembali memanennya dalam bentuk sensitifnya lagi soal-soal yang sebenarnya bertahun lalu telah diredam oleh para ‘Ulama dan Zu’ama dengan amat bijak.

Maka kalau hari ini dalam bingkai Islam Nusantara, tawassuth didengungkan dengan eksklusif seakan hanya kelompok kita yang moderat, tawazun didalilkan dengan jumawa seakan hanya kelompok kita yang seimbang, i’tidal dilanggamkan dengan nyaring seakan hanya kelompok kita yang tegak lurus, dan tasamuh didendangkan dengan nada tinggi seakan hanya kelompok kita yang toleran; kita justru sungguh khawatir ada bias terhadap syi’ar dakwah Nusantara yang menyentuh hati, merangkul, melayani, menyatukan, dan memberdayakan.

Belum lagi hutang kita pada Sultan Muhammad I yang mengirim da’i-da’inya ribuan mil, juga hutang kita pada para ‘ulama yang menempuh perjalanan jauh dan berbahaya, dan ukhuwah Islamiyah Mesir hingga Palestina yang diunjukkan penuh bangga mendukung kemerdekaan Indonesia. Seperti kaidah “Pay It Forward”, kita tertuntut pula membayarnya dengan membawa syi’ar dakwah Nusantara ini pada Eropa, Amerika, Australia, hingga Cina. Bahwa hari-hari ini, komunitas muslim Nusantara di berbagai negeri kian menunjukkan peran dakwah mereka bersama saudara-saudaranya dari berbagai bangsa, semoga ianya bagian dari kabar gembira untuk masa depan.

Sebagai penutup, izinkan kami menyampaikan sebuah kisah.

Imam Muhammad Abu 'Anzah (berblangkon) dari Gaza mengimami Tarawih di Jogokariyan.

Suatu saat kami sedang duduk di Masjid Jogokariyan, di hadirat Syaikh Dr. Abu Bakr Al ‘Awawidah, Wakil Ketua Rabithah ‘Ulama Palestina. Kami katakan pada beliau, “Ya Syaikh, berbagai telaah menyatakan bahwa persoalan Palestina ini takkan selesai sampai bangsa ‘Arab bersatu. Bagaimana pendapat Anda?”

Beliau tersenyum. “Tidak begitu ya Ukhayya“, ujarnya lembut. “Sesungguhnya Allah memilih untuk menjayakan agamanya ini sesiapa yang dipilihNya di antara hambaNya; Dia genapkan untuk mereka syarat-syaratnya, lalu Dia muliakan mereka dengan agama dan kejayaan itu.”

“Pada kurun awal”, lanjut beliau, “Allah memilih Bangsa ‘Arab. Dipimpin Rasulullah, Khulafaur Rasyidin, dan beberapa penguasa Daulah ‘Umawiyah, agama ini jaya. Lalu ketika para penguasa Daulah itu beserta para punggawanya menyimpang, Allahpun mencabut amanah penjayaan itu dari mereka.”

“Di masa berikutnya, Allah memilih bangsa Persia. Dari arah Khurasan mereka datang menyokong Daulah ‘Abbasiyah. Maka penyangga utama Daulah ini, dari Perdana Menterinya, keluarga Al Baramikah, hingga panglima, bahkan banyak ‘Ulama dan Cendikiawannya Allah bangkitkan dari kalangan orang Persia.”

“Lalu ketika Bangsa Persia berpaling dan menyimpang, Allah cabut amanah itu dari mereka; Allah berikan pada orang-orang Kurdi; puncaknya Shalahuddin Al Ayyubi dan anak-anaknya.”

“Ketika mereka juga berpaling, Allah alihkan amanah itu pada bekas-bekas budak dari Asia Tengah yang disultankan di Mesir; Quthuz, Baybars, Qalawun di antaranya. Mereka, orang-orang Mamluk.”

“Ketika para Mamalik ini berpaling, Allah pula memindahkan amanah itu pada Bangsa Turki; ‘Utsman Orthughrul dan anak turunnya, serta khususnya Muhammad Al Fatih.”

“Ketika Daulah ‘Aliyah ‘Utsmaniyah ini berpaling juga, Allah cabut amanah itu dan rasa-rasanya, hingga hari ini, Allah belum menunjuk bangsa lain lagi untuk memimpin penjayaan Islam ini.”

Beliau menghela nafas panjang, kemudian tersenyum. Dengan matanya yang buta oleh siksaan penjara Israel, dia arahkan wajahnya pada kami lalu berkata. “Sungguh di antara bangsa-bangsa besar yang menerima Islam, bangsa kalianlah; yang agak pendek, berkulit kecoklatan, lagi berhidung pesek”, katanya sedikit tertawa, “Yang belum pernah ditunjuk Allah untuk memimpin penzhahiran agamanya ini.”

“Dan bukankah Rasulullah bersabda bahwa pembawa kejayaan akhir zaman akan datang dari arah Timur dengan bendera-bendera hitam mereka? Dulu para ‘Ulama mengiranya Khurasan, dan Daulah ‘Abbasiyah sudah menggunakan pemaknaan itu dalam kampanye mereka menggulingkan Daulah ‘Umawiyah. Tapi kini kita tahu; dunia Islam ini membentang dari Maghrib; dari Maroko, sampai Merauke”, ujar beliau terkekeh.

“Maka sungguh aku berharap, yang dimaksud oleh Rasulullah itu adalah kalian, wahai bangsa Muslim Nusantara. Hari ini, tugas kalian adalah menggenapi syarat-syarat agar layak ditunjuk Allah memimpin peradaban Islam.”

“Ah, aku sudah melihat tanda-tandanya. Tapi barangkali kami, para pejuang Palestina masih harus bersabar sejenak berjuang di garis depan. Bersabar menanti kalian layak memimpin. Bersabar menanti kalian datang. Bersabar hingga kita bersama shalat di Masjidil Aqsha yang merdeka insyaallah.”

Penaklukan Konstatinopel & Kabar Gembira Nabi

Mei 3, 2015 § Tinggalkan komentar

tanduk-emas

PROLOG

Kekaisaran Romawi bermula pada tahun 27 SM (Sebelum Masehi). Pada tahun 330 Masehi, Kekaisaran Romawi terpecah dua. Romawi Barat bertuturkan bahasa Latin dan kemudian mengikuti Katolik Roma. Kekaisaran Romawi Barat mengalami perpecahan dan keruntuhan pada abad ke-5 atau tahun 476 M.

Sedang Kekaisaran Romawi Timur, dengan penguasa pertama Kaisar Konstantinus I, bertuturkan bahasa Yunani dan kemudian mengikuti Gereja Ortodoks Timur dan Monofisitisme dengan ibukota Bizantium (maka disebut juga Kekaisaran Bizantium). Bizantium kemudian dirubah nama menjadi Konstantinopel untuk untuk menghormati sang Kaisar. Kekaisaran Romawi Timur berkembang dan maju hingga kira-kira seribu tahun sampai akhirnya ditaklukan oleh Kekhalifahan Turki Utsmaniyah pada tahun 1453 pada masa Kaisar Konstantinus XI. Selama sebagian besar masa keberadaannya, Kekaisaran Romawi Timur merupakan kekuatan ekonomi, budaya, dan militer yang paling berpengaruh di Eropa.

PENAKLUKAN KONSTANTINOPEL

Rasulullah SAW telah memberikan kabar gembira akan ‘Penaklukan Konstantinopel’.

Beliau bersabda: “Kota Konstantinopel akan jatuh ke tangan Islam. Pemimpin yang menaklukkannya adalah sebaik-baik pemimpin dan pasukan yang berada di bawah komandonya adalah sebaik-baik pasukan.” [H.R. Ahmad bin Hanbal Al-Musnad 4/335].

Dari Abu Qubail berkata: Ketika kita sedang bersama Abdullah bin Amr bin al-Ash, dia ditanya: Kota manakah yang akan dibuka terlebih dahulu; Konstantinopel atau Rumiyah (Roma)? Abdullah kemudian meminta diambilkan kotak dengan lingkaran-lingkaran miliknya. Kemudian dia mengeluarkan kitab. Abdullah berkata: Ketika kita sedang menulis di sekitar Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, beliau ditanya: Dua kota ini manakah yang dibuka lebih dulu: Konstantinopel atau Rumiyah? Rasul menjawab, “Kota Heraklius dibuka lebih dahulu.” Yaitu: Konstantinopel.(HR. Ahmad, ad-Darimi, Ibnu Abi Syaibah dan al-Hakim)

Hadits ini dishahihkan oleh al-Hakim. Adz-Dzahabi sepakat dengan al-Hakim. Sementara Abdul Ghani al-Maqdisi berkata: Hadits ini hasan sanadnya. Al-Albani sependapat dengan al-Hakim dan adz-Dzahabi bahwa hadits ini shahih. (Lihat al-Silsilah al-Shahihah 1/3, MS).

Rasulullah telah mengucapkan kata-kata itu sejak 850 tahun sebelum pembebasan Konstantinopel terjadi.

Ada dua kota yang disebut dalam Nubuwwat Nabi di hadits tersebut:

1. Konstantinopel

Kota yang hari ini dikenal dengan nama Istambul (awalnya dinamai ISLAMBUL/Kota Islam oleh Al-Fatih), Turki. Dulunya berada di bawah kekuasaan Byzantium yang beragama Kristen Ortodoks. Tahun 857 H/1453 M, kota dengan Benteng legendaris tak tertembus akhirnya runtuh di tangan Sultan Muhammad al-Fatih.

2. Rumiyah

Dalam kitab Mu’jam al-Buldan dijelaskan bahwa Rumiyah yang dimaksud adalah ibukota Italia hari ini, yaitu Roma. Para ulama termasuk Syekh al-Albani pun menukil pendapat ini dalam kitabnya al-Silsilah al-Ahadits al-Shahihah.

MUHAMMAD AL-FATIH ‘SANG PENAKLUK’

Benteng Konstaninopel sudah berusaha di taklukaan sejak sekitar 850 tahun sebelumnya, mulai dari Zaid bin Muawiyah. Akhirnya Konstantinopel ditaklukkan oleh Muhammad Al-Fatih pada 1453 M.

Sultan Utsmaniyah yang berumur 21 tahun ini memimpin penaklukan Konstantinopel melawan tentara bertahan yang dikomandoi oleh Kaisar Bizantium Konstantinus XI. Pengepungan berlangsung dari Jumat, 6 April 1453 sampai Selasa, 29 Mei 1453 (berdasarkan Kalender Julian).

Penaklukan Konstantinopel menandai berakhirnya Kekaisaran Romawi, sebuah negara yang telah berlangsung selama hampir 1.500 tahun, itu juga merupakan pukulan besar untuk Kristen. Intelektual Yunani dan non-Yunani beberapa meninggalkan kota Konstantinopel sebelum dan sesudah pengepungan, migrasi terutama ke Italia. Intelktual Yunani inilah membantu penanda dimulainya masa Renaisans di dunia barat.

Pelajaran apa yang bisa kita petik dari Muhammad al Fatih?

1) Muhammad Al Fatih merupakan pemuda berusia kurang dari 21 tahun saat penaklukkan.

2) Pemuda yang sangat percaya dengan bisyaroh Rasulullah bahwa sebaik-baik pemimpin ialah yang memimpin  penaklukan Konstantinopel dan Roma.

3) Pemuda yang melayakkan dirinya setiap harinya di siang hari meningkatkan kapasitasnya dan di malam hari bertaqarub terus dengan ilahi. Tercatat, Al Fatih sejak baligh hingga wafat selalu menegakkan Tahajud dan sholat jamaah.

4) Dia mengumpulkan pasukan-pasukan terbaik di masa itu, yaitu pasukan Inkisariyah.

5) Dia menguasai geopolitik dengan mendirikan dua benteng di sekitar Konstantinopel sehingga memutus logistik Konstantinopel dari Eropa.

6) Al Fatih mempersiapannya dengan membangun benteng sepanjang 30 ribu km2 dalam waktu kurang dari 4 bulan. Ini yang membedakan orang serius dengan yang tidak serius.

7) Menyiapkan meriam raksasa yang terbesar di masa itu. Dia kerahkan hal-hal yang baru di masa itu dengan membariskan 250 ribu pasukan (2x lipat jumlah pasukan Alexander Agung).

8) Al Fatih mengerahkan segala cara, sisi darat dan laut

9) Memindahkan 70 kapal melewati bukit dalam waktu SEMALAM. HAL FENOMENAL dan menjadi horor bagi penduduk Konstantinopel.

10) Mendirikan menara-menara bergerak.

11) Membangun terowongan-terowong yang menggetarkan penduduk Konstantinopel.

Al Fatih di bimbang langsung dengan gurunya, Syaikh Syamsudin, sehingga saaat penaklukan Konstantinopel, Al Fatih satu-satunya orang yang tidak pernah meninggalkan sholat tahajud, tidak pernah masbuq sholat berjamaah, tidak pernah meninggalkan sholat dhuha. Ia satu-satunya.

Pelajaran berharga buat kita semua adalah modal keimanan/ketakwaan tidak cukup untuk menaklukkan dunia ini, namun juga menguasai hal-hal yang teknis secara expert, sangat serius untuk mempersiapkan hal itu semua.

Muhammad Al Fatih menguasai 7 bahasa, hafal peta semua kerajaan-kerajaan di Eropa beserta sejarah mereka semua, belajar siroh nabawiyah dan sejarah-sejarah generasi shahabat dan generasi selanjutnya,  mengumpulkan pasukan terbaik (pasukan elit inkisariyah), melatih keimanan pasukannya.

Sumber : PKSPiyungan

Jihad

April 28, 2015 § Tinggalkan komentar

Pada 11 September 2001 dua pesawat penumpang menabrak dua menara kembar World Trade Center di Amerika Serikat. Diduga pelakunya adalah Muslim, teroris Muslim, terutama Usama bin Ladin. Setelah itu beberapa Negara Islam dicurigai sebagai sumber terorisme. Tak ayal lagi Negara Afghanistan dan Irak diperangi dan dikuasai hingga kini.

Media Barat secara latah segera mengaitkan peristiwa ini dengan jihad umat Islam. Bush pun juga salah sangka dan teriak “This is new crusade” (ini perang salib baru).  Meski dianggap salah redaksi lalu dikoreksi, orang tahu apa yang dipikirkannya.

Jack Nelson-Pallmeyer,  menulis “Is Religion Killing Us?” Menuduh semua agama sebagai sumber peperangan dan malapetaka. Charles Kimbal, dalam bukunya “When Religion Becomes Evil” (Ketika Agama Menjadi Jahat) membuat lima kriteria agama jahat dan salah satunya adalah yang mendeklarasikan “jihad”. Menurutnya “Declaring war “holy” is a sure sign of corrupt religion”.

Ringkasnya perang atas nama agama di zaman sekarang ini “haram”. Tapi perang atas nama kemanusiaan boleh, meskipun lebih banyak membunuh dan mengorbankan nyawa.

Banyak terminologi perang dalam al-Qur’an. Kata netralnya adalah qital, yaitu perang dengan menggunakan senjata menghadapi musuh. Jika qital itu diniatkan untuk membela kebenaran agama Allah maka ia disebut jihad. Perang orang kafir disebut juga qital, tapi bukan jihad karena untuk membela tiran atau taghut (al-Nisa’, 76).

Istilah lain dari perang adalah “harb”. Harb adalah peperangan dalam arti umum disebut sebanyak 6 kali dalam al-Qur’an. Harb digunakan untuk perang Arab Jahiliyah, seperti perang al-Basus. Mungkin Perang Dunia I dan II lebih cocok disebut harb. Boleh jadi dalam harb zaman modern musuh tidak saling berhadapan. Karena makna negatifnya maka al-Qur’an tidak pernah menggunakan istilah harb untuk qital yang berarti jihad.

Harb lebih bermakna sekuler dan hanya untuk kepentingan dunia seperti untuk kekuasaan, ekonomi, politik, memperebutkan harta karun atau sumber alam dsb. Maka slogan para demonstran di Amerika yang berbunyi No War for Oil, tidak bisa diganti menjadi No Jihad for Oil (La Jihada lil Bitrul). Yang tepat La harba lil bitrul.

Makna lain dari perang adalah ghazwah yaitu qital umat Islam yang disertai Nabi. Sedangkan yang tidak disertai beliau disebut sariyyah. Makna-makna itu semua menunjukkan bahwa perang dalam Islam ada aturan dan akhlaqnya.

Meskipun peperangan mewarnai sejarah Islam, tapi Islam sangat membenci peperangan. Allah pun menghindarkan orang-orang beriman dari peperangan (al-Ahzab : 25). Ini tidak sebanding misalnya dengan “hobbi” perang bangsa Yunani yang mengagungkan Ares, sang dewa perang. Orang Romawi mensucikan Tuhan perang yang disebut Mars.

Apakah semua perang itu berarti jihad? Dan apakah jihad itu hanya berarti perang? Dalam al-Qur’an kata jihad disebut hanya sebanyak 34 kali. Arti “jihad” tidak seperti yang difahami orang Barat. Tidak bisa pula diterjemahkan menjadi Holy War. Para ulama mengartikan jihad sebagai mencurahkan kemampuan, tenaga dan usaha untuk menyebarkan dan membela dakwah Islam serta mengalahkan (musuh). Bisa juga berarti menanggung kesulitan.

Jihad tidak selalu berarti perang. al-Raghib al-Isfahani memahami jihad sebagai melawan tiga macam musuh: melawan musuh yang tampak, melawan godaan syetan, melawan hawa nafsu. Jihad melawan musuh yang tampak pun tidak mesti perang.  Sebab Nabi bersabda “berjihadlah kepada orang-orang kafir dengan tangan dan lisan kalian”.

Ibn Taymiyyah bahkan memaknai jihad menjadi empat. Pertama dengan hati yaitu berdakwah mengajak kepada syariat Islam; kedua dengan argumentasi untuk mencegah kebatilan atau kesesatan; ketiga dengan penjelasan untuk membeberkan pemikiran yang benar untuk umat Islam; dan keempat, dengan tubuh yaitu berperang.

Ibn al-Qayyim, dalam Zad al-Ma’ad menyimpulkan ayat-ayat jihad dalam al-Qur’an menjadi tiga belas tingkatan. Empat tingkatan melawan hawa nafsu, dua tingkatan melawan syetan, empat tingkatan melawan kaum kafir dan munafik, tiga tingkatan melawan kezaliman dan kefasikan.

Begitulah, makna jihad yang berarti perang fisik menurut al-Isfahani, Ibn Taymiyyah dan Ibn al-Qayyim hanyalah bagian terkecil dari arti jihad. Itupun tidak sama dengan perang sekuler atau Holy War di Barat yang sarat kebencian dan penistaan. Qital dalam arti Jihad masih terikat oleh aturan yang berdimensi akhlaq dan rasa kemanusiaan.

Senjata tidak boleh merusak tanaman, makhluk hidup, binatang ternak, dan sebagainya. Senjata pemusnah massal seperti kimia, nukler, bakteri, biologi tidak digunakan dalam perang Islam. Target serangan pun tidak boleh mengenai rumah ibadah, wanita, anak-anak, orang tua renta, orang cacat, orang buta, pendeta dan mereka yang tidak sedang perang. Jika pun telah menang bala tentara Islam tidak boleh menghina musuh yang kalah.

Jihad dalam arti perang menurut al-Qardhawi dibagi menjadi dua: jihad penyerangan (al-talab) dan jihad perlawanan (daf’). Yang pertama disebut futuhat (pembebasan). Maknanya menyerang untuk membebaskan negeri di sekitar negeri Islam dari penguasa zalim. Yang kedua melawan musuh yang secara militer memasuki negeri-negeri Islam. Berarti perang bangsa Indonesia melawan Belanda, bangsa Aljazair melawan Perancis, rakyat Palestina melawan Zionis adalah jihad.

Qardhawi juga memasukkan musuh dalam bentuk “pemikiran yang mengancam aqidah, yang membuat ide-ide sesat dalam agama, yang mempengaruhi umat Islam untuk meninggalkan agama”. Nampaknya al-Qardhawi setuju melawan “agresi” liberalisme, sekularisme, pluralisme agama, dan semacamnya yang mengancam aqidah dan syariah adalah jihad.*

Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi

Keikhlasan Sang Guru Ngaji

Februari 22, 2015 § Tinggalkan komentar

belajar-mengaji

Pahlawan, ujar Anis Matta, adalah orang yang memiliki banyak pahala. Nasihat tersebut disampaikan oleh sang guru untuk mendeksripsikan sosok pahlawan yang kembali ia ceriterakan dalam salah satu bukunya. Itulah mengapa sosok guru dikenal sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Karena dari kerja keras mereka, dari setiap kata yang terucap, dari adab-adab yang diajarkan terkandung pahala saat ia berbuah ilmu yang bermanfaat bagi para murid.

Hampir semua orang yang menempuh pendidikan secara formal maupun non-formal pasti memiliki pengalaman tersendiri tentang guru mereka. Pada Butet Manurung, kita belajar makna pengabdian seorang guru yang tak dikenal media. Bekerja tanpa berharap muka disorot oleh kamera dengan kilatan cahaya. Untuknya, mengajar adalah transfer pengetahuan dari si tahu ke si tak tahu. Proses perpindahan ilmu yang tak disekat oleh batas-batas penilaian manusia, tak dijamah oleh pesona harta benda.

Buat saya pribadi, pernah ada sesosok manusia yang sangat menginspirasi. Seorang guru yang dalam diamnya mengajarkan keikhlasan. Dalam ucapnya menyampaikan kebaikan.

Entah mengapa saat ini saya sangat ingin membahas sosok beliau.

Kemarin sore, sebakda matahari mulai menginggalkan peraduan, saya melangkahkan kaki menuju masjid terdekat guna menunaikan sholat maghrib. Dalam perjalanan, terlihat sekumpulan bocah laki dan perempuan yang mengenakan pakaian muslim nan rapih tengah berkumpul di depan sebuah rumah yang sederhana. Sayup-sayup terdengar mereka mengeja ayat Al Quran dan melafazkan doa yang kelak mereka akan kenal sebagai doa sapu jagat. Di depannya nampak seorang wanita paruh baya memimpin lantunan ayat suci tersebut.

Takjub!

Dengah langkah yang tegas saya menapaki jalan sambil sesekali teringat pada masa-masa belajar mengaji di masjid dekat rumah. Kaki kecil kami berlarian, berlomba menggapai masjid dengan cepat dalam upaya merengkuh ilmu mengenali kitab mujizat nabi,

Namanya adalah Pak Mukhlis. Ia sudah mengajar di masjid tempat kami tinggal sejak kakak pertama saya, yang usianya 17 tahun lebih tua, masih duduk di bangku sekolah dasar. Pun halnya berturut-turut 5 kakak saya lainnya diajari membaca Al Quran oleh beliau. Artinya saya adalah generasi terakhir di keluarga kami yang belajar mengeja a, ba, ta dari kepiawaiannya mengajarkan.

Perawakannya tegap. Raut mukanya khas orang melayu atau orang minang. Dengan koko putuh dan peci hitam yang selalu setia menghiasi kepala, beliau hadir tepat waktu untuk membimbing kami kata per kata di lantai dua masjid Jamiatul Islamiyah.

Metoda belajar yang beliau ajarkan agak berbeda dengan yang secara umum didapatkan oleh anak-anak lain yang belajar membaca Al Quran. Kami tidak mulai dengan membaca buku iqro’ 1-6. Kami, sedari awal, langsung memegang Al Quran dan dituntun secara perlahan untuk mengenali satu per satu huruf Hijaiyah. Sesekali kami diperintahkan untuk membedah kata per kata dan huruf per huruf. Lalu dengan bimbingannya, diajarkanlah cara menghapal arti surat-surat pendek dengan irama lagu yang mengiringi.

‘Plak’

Sebilah penggaris panjang menghampiri kaki. Meninggalkan bekas merah yang sesaat kemudian padam. Pak Mukhlis memang terkenal tegas. Tak pernah berkompromi pada setiap ketidakdisiplinan maupun kemalasan-kemalasan muridnya. Tidak jarang, penggaris itulah yang menjadi saksi betapa kenalakan harus diluruskan. Kemampuan beliau mendidik kami dalam mempelajari Al Quran sungguh luar biasa. Beliau adalah sosok pengajar sejati. Tak pernah mengajar dengan emosi. Setiap kali kami melakukan pelanggaran maka ia tak marah pada sosok melainkan sifat kesembronoan individu.

Namun di balik itu semua, yang paling membuat saya kagum akan sosok beliau adalah pada bagimana ia menjadikan ikhlas bukan sekedar panduan dalam ibadah. Ikhlas telah berwujud dalam aktifitas bukan sekedar tulisan di atas kertas. Bagaimana mungkin, selama belasan mungkin puluhan tahun, ia tak pernah memungut bayaran dari kami, murid-murid yang jumlahnya puluhan. Mungkin ratusan. Kebenaran ini ditegaskan oleh para pendahulu yang pernah menjadi muridnya.

Ia tak meminta. Tak menjadikan aktifitas amalnya ternodai oleh tarif-tarif yang hanya bernilai dunia. Saat itu, saya tak mengerti bagaimana kebutuhan keluarganya tercukupi. Ia nampaknya juga bukan pegawai negeri atau pegawai swasta yang waktunya dibatasi. Setiap pagi, terkadang siang, ia kerap mengisi pengajian kami.

Sungguh, amal jariyah yang ia titipkan pada murid-muridnya akan selalu membekas. Dari setiap lantunan Al-Quran terdapat pahala-pahala untuk beliau Pahala yang tak terputus. Bahkan kelak ketika saya mengajarkan Al-Quran pada anak, maka warisan pahala untuknya akan terus mengalir menjadi penyambung ibadah dan kebaikan selepas nantinya terputus amal seseorang saat jasad telah tertanam di dalam tanah.

Saat ini saya tidak tahu di mana beliau berada. Sudah lama sekali tidak menjumpainya. Doa kami selalu menyertaimu, pak. Di manapun engkau berada. Semoga ilmu yang engkau ajarkan bermanfaat untuk kami dan menjadi amal jariah untuk engkau. Tidak hanya huruf hijaiyah namun juga tentang keikhlasan.

Sumber Gambar dari sini

House Of Wisdom Jilid II

November 11, 2014 § Tinggalkan komentar

house of wisdomDalam satu bulan terakhir, gue tertarik untuk membaca sejarah islam dan prestasi-prestasi yang telah diukir untuk dunia. Memang, Islam sendiri adalah warisan tak bernilai bagi umat Nabi Muhammad khususnya dan manusia secara keseluruhan pada umumnya. Ia jauh lebih berharga daripada ide-ide marxisme atau peninggalan relativitas Einstein. Namun untuk menjawab keraguan para muslim yang sudah kehilangan izzah atas identitas keislamannya, kita perlu membuka tabir tentang apa-apa saja yang telah diwariskan para generasi pendahulu kita bagi peradaban modern.

Kegemilangan Islam dalam ilmu dan teknologi sangat berkembang saat Kekhalifan Abbasiyah dan Umayyah (Spanyol) memimpin dunia. Warisan ilmu pengetahuan yang mereka tumbuh kembangkan adalah kilat cahaya yang menerangi eropa untuk bangkit dari era dark age menuju zaman renaissance. Eropa di awal milenium kedua sangat jauh tertinggal dari Islam. Mereka terkungkung pada mistisme dan kekakuan dogma gereja yang menentang habis-habisan ilmu pengetahuan. Namun perlahan, mundurnya kerajaan islam akibat terpecah belah menjadi kerajaan kecil serta penyakit wahn yang sedari awal sudah diingatkan oleh Nabi Muhammad, menjadi awal kebangkitan barat beserta perangkat ilmu pengetahuannya. Perlu dipahami bahwa kemajuan  tersebut berimbas pada majunya perdaban barat saat ini.

Berbicara mengenai ilmu pengetahuan tidak akan pernah terlepas dari ‘Baitul hikmah’ atau House of wisdom. House of Wisdom adalah tempat di mana para ilmuwan berkumpul dan membahas ragam ilmu mulai dari logika, metafisika, teologi, aljabar, geometri, trigonometri, fisika, kedokteran hingga bedah.

Dalam buku ‘Great Discoveries of Muslim’, penulis menjabarkan apa-apa saja prestasi muslim berkaitan dengan ilmu pengetahuan yang masih bisa kita rasakan saat ini. Dari sekian banyak kebermanfaatan tersebut, berikut ini adalah segelintir rinciannya. Gue tulis dalam versi bahasa inggris (langsung di salin ulang dari buku yang sama)

  1. Book of optics from Ibnu Al Haytam (Alhazen) was actually a critique of Ptolemy’s book Almagest. He was the first to introduce experimental evidence as a requirement for accepting a theory since physics before him was more like philosophy, without experiment.
  2. Napoleon Bonaparte French Military bands were equipped with Ottoman war musical instruments such as zil (cymbal) and the kettledrums.
  3. Ziryab or blackbird has become a fashion trend setter; disseminate ethic, sound system (music), and three course menu.
  4. Baghdad with ‘House of Wisdom’ was the world’s richest city and center for intellectual development. In muslim countries a thousand years ago, the school was the mosque. One of the first lessons in writing was to learn how to write ninety-nine most beautiful names of God and simple verses from the Quran. After this, the Quran was studied thoroughly and arithmetic was added. By the 10th century, teaching was moving away from mosque and into the teacher’s house. This means that gradually schools developed, in Persia first.
  5. On 1066, Seljuk built the Nizamiyah school, named after its founder, Vizier Nizam al-mulk of Baghdad invade England. This was the first proper school that had a separate teaching building.
  6. By the 15th century, the ottomans had revolutionized schools by setting up learning complexes in towns like Bursa and Edirne in Turkey. Their school system was called, Kulliye, and constituted a campus-like education.
  7. This university (al-qarawiyin in Fez, Morocco) was built in 841 CE by Fatima Al Fihri. At the Al Qarawiyin mosque students didn’t pay fee and were given monetary allowances for food and accommodation. The teaching was in study group, known as The certificates known as ijaza.
  8. Terms ‘chair’ as professional position like the chair of board or a committee was evolved from professor who was seated on ‘chair’ or ‘kursi’ around the students
  9. A great refinement of muslim mathematicians of the indian system was the wider definition and application of the zero. Muslim gave it a mathematical property such as that zero multiplied by a number equals zero. Arabic numbers came into Europe by 3 sources : Gerbert (Pope Sylvester 1) in the late of 10th century, who studied in cordoba. Robert of Chester in the 12th century, who translated the 2nd book of Al khawarizmi. And Fibonacci in the 13th century, who inherited and delivered them to the mass population of Europe. Fibonacci learn of them when he was sent by his father to the city of Bougie, Algeria. He learnt mathematics from a teacher called sidi omar.

Saat ini, kita tidak mengenal siapa itu Al-Khawarizmi, Ibnu Khaytam, Ibnu Rusyd dan banyak lainnya. Buku pelajaran lebih banyak mengulas kehebatan Plato, Aristoteles dan segala yang berbau helenisme atau kemajuan teknologi barat yang dikomandoi oleh Galileo Galilei dan Nicolaus Copernicus.

Berbeda dengan opini barat yang selama ini sering meng–undervalue kejayaan islam dan kemajuannya, Tim Wallace-Murphy dalam sebuah buku berjudul ‘What Islam did for US‘ menekankan perlunya Barat mengakui bahwa mereka mewarisi sains Yunani dan lain-lain adalah atas`jasa para ilmuwan dan penguasa Muslim. Di masa kegelapan Eropa tersebut, orang-orang Barat secara bebas menerjemahkan karya-karya berbahasa Arab – tanpa perlu membayar Hak Cipta. Sejarawan Louis Cochran menjelaskan, bahwa Adelard of Bath (c.1080-c.1150), yang dijuluki sebagai “the first English scientist”, berkeliling ke Syria dan Sicilia selama tujuh tahun, pada awal abad ke-12. Ia belajar bahasa Arab dan mendapatkan banyak sekali buku-buku para sarjana. Ia menerjemahkan “Elements” karya Euclidus, dan dengan demikian mengenalkan Eropa pada buku tentang geometri yang paling berpengaruh di sana. Buku ini menjadi standar pengajaran geometri selama 800 tahun kemudian. Adelard dengan menerjemahkan buku table asronomi, Zijj, karya al-Khawarizmi (d. 840) yang direvisi oleh Maslama al-Majriti of Madrid (d.1007). Buku itu merupakan pengatahuan astronomi termodern pada zamannya. (Adian Husaini).

Jonathan Lyons, peneliti di Global Terrosim Research Center, menambahkan dalam bukunya ‘The Great Bait Al Hikmah’ bahwasanya kehadiran sains dan filsafat Arab, yang menjadi warisan Adelard si pelopor dan orang-orang yang segera mengikuti teladannya, berhasil mengubah Barat yang terbelakang menjadi penguasa sains dan teknologi. Perjumpaan dengan sains Arab ini bahkan menghidupkan kembali ilmu mengenali waktu yang lenyap di kalangan kristen barat pada awal abad pertengahan. Tanpa kendali akurat atas jam dan penanggalan, pengorganisasian rasional atas masyarakat mustahil terwujud.

Lalu bagaimana dengan kondisi sekarang?

Masih menurut Dr Adian Husaini, barat telah membawa banyak pengetahuan dari muslim. Parahnya, mereka mensekulerisasi pengetahuan tersebut sehingga jauh dari nilai-nilai agama. Fenomena tersebut berlangsung hingga saat ini. Tidak sulit kita menemukan seorang cerdas yang ateis. Tengok saja bagaimana Stephen Hawking tidak mempercayai adanya peran tuhan dalam penciptaan dunia. Kita perlu menyampaikan pada muslim di luar sana bahwa Islam tidak pernah memisahkan agama dan pengetahuan. Justru ilmu pengetahuan haruslah menopang kepentingan agama.

Dalam buku Misykat karya Dr Hamid Fahmi Zarkasyi diceritakan bagaimana tiga orang profesor pada tahun 2010 menerbitkan hasil riset tentang hubungan antara keimanan dan kecerdasan. Menurut hasil riset tersebut, semakin cerdas seseorang, ia semakin sekuler dan bahkan ateis. Sementara semakin bodoh seseorang, ia semakin religius. Sebuah data ilmiah yang cukup menohok. Mereka seolah menggiring opini bahwa negara-negara dengan tingkat religiuitas yang tinggi menghasilkan masyarakat yang bodoh.

Kenyataannya, sampel dari hasil riset tersebut tidak perlu dibantah dengan kengototan. Sampel kecil dari studi empiris yang kita alami sehari-hari sepertinya menunjukkan hasil yang bertolak belakang. Di sekolah-sekolah umum, siswa yang beraktifitas di organisasi kerohanian sekolah notabene mendominasi prestasi-prestasi akademik maupun non akademik. Belum lagi karya Dr Warsito yang berhasil menemukan alat tomografi hingga diminati oleh NASA. Kita juga tidak banyak mendengar sosok Khoirul Anwar yang memiliki paten teknologi 4G. Patut diketahui bahwa kedua orang ini hanyalah segelintir ilmuwan yang sholeh dalam ibadah dan juga memiliki prestasi dalam ilmu pengetahuan. Mereka tidak memisahkan antara agama dan science. Dan studi tersebut sudah dibantah berdasarkan pengalaman empiris. Namun jawaban yang lebih ilmiah telah dijawab oleh Dr Hamid Fahmi dalam bukunya, Misykat.

Jadi, tidak sepatutnya seorang muslim merasa rendah diri pada apa-apa yang terjadi di barat. Celakanya, sebagian besar kita (mungkin termasuk gue) adalah orang-orang yang kagum dengan barat bukan dari etos kerja atau budaya disiplin yang mereka punya. Kita lebih banyak mengimitasi budaya permisif sehingga membentuk pola pikir kebaratan hanya sebatas pada tatanan hedonisme.

Masih banyak lagi penemuan-penemuan muslim di berbagai bidang ilmu pengetahuan. Yang ingin gue sampaikan adalah seorang muslim tidak perlu merasa inferior dengan kemajuan yang saat ini berkembang di barat. Bukan tidak mungkin, generasi kita atau generasi setelah kita akan kembali membangun sebuah House of wisdom jilid II yang akan menempatkan islam dalam kejayaan. Hanya saja, semua ilmu pengetahuan tersebut pada hakikatnya harus semakin mendekatkan diri kepada sang khalik bukan justru memisahkan ilmu dari tuhannya seperti yang saat ini berkembang pesat di barat sana.

 Sumber Gambar dari sini

Bedah Tuntas Mitos Otak Kiri dan Otak Kanan

Oktober 25, 2014 § Tinggalkan komentar

Postingan ini saya copy-paste dari HT kaskus pada tanggal 27 Januari 2014.

Link asli postingannya di sini

“Men.. Lu ga cocok masuk IPA karena lu dominan otak kanan”
“Anak IPS tuh cocok jadi businessman, dominannya otak kanan kata seminar2 bisnis”
“Gw kayaknya kebanyakan make otak kiri nih, apa aja gw itung termasuk probilitas nembak cewe”

Pernah ga denger kalimat-kalimat serupa di obrolan sehari-hari?. Pengalaman gw sendiri, pernah denger bahasan otak kiri dan kanan mulai dari pengajar di ruang kuliah, pembicara di seminar bisnis sampe sesama penumpangi angkot yg lagi ngetem. Kayaknya percakapan dan “fakta” tentang otak kiri dan kanan udah dapet status kebenaran. Layaknya fakta sains lainnya seperti hukum gravitasi dan teori evolusi.


Pada tau darimana perihal pembedaan otak ini berasal? Dan kenapa kayaknya diyakini banget kebenarannya? Ok gw akan bahas di tulisan ini mulai dari
1. Asal usul mitos, yg berasal dari Pa De Paul Broca, ilmuwan dari Prancis. Yang kebetulan profesinya Neurosaintis yg hobinya bedah2 otak.
2. Berkembangnya mitos Otak Kanan dan kiri dari istilahnya yg bener yakni Brain Lateralization.
3. Dampak mitos pada pembagian jurusan, cara belajar dan bahkan sampe ke kuliah & kerjaan.

Asal usul mitos

Ada musium di Paris yg namanya susah, Musee de l’Homme. Salah satu koleksinya adalah deretan toples-toples diisi cairan formalin dan benda mengambang dalamnya adalah otak manusia. Mulai dari otak orang2 yang dianggap jenius sampe pembunuh dan psikopat diawetin disana. Salah satu toples tersebut berisi otak seorang ahli bedah otak (Ironis ya? hehe..), dan pada labelnya tertulis Paul Broca.

Siapa sih Paul Broca? Dan kenapa ditaro di awal bagian tulisan ini? Dia termasuk yang pertama yang ‘ngeh’ kalo ada bagian di otak yg bertanggung jawab untuk kemampuan bicara kita. Ada daerah di sekitar depan sebelah kiri otak yang kalo rusak, bisa bikin orang tersebut kesulitan bicara, daerah ini dinamain Area Broca. Jadinya orang bakal menderita kesulitan bicara dan berkomunikasi ketika pembuluh daerah di Area Broca pecah dan menderita stroke ringan.

Broca juga saintis pertama yang bilang kalo orang yang menderita epilepsi, bisa berkurang kejang-kejangnya kalo ‘jembatan’ antara otak kiri dan kanan, yg namanya corpus colossum, diputus. Dan emang hasil penelitiannya membantu banyak orang yg menderita epilepsi bisa hidup secara normal tanpa takut kejang2 dan tersedak kala gejala itu muncul. Jadi maklum aja kalo pendapat Broca tentang dualitas fungsi di otak sangat dihormati dan diterima luas di masyarakat sains pada saat itu.

Berkembangnya mitos

Pendapat Broca tentang adanya area spesial di otak untuk kemampuan bahasa. Dan ditambah bukti-bukti dari rekan dokternya tentang pasien yg mengalami kesulitan bicara ketika terjadi stroke di otak sebelah kiri. Kedua hal tersebut bikin orang2 banyak mengasosiasikan otak kiri dengan kemampuan berbahasa dan kompleksitas sintaksis berbahasa. Ga salah juga sih, ada percobaan sebagai berikut, coba baca kalimat dibawah:

The boogles are blundling the bludget
The boogles is blundling the bludget

Jangan khawatir kalo lu ga ngerti artinya, itu kata-katanya asal aja ko, hehe.. Tapi orang yg punya kerusakan di bagian kiri otak akan kesulitan bedainnya. Untuk yg ngerti grammar jelas yg benar adalah yg pertama. Boogles dengan akhiran ‘s’ menunjukan plural dan diikuti oleh ‘are’. Walau kata-katanya ga ada arti, ada bagian di otak yg nentuin grammar.

Selain susah bedain grammar, kadang ada kondisi yg namanya Aphasia. Sering ga lu, susah mau bilang suatu kata tapi tau artinya. Lu mau bilang ambilin pensil tapi tangan lu bikin gerakan nulis dan pala lu geleng-geleng sambil bilang “itu.. tuh.. ah apa sih.. ya pokoknya itu lah”. Nah, kalo kerusakannya di Area Broca, orang bahkan jadi bener-bener gak bisa nyebutin nama barang-barang, tapi bisa deskripsiin bentuk, warna dan guna barang2 tersebut.

Kalo kiri kuat korelasinya dengan grammar dan sintaksis, gimana dengan otak belahan kanan? Dan darimana mitos populer yang bilang kalo otak kanan tuh cocok untuk artist dan bisnisman yg ga perlu kalkulasi rumit? Kalo kondisi susah nyebut nama barang adalah Aphasia, nah ada kembarannya di otak kanan namanya Agnosia. Kelainan yg diakibatkan kerusakan di bagian kanan akan nimbulin kesulitan mengenali pola yg biasa dengan mudah kita kenalin, yaitu muka manusia. Heh? Ko bisa? Bukannya secara evolusi kita akan kenal pola apa pun yang mirip muka manusia? Nah coba kita masuk ke dunia orang Agnosia dengan mengenali gambar apakah di bawah ini?

Bisa liat jelas kan? Muka siapa hayo? Coba balik gambarnya. Yangg pake Hape atau laptop gampang, nah yg pake PC mohon bantuan orang lain untuk jungkir balikin monitornya . Sebelum lu balikin gambarnya, pasti otak lu berusaha keras ngenalin pola atau gambar apaan sih? Itulah Frustasinya orang yg kena Agnosia untuk mengenali pola-pola gambar dan gambar yang overlap.

Dari kedua kondisi tadi:

Aphasia, kesulitan berbahasa akibat kerusakan di otak bagian kiri dan..
Agnosia, kesulitan mengenali pola akibat kerusakan di otak bagian kanan, maka…

Muncul lah pendapat berlebihan di luar wilayah kedokteran, malah lebih ke arah psikologi praktis dan populer, kalo Otak bagian kiri untuk hal-hal yg runut seperti linguistik atau kalkulasi. Dan konsekuensinya orang-orang yg kerjanya insinyur atau saintis dan ahli bahasa “kuat” di otak bagian kiri. Dan pasangannya, Otak bagian kanan untuk hal-hal seperti visual atau sensor spasial (ruang), maka org yang suka gambar atau kerja di bidang visual “kuat” di bagian kanan.

“Trus ya gapapa lah ada pendapat gitu, toh ada benarnya dari sejarah neurosains jaman Broca. Lagian juga orang-orang nyaman dengan pembagian otak kiri dan kanan, dan akhirnya kita ga bisa maksa org yg suka Seni untuk belajar matematika kan?”

Tunggu dulu, seperti juga makan sate kambing, kalo keblablasan juga ga sehat. Sama halnya pendapat di sains… #ApaSih

Dampak Mitos
Iya memang ada area atau bagian di korteks otak kita yg bertanggung jawab untuk hal-hal tertentu, seperti bahasa dan visual. Tapi kenyataannya, dalam proses berpikir dan menerima input sinyal dari indera, otak kita bekerja secara bersamaan atau simultan. Pelukis memang make bagian kanan otak untuk nerima sinyal warna dan bentuk, tapi dia juga make otak bagian kiri untuk koordinasi gerakan halus nyapu kuas di kanvas. Saintis yg lagi ngitung kurva kecepatan maksimum Enzim emang make otak kiri untuk kalkulasi konsentrasi enzim, tapi otak kanan juga berperan untuk ekstrapolasi data di grafik. Bahkan orang yg lagi nyanyi sebenarnya gunain dua bagian otak secara simultan dengan bantuan bagian Amygdala untuk emosinya.

Kadang, fakta sains itu suka dibikin lebay sama kalangan yang ga dalemin sains. Contoh kasus gampang deh, ada buku bisnis yang judulnya berbau-bau DNA (lu cari di toko buku juga pasti nemu – you know what I mean). Nah buku itu analogiin orang2 di perusahaan sebagai DNA yg bisa “termutasi” dan berubah jadi baik seperti di evolusi gen. Mungkin dari sinilah istilah mutasi pegawai negeri jadi populer. Huahaha…

Nah, dampak Mitos yg kentara banget dan bikin kesalahpahaman makin melebar adalah :

1. Dikotomi antara orang bidang Seni atau Sosial dan Sains. Dibilang kalo, dua bagian itu bertolak belakang. Banyak yg bilang “Sosial itu gak kayak sains yang dari A ke B” atau “Sains itu ilmu pasti gak kayak Sosial” dan bahkan “Seni tuh jangan pake logika”. SALAH BESAR MASBRO ! Semua kesalah pahaman itu muncul karena udah ada prasangka kalo kita ditakdirkan kuat di otak kanan atau di kiri.

2. Salah Penjurusan di Sekolah atau Kuliah. Kalo kita jago banget kalkulus ya masuknya jurusan eksakta (nama eksakta yg artinya “Pasti” aja udah salah). Trus kalo kita ga bisa kalkulus kita masuk ke sosial atau bahasa gitu? Udah cukuplah kesalahpahaman orang2 jaman gw sekolah atau ortu kita yg ngebagi sembarangan pelajaran di sekolah dengan istilah Sosial dan Sains plus Bahasa. Jujur aja anak Bahasa sering banget jadi kasta beda dari Sains, bener ga? Kenyataannya bagian otak yg tanggung jawab untuk ngitung Trigonometri dan mahamin grammar ada di satu area? Lah gimana kalo jurusannya di sekolah dipisah?

3. Otak kanan diperluin buat sukses bisnis. Ini beneran jadi jargon yg populer di seminar bisnis, baik di dalam atau luar negeri. Singkatnya mereka bilang kalo lu mau jadi entrepreneur harus pake otak kanan. Alasannya? Otak kiri kan buat kalkulasi jadi malah bikin lambat aja. Kalo lu mau bisnis lu harus terjun langsung ga pake mikir lama, ga pake itungan rumit untung rugi, lu jalanin aja dulu, yang penting langsung jadi member dan apakah lu punya mimpi?.. Eh oops keterusan biasa denger diprospek sama yg nawarin MLM, hehe..

Quote: Dari tiga dampak mitos otak kiri dan kanan yg paling deket kena sama lu semua adalah nomor 1 dan 2. Jadi apa donk nasihat bijak mengenai dampak mitos ini?? Tulisan ini ga berusaha ngasih lu saran untuk milih jurusan apa nanti di SMA atau di kuliah untuk tema yang satu ini udah diwakilin sama Salah satu Thread yang baru-baru ini diangkat menjadi HT dan keren banget tentang gimana cara milih jurusan yang tepat. Tulisan ini ngasih latar belakang berkembangnya dan fakta yg beneran di sains. Makanya gua tekanin tentang pentingnya berpikir kritis ! Dengan berpikir kritis lu bisa bikin keputusan berdasar fakta yg bener. Selain itu lu juga bisa ngasih “pencerahan” untuk orang-orang yang salah menghakimi orang2 dengan membaginya berdasarkan Kanan dan Kirinya otak.

Brain lateralization atau pembagian otak bagian kanan dan kiri berikut spesialisasi bagian tertentu untuk fungsi tertentu emang betulan diteliti di sains. Tapi apakah minat dan bakat lu udahHardwired atau pasti dan ga bisa diubah-ubah? Apakah bakat seni selalu bertolak belakang sama sains? Apakah kemampuan analisis sosial ga merluin rigiditas dari sains? Apa pun yg kita kerjain akan gunain dan manfaatin dua bagian otak, kanan dan kiri secara simultan.

Jadi Otak dan bakat ga sesimpel judul albumnya Bon Jovi, “This left feels right…”

Where Am I?

You are currently browsing the Tsaqofah category at I Think, I Read, I Write.

%d blogger menyukai ini: