Ignorance is bliss
Januari 10, 2017 § Tinggalkan komentar
Gue pertama kali mendapati istilah ini saat melihat status whatsaap salah seorang rekanan beberapa tahun yang lalu. Ignorance is bliss berarti ketidaktahuan atau ketidakpeduluan adalah sebuah kebahagiaan. Sebuah satir yang pertama kali diucapkan oleh Thomas Gray, pembuat puisi asal Inggris pada permulaan abad ke-18. Jika kita membuka Wikipedia, akan banyak sekali tautan yang menunjukkan bagaimana istilah ini sering kali digunakan oleh penyanyi sebagai bagian dari lirik mereka.
Saat kecil, apa yang membuat kita takut akan hantu? Ya. Informasi-informasi seputar hantu yang membuat kita tidak berani melewati kuburan atau tidur di kamar yang gelap. Personifikasi pocong sebagai mayat yang gagal beralih dunia atau kuntilanak dengan ketawa yang unik membuat otak kita dipenuhi oleh aspek kognitif tentang hantu. Misalkan saja sedari kecil kita tidak pernah diceritakan cerita serem tentang hantu atau setidak-tidaknya ilustrasi hantu itu lebih menyerupai Kaonashi (no face) dalam animasi ‘spiritted away’ gue yakin kita tidak akan merinding jika mencium bau kamboja atau melihat sosok putih sekelebat di rumah kosong.
Thomas L. Friedman dalam ‘world is flat’ mengatakan bahwa bumi ini datar. Namun ‘datar’ dalam konteks ini tidak serupa dengan teori ‘flat earth’ yang menentang keajegan teori bumi itu bulat (nyaris bulat). Buat Friedman dunia ini semakin ‘datar’ sehingga interaksi antara orang di India, Frankfurt, Nigeria tidak lagi tersekat. Globalisasi membuat bumi nampak seperti hamparan kertas. Seorang bisa melintasi tiga benua hanya dalam waktu 1×24 jam.
Narasi Thomas L. Friedman menyadarkan kita bahwa bumi yang seolah datar ini membuat orang-orang mengetahui semua hal. Orang-orang bodoh pun sama. Mereka dengan mudahnya saling berargumen didasari oleh pengetahuan yang secara membabi-buta dicuplik dari segala tautan yang ada di Google. Perilaku demikian semakin diperparah dengan seringnya media sosial menjadi ajang berbagi tautan-tautan dari situs-situs antah berantah yang tidak diketahui seperti apa etika jurnalistik maupun sanad beritanya.
Ketidaktahuan memang sering kali memberikan kedamaian dan ketenangan. Di dalam dunia tanpa sekat seperti yang terjadi saat ini, ketidaktahuan bisa menjadi aset yang penting. Di saat orang berlomba unjuk kemapanan pengetahuan bermodalkan internet yang serba cepat, menjadi tidak tahu bisa adalah sebuah kemuliaan. Kita bisa berleha-leha menyuarakan kembali kata-kata Kurt Cobain “You laugh at me because I am different. And I laugh at you because you all are the same”.
Ketidaktahuan itu adalah kebahagiaan. Bukankah kita bisa menjadi manusia merdeka yang terlepas dari semua subjektifitas liar yang lalu-lalang di jagat maya maupun nyata?.
Ketidakpedulian atau ketidaktahuan pada hal-hal yang tidak terlalu penting membuat hidup kita jauh dari prasangka. Kenapa ada manusia yang keponya maksimal? Karena mereka merasa mengetahui banyak hal itu berguna. Padahal semakin banyak tahu semakin kita dibebani oleh pengetahuan tersebut. Lebih-lebih jika pengetahuan itu tidaklah berguna dalam menjalani kehidupan yang fana ini. *cuih*
Banyak orang yang gagal move-on saat ditinggal kawin. Mereka sibuk mencari tahu sang mantan lagi dimana, dengan siapa, semalam berbuat apa. Padahal dengan mengetahui hal-hal demikian tidak akan mengubah keadaan.
Bersikap tidak peduli memang perlu dilatih. Jangan sampai kita menjadi orang yang tidak peduli pada hal-hal yang penting dan di saat yang genting. Dalam dunia psikologi ada sebuah keadaan yang dikenal dengan terminologi bystander effect atau bystander apathy. Sebuah kondisi dimana orang-orang menjadi skeptis atau tidak perduli pada keadaan sekitar dalam kondisi genting. Terminologi ini diangkat dari kasus Kitty Genovese yang dibunuh tanpa ada sedikit pun orang yang berniat menolong karena ketidakpedulian mereka.
Bukan jenis ketidakpedulian seperti ini yang harus kita tumbuh-kembangkan melainkan ketidakpedulian pada kebodohan yang diinstitusikan. Pada berita bohong yang disebar-luaskan. Pada nilai-nilai yang diliberalkan.
Dalam dunia penuh dengan citra dan polesan ada baiknya kita juga bersikap tidak peduli. Tidak peduli pada presiden yang mengenakan sarung. Tukang sate yang dipanggil ke istana presiden. Atau bentuk-bentuk fisik penjelmaan kerakyatan namun alpa dalam kebijakan. Siapa yang peduli dengan sandiwara kepedulian sementara harga bahan bakar naik dalam diam. Tarif ini itu terus disesuaikan.
Lebih baik tidak perduli ketimbang harus menjerit dalam hati.
Halal dan Haram
Januari 6, 2017 § 1 Komentar
Prinsip-prinsip Islam Menyangkut Halal dan Haram oleh Dr Yusuf Qaradhawi
- Pada dasarnya semua hal itu diperbolehkan
- Menghalalkan dan mengharamkan sesuatu hanyalah milik Allah
- Mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram sama dengan perbuatan syirik
- Larangan atas sesuatu dikarenakan keburukan dan bahayanya
- Yang halal mencukupi, yang haram tidak berguna
- Apapun yang menyebabkan kepada yang haram, termasuk haram
- Menyiasati yang haram, hukumnya haram
- Niat baik tidak dapat membatalkan yang haram
- Hal yang meragukan harus dijauhi
- Hal yang haram dilarang bagi semua manusia tanpa kecuali
- Hal yang haram diperbolehkan dalam keadaan darurat
Curhat Mang Angkot : Sebuah Catatan
Desember 30, 2016 § Tinggalkan komentar
Persis beberapa malam lalu gue menaiki angkot tujuan Cileunyi-Cicaheum. Tak berapa lama, angkot tersebut menyisakan gue berdua saja dengan sang sopir. Khawatir ada setan sebagai pihak ketiga, gue mencairkan suasana dengan membahas situasi per-angkotan di Bandung saat ini.
Mang angkot ini benar nampak lusuh. Karenanya gue urungkan niatan untuk meminta ‘telolet’. Ia mengeluhkan pendapatan yang kian hari kian menukik tajam. Menurutnya beberapa waktu belakangan pengguna angkot semakin berkurang. Banyak faktor yang melatar-belakangi. Mulai dari keberadaan ojek online, murahnya harga motor, hingga kemajuan infrastruktur yang menyebabkan berkurangnya jumlah penumpang akibat hilangnya sentra ekonomi semisal pasar rakyat yang notabene menggunakan angkot sebagai sarana transportasi tepat guna.
Sebagai orang luar, gue nyaris tidak pernah terpikir bahwa keberadaan ojek online berdampak se-signifikan itu pada pendapatan supir angkot. Selama ini gue berasumsi bahwa Gojek dan sejenisnya hanya akan berkompetisi dengan ojek pangkalan. Ternyata salah. Imbas keberadaan ojek online juga terasa pada supir angkutan kota. Kita sering ber-eufimisme bahwa keberadaan ojek online sudah ‘sepatutnya’ menggeser moda transportasi lama yang tidak kunjung bertransformasi. Ternyata banyak hal tidak se-sederhana itu.
Keadaan semakin runyam jika kita memasukkan variabel murahnya harga motor sehingga sebagian besar masyarakat meninggalkan sarana transportasi tersebut.
Di Bandung, menurut sang supir, banyaknya pembangunan seiring dengan bergesernya kluster-kluster area transaksi jual-beli masyarakat. Pembangunan jalan berdampak pada berkurangnya arus hilir mudik pedagang dari dan ke pasar yang melalui trayek tersebut. Gue tidak bisa memvalidasi argumen mang angkot. Gue hanya bisa mengangguk setuju pada curhatannya.
Buat si mang angkot, yang tidak sempet gue tanya siapa namanya, pemerintahan Pak Jokowi adalah separah-parah nasib tukang supir angkutan kota. Bagaimana tidak, mereka dipaksa berpindah bahan bakar dengan cara halus demi meredam gejolak di masyarakat.
Ia menambahkan, perlahan-lahan masyarakat miskin semakin dimiskinkan. Premium sebagai variabel penting dalam kehidupan profesionalisme mereka pelan-pelan dimutilasi. Semakin banyak SPBU menghilangkan premium dari daftar jual. Bagi gue, kalian, kelas menengah ngehe yang terbiasa menggunakan pertalite atau bahkan pertamax, rasionalisasi kinerja mesin kendaraan acap kali menjadi latar belakang penggunaan BBM dengan angka oktan minimal 90. Namun bagi mang angkot, selisih beberapa ratus rupiah antara premium, pertalite dan pertamax akan berdampak pada tercapai tidak setoran, bawa uang buat makan atau tidak untuk hari itu.
Gue selama ini ngeh bahwasanya premium pelan-pelan mundur teratur dari peredaran. Ia bak mantan yang ogah balikan. Namun karena empati yang minus, gue tidak pernah menyangka eksesnya bener-bener terasa untuk kelas menengah ke bawah. Bagi mang supir, setoran 110 ribu kini semakin berat tergapai. ‘Pemaksaan’ pengalihan penggunaan energi mengharuskan mereka memutar otak agar pulang ke rumah tidak hanya membawa lelah dan keringat.
Mang supir ini sudah berprofesi sebagai tukang angkot saat gue masih kencing di popok. Supir angkot adalah profesi yang ia tekuni sejak Pak Harto masih menjabat. Artinya ia konsisten dan istiqomah menjadi supir angkot hingga pernah mengalami semua masa kepresidenan RI, kecuali Bung Karno.
Buatnya, titik nadir nasib supir angkot dimulai sejak Mega berkuasa, dilanjut saat Gusdur dan paling parah saat ini. Ia tidak menggunakan pendekatan ilmiah yang njelimet. Tidak ada hitung-hitungan inflasi, Gini Ratio, GDP, BEP, BTP atau apa pun yang sering didengung-dengungkan para intelektual saat mengevaluasi nasib rakyat kecil. Hanya sekedar naluri untuk bertahan hidup hingga mampu mengendus bagaimana pemerintah berkuasa hingga teresonasi pada lapisan masyarakat paling bawah.
Diskusi malem kemarin juga menyadarkan gue bahwa pada dasarnya tidak ada angkot yang secara sukarela ngetem berlama-lama di pinggir jalan. Ada motif ekonomi yang kuat yang mendasari mereka mencari penumpang dengan cara demikian. Jadi bolehlah kita memaafkan angkot-angkot yang sering ngetem dengan dalih empati. Tapi kalo ngetemnya kelamaan, silahkan misuh sepuas hati.
Selayaknya juga bagi kita yang berekecukupan untuk melebihkan bayaran. Setidak-tidaknya mengikhlaskan kembalian jika hanya berselisih 500-an. Toh, tidak akan membuat kita miskin dan tidak akan membuat mereka kaya.
Gue juga menyadari bahwa perspektif kita sangat dipengaruhi oleh ruang-ruang subjektifitas. Banyak kondisi di mana kita memang harus lebih banyak mendengar ketimbang berbicara. Meminjam ucapan Dalai Lama bahwa saat berbicara kita hanya mengulang hal-hal yang pernah ada. Namun saat mendengar, kita bisa mendapatkan hal-hal yang baru. Itulah yang gue rasakan.
Kitab yang Menguji Ketulusan
November 22, 2016 § Tinggalkan komentar
Hampir 40 tahun usianya ia habiskan mempelajari-menyusun-menulis syarah al-Musnad al-Imam bin Ahmad al-Syaibani. Kitab susunan Imam Ahmad ini memerlukan ketekunan luar biasa bagi sesiapa yang ingin mempelajarinya. Sebab, al-Musnad ibarat samudra tak bertepi. Demikian ditutur Ibnu Katsir. Ibnu Katsir pun hingga akhir hayatnya belum sempat menulis satu karya terkait al-Musnad. Awalnya, ia hanya ingin mengelompokkan hadits-hadits dalam al-Musnad menurut tema sejenis dan urutan tertentu. Sayang, upaya membuat tartib pun belum tercapai.
Perlu sepuluh abad sejak al-Musnad disusun Imam Ahmad, seorang mekanik jam di Mahmudiyah (Mesir) bernama Ahmad Abdurrahman merintis upaya pengelompokan hadits. Awalnya sekadar membuat tartib, yang dikelompokkan dalam tujuh bagian: tauhid dan ushuluddin, fiqih, tafsir, targhib (pahala bagi yang beramal saleh), tarhib (ancaman bagi para pendosa), tarikh, serta hari kiamat dan alam akhirat. Sekira tiga tahun Ahmad membuat draf tartib. Dilanjutkan penulisannya. Saat penulisan itulah ia merasa ada yang kurang. Dibacanya lagi al-Musnad, hingga ia pun bertekad membuat syarah dan istinbath—membuat satu simpulan hukum berdasarkan hadits. Sembari melanjutkan aktivitas penyelidikan dan penulisan hadits, bagian yang sudah disyarah oleh Ahmad dicetak. Karena keterbatasan dana, ia mencetak sendiri karyanya itu.
Karya seorang yang sekadar mekanik jam dan imam tidak tetap di Masjid Mahmudiyah (sebelum pindah mukim ke Kairo) itu mendapat perhatian para ulama di negerinya. Dua ulama terpandang di Mesir kala itu, Muhammad Rasyid Ridha dan Ahmad Muhammad Syakir, berpolemik atas satu hadits. Ahmad Abdurrahmanlah yang menengahi keduanya dengan santun dan mewibawakan kedua alim besar tersebut. Bagian Kementerian Wakaf Mesir juga mengapresiasi karyanya.
Dalam keterbatasan yang mendera sehari-hari, Ahmad Abdurrahman tidak pernah beranjak untuk lepas dari mengkaji al-Musnad. Penghasilan sebagai mekanik jam dihentikannya karena berfokus pada al-Musnad. Alhamdulillah, Allah karuniakan ia putra sulung, seorang guru, yang sangat berbakti. Darinya ia rutin dikirimi uang untuk sekadar menegakkan tulang punggung.
Terpujilah karya gemilang dalam kesabaran Ahmad Abdurrahman. Kecintaan pada karya Imam Ahmad bukan lantaran ia pengikut mazhabnya. Ia memang cinta karya itu sebagai warisan umat. Maka, derita dan perjuangan menyusun-menulis-mencetak-menjual karyanya tak sebanding dengan kebesaran al-Musnad. Jadilah al-Fath al-Rabbani li Tartib Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal al-Syaibani semerbak ilmu dari lelaki bersahaja yang biasa disapa ‘tukang jam’.
Kitabnya melintasi perbedaan mazhab. Pada masa Ahmad Abdurrahman hidup, al-Fath al-Rabbani mendapat apresiasi dari Muhammad bin Abdul Lathif, anak keturunan langsung Muhammad bin Abdul Wahab bin Sulaiman al-Tamimi. Raja Abdul Aziz dari Arab Saudi memborong 100 eksemplar untuk dibagikan kepada para ulama. Dari Madinah, ulama hadits Mahmud Syuwail memberikan pujian atas al-Fath al-Rabbani. Karya yang sama ini tidak dimonopoli sebagai referensi ulama Hanbaliyah. Yusuf al-Dijawi, seorang anggota Hai’ah Kibar al-Ulama yang juga kontra pemikiran Ibnu Taimiyah dan Muhammad bin Abdul Wahab, termasuk yang memetik manfaat al-Fath al-Rabbani.
Sayangnya, meski diakui manfaatnya oleh ulama-ulama terpandang, di Mesir sendiri sebagian ulama kurang ramah menanggapi karya Ahmad Abdurrahman. Al Azhar salah satunya. Meski Kementerian Wakaf pernah membeli beberapa edisi al-Fath al-Rabbani, ini tak diikuti dengan tanggapan memadai pada penulisnya. Termasuk ketika Ahmad Abdurrahman wafat dan menyisakan beberapa juz yang belum disyarah, ulama Al Azhar yang awalnya dimintai keluarga almarhum menolak. Alasannya selain merasa tidak mampu juga ingin ada kompensasi bayaran atas kerja mereka!
Ada 24 juz yang akhirnya terselesaikan dari al-Fath al-Rabbani. Sebanyak 21 juz dan separuh juz 22 dikerjakan sepenuhnya oleh Ahmad Abdurrahman. Setengah juz 22 dilanjutkan oleh rekan penulis. Dua juz tersisa dikerjakan oleh tim yang dipimpin salah satu putra almarhum. Kitab inilah yang hari ini masih bisa kita petik manfaatnya, termasuk versi daring. Ada jasa seorang Ahmad Abdurrahman. Lelaki yang warisannya mutu manikam tak tertandingi. Yang bahkan seorang Syekh Utsaimin tak malu memuji kualitas karyanya itu.
Hari ini, kitab itu menjadi saksi, betapa ketulusan dan kecintaan pada ilmu semestinya tak boleh didiskriminasi. Mestilah ada adab adil menilai tanpa fanatik golongan. Apakah mereka yang hari ini mendaku Hanbaliyah dengan manhaj Salafi enggan membuka hati kalau tahu penulis al-Fath al-Rabbani adalah seorang Ikhwani! Betapa tajam dan beringas kata-kata di rekaman dan tulisan para dai dan murid Salafy di sini terhadap organisasi Ikhwanul Muslimin.
Entah bagaimana para alim dan awam tersebut begitu tahu fakta di balik kitab induk yang jadi rujukan ulama-ulama besar mereka yang adil itu di masa lalu. Ahmad Abdurrahman adalah saksi bagaimana perjuangan putranya, Hasan al-Banna. Ia relakan rumahnya jadi markas Ikhwan. Ia pula yang jadi penanggung jawab keberlangsungan majalah organisasi bentukan putranya ini. Ia pula yang harus menunda beberapa hari penulisan al-Fath al-Rabbani pada saat Hasan ditembak mati. Penulis kitab yang dihargai penuh hormat oleh raja dan keturunan ulama di negeri yang mendaku Salafi itu, adakah masih engkau terima dengan lapang? Dialah yang tangannya dipakai menulis kitab rujukan manhajmu, dan tangan yang sama pula pernah membopong sendiri jenazah putranya ke liang lahat dalam awasan tentara! Apakah tangan yang sama untuk memboyong lelaki yang acap engkau bid’ah-kan itu masih diperhinakan?
Di tanah airnya, sebagian ulama Syafi’iyah memang masih menaruh curiga pada Ikhwan. Dari Hasan masih hidup hingga kini, selalu ada curiga. Entah mengapa, dalam kebesaran mengarusi zaman, Al Azhar lewat polah sebagian ulamanya malah perlihatkan sikap tak elok. Dulu al-Fath al-Rabbani seperti diremehkan. Mungkin hanya karena penyusun-penulisnya seorang mekanik jam! Berikutnya, ia ayahanda dari pendiri Ikhwan, organisasi yang dipandang seteru penguasa. Bahkan Ahmad Abdurrahman juga tak menutupi fakta sebagai bagian dari Ikhwan. Kalaulah hari ini sebagian alim dan penyokong Al Azhar termasuk di sini, acap teriakkan keharmonian umat dan persatuan antar0mazhab, adakah nama ayah-anak di balik al-Fath al-Rabbani mesti diluputkan?
Saya tulis ini, 19 November 2016, tepat 58 tahun lalu ketika Ahmad Abdurrahman al-Banna as-Sa’ati wafat. Lelaki yang mengarungi Kairo lewat karya yang ulama sekaliber Ibnu Katsir tak sempat menuangkan. Al-Fath al-Rabbani li Tartib Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal al-Syaibani menjadi saksi permata warisan pertamanya. Dan warisan kedua tak lain sang putra, Hasan al-Banna, yang darinya sebuah pergerakan dakwah menyebar ke banyak negara dengan banyak pengikut dan pengaruh.
Referensi: Ahmad Jamaluddin, Khitabat Hasan al-Banna al-Shab li Abihi, (edisi bahasa Indonesia: Lelaki Penggenggam Kairo, 2009.
*Disalin dari status facebook-nya bapak Yusuf Maulana
Media Sosial dan Kemuakan yang Membabi Buta
November 4, 2016 § 1 Komentar
Sejujurnya saya sudah muak dengan segala bentuk peperangan di jagat media sosial. Kanal yang seharusnya menjadi tempat berinteraksi secara positif berubah menjadi arena gontok-gontokan maha dahsyat.
Gue memutuskan berhenti berkelindan di linimasa twitter disebabkan perang kata-kata yang tak urung habisnya. Para cendekia, alim ulama, intelektual saling beradu debat. Kedaan semakin runyam manakala si miskin ilmu turut meramaikan dengan cacian dan bentuk-bentuk serangan verbal yang banal. Tidak ada yang salah dengan perdebatan dan adu argumen. Namun manakala setiap saat kita mengakses halaman media bersangkutan isinya tidak lebih dari unjuk ego dan kepongahan maka yang tersisa hanyalah kemuakan membabi-buta.
Dua tahun lalu gue men-talak tiga twitter. Tanpa sepatah kata pun gue sampaikan pada Jack Dorsey dan kolega. Andai bisa, gue berharap para pendebat maniak itu dikurung di penjara virtual dan bertarung sampai mati layaknya para gladiator bertaruh nyawa di Colosseum.
Gue enggan membahas Path. Path tidak begitu layak untuk dinarasikan lebih lanjut karena konfigurasi di dalamnya hanya lah tentang orang-orang kesepian yang kehabisan akal untuk menghayati makanan yang mereka punya, musik yang ingin mereka dengar, dan tempat yang mereka kunjungi.
Maka Facebook yang mulanya tempat berbagi interaksi sosial kini berevolusi menjadi wahana gesek-gesekan. Apa saja sepertinya layak diperdebatkan. Lebih-lebih menyangkut sensitifas terkait ras, agama, juga kontestasi politik. Entah kenapa keramah-tamahan bangsa yang gemah ripah loh jinawi ini lenyap setiap saat mereka login di akun facebook masing-masing.
Kegundahan gue semakin menjadi-jadi seiring dengan seteru pernyataan Ahok yang didakwa menghina Al-Quran. Mungkin sudah ratusan argumen serta wacana pro-kontra yang mengiringinya. Yang bikin gue semakin menggeram adalah semakin liarnya isu ini. Tautan-tautan di facebook dibagikan dengan meruah. Yang mendukung, yang mencaci, yang menolak. Semua tumplak, blas. Jadi satu. Belum lagi kolom komentar yang tidak kalah mendidih. Mungkin saat kita bersilat kata, Mark sedang tertawa terbahak-bahak menyaksikan bagaimana tolol-nya manusia-manusia penggiat media sosial yang terus berseteru.
Gue pada posisi mendukung penuh proses hukum untuk Ahok. Tapi subjektifitas ini tidak lantas harus di-tuhankan hingga menghilangkan akal sehat. Tahan sejenak nafsu hewani untuk menghabisi. Bersantai lah dengan sesaat dengan tautan-tautan lucu. Jika dan hanya jika facebook ini berisi racauan kalian yang ‘berperang’ seenak jidat. Ada baiknya kalian membuat media sosial baru.
Gue menggaris-bawahi rekan-rekan facebook yang acapkali membagikan berita hoax, ngaco, dan tautan-tautan keilmuan yang entah seperti apa matan dan sanadnya. Dari cara mereka menarasikan argumen atau konten yang terbagi, gue percaya mereka bukan orang yang mengakrabi buku dalam keseharian.
Sekarang gue juga pengen berpendapat di media sosial untuk mengimbangi wacana-wacana yang berseliweran. Perihal penistaan agama sudah dengan apik dibahas oleh Ustad Hamid Fahmi Zarkasyi dalam bukunya, Misykat. Ia berujar bahwa di dunia barat, penghinaan agama disematkan dengan istilah ‘Blasphemy’. Barat sangat menghargai kebebasan berpendapat. Semua orang boleh mengatakan apa-pun. Termasuk menghina agama lain. Tidak boleh ada hukuman atas kebebasan berdemokrasi.
Lanjut beliau, kalau menyerahkan penyelesaian urusan blasphemy ke masyarakat, akan mengakibat chaos atau kegaduhan. Benar saja. Banyak kasus penistaan yang berakhir dengan tidak baik jika menjadikan masyarakat sipil sebagai hakim. Theo Van Gogh dibunuh oleh Muhammad Bouyeri, penembakan di Charlie Hebdo, hingga dakwaan mati oleh Khomenei pada Salman Rushdie yang membuat Satanic Verses.
Seharusnya pemerintah bergerak aktif untuk menyudahi polemik penistaan agama ini. Di Bangladesh, Taslima Nasrin difatwa mati karena menyatakan Al-Quran harus direvisi seluruhnya. Juga Ghulam Ahmad yang dihukum mati karena menghina Nabi Muhammad.
Urusan agama sudah melekat mendarah daging bagi masyarakat Indonesia. Mereka yang paling blangsak pun dapat tergerak hatinya membela jika agama mereka terhina. Itu Ghiroh namanya. Ujar Buya Hamka. Maka sebelum isu ini dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab yang jelas akan mengganggu stabilitas negara, sebaiknya proses hukum segera dilaksanakan.
Sebenernya gue ogah merespon pembahasan-pembahasan jamak yang beredar. Tulisan ini juga didedikasikan atas kekesalan gue melihat ragam informasi monokrom yang menghiasi laman facebook. Ada kalanya facebook pengen gue deaktifasi. Hanya saja masih ada satu, dua informasi penting yang tidak bisa gue lewatkan sekonyong-konyong.
Jika sudah begini gue harus lebih banyak menelan ludah dan menghela napas lebih dalam setiap saat mengakses facebook. Semoga facebook dan media sosial lainnya bisa jauh lebih aman, damai seperti sebelum negara api menyerang.
Tabik!.
Maaf, Saya Sedang Nyetir
Oktober 11, 2016 § Tinggalkan komentar
Dalam bukunya yang berjudul ‘Ayah’, Irfan Hamka bercerita bahwa ia suatu waktu pernah berbohong. Ia sangat paham resikonya karena di dalam keluarga mereka nilai-nilai kejujuran dan integritas sangat dijunjung tinggi. Tapi rasa takut yang menjalar membuat ia secara otomatis menekan tombol auto-pilot guna menyelamatkan diri. Tahu bahwa Irfan mencoba menjadi kriminal cilik, Buya Hamka dengan tenang menasihati sang anak bahwa setidaknya ada tiga syarat agar berbohong itu dapat berjalan dengan baik.
Syarat pertama adalah adanya rasa percaya diri yang tinggi. Jangan pernah meninggalkan keraguan sedikit pun terhadap kebohongan yang tengah kita lakukan jika tidak ingin orang lain bisa dengan mudahnya mengendus dusta di antara kita.
Syarat kedua adalah tidak lupa dengan kebohongan tersebut. Jangan pernah lupa. Alpa dengan kebohongan yang pernah kita buat hanya akan menjadi bumerang. Meskipun saat ini ruang bagi para pembohong semakin sempit. Hampir setiap gerak-gerik kita diawasi oleh sebaran yang viral di media sosial. Jadi alibi ‘lupa’ pada kebohongan yang kita lakukan adalah kebohongan paling gagal dalam sejarah.
Syarat ketiga dan paling penting adalah kita punya kebohongan lain untuk menutupi kebohongan yang sudah ada. Semacam multi-level marketing. Konsep dasar ini lah yang digunakan oleh Dimas Kanjeng Taat Istri untuk menggandakan uang.
Dewasa ini, tiga syarat ketat perihal ‘kebolehan’ berbohong yang pernah diujarkan oleh Buya Hamka sudah tidak lagi dianggap relevan. Dalam kehidupan bermasyarakat kita sering mendapati perilaku kaum urban yang mengganggap remeh sebuah kebohongan.
Pada banyak interaksi, kebanyakan dari kita tidak jarang berbohong untuk mengalihkan pembicaraan atau meredam sebuah isu. Mereka sering berdalih dengan kalimat sakti semisal “saya sedang rapat” atau “saya sedang menyetir” setiap saat hendak mengakhiri dengan cepat dialog dengan orang-orang yang tidak dikehendaki, semisal telepon dari perusahaan asuransi atau customer service TV berbayar. Dua kalimat “sedang” tersebut menjadi jaminan ampuh untuk menyudahi percakapan mas/mbak di ujung telepon yang semakin handal menunda closing dari calon pelanggan.
Maka simplifikasi dialog menjadi sebuah kebiasaan. Setiap saat mendapati diskusi, banyak dari kita menyudahinya dengan kebohongan-kebohongan sederhana. Memang, tidak akan ada sales asuransi yang menyocor pertanyaan dan mematahkan argumen-argumen kebohongan yang tengah kita bangun. Tidak juga memaksa kita untuk membuat kebohongan baru. Karena ucapan “saya sedang rapat” adalah senjata sakti mandraguna yang tidak bisa meninggalkan koma.
Sebagian kita dengan sukarela memanfaatkan aktifitas menyetir dan rapat sebagai kamuflase untuk menghindari percakapan lebih lanjut. Padahal apa salahnya jika kita mengakhiri basa-basi diskusi dengan kata-kata yang aktual, tajam, terpercaya. Kita bisa saja mengatakan dengan jujur dan tegas bahwa diskusi tidak bisa lagi dilanjutkan dengan mengemukakan alasan-alasan rasional. Namun sayangnya budaya basa-basi sudah menjalar mendarah daging sehingga rasa tidak enak mengakhiri percakapan harus diakhiri dengan kebohongan.
Nampaknya sudah menjadi kebiasaan orang Indonesia untuk meninggalkan cerita bohong. Saat sedang santai mau pun saat genting.
Dulu, sebelum ada ribut-ribut surat Al-Maidah ayat 51, para pendiri bangsa juga ribut-ribut tentang dasar negara. Terjadilah gontok-gontokan antara kaum nasionalis dan islamis. Saat menyepakati dasar negara, tersiar rumor bahwasanya rakyat Indonesia timur lebih memilih lepas dari Indonesia ketimbang harus menyepakati Piagam Jakarta. Menurut Bung Hatta, ada orang Jepang yang mengabarkan demikian. Kelak, informasi tidak jelas ini menghapus tujuh kata piagam Jakarta yang kini menjadi pembukaan UUD 1945.
Bung Hatta, oleh beberapa sejarawan, dianggap berbohong atas penggorengan isu di atas. Ya, ternyata perkara berbohong anak negeri memang sudah diwariskan bahkan sejak proklamasi belum berkumandang.
Perlu diingat bahwa semakin mudah kita berbohong pada hal yang sederhana maka kita tengah mempersiapkan diri untuk berbohong pada hal-hal yang lebih rumit. Jika memang harus berbohong, gunakanlah alasan-alasan lain yang lebih masuk akal semisal “Kucing tetangga tengah sesak napas, saya sibuk memberikan napas buatan” atau “saya sedang menyiapkan calon pengantin untuk Annabelle”.
Meminjam ucapan Lenin bahwa kebohongan yang disampaikan terus menerus akan menjadi sebuah kebenaran. Silahkan jika tetap ingin hidup dalam kebenaran hasil rekayasa kebohongan.
Menjadi Liberalis Paruh Waktu
Agustus 26, 2016 § Tinggalkan komentar
Membaca tulisan-tulisan para pentolan JIL memberikan kesempatan untuk menguji ketahanan argumen keimanan kita. Untuk kita yang sehari-hari terbiasa dengan pewarisan pemahaman agama yang tradisional dan literal dari orang tua, kita bisa menertawai pendapat ‘lucu’ mereka yang mengorbit jauh dari penjelasan para ulama. Atau kita dapat mengelus dada, marah, dan reaksi agresif lain saat mendapati mereka menafsirkan ayat suci dengan ‘serampangan’. Namun bagi mereka, upaya-upaya merevivalisasi tafsir adalah cara untuk membawa agama ini berkembang mengikuti kemajuan zaman.
Ada yang lebih menarik daripada sekedar wacana ilmiah para liberalis yang tersebar melalui tulisannya di media cetak maupun elektronik. Tanpa kita sadari kita dewasa ini sudah berperilaku liberal bahkan lebih liberal daripada tokoh-tokohnya.
Para cendekia menganggap liberalis sering memotong-motong ayat sesuai kepentingan temporal. Bagimana dengan kita? Bukankah kita sering menyitir ayat demi kepentingan kelompok, mazhab, preferensi politik kita sendiri?
Dalam Islam Liberal 101, Akmal Sjafril mengatakan bahwa orang-orang liberal sering menggunakan standar ganda dalam menetapkan keberpihakannya. Ada kalanya mereka memuji Ahmad Dahlan dan dalam kesempatan lain mereka mencacinya. Anda yang seturut membenci orang-orang liberal itu apakah pernah berkaca? Jika definisi tersebut mempertontonkan kelabilan penghuni islam liberal lalu bagaimana dengan kita?
Berapa sering kita mendukung seseorang, memuja dan membela setiap aksinya karena dilatarbelakangi kepentingan tertentu? Di waktu lain kita menghujat, mencerca setiap tindakannya karena ia berubah haluan. Tidak lagi seiya sekata dengan apa yang kita percayai?
Masih dari buku yang sama, Islam liberal disebut-sebut sebagai gerakan yang acap kali mendiskreditkan gerakan-gerakan dakwah penentang liberalisme. Kalian menghujat mereka? Bukankah kita pada posisi yang sama manakala orang tarbiyah memandang remeh pengikut ‘Salafi’ sebagai anti-sosial. Atau Hizbut Tahrir yang tidak pernah bosan melabeli penyambung gerakan ikhwan sebagai anjing demokrasi. Lalu apa itu bukan bagian dari modus operandi penggiat islam liberal itu sendiri?
Jadi mungkin saat ini kita adalah seorang liberalis paruh waktu. Kita memainkan peran dan mensukseskan virus liberalisme dengan seikhlas-ikhlasnya. Ya mungkin benar kita tidak mensosialisasikan islam liberal sebagai framework namun kita menjadikan ciri-ciri mereka melekat pada diri kita.
Membaca yang Berbeda
Agustus 18, 2016 § Tinggalkan komentar
Gue sangat percaya bahwa apa yang kita baca sangat mempengaruhi cara kita berpikir. Syaikh Ahmad Deedat tidak pernah mampu membalas argumen teologis dari para misionaris di sekitaran toko tempat ia bekerja. Hingga suatu hari ia membaca sebuah buku berjudul ‘Izharul Haq’. Buku yang kelak menjadikan ia seorang kristolog handal.
Ada begitu banyak buku lainnya yang bisa mengubah cara seseorang memandang dunia. Mulai dari Origin of Species milik Darwin hingga Principia kepunyaan Sir Issac Newton. Demikianlah kedahsyatan buku. Ia mampu mengubah arang menjadi intan. Andai saja takdir berkata lain. Ahmad Deedat misalkan di masa mudanya lebih memilih Das Kapital sebagai bahan bacaan maka mungkin saja saat ini ia dikenal sebagai pemimpin gerakan revolusi komunis di Afrika Selatan. Satu ideologi dengan Semaun, Nyoto, Mao dkk.
Selama ini bacaan gue bisa dikatakan nyaris seragam. Kental dengan nuansa pergerakan islam, sejarah islam, perang pemikiran dan tema-tema yang homogen. Keberadaan buku-buku dengan topik yang satu membuat dimensi berpikir gue nyaris monokrom. Gue tidak bisa menganalisa suatu kejadian, konflik dengan spektrum yang beragam. Dunia ini nyaris hanya dua warna, hitam dan putih. Kalo misalkan suatu kejadian tidak selaras dengan bacaan yang gue geluti, maka gue akan mengutuk serta menggumam keras dalam hati. Semua harus sejalan dengan cara berpikir yang diadopsi dari buku-buku yang tertranskripsi di otak gue.
Tidak hanya buku, bacaan di media elektronik pun mengalami perlakukan serupa. Gue memilah-milah bacaan sesuai dengan apa yang gue suka. Cherry-picking itu benar adanya.
Tapi belakangan gue berubah. Salah satunya karena quote dari Haruki Murakami dalam Norwegian Wood “If you only read the books that everyone else is reading, you can only think what everyone else is thinking”.
Bacaan gue sekarang lebih variatif. Gue mencoba mengakomodir tema dari dua sudut pandang yang bertolak belakang. Jika dulu gue anti membaca artikel dari mereka yang di-stempel sebagai Jaringan Islam Liberal (JIL), sekuler dan teman-temannya maka sekarang gue lebih akomodatif. Tulisan yang berhaluan ‘kiri’ pun kini gue jabanin.
Baru-baru ini gue membaca tulisan Burhanudin Muhtadi yang terbit di jurnal internasional berjudul “The Conspiracy of Jews: The Quest of Anti-Semitism in Media Dakwah”. Artikel karangan Burhan menceritakan bagaimana sebuah majalah bernama Media Dakwah di bawah asuhan Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII) terlalu sering melakukan framing terhadap Yahudi (Zionis, Israel) dan ‘mengagungkan’ teori konspirasi dengan menempatkan mereka sebagai tersalah setiap kali terdapat kerusakan di dunia islam.
Tulisan Burhan cukup menarik. Ia memberikan wawasan serta sudut pandang lain untuk memberontak keluar dari hegemoni keajegan cara berpikir yang dominan di masyarakat.
Bersamaan dengan e-book mlik Burhan, gue juga mengunduh e-book dari para liberalis lain semisal “Ideologi Islam dan Utopia” milik Luthfie Assyaukanie. Tidak ketinggalan e-book dengan tema yang sangat kontroversial semisal “Begini Cara Berdebat Dengan Muslim” dan “Mengapa Aku Bukan Lagi Seorang Muslim” pun gue jabanin hanya demi mencari tahu seperti apa cara berpikir ‘mereka’.
Sebelumnya gue khusyu’ membaca argumen-argumen pro dan kontra perihal teori evolusi. Kalangan liberalis menyandarkan pendapat mereka pada penafsiran kontekstual yang lentur dan adaptatif pada perubahan zaman. Sementara kalangan ‘tradisional’ bersikukuh pada tafsir literalis yang bertahan dari masa ke masa. Gue menikmati adu pendapat dengan landasan ilmiah yang kokoh ketimbang harus saling adu pukul karena perbedaan penafsiran.
Tulisan-tulisan dari mereka yang mendaku sebagai bagian dari Islam Liberal cukup menarik untuk dikaji sebagai studi komparasi terhadap tafsir yang jamak hadir di masyarakat.
Ada pergolakan batin yang sangat kuat saat kita harus membaca ide-ide yang bersebrangan dengan nilai-nilai dasar yang kita yakini. Pilihannya hanya dua : terseret bersama dengan ide-ide baru tersebut atau menjadikan kita semakin yakin dengan pandangan, prinsip dan metodologi yang kita pilih. Gue percaya membaca dua hal dalam posisi diametral akan membuat kita bisa lebih bebas memilih yang mana yang lebih sesuai dengan nurani.
Dengan mengamati serta menganalisa tulisan Burhan misalnya maka kita menyadari bagaimana kaum liberalis menggunakan framework yang sangat kebarat-baratan. Ia banyak bersandar pada pendapat orientalis. Dengan demikian pendekatan-pendekatan teologis, fiqih yang konservatif dan literalis tidak akan menemukan titik terang setiap saat kita berdiskusi dengan mereka.
Sempet juga dalam beberapa waktu gue gandrung dengan beberapa tulisan Tan Malaka, Soe Hok Gie, bahkan Nietzsche. Gue awalnya berasumsi bahwa Tan Malaka adalah seorang kiri yang sangat islamis setelah membaca tulisannya serta mendengar pendapat seorang Buya Hamka. Semua berubah sejak gue mengunduh tulisan Dr Syed Alatas yang mengatakan bahwa pendapat tersebut keliru. Datuk Tan Malaka lebih condong ke atheis ketimbang islamis.
Andai saja gue hanya bergumul dengan buku-buku bernapaskan satu maka sejatinya gue tidak akan pernah tahu bagaimana sebenernya orang ‘kiri’ bekerja dan berpikir.
Kini gue lebih mampu merespon secara bijak tulisan yang sama sekali berbeda dengan bacaan pada umumnya sehingga menjadi referensi yang cukup baik sebagai antitesis argumen yang gue percayai. Dengan demikian gue memiliki wawasan yang lebih variatif dan komprehensif.
Gelar yang Semu
Agustus 4, 2016 § Tinggalkan komentar
Gue tidak pernah tertarik dengan penyematan gelar di depan nama. Bahkan cenderung skeptis terhadap semua aksesoris predikat, gelar atau embel-embel sejenis. Makanya setiap kali mendapati orang-orang yang menuliskan predikat semacam ‘haji’ atau ‘ustad’ atau gelar-gelar akademik yang mereka punyai, gue langsung saja sinis. Apa untungnya orang-orang tahu dengan label-label tersebut.
Sebelum akad nikah, gue pernah wanti-wanti keluarga istri untuk tidak menyebutkan gelar saat akan memanggil pengantin pria oleh panitia pernikahan. Gue merasa tidak nyaman. Biarkanlah gue tampil apa-adanya tanpa perlu menyematkan predikat keilmuan gue. Karena toh apa efeknya ke dalam kehidupan berumah tangga kalo misalkan gue adalah seorang lulusan sarjana, atau master atau doktor sekalipun. Keharmonisan rumah tangga tidak ditentukan oleh hal demikian.
Daripada ‘memamerkan’ gelar gue lebih seneng memberi tahu orang-orang kalo gue bisa ngangkat galon ke dispenser tanpa numpahin air sedikitpun. Gue juga mampu memasang gas LPG ke kompor dalam satu kali percobaan. Kewl, kan?.
Gue bahkan nyaris tidak menyematkan gelar di undangan pernikahan. Karena menurut gue undangan pernikahan itu harusnya sekedar menyiarkan alias menyebarluaskan siapa yang nikah, waktu dan tempat. Itu saja. Sayangnya kebanyakan orang menyamaratakan undangan pernikahan dengan curriculum vitae. Semua gelar ditambahkan.
Rasanya cuma ada dua alasan gelar itu menjadi penting untuk dibubuhkan di depan nama
1. Saat mengisi seminar ilmiah
2. Saat pemilihan kepala daerah
Di luar kedua kegiatan tersebut, menyebut-nyebut gelar tidak akan memberikan efek signifikan pada kehidupan seseorang. Tidak akan menambah harta kekayaan. Apalagi menambah ketampanan.
Sangat lah wajar memberikan gelar di depan nama saat akan memberikan seminar ilmiah karena hal ini berhubungan dengan kredibilitas dari pembicara. Orang pun enggan mendatangi penyampaian pidato ilmiah jika yang menyampaikan adalah ‘orang biasa’ nir gelar.
Untuk kondisi kedua, pemilihan kepala daerah acapkali menjadi ajang pamer gelar. Percaya atau tidak, di luar segala praktek culas para politikus tengil selama periode pemilihan pucuk pimpinan, gelar akan sangat mempengaruhi psikologis para pemilihnya. Di luar faktor non-teknis lain semisal calon mana yang lebih cakep dan enak diliat. Calon mana yang lebih santun. Dan calon mana yang cuma bermodalkan mulut besar dan senang menjilat ludahnya sendiri.
Itulah mengapa setiap kali ada momen pemilihan kepada daerah, baliho dan pamflet yang terpampang manis di pohon serta tiang listrik selalu menampilkan gambar calon kepala daerah lengkap dengan nama serta gelarnya. Orang-orang masih selalu percaya bahwa gelar-gelar tersebut memproyeksikan tingkat intelektual serta kearifan.
Misalnya saja pembubuhan huruf ‘H’ sebagai singkatan gelar ‘Haji’ seolah memberikan kesan kedalaman ilmu agama sehingga menjadi komoditas untuk mempengaruhi para pemilih. Isu-isu religius masih laku untuk dijual oleh para politisi. Banyak yang beranggapan bahwa gelar haji berarti sinyal kesolehan sehingga berada pada kasta yang lebih tinggi dari mereka yang tidak memiliki gelar serupa. Padahal kita mengenal Haji Muhidin yang ngeselinnya minta ampun.
Gelar-gelar akademis juga selalu menjadi atribut yang siap dipasang para calon kepala daerah sehingga menjadi etalase untuk memamerkan intelektual. Padahal tidak selamanya orang-orang dengan seribu satu gelar memiliki kecakapan untuk memimpin. Andai saja gelar-gelar itu berkorelasi positif dengan kemampuan mengurusi urusan rumah tangga kenegaraan maka niscaya orang-orang akan mengumpulkan gelar sebanyak-banyaknya ketimbang memaparkan visi dan misi kepala daerah.
Gelar akademik kini bisa dibeli. Tidak lagi menjadi hak prerogatif orang-orang pinter. Siapa pun, asal punya duit, bisa mendapatkan gelar tanpa perlu bersusah payah kuliah dan kejer-kejeran sama dosen pembimbing demi revisi skripsi. Enak, toh?.
Lagian kalo kampanye gitu siapa yang mau nanyain sampeyan dapet gelarnya dari universitas mana. IPK berapa. Apa judul tugas akhir anda. Ini kampanye bung, bukan nyari kerja.
Jadi kesimpulannya tak usah lah kalian berbangga-bangga dengan segenap gelar yang kalian punya. Gelar itu semu, bang. Kalo kalian tidak sedang mengadakan pidato ilmiah atau tidak sedang bertarung memperebutkan kursi kepala daerah, simpan saja gelar-gelar akademik itu rapat-rapat. Tingkat intelektualitas, kecakapan, serta nilai diri kalian tidak ditentukan oleh gelar yang berlimpah itu.
Belajar Konsistensi dari Seth Godin
Juni 16, 2016 § Tinggalkan komentar
Setiap kali gue melihat profil seseorang atau mendengar presentasi dan ceramahnya atau membaca tulisannya maka hal pertama yang gue lakukan adalah mencari blog orang tersebut. Gue percaya bahwa kualitas seseorang dapat dilihat dari kualitas tulisannya. Itulah mengapa gue sangat menyayangkan jika mendapati orang-orang hebat tanpa keberadaan blog atau website sebagai etalase ide mereka.
Kemarin sore gue iseng-iseng blog surfing ke beberapa alamat yang sudah jarang dikunjungi. Ada blognya Goenawan Mohamad, Ustad Hamid Fahmi Zarkasy, Dan Ariely hingga blog miliknya Seth Godin. Sebenernya gue agak ragu buat berkunjung ke blog yang gue sebutin terakhir karena firewall internet kantor sempat secara anarkis dan tanpa konfirmasi dulu (lah, siapa gue?) memblokir blog tersebut. Jangan tanya alasan pemblokiran yang dilakukan. Sejatinya blog milik Seth Godin tidak mengajak orang bergabung dengan ISIS. Tidak berisi barang-barang jualan onlen. Juga tidak ikut memberikan opini terkait kericuhan penutupan warung makan di serang. Catet itu ya wahai kalian Divisi IT kantor gue!.
Sudah pernah tahu Seth Godin?
Gue pertama kali mengenal pria berkepala plontos ini melalui videonya di TED dengan judul ‘How to Get Ideas to Spread’. Videonya menarik dan masih menjadi salah satu favorit gue bersama dengan video milik Dan Ariely dan Sir Ken Robinson. Dalam presentasinya ia memaparkan bagaimana ide dapat tersebar dan mengklasifikasikan tipe-tipe orang berdasarkan kemampuan mereka menyebarkan dan menerima ide.
Selain melalui video, gue juga mendapati Seth Godin sebagai seorang bloger. Blognya banyak berisi tentang trik-trik marketing, organisasi, serta petuah-petuah kehidupan yang dikemas dengan bahasa singkat dan sederhana.
Setelah puluhan kali mampir ke blognya gue baru sadar bahwa ada hal unik yang ia coba kemukakan. Seth Godin sangat rajin memutakhirkan (update) blog yang ia asuh. Sepanjang pengetahuan Aliando, ia adalah salah satu bloger yang mengisi blognya hampir setiap hari.
Setiap hari?
Iya. Setiap hari.
Tiada satu hari pun ia lewatkan tanpa meramaikan blognya dengan konten. Kegiatan ini sudah dilakukan sejak awal blognya bergulir, sekitar tahun 2002. Sebuah aktifitas yang bahkan lebih sulit daripada menunggu nobita naik kelas. Emezing.
Memang, artikel yang dihasilkan sebagian besar berupa mini post alias tulisan-tulisan pendek. Tapi mini post yang berarti dan memiliki impak yang besar jauh lebih heits dibandingkan tulisan gue yang panjang sampe mars namun sering kali nir makna.
Mungkin Kalian bisa bilang ‘ah, kalo tulisan pendek kayak gitu mah gue juga bisa’. Nyinyir-an tersebut persis dengan para pelaut yang menghina Colombus sepulangnya ia dari berkelana menemukan amerika.
Atau berseru ‘ah gue kan sibuk. Mana mungkin bisa ngeblog sebanyak itu’.
Ketahuilah wahai kawan, Seth Godin itu bukan seorang bloger an sich. Ia juga entrepreneur, marketer, penulis hingga public speaker. Lha sampeyan itu apa? Bloger sekaligus Batman yang tiap malem kudu keliling Gotham City buat membasmi Joker, Penguin dan konco konconya?.
Alesan sebenar-benarnya mengapa kita, yang mendaku diri sebagai bloger, tidak bisa rajin nge-blog dan meninggalkan tulisan adalah karena kita miskin pengalaman dan ide. Seth Godin tidak sekedar ‘rajin’ menulis karena kalo sekedar rajin kita bisa menemukan ratusan blog abal-abal yang isinya copy-paste blas. Selain rajin, ia pun memikirkan konten yang sesuai dengan kapasitasnya. Istilah temen gue blognya memiliki niche-nya sendiri.
Seth Godin bisa dengan luwes membagi ide-idenya lewat blog, menurut gue, disebabkan juga oleh blog yang ia asuh bukan blog berbayar. Sehingga ia bisa tetap mempertahankan idealismenya dalam menulis tanpa takut ide-ide tersebut dipasung atau diarahkan oleh pihak sponsor.
Gue mencoba membandingkan blog Seth Godin dengan blog personal lainnya
Seth Godin bisa menjadi contoh yang baik perihal konsistensinya dalam menulis. Gue mencoba membandingkan konsistensi tersebut dengan para bloger Indonesia. Ternyata hasilnya cukup mencengangkan. Misalnya saja blog Enda Nasution yang diklaim sebagai ‘bapak bloger Indonesia’. Tahun ini blog tersebut baru menggulirkan dua buah tulisan. Belum lagi jika menyebut nama bloger Ndoro Kakung atau Raditya dika yang digadang-gadang sebagai kiblat para bloger ternyata tidak mampu menghasilkan tulisan yang konsisten.
Sejauh ini blog personal, yang berhasil radar gue tangkep, yang menunjukkan kekonsistenan dalam menulis adalah blog asuhan Bapak Rinaldi Munir, Sang Dosen Teknik Elektro ITB itu. Belio acap kali mengulas berbagai hal dalam blognya meskipun memang tidak serajin Seth Godin.
Konsistensi adalah suatu bentuk sikap yang paling sulit dijalankan oleh umat manusia. Berapa banyak sih orang yang semangat di awal namun layu di tengah perjalanan. Tidak cuma masalah tulis-menulis. Tapi dalam banyak hal lainnya.
Konsisten dalam menulis seperti yang dilakukan oleh Seth Godin adalah contoh sikap yang wajib ditiru jika kita ingin terus menyebarkan ide kita lewat tulisan. Tidak mudah memang. Tapi Seth Godin menunjukkan bahwa ia bisa. Ia juga mengajarkan bahwa impak dari sebuah tulisan tidak melulu dipengaruhi jumlah kata namun lebih kepada isi.
Jika penasaran silahkan kunjungi blog belio di link yang sudah gue sertakan di atas.
Jika tidak penasaran maka kalian pasti tidak punya kapasitas menjadi ilmuwan. Bye.