Pesan Kyai Muhsin untuk Presiden RI 2014-2019
Juni 1, 2014 § Tinggalkan komentar
Ditulis oleh Dr Adian Husaini
Orang kampung memanggilnya Kyai Muhsin. Sehari-hari, ia berdagang di pasar kampungnya. Sepeda tuanya terkadang dinaikinya. Tapi lebih sering dituntunnya. Umurnya, diduga 70 tahunan. Hanya, ia belum pernah ia berurusan dengan rumah sakit. Tidak ada catatan resmi hari lahirnya. Kain sarung dan lantunan zikir menjadi ciri utamanya. Mengajar ngaji anak-anak adalah rutinitas kesahariannya. Tak pernah terlihat ia baca koran atau menonton berita. Hanya silaturrahim ke sana-sini menjadi hobinya. Uniknya, ia seperti paham kondisi politik negeri. Sudah jadi tradisi, ia selalu bertanya tentang masalah politik kepada cucu-cucunya jika mereka berlibur dari kuliahnya.
“Sopo Le sing arep dadi Presiden? Jokowi, Prabowo, opo Oma Irama?” Mbah Muhsin bertanya kepada Sikirno, salah satu cucunya, saat liburan dari kuliahnya di Yogya.
Kirno gelagapan. Pertanyaan itulah yang hari-hari ini bergelayut di benaknya. Sebagai aktivis masjid kampus, ia juga diombang-ambingkan oleh berbagai informasi seputar para capres RI 2014-2019. Ia kebingungan, siapa yang seharusnya dipilih. Maka, kesempatan itu pun ia manfaatkan untuk menggali informasi dari kakeknya, yang menurut ibunya, Mbahnya itu kadangkala memiliki pemikiran yang “aneh”, seperti bisa memahami masa depan.
“Bingung Mbah; kalau menurut Mbah siapa yang terbaik yang harus kita pilih?” tanya Kirno.
“Kalau kamu pilih siapa?” Mbah Muhsin bertanya balik ke cucunya.
“Ya, itu yang saya bingung Mbah. Teman-teman juga bingung. Seorang Ustad di kampus pernah bilang, pokoknya jangan pilih Jokowi, karena ia dikendalikan oleh kekuatan asing dan konglomerat hitam yang dulu merugikan keuangan negara ratusan trilyun. Amerika dan jaringan Yahudi juga katanya lebih mendukung Jokowi. Kalau pilih Prabowo, katanya ia emosional, dan ada adiknya yang misionaris Kristen. Padahal saudaranya itu yang punya uang banyak. Prabowo juga dikabarkan kurang tekun ibadahnya. Tapi, ada beberapa tokoh Islam mengatakan ia suka membela orang Islam. Bagaimana ini Mbah. Bingung milihnya! Padahal, beberapa pengamat bilang, cuma dua calon itu yang kuat? Katanya, dulunya Jokowi diangkat untuk menjegal Prabowo; dan sebaliknya, hanya Prabowo yang bisa membendung Jokowi. Pokoknya, banyak sekali berita yang sulit bagi saya menerima atau menolaknya!”
“Yo, yo,yo…. , ngono yo Le…. wah pancen angel iki,” Mbah Muhsin bergumam sendiri, sambil mengangguk-anggukkan kepalanya; kelihatan sedang merenungkan sesuatu.
“ Terus gimana Mbah? Apa tidak usah milih saja?” Kirno mendesak kakeknya.
“Kenapa tidak memilih?” tanya Mbah Muhsin.
“Ya, karena dua-duanya bisa merugikan Islam, karena mereka sekuler, tidak tulus ikhlas berpihak kepada aspirasi Islam?”
“ Kalau kamu tidak milih, apa lalu Presidennya bisa lebih baik?”
“Itulah Mbah yang membuat saya dan teman-teman bingung!”
“Ya, makanya, jangan memutuskan tidak milih dulu! Dipikir yang baik. Nanti dulu, saya pikir baik-baik. Tunggu sebentar yo Le,” kata Mbah Muhsin yang berucap dalam bahasa Jawa campur bahasa Indonesia.
Kirno tidak tahu, apa yang dikerjakan Mbah Muhsin di dalam kamarnya. Sekitar 15 menit kemudian, Mbah Muhsin kembali menemui Kirno. “Kita ngomong di dalam saja, Kirno…, nggak enak didengar orang.”
Kirno menuruti langkah kakeknya. Tanpa diduganya, ia diajak memasuki kamar yang dipenuhi buku. Pemandangan di depannya nyaris membuatnya tak percaya. Kakeknya menyimpan begitu banyak koleksi buku. Penampilan kakeknya pun tak mencerminkan ia seorang peminat buku. Apalagi, tak pernah didengarnya sang kakek membicarakan masalah politik dan keagamaan kontemporer. Orang tuanya juga tidak pernah bercerita tentang hal ini.
“Kirno, sudah saatnya Mbah beritahu kamu satu rahasia. Ini kumpulan tulisan Mbah di sebuah majalah Islam tahun 1950-an. Mbah gunakan nama samaran: Ki Sarmidi. Dulu Mbah aktif menulis tentang pemikiran sekulerisme dan komunisme. Alhamdulillah, nama asli Mbah tidak pernah terbuka. Hanya redaksi saja yang tahu, dan mereka menyembunyikan identitas Mbah, sampai mereka semua meninggal dunia.”
Kirno hanya terdiam, terselimuti rasa takjub. Dibolak-baliknya lembaran-lembaran kliping artikel yang semakin mencoklat warnanya. Ada beberapa bagian sulit dibaca. Tatapannya terhenti pada sebuah artikel berjudul “Jalan Kehancuran Negara Sekuler”. Sambil tetap berdiri, dibacanya pelan-pelan artikel yang sudah buram tulisannya itu. Hatinya takjub. Kalimat demi kalimat yang dibacanya terasa tajam dalam menguliti kekeliruan paham sekulerisme.
Melihat cucunya bersemangat membaca artikelnya, Mbah Muhsin mengambil sebuah diktat lusuh dari tumpukan koleksinya. Diktat itu bertuliskan “Islam Sebagai Dasar Negara: Salinan dari buku Teks Pidato M. Natsir di muka sidang pleno Badan Konstituante, 20 Juli 1957 di Bandung.”
“Ini kamu baca, Mbah tinggal dulu sebentar. Mbah ada perlu. InsyaAllah satu jam lagi kembali. Kita diskusikan isi diktat ini,” kata Mbah Muhsin, sambil bergegas meninggalkan cucunya. Dalam hatinya ia bersyukur, ada diantara garis keturunannya yang berminat memahami sejarah perjuangan Islam. Sudah lama ia menunggu-nunggu saat tepat untuk membuka tabir dirinya.
Sebagai aktivis mahasiswa Islam, Kirno sudah akrab dengan nama Mohammad Natsir, tokoh dan pejuang Islam yang belakangan juga diakui sebagai salah satu Pahlawan Nasional. Namanya sangat harum karena pemikiran dan akhlaknya bisa dijadikan teladan. Namun, Kirno belum membaca secara khusus pemikiran Pak Natsir dalam soal kenegaraan. Kini di tangannya terpampang dengan cukup jelas, uraian-uraian Pak Natsir tentang kekeliruan dan bahaya paham sekulerisme bagi bangsa Indonesia. Uraian itu begitu mempesona dan mudah dipahami. Kalimat demi kalimat isi pidato Pak Natsir itu ia cerna dengan hati-hati:
*****
Pilihan kita, satu dari dua: sekulerisme atau agama….
Sdr. Ketua!
“Sejarah manusia umumnya pada tinjauan terakhirnya, memberikan kepada kita pada final analisisnya hanya dua alternatif untuk meletakkan dasar negara dalam sikap asasnya (principle attitude-nya), yaitu: (1) faham sekulerisme (la-dieniyah) tanpa agama, atau (2) faham agama (dieny).
Sdr. Ketua!
Apa itu sekulerisme, tanpa agama, la-dieniyah?
Sekulerisme adalah suatu cara hidup yang mengandung paham tujuan dan sikap hanya di dalam batas hidup keduniaan. Segala sesuatu dalam kehidupan kaum sekuleris tidak ditujukan kepada apa yang melebihi batas keduniaan. Ia tidak mengenal akhirat, Tuhan, dsb. Walaupun ada kalanya mereka mengakui akan adanya Tuhan, tapi dalam penghidupan perseorangan sehari-hari umpamanya, seorang sekuleris tidak menganggap perlu adanya hubungan jiwa dengan Tuhan, baik dalam sikap, tingkah laku dan tindakan sehari-hari, maupun hubungan jiwa dalam arti doa dan ibadah. Seorang sekuleris tidak mengakui adanya wahyu sebagai salah satu sumber kepercayaan dan pengetahuan. Ia menganggap bahwa kepercayaan dan nilai-nilai moral itu ditimbulkan oleh masyarakat semata-mata. Ia memandang bahwa nilai-nilai itu ditimbulkan oleh sejarah atau pun oleh bekas-bekas kehewanan manusia semata-mata, dan dipusatkan kepada kebahagiaan manusia dalam penghidupan saat ini belaka…
Di lapangan ilmu pengetahuan, Sdr. Ketua, sekulerisme menjadikan ilmu-ilmu terpisah daripada nilai-nilai hidup dan peradaban. Timbullah pandangan bahwa ilmu ekonomi harus dipisahkan dari etika. Ilmu sejarah harus dipisahkan dari etika. Ilmu sosial harus dipisahkan dari norma-norma moral, kultur dan kepercayaan. Demikian juga ilmu jiwa, filsafat, hukum, dsb. Sekedar untuk kepentingan obyektiviteit. Sikap memisahkan etika dari ilmu pengetahuan ada gunanya, tetapi ada batas-batas dimana kita tidak dapat memisahkan ilmu pengetahuan dari etika.
Kemajuan ilmu teknik dapat membuat bom atom. Apakah ahli-ahli ilmu pengetahuan yang turut menyumbangkan tenaga atas pembikinan bom tersebut harus ikut bertanggungjawab atas pemakaiannya atau tidak? Bagi yang memisahkan etika dari ilmu pengetahuan mudah saja untuk melepaskan tanggungjawab atas pemakaian bom itu. Di sini kita lihat betapa jauhnya sekulerisme. Ilmu pengetahuan sudah dijadikan tujuan tersendiri, science for the sake of science.
Di dalam penghidupan perseorangan dan masyarakat, sekulerisme la-dieniyah tidak memberi petunjuk-petunjuk yang tegas. Ukuran-ukuran yang dipakai oleh sekulerisme banyak macamnya. Ada yang berpendapat bahwa hidup bersama laki-laki dan wanita tanpa kawin tidak melanggar kesusilaan. Bagi satu negara menentukan sikap yang tegas terhadap hal ini adalah penting. Sekulerisme dalam hal ini tidak dapat memberi pandangan yang tegas, sedangkan agama dapat memberi keputusan yang terang.
Pengakuan atas hak milik perseorangan, batas-batas yang harus ditentukan antara hak-hak buruh dan majikan, apa yang kita maksud dengan perkataan “adil dan makmur”, ini semua ditentukan oleh kepercayaan kita. Sekulerisme tidak mau menerima sumber ke-Tuhanan untuk menentukan soal-soal ini. Kalau demikian terpaksalah kita melihat sumber paham-paham dan nilai-nilai itu semata dari pertumbuhan masyarakat yang sudah berabad-abad berjalan sebagaimana yang didorongkan oleh sekulerisme. Ini tidak akan memberi pegangan yang teguh. Ada beribu-ribu masyarakat yang melahirkan bermacam-macam nilai. Ambillah, misalnya soal bunuh diri. Ada masyarakat yang mengijinkan dan ada yang melarang. Yang mana yang harus dipakai? Bagi suatu negara mengambil sikap yang menentukan adalah penting, karena hukum-hukum mengenai sikap yang menentukan adalah penting, karena hukum-hukum mengenai persoalan itu akan dipengaruhi oleh sikap tersebut. Lagi, disini sekulerisme tidap dapat memberikan pandangan yang positif.
Jika timbul pertanyaan, apa arti penghidupan ini, sekulerisme tidak dapat menjawab dan tidak merasa perlu menjawabnya. Orang yang kehilangan arti tentang kehidupan, akan mengalami kerontokan rohani. Tidaklah heran, bahwa di dalam penghidupan perseorangan, sekulerisme menyuburkan penyakit syaraf dan rohani. Manusia membutuhkan suatu pegangan hidup yang asasnya tidak berubah. Jika ini hilang, maka mudahlah baginya mengalami taufan rohani. Demikian akibat pemahaman sekulerisme dalam hidup orang perseorangan. Pengaruh agama terhadap kesehatan rohani ini telah diakui oleh ilmu jiwa jaman sekarang….
Ada satu pengaruh sekulerisme yang akibatnya paling berbahaya dibandingkan dengan yang saya telah sabut tadi. Sekuleris, sebagaimana kita telah terangkan, menurunkan sumber-sumber nilai hidup manusia dari taraf ke-Tuhanan kepada taraf kemasyarakatan semata-mata. Ajaran tidak boleh membunuh, kasih sayang sesama manusia, semuanya itu menurut sekulerisme, sumbernya bukan wahyu Ilahi, akan tetapi apa yang dinamakan: Penghidupan masyarakat semata-mata. Umpamanya dahulu kala nenek moyang kita, pada suatu ketika, insaf bahwa jika mereka hidup damai dan tolong menolong tentu akan menguntungkan semua pihak. Maka dari situlah katanya timbul larangan terhadap membunuh dan bermusuhan.
Kita akan lihat betapa berbahayanya akibat pandangan yang demikian. Pertama, dengan menurunkan nulai-nilai adab dan kepercayaan ke taraf perbuatan manusia dalam pergolakan masyarakat, maka pandangan manusia terhadap nilai-nilai tersebut merosot. Dia merasa dirinya lebih tinggi daripada nilai-nilai itu! Ia menganggap nilai-nilai itu bukan sebagai sesuatu yang dijunjung tinggi, tapi sebagai alat semata-mata karena semua itu adalah ciptaan manusia sendiri…
*****
Kirno terpekur merenungkan kalimat demi kalimat sebagian dari isi pidato Pak Natsir itu. Sebagai mahasiswa ilmu budaya, ia sangat akrab dengan pemikiran sekuler yang dikritik secara tajam oleh Pak Natsir. Ia baru paham, mengapa di kampusnya ada Fakultas Ilmu Budaya, tetapi tidak ada Fakultas Ilmu Agama. Itulah sebagian pandangan sekulerisme yang sebenarnya telah menempatkan manusia sebagai “Tuhan”, karena merasa berhak menentukan mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang halal dan mana yang haram.
Belum tuntas ia melanjutkan renungannya, tiba-tiba pintu kamar terbuka. Kakeknya segera menyapanya. “Pidato Pak Natsir itu yang menginspirasi tulisan Mbah tentang sekulerisme. Kamu boleh bawa diktat itu dengan hati-hati dan jangan bercerita kepada siapa pun, termasuk kepada bapak ibumu. Mbah tidak ingin rahasia ini terungkap sampai Mbah meninggal.”
Kirno diam. Hatinya dipenuhi banyak pertanyaan, tetapi ia enggan bertanya lebih jauh. Yang terpikir olehnya, bagaimana ia diijinkan kakeknya untuk membaca koleksi buku-bukunya. Seakan memahami keinginan cucunya, Mbah Muhsin pun berujar, “Kamu saya beri kunci kamar ini. Kapan saja ada waktu kamu boleh membaca di sini. Tapi, jangan sampai ada orang yang tahu. Itu syaratnya.”
Kirno mengangguk. Tapi, ia segera menukas, “Terus Mbah, untuk Presiden Indonesia tahun 2014 ini, pilih siapa? Jokowi, Prabowo, Oma Irama, atau Aburizal Bakrie, atau siapa?”
“Saya ini di kampung. Tidak banyak mendengar informasi politik. Hanya mendengar pembicaraan orang dari pasar dan warung-warung. Tapi kalau melihat informasi yang ada, sebelum memilih, mestinya tokoh-tokoh Islam mendatangi para calon Presiden itu. Semuanya mereka Muslim dan sudah haji. Tanyakan kepada mereka satu-satu, bagaimana komitmennya terhadap apirasi Islam dan khususnya sikap mereka terhadap sekulerisme. Kalau tidak ada yang ideal, maka pilih yang paling kecil mudharatnya bagi umat Islam. Minimal, ia tidak memusuhi dakwah Islam, tidak menindas umat Islam, dan tidak memberikan dukungan kepada kaum misionaris, kapitalis, dan sekuleris.”
“Itu masih terlalu normatif Mbah. Kurang praktis!”
“Ijtihad politik bisa berbeda, tergantung informasi yang kita terima, karena calon-calon yang ada tidak secara jelas berlatarbelakang ulama atau aktivis Islam dan mempunyai visi dan misi keislaman yang tersurat, sebagaimana Pak Natsir itu.”
“Kalau Oma Irama, Mbah?”
“Dari omongan orang, katanya belum pasti Oma Irama akan dimajukan sebagai capres. Mungkin ia selama ini hanya digunakan untuk menarik suara, karena sekarang artis sudah dipuja melebihi ulama. Saya tidak meragukan komitmen Oma Irama terhadap Islam, karena saya tahu sejak tahun 1970-an ia punya komitmen yang tinggi terhadap partai Islam. Banyak lagunya yang bermuatan dakwah dan politik Islam. Nanti kalau sudah pasti siapa capresnya, kamu ke sini lagi.”
“Kalau antara Jokowi dan Prabowo siapa Mbah yang lebih baik dipilih?”
“Ada kyai di Solo, murid Pak Natsir yang kenal keduanya. Kamu tanya dia. Ia tokoh terkenal. Mudah mencarinya!”
“Saya ingin tahu dari Mbah sendiri. Dari mata batin Mbah sendiri. Siapa yang lebih baik dipilih, andaikan capresnya nanti cuma Jokowi dan Prabowo?”
“Disamping kelemahannya, kelebihan Prabowo itu tegas dan berani serta nekad. Ia sudah kaya raya sejak dulu, sehingga tidak butuh uang. Latar belakang tentaranya mungkin masih diperlukan untuk mengatasi berbagai ancaman separatisme. Saya dengar, ia kenal baik dengan Pak Natsir. Kalau Prabowo berjanji mau mengaji dan mendengar nasehat ulama-ulama yang soleh, itu sangat baik.”
“Kalau Jokowi. Mbah?”
“Mbah juga dengar, ia orang baik. Ia suka kerja keras dan dekat dengan rakyat. Beratnya, seperti yang kamu ceritakan, di belakang dan sekeliling dia, diberitakan ada orang-orang yang lebih berpihak kepada sekulerisme dan mungkin beberapa diantaranya kepanjangan tangan kepentingan Yahudi dan misionaris Kristen. Saya tidak tahu, apakah Jokowi bisa keluar dari jeratan para pendukungnya itu? Yang berat juga, jika Jokowi jadi Presiden, maka yang jadi Gubernur Jakarta adalah orang kafir! Tentu, itu sangat berat bagi para ulama dan umat Islam yang tidak sekuler dan sadar akan ajaran al-Quran. Sebab, pemimpin dalam Islam itu mempunyai tanggung jawab dunia dan akhirat. Bagaimana jika simbol pemimpin ibukota negara muslim terbesar di dunia adalah seorang kafir! Apakah bumi Jakarta yang dimerdekakan dri penjajah kafir dengan tetesan darah para syuhada itu ridho menerima kepemimpinan orang kafir? Solusinya mudah saja. Gubernur Jakarta mau belajar Islam dengan ikhlas dan membuka pintu hatinya menerima hidayah Allah, bersedia memeluk Islam. Ini bukan untuk kepentingan jabatan, tetapi lebih untuk keselamatan dia sendiri, di dunia dan akhirat. Menurut Islam, kasihan orang kafir, sudah bekerja keras, tetapi amalnya tidak bernilai di mata Allah, seperti fatamorgana. Kamu baca QS 24:39!”
“Wah, kalau Mbah ngomong seperti itu di media massa sekarang, Mbah akan dituduh picik, sektarian, tidak pluralis, tidak berwawasan kebangsaan, dan lain-lain. Pokoknya akan dicemooh habis-habisan, Mbah!”
“Ya, Mbah ini orang kuno Le. Hanya bicara dari hati saja. Tidak mau munafik. Terserah orang mau ngomong apa. Tanggung jawab kita di akhirat kan masing-masing. Kita hanya wajib menyampaikan kebenaran. Itu sikap yang harusnya ditunjukkan para politisi Muslim, seperti kamu baca dalam pidato Pak Natsir itu! Kami dulu bangga sekali mempunyai pemimpin seperti Pak Natsir. Pemikirannya hebat,jujur, dan tegas. Bahkan, musuh-musuh ideologis Pak Natsir pun menghormatinya, karena integritas pribadinya yang sangat tinggi.”
“Jadi, Mbah, pilih Jokowi atau Prabowo?”
“Kamu kan mahasiswa. Mbah tidak kuliah seperti kamu. Kamu bisa menyimpulkan sendiri apa yang Mbah sampaikan. Sekarang, coba kamu usahakan ketemu Jokowi dan Prabowo! Sampaikan pesan Mbah: “Kalau jadi Presiden, ingat tanggung jawab kepada Allah di akhirat. Jangan mikir dunia saja. Karena mengaku Muslim, maka ikhlaslah untuk menjadikan Nabi Muhammad saw sebagai teladan hidup dan kepemimpinan. Jangan membohongi umat Islam! Hanya dekat saat perlu dukungan mereka, tapi setelah itu mendukung sekulerisme, kemusyrikan dan kemaksiatan. Ingatkan mereka, agar mau belajar dari para pemimpin sebelumnya.Bagaimana nasib mereka yang berani menipu Allah dan Rasul-Nya serta umat Islam!”
“Tapi, Mbah… itu sangat susah Mbah. Bagaimana cara menyampaikannya?”
“Berjuang itu memang tidak mudah, Le! Kalau mau yang mudah-mudah terus, ya jangan berjuang!”
Kirno ingin terus bertanya, tetapi azan ashar terdengar mengalun. Mbah Muhsin pun mengajak cucunya ke surau sebelah rumah. Kirno menurut, diam. Tapi hatinya bergejolak; tertantang untuk menyampaikan pesan kakeknya itu ke semua capres RI 2014-2019.
**Gambar dan tulisan diambil dari web Dr. Adian Husaini dengan link berikut
Rohis Antara Tarbiyah dan Politik
April 6, 2014 § Tinggalkan komentar
Konstelasi politik yang semakin kental mendekati tanggal 9 April 2014 memberikan ruang bagi setiap kepala untuk menuangkan opini, kritik, pendapatnya tentang pilihan politik sebagai bagian dari kehidupan berdemokrasi. Perang opini di media sosial berkembang secara masif dengan mengelompokkan kubu-kubu yang saling beradu argumen antara partai A dan partai B. Tidak ketinggalan pula mereka yang memilih untuk menolak gagasan demokrasi dan menggunakan hak pilih untuk tidak memilih.
Rekam jejak politik praktis buat saya pribadi telah dipupuk sejak masa SMA. Walaupun saat itu saya tidak mengenal politik an sich. Politik secara global mendekati saya melalui pintu pembinaan keislaman setiap pekan. Tarbiyah yang saya peroleh dari ekstrakurikluer Rohis memberikan pendekatan politik melalui pemahaman bagaimana seharusnya Islam menjadi rahmatan lil alamin dan menguasai setiap sendi kehidupan agar tercipta sebuah kehidupan yang madani.
Sejak pertama kali mengenakan seragam abu-abu, kakak puan saya yang jua merupakan alumni di sekolah yang sama, menyarankan agar saya memilih kerohanian islam (Rohis) sebagai pilihan kegiatan ekstrakurikuler siswa. Tanpa penolakan, saya seolah dengan ikhlas mengamini preferensi yang ia sarankan. Dan, Resmilah saya tergabung di organisasi Kerohanian Islam (Rohis) selama masa SMA. Organisasi yang membentuk karakter keislaman dan mencoba menghidupkan kembali nilai-nilai islami melalui para pengurus dan anggotanya.
Suatu hari di hari Ahad, Rohis mengadakan sebuah kegiatan yang biasa dikenal dengan Rihlah. Kegiatan hiburan yang berisi games lucu bersama para senior. Di sela acara, seorang pria dengan jenggot rapih mengguntai, senyum teduh menawan, tatapan tajam, dan aura ruhiyah yang terpancar mendatangi saya untuk mengajak berdiskusi renyah. Beliau memberikan penawaran untuk melakukan kajian islam. Penawaran yang sama juga ditujukan pada beberapa orang anggota rohis lainnya. Setelah bersepakat, ahad satu pekan setelahnya kami akan melakukan pengajian bersama beliau. Itulah saat pertama kali kami bersentuhan dengan tarbiyah.
Karena kesan pertama begitu menggoda, kami rutin menghadiri kajian pekanan tersebut. Mula-mula kami menyebutnya dengan ta’lim lalu bergeser menjadi halaqoh dan pada akhirnya kami lebih nyaman dengan liqoat atau ngaji. Pertemuan sekali sepekan memberikan wawasan tentang islam, ukhuwah islamiyah serta mengasah kembali sensitifitas kami terhadap kondisi umat islam saat ini. Perang pemikiran yang tidak bisa dihindari. Kami belajar kembali tentang akidah, sembari tetap memandang nanar terhadap realita umat.
Pertemuan setiap pekan selalu berhasil mengisi kembali ruhiyah kami yang kosong setelah satu pekan beraktifitas. Ada yang kurang saat kami absen atau bolos ngaji. Kondisi keimanan senantiasa drop karena kami menyadari bahwa iman itu yazid wa yankus.
Tidak jarang kami bermalam bersama (mabit), menghabiskan malam-malam dengan kesenduan saat tersimpuh doa di akhir solat malam. Pekatnya malam pecah oleh suara tangis kesyahduan saat sang imam melantunkan ayat dengan penuh kekhusyuan. Muhasabah selalu menjadi penutup akhir sholat. Air mata terasa mengering saat setiap renungan terucap. Dosa-dosa seolah terpampang hebat.
Kakak senior dengan ikhlas membimbing kami setiap pekannya.Untuk kemudian kami menyebutnya dengan murobbi sementara kami adalah mutarobbi. Kepedulian akan tegaknya kembali islam di bumi pertiwi yang mampu membakar semangatnya untuk menelurkan kader-kader yang kokoh secara fikrah dan jasad dari rahim tarbiyah. Karenanya ia tak pernah bosan untuk terus membina kami menjadi pribadi yang unggul.
“terlepas dari seperti apa pilihan hidup yang kalian ambil kelak, ingatlah bahwa kalian adalah dai sebelum segala sesuatunya. Sebarkanlah pesan-pesan kebaikan. Jadilah agen-agen perubahan”. Pesan yang terus membakar semangat berbuat kebajikan untuk kini dan selamanya.
Salah satu “doktrin” moral yang selalu diingatkan oleh murobbi adalah keteladanan selalu lebih baik daripada seribu nasihat. Jadilah teladan dalam setiap pilar kehidupan yang kita pilih. Di sekolah, berprestasilah hingga prestasi tersebut menjadi daya tarik bagi orang lain untuk menyadari bahwa muslim yang baik tidak melepaskan atribut dunia. Ia sholeh secara akhlak, ia juga bersinar dalam akal.
Menjadi santun dan memiliki attitude yang baik adalah buah dari tarbiyah yang menumbuhkan kami menjadi pribadi bersahaja.
Lalu tersiarlah anak-anak rohis dengan segudang prestasi. Hampir-hampir semua yang berprestasi secara akademik pernah tercelupi dengan syiar rohis sekolah. Lebih-lebih mereka yang terwarnai dengan tarbiyah. Mulai dari ketua rohis yang jago matematika, ketua divisi yang menokoh dan akhawat-akhawat yang memainkan peranannya di semua celah kebaikan.
Dan anak-anak rohis sukses besar dengan mengirimkan “agen” nya ke berbagai universitas negeri terbaik. Mereka tersebar mulai dari Jogja, Depok, Bandung, Bogor, hingga jurusan-jurusan favorit di kampus negeri lokal. Tolak ukur kecerdasan siswa dapat distandarkan dengan beberapa faktor. Selain melalui tes IQ dan angka-angka bisu yang tertuang pada buku raport, studi lanjutan siswa ke universitas favorit juga menjadi parameter yang sering didengungkan.
Prestasi mentereng tidak lantas membuat para pentolan rohis pongah.Kecerdasan dan segudang prestasi yang tersemat membuat kami menyadari bahwa keteladanan bukanlah imej yang dipaksakan. Keteladanan lahir dari ketulusan. Lalu kami mencoba mewariskan kebaikan dan segala motivasi kepada para junior di sekolah. Mengharapkan sebuah multi-level kebaikan laksana apa yang pernah murobbi kami pernah lakukan.
Sejak pertama kali kami berinteraksi dengan rohis hingga merasakan lezatnya hidangan tarbiyah, tak pernah sekalipun kami mengalami indoktrinasi dengan pilihan-pilihan politik. Selain pola pikir yang belum matang untuk meladeni domain tersebut, sang murobbi lebih menitikberatkan pada pentingnya Islam menguasai negara karena agama ini harus memenuhi semua sendi-sendi kehidupan. Agar tidak ada lagi umat yang dibantai seperti memori kelam ambon dan poso, palestina terbebas dari cengkraman zionis dan memutus mata rantai pemikiran islam nyeleneh yang akan menguasai pemerintahan.
Lambat laun, tanpa perlu dicekoki dengan berbagai hal tentang politik praktis dan segala pertimbangan baik dan buruknya, kami seolah tersadar dengan sendirinya bahwa Islam perlu menguasai parlemen. Referensi kami pun jatuh pada murobbi yang senantiasa membimbing kami. Yang memupuk dan menyinari jiwa dengan tausiyah dan segala taujih. Ia juga yang menautkan hati saya dan sodara seiman dalam ikatan ukhuwan. Ta’liful Qulub ujarnya.
“Kelak, kalian akan menemukan orang-orang yang tidak pernah kalian temui sebelumnya. Namun kecenderungan hati dan pancaran keimanan seolah menambatkan chemistry yang hadir tanpa perlu dikomandoi. Mereka adalah saudara-saudara yang akan selalu membantu dalam segala susah. Keluarga yang menempuh jalan yang sama yang kalian lalui. Sapalah mereka, senyumlah hingga pertemuan itu menjadi awal dari sebuah kejayaan”.
Saat kami menginjakkan kaki di kampus, benar apa yang diucapkan oleh Sang Murobbi. Begitu banyak orang-orang seperti apa yang beliau cirikan. Kehangatan, kesejukan berpadu menjadi elemen yang mampu membuat diri ini nyaman berlama-lama di dekat mereka. Dan ternyata mereka memiliki pandangan politik yang sama dengan murobbi semasa SMA.
Saya pun baru menyadari bahwa buah manis dari semua nilai islami yang saya peroleh semasa SMA dan kemudian berlanjut di bangku kuliah adalah kerja keras yang dilakukan oleh sebuah partai islam terbesar di Indonesia. Manusia-manusia di dalamnya sangat peduli terhadap generasi muda. Mereka membina kami dalam lingkaran-lingkaran ukhuwah sebagai upaya pembentukan karakter mulia dan mengeliminasi budaya permisif dari negeri adidaya.
Orang-orang dalam partai ini jua yang melahirkan sosok gagah nan soleh-solehah yang selalu mendidik kami menjadi manusia berguna. Kesantunan yang kami peroleh, prestasi yang kami raih adalah buah dari tarbiyah yang dengan rapih disusun oleh Partai Kita Semua.
Kini setelah bertahun-tahun saya menanggalkan seragam putih abu-abu, semangat memenangkan partai ini semakin menggelora. Kami ingin negeri ini terwarnai oleh semua kebaikan, panutan, kebaikan, kesolehan yang kami rasakan. Meskipun kami sadari fitnah dan caci datang silih berganti. Dan kami pahami bahwa mencemplungkan diri ke dalam politik adalah pilihan untuk mencelupkan tubuh ke dalam noda. Namun seberapa cepat kita bisa membersihkan diri dan lalu mengganti noda dengan cinta melalui kerja dalam harmoni menjadi kuncinya.
Setelah bertahun-tahun pula, mereka yang berprestasi tetap bertahan dengan gigih di jalan dawah ini. Alih-alih mundur teratur, beberapa orang teman SMA yang dulu terlihat gugu kini memilih langkah untuk bersatu dalam memenangkan islam di parlemen. Bahkan mereka kini memberikan dukungan tidak sendirian tapi berdua, bertiga bahkan berempat bersama pasangan dan jundi jundi yang berbicara pun masih tertatih.
Semoga kita menyadari bahwa tidak tegak islam tanpa sebuah negara dan tak tegak negara tanpa kepemimpinan. Saya mantap dengan pilihan untuk Partai Kita Semua pada Pemilu 2014. Salam 3 B3sar.
Sumber Foto :
Foto PKS dari sini
Foto Kader Tarbiyah dari koleksi pribadi
Politik Negeri
Mei 22, 2013 § Tinggalkan komentar
Miris melihat kondisi perpolitikan belakangan ini. Semua tiba-tiba menjadi ahli. Semua ikut andil berbicara. Satu masalah berarti seribu kepala. Keadaan diperparah dengan media yang tendensius, memihak pada yang berhak, memuji pada yang mengabdi. Kebenaran sudah tidak lagi menjadi mutlak, ia berubah relatif. Tergantung pada apa yang melatarbelakangi.
Saling sikut, saling tendang, saling tarik, saling dorong. Semuanya bersifat saling. Kenapa? karena jika lo ga menghajar maka lo yang akan dihajar. Mungkin itu perspektif umum yang melabeli kondisi perpolitikan negeri. Atau memang perilaku tersebut adalah wajah asli demokrasi? Gue tak terlalu mengerti, namun sebagai orang awam kita pasti berteriak.
“Lo ngerasa bener, saat lo sudah ga dianggap salah”
Yang satu merasa terzalimi, yang lain wajib menghakimi. Yang satu menganggap ini adalah konspirasi dan bagian lain menuduh tak mau diadili.
Lakon aneh dari para wayang, bermain drama hingga mabuk kepayang.
Satu pihak diposisikan sudah pasti tersalah, hujat menghujat, hina menghina terus diluncurkan. Media pun ramai membicarakan. Seolah ia pasti salah. Bopeng dan luka terus menganga. Bahkan membela adalah dosa. Ataukah memang lebih baik diam tak bersuara?
Diam pun dijadikan senjata. “Tuh kan, mereka diem aja. Diam itu kan berarti iya”. Hahaha, jika semua gerak adalah sebuah kesalahan. Bahkan diam pun berarti tuduhan. Maka mati bukan lagi menjadi sebuah jawaban.
Tertuduh pun bereaksi. Semua bukti coba digali. Merasa terdzolimi dengan kondisi. Sampai tahap ini semua normal. Bahwa membela adalah sebuah bentuk perlawanan. Bukan semata pencitraan. Namun yang lebih tahu wajib meluruskan opini yang bengkok, yang (dianggap) sengaja disetir dan bias.
Tapi ada yang mengganjal. Reaksi menjadi berlebihan. Bahkan etika pun dinafikan. Nirakal dan niradab menjadi hal umum yang didengungkan. Perang opini di media sosial sudah tidak lagi menggunakan etika. Mereka lupa dengan Q.S 3:159
Fabima rahmatin minallahi linta lahum walau kunta fazhzhan ghaliizhalqalbi lanfadhdhuu min haulika…”, Maka disebabkan rahman dari Allah, kamu lemah lembut kepada mereka. Seandainya kamu berperangai keras berhati kasar, niscaya mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu…”
Bahkan prasangka-prasangka lahir dan diungkapkan kepada semesta. Apakah mereka alpa bahwa saat kita tidak mau dihakimi, saat kita tidak mau diprediksi atau saat kita tidak mau dituduhkan dengan alamat negatif, maka jangan melakukan hal yang sama kepada orang lain.
Bahkan menuduh seseorang ahli dosa pasti masuk neraka adalah sebuah dosa. Siapa sangka jika pada akhir masa seorang pendosa, ia bertobat dengan tobat nasuha. Hingga semua dosa terhapuskan, bersih. Lantas mengapa harus tuduh menuduh dengan sesama muslim. Kenapa kita membiarkan hati terdominasi oleh kebencian. Menganggap orang yang mengkritisi adalah para pembenci sementara kita sendiri terselimuti oleh rasa yang sama.
Sudahlah, doa adalah selemah iman. Semoga kita bisa menempatkan perasaan seadil-adil mungkin. Selalu ada jutaan kesempatan untuk berprasangka baik terhadap apa dan siapapun.
5 Alasan Kenapa Korea Utara Tidak Akan Menyerang
April 25, 2013 § 1 Komentar
“Jar gimana kondisi di sana? Aman?”
“Eh gimana di Korea? Nggak serem tuh? Balik aja kenapa sih?”
“Selamat ultah Jar, semoga ga kena nuklir.”
OK, sebelum mulai bercerita, saya akui bahwa kalimat terakhir adalah ucapan selamat paling membuat merasa gagah yang pernah saya terima, yang maskulinitasnya mungkin hanya bisa ditandingi oleh mereka yang dulu berulang tahun di sekitar Chernobyl, dan saya menyukainya.
Mungkin sebenarnya saya harus berterimakasih kepada Kim Jong Un karena beliau telah membuat April tahun ini menjadi April yang paling menyenangkan dalam hidup saya; di mana saya sungguh merasa dicintai oleh teman-teman yang masih memperhatikan kelangsungan hidup saya. Thank you Dear Supreme Leader!
See? He’s not so bad. Gadis-gadis senang berada di dekatnya.
Walaupun begitu, sepertinya saya perlu menjelaskan ke teman-teman yang penasaran dan atau khawatir dengan keadaan di sini, agar teman-teman tidak terlalu takut (atau bahagia) akan ancaman perang nuklir.Plus, supaya teman-teman sekalian yang berada di Korea Selatan dan/atau sering ditanya handai taulan yang khawatir mengenai situasi di Korea Utara dapat menjawab dengan sistematis menggunakan artikel ini.
1. Kalau Kata Luna Maya : “Sudah Biasa”
“Korea Utara menyatakan perang! Mencabut perjanjian genjatan senjata! Mulai mengarahkan misil ke Korea Selatan, Guam, Washington DC dan Antartika!”
Well, bagi orang-orang yang tidak tinggal di Korea mungkin ancaman ini terdengar sangat serius dan mengkhawatirkan, apalagi bagi orang-orang yang tinggal di negara yang aman damai tenteram seperti Indonesia, yang konflik paling parahnya cuma memaki-maki negara lain di dunia maya. Namun bagi yang tinggal di Korea, ancaman-ancaman dan provokasi seperti ini sudah biasa. Sudah sering. Malah sebenarnya mungkin terlalu banyak, sampai ada halaman wikipedia yang khusus mendaftar provokasi-provokasi ini. Seriously.
Speakin’ bout missile, they actually FIRED some and hit South to provoke on 2010. Sudah biasa.
Seperti yang ditulis di halaman wikipedia tersebut, provokasi yang mereka lakukan beragam, mulai dari menembaki kapal nelayan Korsel, menginfiltrasi Seoul untuk membunuh Presiden, sampai yang aneh seperti “menyandera” sebuah kapal.
Di sini lah maksud “sudah biasa” kami tadi. Rakyat Korsel sudah sering menerima ancaman, bahkan sering disertai aksi provokasi yang “serius” menurut warga dunia lainnya. Namun bagi mereka ini biasa. Gimana nggak biasa? Dibandingkan ancaman kemarin yang cuma omdo, mereka sudah pernah merasakan ancaman lebih serius seperti ditembaki, istana presidennya diserang, pesawatnya diledakkan, dan lain lain. Sudah biasa.
Tetapi seperti dicontohkan oleh teman-teman dan keluarga saya yang budiman, dunia luar yang tidak biasa dengan kejadian seperti ini menanggapinya dengan panik dan berlebihan. Yah, siapa yang nggak takut dan terpengaruh kalau tiap hari detik.com bikin berita dengan judul aneh-aneh.
If I get the opportunity, I’ll roundhouse kick the editor for makin’ my mom panicked
Dan teman-teman pasti bingung apa maksud dari provokasi-provokasi dan ancaman-ancaman ini. Berdasarkan pengalaman, ujung dari ancaman-ancaman ini adalah harapan bahwa pemerintah Korea Selatan akan mencoba “menjinakkan” mereka dengan uang dan beras, seperti yang terjadi biasanya. Dan biasanya pemerintah Korea Selatan menyanggupinya. Kenapa? Well, mereka sadar bahwa keadaan ini sangat buruk bagi bisnis dan turisme. Sedikit banyak orang-orang akan terpengaruh oleh bombardir berita “mengerikan” tentang situasi di Semenanjung Korea dan menjadi enggan berbisnis atau berlibur di Korea
Yang akan membawa kita ke poin berikutnya.
2. Ini memang cuma Development Policy mereka.
Dunia adalah tempat di mana semua negara menawarkan apa yang mereka punya untuk dibarter dengan produk negara lain untuk menjamin kelangsungan hidupnya dan menarik keuntungan. Dunia bisa diibaratkan seperti sebuah kampung, sebuah komunitas di mana setiap penduduknya mengasah skill masing-masing dan bekerja sesuai keahlian dan visinya untuk menjamin dapur tetap mengepul. Penduduk yang memiliki keahlian dan visi akan mempunyai produk dan akhirnya bargaining position yang lebih baik.
As seen on TV.
Dan Korut, dengan segala kebijaksanaannya, dalam mencari apa yang menjadi keunggulannya untuk “ditawarkan” kepada dunia luar untuk mendapat profit, menurut saya jauh lebih bervisi dari Indonesia. Korut sangat cerdas dalam menempatkan dirinya di dunia, sebagai PREMAN.
Amerika jualan teknologi dan film, Cina jualan manufaktur murah, Jepang jualan robot seks semi-intelligent, Eropa jualan bangunan-bangunan indah, dan Indonesia masih bimbang antara jualan manusia atau sumber daya alam. Korut tidak mau pusing-pusing memikirkan itu semua. Mereka dengan tenang mengambil pilihan semua orang yang terhimpit keadaan di tengah tetangga-tetangganya yang kaya : Memalak!
Seperti Pelita dan Repelita jaman Jenderal Besar kita, Korea Utara juga mempunyai skema yang kurang lebih mirip dengan Indonesia, hanya saja mereka menambahkan kata “senjata” atau “perang” di semua tahapnya. Dan setelah melihat dan mempelajari polanya, kami harus mengakui bahwa strategi mereka sedikit lebih unggul dibanding Negeri Zamrud Khatulistiwa.
Rencana Pembangunan Lima Tahun Korea Utara. Jenius.
3. Namanya Juga Mass Media
Dan semua kegilaan ini, diperparah dengan provokasi media massa, yang tujuannya memang untuk mencari oplah demi meraih keuntungan juga.
Well, conspiracy theories aside, dengan logika sederhana saja, mana yang akan dipilih media saat mereka disuruh memilih antara berita berikut ini :
“Korea Utara lagi-lagi mencoba memalak untuk kesekian kalinya dalam rangka mencari beras gratisan. Silakan abaikan.”
Atau ini :
Kaskus, where 13 years old asocial dorks with laptop can become a popular journalist by using provocative words alone.
Jelas sekali bahwa media pasti akan memilih berita yang kedua, yang lebih meningkatkan oplah karena lebih besar sensasinya di masyarakat. Sudah pasti media tidak akan melaporkan bahwa situasi di Korea Selatan sangat biasa, damai, tenteram, dan cenderung tidak peduli dengan Korea Utara.
Tidak akan ada yang melaporkan bahwa di sini hampir tidak ada yang membahas tentang hal ini sama sekali. Pelajar tetap belajar, pekerja tetap bekerja, mahasiswa tetap menjadi budak profesor, TKI tetap jadi budak majikan, cewek-cewek Korea masih…..ah, sori malah curcol jadinya.
Eh, cewek-cewek Korea….AAARGH stupid brain stop mentioning them!!!
4. Mereka nggak punya uang.
Jawab cepat, apa komponen utama kesuksesan sebuah perang?
Kalau Anda menjawab keberanian dan semangat juang, well, saya akui dengan sepenuh hati bahwa Anda sangat idealis dan jantan, tapi sayangnya, sepertinya Anda tidak cocok menjadi Presiden.
Kecuali di Korea Utara, di mana keberanian dan semangat juang mengalahkan gelapnya malam.
What? You call me coward and not nationalist enough? Capitalist? Bagaimana dengan ini : total anggaran pendingin ruangan (AC) tentara Amerika di Irak dan Afghanistan setahun saja : 20.2 miliar dolar, yang sama dengan 2 kali lipat estimated national budgetnya Korea Utara (APBN), dan sama dengan subsidi BBM Indonesia tahun 2012-2013 yang sempat hampir membawa Indonesia ke anarki demonstrasi itu.
Perang itu mahal, saudara-saudara. Marcus Tullius Cicero tidak bohong ketika mengatakan, “The sinews of war are infinite money”, atau, “Otot dari peperangan adalah uang yang tidak terbatas.”
Keberanian, semangat juang, dan nasionalisme saja tidak akan cukup untuk memenangkan sebuah perang. Kamu membutuhkan uang untuk membiayai senjata, peluru, bahan bakar tank, sampai seragam prajurit. Buset, gimana kamu mau perang kalau tentaramu berisi pria-pria telanjang tanpa senjata? Mencoba menyuruh mereka lari ke garis depan sambil berharap musuh kabur karena ketakutan disodomi Kim Jong Un yang didandani semi-nude mirip Rodrigo Santoro di 300??
ah stupid brain don’t imagine it *#$^%&*$^%&*$^!!!
Untuk lebih memperjelas perspektif ini, sebuah negara adidaya bersenjata modern bernama USA membutuhkan uang sekitar 444 miliar dolar untuk memerangi sebuah negara kecil miskin yang hanya mempunyai senjata bekas Perang Dunia ke 2 bernama Afghanistan. Biaya sebesar ini hanya dapat dilunasi Korut dalam 11 tahun apabila selama itu negaranya menghapus semua anggaran negara lainnya sampai NOL. Dan dalam hal ini Korut bukan memerangi Afghanistan; mereka akan memerangi negara-negara kaya, modern, dan kuat seperti Korsel, Jepang, dan Amerika itu sendiri. So, you can say that they are digging their own graves if they start to attack.
Walaupun dibantu seekor monster bernama Dennis Rodman.
Walaupun mereka punya nuklir yang bisa menghancurkan area luas, tapi apalah gunanya menghancurkan negara lain saat negaramu hancur lebur juga setelahnya? Itu juga kalau nuklirnya kena sasaran, nggak hancur ditembak pertahanan anti rudal atau malah gagal meluncur seperti roket percobaannya kemarin. Dan melihat poin nomor 2 tentang maksud mereka sebelumnya, sepertinya kecil kemungkinan bahwa mereka berniat “hancur bersama-sama” seperti diberitakan media-media pencari sensasi.
Maka, karena Korut tidak punya modal sebanyak itu, sangatlah pantas jika kita bergerak ke poin berikutnya:
5. Big RED Brother belum bergerak.
Yes! It’s the BIG RED KAMERAD!
Perang Korea itu bukan kapitalis Korsel + USA melawan Korut sang lone wolf gagah yang menghancurkan ambisi imperialisme seperti diajarkan oleh buku-buku revolusioner dan “anti kapitalisme” yang banyak beredar di pasaran.
Perang Korea bahkan hampir tidak melibatkan kedua Korea sama sekali pada klimaks akhirnya. Perang Korea adalah USA vs People’s Liberation Army of the People’s Republic of CHINA.
And probably plus 1 Great Patriotic Red Giant.
Saat Perang Korea, saat tentara Korut pada akhirnya hancur lebur dipukul dengan mudahnya oleh Amerika sampai mendekati perbatasan Cina, Cina akhirnya memobilisasi kegilaan besar berupa satusetengah juta manusia untuk membantu adik kecilnya.
In the end, Cina bahkan kehilangan 150 sampai 400ribu pasukannya selama Perang Korea, jumlah yang fantastis karena totalnya hampir 2 kali kematian total prajurit Korsel + USA. Walaupun jumlah segitu sepertinya tidak terlalu signifikan, terutama bagi negara miskin berpenduduk 1 miliar.
We are pretty sure this awkward situation often happens there back then.
Sejauh ini Cina tidak mendukung sekutu tradisional mereka tersebut, bahkan ikut menulis kesepakatan embargo setelah Korut nekat meluncurkan roket uji coba tanpa seijin Beijing. Sejauh ini belum ada tanda-tanda bahwa mereka akan berubah sikap.
Jadi santai saja, teman-teman. Sebelum Tentara Pembebasan Rakyat bergerak, sebelum Xi Jinping bersabda, “Serbu!”, sepertinya kami-kami yang di Korea ini aman-aman dan nyaman-nyaman saja. Tetap bekerja, riset, belajar, dan dihajar sampai sekarat oleh Profesor. Just another peaceful spring, with some overtime works.
Sumber : Poskamling
Sederhana itu Bukan Politik
Maret 4, 2013 § Tinggalkan komentar
assalaamu’alaikum wr. wb.
Ada sebuah pertanyaan yang ditujukan kepada saya. Pertanyaan itu dimulai dengan, “Benarkah Hasan al-Banna dulu menolak dakwah lewat partai politik?” Saya tidak mengerti mengapa saya dianggap pantas untuk menjawab pertanyaan ini. Meski demikian, dengan sedikit pengetahuan dan referensi yang saya miliki seputar sejarah Al-Ikhwan Al-Muslimun, saya akan coba menjawab pertanyaan ini – dan beberapa pertanyaan lanjutannya – sebaik yang saya bisa.
Bagi banyak orang, salah satu referensi utama dalam memahami perjuangan dakwah Hasan al-Banna dan Al-Ikhwan tidak lain adalah kitabMajmu’at ar-Rasail, yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin. Dalam jilid pertamanya, kita dapat menemukan beberapa kritik pedas Hasan al-Banna terhadap parpol-parpol di Mesir dan secara umum juga terhadap sistem multipartai yang berlaku di Mesir pada saat itu. Barangkali, menurut perkiraan saya, uraian inilah yang menjadi acuan sebagian orang yang mengatakan bahwa Hasan al-Banna sejatinya tidak mendukung dakwah kepartaian.
Mengenai politik itu sendiri, sikap Hasan al-Banna cukup jelas, tergambar dengan jelas dalam dua paragraf di bawah ini:
Wahai kaum kami, sungguh ketika kami menyeru kalian, ada Qur’an di tangan kanan kami dan Sunah di tangan kiri kami, serta jejak kaum salaf yang saleh dari putera-putera terbaik umat ini adalah panutan kami. Kami menyeru kalian kepada Islam, kepada ajaran-ajarannya dan kepada hukum-hukumnya. Dan jika orang yang menyeru kalian kepada itu semua kalian katakan sebagai politikus, maka alhamdulillah kami adalah politikus yang paling ulung. JIka kalian ingin menyebut itu sebagai politik, silakan memberi nama apa saja yang kalian suka. Sebab nama sama sekali tidak penting bagi kami, selama muatan dan tujuannya jelas.
Wahai kaum kami, janganlah hendaknya kata-kata menghalangi kalian dari melihat kebenaran, jangan pula nama menghijab kalian dari tujuan. Jangan sampai kemasan (bungkus) menghijab kalian dari muatannya yang hakiki. Jangan sampai itu semua terjadi. Sesungguhnya dalam Islam ada politik, namun politik yang padanya terletak kebahagiaan dunia dan akhirat. Itulah politik kami. Kami tidak menginginkan pengganti apa pun selain itu, maka pimpinlah diri kalian dengan politik itu dan ajaklah orang lain melakukan yang serupa, niscaya kalian akan memperoleh kehormatan di akhirat. Dan suatu saat kalian pasti akan tahu tentang kebenaran kabar ini.
Mengenai partai-partai politik yang ada di Mesir, Hasan al-Banna berkomentar:
Ikhwanul Muslimin berkeyakinan bahwa partai-partai politik yang ada di Mesir didirikan dalam suasana yang tidak kondusif. Sebagian besar didorong oleh ambisi pribadi, bukan demi kemaslahatan umum.
Selanjutnya, Hasan al-Banna pun menjelaskan apa yang telah dilakukannya:
…sejak setahun yang lalu Ikhwan sudah menyerukan kepada para pemimpin partai untuk menghilangkan permusuhan semacam ini dan berusaha untuk bersatu antara yang satu dengan yang lain. Sebagaimana Ikhwan juga mengusulkan kepada Amir Muhammad Ali Basya dan Umar Thusun agar bersikap moderat dalam masalah ini. Sebagaimana Ikhwan juga menghimbau kepada raja agar membubarkan partai-partai yang ada ini, sehingga mereka bergabung menjadi satu dalam sebuah partai rakyat yang berbuat untuk kemaslahatan umat di atas kaidah-kaidah Islam.
Ada beberapa hal yang perlu menjadi catatan dari kutipan-kutipan di atas. Pertama, Hasan al-Banna menegaskan bahwa dirinya tidak anti dengan dunia politik, bahkan ia meyakini bahwa dalam Islam ada politik, yaitu politik yang mengarahkan manusia pada kebajikan. Adapun di luar itu bukanlah politik yang diyakini dan diinginkan oleh beliau.
Kedua, Hasan al-Banna pun menjelaskan – memang dengan agak implisit – bahwa dalam banyak hal, termasuk dakwah, ada hal-hal yang merupakan ‘kemasan’, ada pula yang merupakan ‘tujuan’. Dakwah tidak mesti ‘dikemas’ dengan cara-cara konvensional, misalnya di mimbar khutbah dan semacamnya, namun juga boleh dilakukan lewat jalur politik. Apa pun kemasannya, jika muatannya jelas dan prakteknya tidak bertentangan dengan Islam, maka kita tidak perlu alergi melihatnya.
Ketiga, berdasarkan pandangan Hasan al-Banna yang cenderung keras terhadap parpol-parpol di Mesir, perlu kita garisbawahi satu kenyataan, yaitu bahwa pandangan tersebut didasarkan atas pengamatan beliau terhadap sistem multipartai yang saat itu berlaku di Mesir. Usulan pembubaran partai-partai tersebut diajukan demi melihat fenomena parpol-parpol yang saling sikut dan mengakibatkan kerugian yang tidak sedikit dalam kehidupan rakyat Mesir. Demi kemaslahatan bersama, dalam pandangan Hasan al-Banna pada waktu itu, alangkah baiknya jika parpol-parpol tersebut dibubarkan saja. Hal ini diuraikan secara panjang lebar oleh Syaikh Taufiq Yusuf al-Wa’iydalam bukunyaPemikiran Politik Kontemporer Al-Ikhwan Al-Muslimun. Referensi berharga lainnya dapat dilihat dalam fatwa-fatwa kontemporer Syaikh Yusuf al-Qaradhawi yang menganalogikan sistem multipartai dengan multimazhab.
Keempat, sebagai konsekuensi dari aspek ketiga di atas, yaitu bahwa sikap Hasan al-Banna tersebut (yang menghendaki pembubaran parpol-parpol) tidaklah final atau tidak mungkin berubah. Paling tidak, ada dua kemungkinan yang bisa menyebabkan perubahan sikap tersebut, yaitu: (1) jika parpol-parpol tidak bersikap seperti yang disebutkan oleh Hasan al-Banna di atas, yaitu menebar permusuhan dan hanya mementingkan ambisi pribadi, dan (2) jika nasihat untuk pembubaran parpol tersebut nampaknya tidak efektif, sehingga dimungkinkan untuk mengambil inisiatif dalam bentuk yang lain lagi.
Yang terakhir inilah yang kemudian terjadi, sebagaimana yang dijelaskan dalam buku Syaikh Taufiq Yusuf al-Wa’iy. Pada Muktamar Keenam Al-Ikhwan Al-Muslimun di Kairo, 1361 H, Al-Ikhwan memutuskan untuk ikut serta dalam pemilihan umum. Syaikh Taufiq Yusuf al-Wa’iy menulis:
…tinggallah kini bagaimana dakwah yang mulia ini sampai di wilayah dan medan resmi. Maka jalan yang paling dekat untuk sampai di sana adalah “mimbar parlemen”. Karena itu, Al-Ikhwan mendorong para orator dan dainya untuk naik ke mimbar ini guna menyampaikan kalimat dakwah dari atasnya, agar sampai di telinga para wakil umat di wilayah resmi dan terbatas ini, setelah ia tersebar dan sampai di tengah umat dalam wilayah terbuka masyarakat. Karena itu, Maktab Al-Irsyad memutuskan agar Al-Ikhwan Al-Muslimun ikut serta dalam pemilihan anggota parlemen.
Sejak awal, sikap Al-Ikhwan terhadap dunia politik memang merupakan ijtihad yang bergantung pada situasi dan kondisi. Ini bukanlah ranah yang ‘penuh kepastian’ seperti masalah kewajiban shalat, shaum, zakat dan semacamnya, yang sudah dapat dipastikan kewajibannya dan dapat dipastikan pula keharaman meninggalkannya. Perjuangan dakwah melalui jalur kepartaian tidak mesti dilakukan, dan tidak mesti pula sekonyong-konyong diharamkan sepenuhnya. Ada berbagai pertimbangan kondisional yang mesti diambil sebelum kita menyatakan sikap terhadap sistem ini, sebab kondisinya memang tidak selalu ideal. Jika kondisi berganti, maka ijtihad pun sangat dimungkinkan dapat berubah. Selain itu, faktor-faktor yang memungkinkan terjadinya perubahan sikap itu pun tidak hanya satu, dan karenanya, menuntut dilakukannya kajian yang komprehensif.
Pertanyaan Lanjutan: Kepada Mursi
Setelah pertanyaan perihal sikap Hasan al-Banna dan Al-Ikhwan terhadap kepartaian tuntas dijawab, pertanyaan berlanjut kepada kondisi kontemporer jaman sekarang, yaitu sikap Dr. Muhammad Mursi, Presiden Mesir kini, terhadap kondisi politik di negerinya. Secara spesifik, pertanyaannya adalah: “Mengapa Mursi tidak mengubah sistem yang berlaku sekarang dengan khilafah, padahal Mursi sudah berkuasa?”
Hemat saya, tanpa mengurangi rasa hormat kepada yang bertanya, pertanyaan ini seolah mengabaikan begitu saja kompleksitas dunia politik dengan melakukan simplifikasi melalui kata-kata “berkuasa” atau “kekuasaan”. Benarkah Mursi adalah ‘penguasa’ Mesir? Sebesar apa ‘kekuasaannya’? Itulah pertanyaan-pertanyaan yang mesti dijawab agar kita mengerti duduk persoalannya.
Ketika menulis buku Dr. Mursi, Presiden yang Hafal Qur’an, saya mendapat beberapa tugas yang spesifik. Salah satu bagian yang menjadi tanggung jawab saya adalah memaparkan beberapa tantangan yang akan dihadapi oleh Mursi setelah menduduki posisi nomor satu di Mesir. Sebagian di antaranya akan saya uraikan di sini untuk menggambarkan duduk persoalan yang sesungguhnya.
Pertama, kita perlu memahami realita ‘kemenangan Mursi’ yang sesungguhnya. Kemenangan tersebut bukanlah dominasi mutlak, bahkan untuk mencapainya, diperlukan dua tahap Pemilu. Pada putaran pertama, dari jumlah total suara lebih dari 23 juta, Mursi mendapatkan 5,7 juta suara, atau sekitar 25%-nya saja. Pesaing terdekatnya, yaitu Ahmed Shafiq, mendapatkan 5,5 juta suara. Pada putaran kedua, Mursi kembali berhasil mengalahkan kompetitornya lagi, namun dengan selisih suara sekitar tiga persen saja. Jadi, kemenangan Mursi dalam Pemilu tidak serta-merta menjadikannya ‘berkuasa’ atau memiliki kekuasaan yang absolut, apalagi jika kita memperhitungkan bahwa tidak semua warga Mesir berpartisipasi dalam Pemilu.
Kedua, kita perlu mempertimbangkan latar belakang para pendukung Mursi di kedua putaran tersebut, terutama di putaran kedua. Dari mana tambahan suara Mursi di putaran kedua berasal? Adakah jumlah pendukung Mursi ‘benar-benar bertambah’, ataukah di dalamnya juga ada kelompok yang hanya memilih Mursi karena tidak menginginkan Shafiq menjadi Presiden? Di Indonesia pun, sebagian dari rekan-rekan Salafi ada yang menyatakan dirinya siap untuk memilih Ahmad Heryawan – Deddy Mizwar sekiranya Pilkada Jabar sampai berlanjut ke putaran kedua, demi untuk mencegah kepemimpinan perempuan, yang dalam hal ini adalah kandidat ‘juara kedua’ dalam pilkada tersebut, yaitu Rieke Dyah Pitaloka. Dengan demikian, sikap ‘memilih yang lebih baik dari dua hal yang dianggap kurang ideal’ atau ‘asal bukan Shafiq’ pun bukannya tidak mungkin menjadi pendorong dipilihnya Mursi oleh beberapa kelompok masyarakat Mesir. Kelompok-kelompok ini, yang nyaris bisa dianggap sama seperti ‘massa mengambang’, perlu dirangkul oleh Mursi agar menjadi pendukungnya yang sejati. Tantangan semacam ini tidaklah ringan.
Ketiga, pemerintahan Mursi pun ‘terjepit’ di antara dua kondisi. Di satu sisi, ia dianggap sebagai pihak yang paling bertanggung jawab untuk memenuhi amanah Revolusi 2011, yang bagian terpentingnya adalah menegakkan keadilan pada kelompok rejim Husni Mubarak yang telah menzalimi rakyat Mesir selama bertahun-tahun lamanya. Di sisi lain, kekuatan militer era Husni Mubarak masih ada dan masih memiliki kekuatan yang nyata. Jika Mursi hendak ‘menghabisi’ kelompok ini tanpa ampun, maka ia akan menghadapi perlawanan yang sangat berat dan mengambil risiko yang paling berat bagi pemimpin mana pun, yaitu tumpahnya darah rakyat. Oleh karena itu, dalam menjalankan kebijakan-kebijakannya, Mursi harus senantiasa berhati-hati agar tidak merusak rasa keadilan masyarakat yang menuntut pembalasan, namun tidak juga membuka front dengan pihak militer. Mursi sendiri memberi teladan dengan tidak memperpanjang masalah dengan para petinggi militer yang pernah menjadikannya tahanan di penjara. Dengan cara itu, Mursi berhasil mengubah lawan menjadi kawan, meski hanya sebagian.
Itulah sebagian tantangan yang mesti dihadapi Mursi dari sejumlah hal yang saya uraikan secara panjang lebar dalam buku Dr. Mursi, Presiden yang Hafal Qur’an. Di samping itu, masih ada beberapa tantangan lain yang perlu dipahami secara komprehensif agar kita tidak terjebak dalam oversimplifikasi.
Pada hakikatnya, kemenangan Mursi adalah kemenangan dakwah. Meski demikian, kemenangan itu hanyalah kemenangan kecil yang merupakan ‘batu loncatan’ menuju sebuah kemenangan besar di akhir perjalanannya. Naiknya Mursi ke kursi kepresidenan pun sebelumnya telah didahului oleh batu-batu loncatan yang sangat banyak. Sejak dimulainya dakwah Al-Ikhwan Al-Muslimun di tahun 1928, telah terentang masa lebih dari delapan puluh tahun sebelum akhirnya Al-Ikhwan mampu menghapus diskriminasi atas dirinya dan mendudukkan salah satu kader terbaiknya di kursi kepresidenan. Semua itu adalah proses yang tidak sederhana, karena tidak ada yang sederhana dalam politik.
Setelah kemenangan Mursi, situasi pun tidak serta-merta menjadi sederhana. Mursi tidak dengan mudah saja bisa mengubah sistem secara total, melainkan mesti bertahap. Untuk melakukan perubahan secara bertahap pun, Mursi masih harus berhadapan dengan kelompok-kelompok pro-Mubarak. Di Indonesia, kita pun kerap menerima pemberitaan yang tidak benar seputar Mursi, sebagai akibat dari dominasi kekuatan sekuler di media massa internasional. Bahkan ada pula harakah Islam yang tidak mampu menahan diri dan mencela Mursi karena menutup terowongan-terowongan yang menghubungkan Mesir dengan Gaza. Padahal, terowongan-terowongan itu ditutup karena memang pintu perbatasan telah dibuka oleh Mursi. Jika pintu bisa dibuka, mengapa harus menjebol dinding untuk masuk?
Beginilah politik. Tak ada yang sederhana dalam politik, dan politik itu memang tidak pernah sederhana, sehingga bisa dipastikan bahwa yang sederhana itu pastilah bukan politik. Politik tidak mungkin dianalisis secara hitam-putih belaka, dengan sikap seolah-olah hanya ada dua pilihan yang mungkin diambil, dengan mengabaikan sepenuhnya kemungkinan untuk mengambil pilihan yang lebih banyak kemaslahatannya atau yang lebih sedikit kemudharatannya.
Jika perubahan total secara tiba-tiba itu yang diinginkan, maka itu adalah revolusi yang dapat dengan mudah mengakibatkan terjadinya pertumpahan darah. Begitu pun, revolusi tidak mungkin dilakukan secara tiba-tiba, melainkan melalui sebuah proses yang panjang, meski ‘di bawah tanah’. Pertumpahan darah sesama Muslim, meski melawan penguasa yang zalim, adalah opsi yang sangat dihindari oleh Al-Ikhwan Al-Muslimun dan gerakan-gerakan dakwah lainnya.
wassalaamu’alaikum wr. wb.
Originally copied from here
This Is Indonesia
Maret 21, 2011 § Tinggalkan komentar
This Is Indonesia
Indonesia, has been popular for large number of human population. Moreover, It has Bali and komodo Island as ancient inheritance. Those factors was prior things made Indonesia well-known all over the world. But, it was obsolent story to connect Indonesia with its beauty or uncontrolled birth. There is other thing in terms of Indonesian popularity this late. You know what??? For me, best phrase to depicts Indonesian popularity nowadays is Issue diversion
This is Indonesia. You’ll be overwhelmed by so many problems from different subjects. Religion, politics, culture, economics will sink your mind with endless clash . The most astonish part was those horrible troubles appear jostly. As if we’re not allowed to breathe, to solve it one by one, particularly. At last it ease us to summarize the conclusion, there is no single problem tackled well and end happily. Mostly no end would be revealed and concealed by new and fresh problem. This circumstance happen again and again. Everyone realize yet no one could solve it, even by #1 person in this country, Our beloved president (do you?).
Recent case attracts people not only in Indonesia but also abroad is about bombing. Actually, suicide bomb or package-contained bomb has been well related to Indonesia. There are so many facts those explain how Indonesian could not loose from bomb terror. Last week, utan kayu community became headline news on TV and newspaper. This is due bomb sent to their chairman, Ulil Abshar abdala. Unfortunately, book-formed bomb explode and injure a policeman.
So many reasons, pro and contra, to respond those bomb action. Some reacts and focuses their statement to the actor behind it. But, others thought in different way. They conclude bomb sent to Utan kayu community was other kind of issue diversion, to conceal another hot topics. As we know, before Utan Kayu community was attacked, government has been first striked by wikileaks whom reveal power abuse by SBY. Wikileaks recite that SBY command Hendarman supandji to stop investigation for Taufik kiemas on 2004. Beside that there is other abuse conducted by SBY
“The president reportedly also got BIN to spy on rival presidential candidates. This practice appears to have begun while Yudhoyono was serving as co-ordinating minister of political and security affairs in former president Megawati’s government. He directed the intelligence service to report on former army commander and Golkar presidential candidate Wiranto. Subsequently, at a meeting of Yudhoyono’s cabinet, BIN chief Syamsir characterised Wiranto as a “terrorist mastermind.”
Just in case, people may have different thought about bombing action occur in Utan Kayu Community, about issue diversion or another perspective.
Clearly, issue diversion is not happening once or twice. It happens for so many, many, many times. Do us remain updating about Century Bank, what about Gayus Tambunan, has he been punished? Further, will nurdin halid be reelected for PSSI? Is it true what Sepp Blatter says to ban Nurdin halid? What about fuel constraint? Obviously solved??
Wow, what a drama. Unfortunately it has no good scenario. There is no end. There is no way out. It abandon energy conservationof law. This is Indonesia, when you have a problem, you will create no solution.
Berjuang untuk rakyat?
Maret 4, 2011 § Tinggalkan komentar
Kisruh politik kian menjadi. Koalisi, oposisi semakin menggila. Diskusi-diskusi terus bermunculan di berbagai media. Siapa yang akan ditendang keluar dari lingkungan dalam pemerintah dan siapa yang akan dirangkul untuk masuk ke dalam lingkaran yang ada. Semuanya menunjukkan kapasitas yang sangat luar biasa, untuk beretorika, bermain muka, mengadu domba.
Partai koalisi berujar “tidak masalah bagi kami berada di luar atau di dalam koalisi”. Ucapan seperti ini pun akhirnya dibalas dengan artikulasi diplomatis oleh partai oposisi, “kami sudah membuktikan bahwa kami mampu berperan baik sebagai oposisi, apa jadinya jika kami berkoalisi?”.
Satu kesimpulan dari mereka yang terus beradu argumen tentang posisi partai di koalisi ataupun oposisi. Semua sepakat dan menyerukan satu suara bahwa mereka berjuang untuk rakyat. “Tidak jadi masalah di dalam atau di luar pemerintah, selama kepentingan2 rakyat yang kami bela”, retorika seperti ini menggaung di kalangan partai. Seolah mereka bertindak sebagai robin hood yang membela hak-hak rakyat jelata tanpa peduli seperti apa posisi yang dicipta.
Satu pertanyaan yang selalu ada di otak gw. Kepentingan rakyat mana yang dibela? rakyatnya Golkar kah, rakyatnya PKS kah, rakyatnya PD kah atau rakyat yang mana? karena selama mereka berjibaku, beradu, bersikuku, rakyat Indonesia masih bergelimang kemiskinan. Rakyat Indonesia masih menangis kelaparan. Jika mereka berjuang untuk rakyat indonesia, ga perlu artikulasi manis yang dikeluarkan dan diucapkan. Cukup aksi nyata untuk kesejahteraan bangsa.
Boleh jadi partai partai beralasan bahwa apa yang dilakukan mereka sekarang untuk hal yang lebih besar di masa mendatang. Tapi sampe kapan kalian akan berdiskusi di ranah dewa sana? Sementara menanti kalian berselisih, bangsa ini merintih perih.
Gw ga mau sekedar mengkritisi. Cukuplah apa yang gw tulis ini sebagai bagian dari aspirasi dari orang-orang yang peduli. Sebagai bahan buat kita semua introspeksi. Sekarang gw cuma bisa doa buat bangsa dan negeri Indonesia tercinta. Biar kalo gw atau anak cucu gw jadi pejabat ntar-ntarnya, gw ga pengen cuma beraksi di bibir doang. Karena cukup sudah dekadensi integrasi di negeri ini. Sudah puas mendengar janji-janji tak terealisasi.
Seandainya aku
Maret 25, 2010 § Tinggalkan komentar
Korupsi telah menjelma menjadi sebuah virus yang persebarannya sangat cepat. Distribusinya seolah mengikuti kurva eksponensial terhadap variabel waktu. Semakin hari tindak dan perilaku korupsi semakin merajai kehidupan masyarakat dan Bangsa Indonesia. Tidak usah memandang jauh pada aktifitas korupsi oleh para pejabat negara, cukup dengan menoleh saja maka kiranya kita sudah bisa melihat bagaimana korupsi dan derivasinya menjadi konsumsi sehari-hari penduduk negeri ini. Di pinggir jalan, di kantor kelurahan, hingga melingkupi kawasan orang-orang terdidik seperti di sekolah maupun kampus-kampus yang ada. Dengan jelas kita bisa melihat tindak-tanduk yang terkadang tidak disadari merupakan bibit atau cikal bakal korupsi yang lebih masif.
“Power tends to corrupt”, Lord Acton berujar. Adegium itu terasa sangat tepat jika kita melihat realita saat ini. Kekuasaan diposisikan sebagai instrumen mereguk kekayaan sebanyak-banyaknya dengan memanfaatkan semua fasilitas yang ada. Akan tetapi premis tersebut bisa disarikan antitesisnya bahwa kekuasaan juga dapat dijadikan sebagai senjata utama dalam memberantas korupsi bahkan hingga ke akar-akarnya. Kekuasaan akan memberikan keleluasaan dalam mengakses semua perilaku korupsi yang terjadi. Oleh karena itu aku ingin berandai-andai. Berimajinasi sebagai seorang pemimpin negeri. Yang bertekad untuk menghancurkan korupsi dari mini hingga maksi.
Seandainya aku adalah pemimpin bangsa ini maka akan aku luruskan niat hati. Bahwa kekuasaan adalah sebuah amanah yang harus dipertanggungjawabkan bukan hanya kepada rakyat namun juga kepada tuhan. Distorsi paradigma dari pemimpin bangsa menjadi gerbang utama mengapa korupsi banyak dilakukan oleh pejabat negara. Kekuasaan yang diperoleh tidak menjadi sebuah cerminan kearifan dalam mensejahterakan rakyat namun justru menjerumuskan mereka, rakyat jelata, dalam neraka penderitaan yang semakin tidak berujung. Dengan demikian, dengan niat hati yang lurus teriring doa yang ikhlas aku akan berani berkata-kata layaknya pemimpin negeri Cina pada tahun 1998, “untuk mengatasi korupsi maka diperlukan 10 tiang gantungan, sembilan untuk para koruptor dan satu untukku jika aku melakukan hal yang sama”. Sebuah keberanian yang menggentarkan. Akan tetapi ini bukan sekedar retorika. Dibutuhkan keteladanan untuk menjauhi korupsi dalam keseharian seorang pemimpin bangsa bahkan hingga dimensi terkecil pun. « Read the rest of this entry »