#17 My Wedding
Mei 2, 2014 § Tinggalkan komentar
My turn to promise in front of Father in law, in the center of crowd, to utter lifetime commitment, Mitsaqon Ghaliza. My heart thumped incessantly, My hand shake abnormally, It’s time for me to put off my solitude.
“Saya Terima Nikah dan Kawinnya Annisa Martina Dengan Mas Kawin tersebut Dibayar Tunai”
I response promptly what My father in law tells me about. And in a glance. The Witness said “Sah”. I feel relieved. It’s so heart-thumping.
Syahdu orang-orang yang menyaksikan akad berucap “Barokallahu lakuma Wa baroka ‘alaikuma wa jamaa baina kuma fi khair”. Doa terbaik yang dihaturkan untuk pasangan yang baru menikah. Lafal terindah yang menghantarkan sebuah pernikahan agar mencapai sebuah makna barokah.
Tanggal 18 April 2014 menjadi tonggak bersejarah dalam hidup saya. Saat dimana saya resmi menikahi seorang gadis sunda yang baru ditemui sebanyak 4 kali. Tak ada keyakinan yang lebih ajeg daripada ketetapan hati untuk menikahi seorang Annisa Martina. Mungkin keputusan ini bukan keputusan berlandaskan nafsu semata. Ia terharap berupa keridoan yang diberikan Allah sehingga berbuah ketenangan untuk melangkah.
Bukanlah durasi pertemuan yang menjadi jaminan. Bukan pula embel-embel keduniaan yang menjadi acuan. Saat doa terbaik sudah dipanjatkan, saat ikhtiar yang halal telah dilakukan maka semua keputusan hanya bisa kita pasrahkan kepada Allah semata. Bahwa dalam setiap kemudahan-kemudahan selama proses menjelang pernikahan bisa jadi adalah petunjuk keberkahan.
Pada akhirnya, ujung dari sebuah proses romansa alfa dan beta adalah sebuah perjanjian yang berat. Sebuah Mitsaqon Ghaliza. Ada yang berdarah-darah memperjuangkannya dengan penuh dosa. Ada yang tertatih-tatih menempuh lamanya waktu pacaran dengan harap-harap cemas dan tidak sedikit yang menanti dengan cara halal yang merupakan tuntunan agama.
Jika pada akhirnya kita memilih yang halal, mengapa pada tahapannya kita sengaja mengotori dengan aktifitas yang mendekati pada nilai haram?
Sekarang, saya sudah beroleh gelar ke-17 dari rangkaian panjang perjuangan temen-temen IPA A untuk menggenapkan separuh Agamanya. 17, sebuah angka yang merupakan simbol transisi biologis anak-anak ke usia dewasa. Karenanya banyak yang merayakan ultah ke-17 sebagai Sweet seventeen.
Semoga pernikahan kami mendapati keberkahan dan juga penuh ketenangan (Sakinah), penuh kasih sayang (Mawaddah) dan penuh rahmah (ampunan).
Izinkah saya bersenandung ala dinda-nya Gradasi
Engkau sambut pagi
Dengan senyum ceria yang menawan
Mengantarkan daku pergi
Meraih mimpi ….kita
Andai ku bisa
Membuat diriku menjadi dua
Kutinggalkan yang satunya
Tuk temanimu…cinta duhai permataku
Reff:
Dinda…Sejuta pesonamu hadir dalam jiwa
Dinda…Senyummu mampu membuatku tak mengeluh
Dinda…Binar bola matamu terangi hariku
Dinda…Ketenangan bagai telaga yang kau berikan
Ketika ku pulang
Dibawah naungan lembayung senja
Kau berhias menantiku
Bertabur rindu …kita
#15 Desfri Anggraini
Januari 30, 2014 § 3 Komentar
Di sebuah sekolah yang terletak di pinggiran Jalan Sudirman, tampak beberapa siswa tengah menguap. Sesekali mereka mengusap mata yang perih karena tak kuat menahan kantuk. Sebagian lagi tampak begitu gelisah, bergumam dalam hati dan sepakat bertanya-tanya kapan penderitaan ini akan berakhir.
Sebenernya mereka tidak disuruh memastikan besaran tegangan listrik melalui respon kulit atau membedah perut bayi beruang prematur. Namun kelas biologi tidak pernah menarik. Kecuali untuk sebagian orang.
Angin bertiup riuh, menyemangati gue untuk menyandarkan kepala di atas meja, lelah mendengarkan teori mendel, genotif dan fenotif. Di depan kelas, sosok guru dengan kacamata tebalnya dan suara yang menggelegar memaksa kami melawan rasa kantuk dengan sekuat tenaga. Guru tersebut tak rela jika kami tertidur di kelas. Ia kemudian mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan materi yang baru saja dijelaskan. Suasana kantuk berubah menjadi tegang. Wajah-wajah lelah setelah menerima serangan biologi bertubi tubi kini berubah menjadi ekspresi panik. Gue pun mendadak tercekat, suara gue terasa berat mirip bayi lagi ngemil beton.
Tak berselang lama, gue teriak dalam hati saat menyadari bahwa yang beruntung untuk menjawab pertanyaan pertanyaan seputar mitosis, meiosis adalah temen gue yang duduk di sudut kiri kelas.
Satu per satu pertanyaan dilemparkan oleh sang guru. Otak kami sudah tidak fokus. Kami berharap sosok teman kami yang menjadi “tumbal” mampu menguras waktu hingga bel tanda pulang sekolah berbunyi.
Jackpot!
Bel berbunyi saat proses tanya-jawab ke-192 tentang evolusi kodok menjadi kera. “Horeee!!” teriak kami serentak dalam hati. Penderitaan pun segera berakhir. Semua mulai sumringah, bersemangat untuk mengakhiri kelas.
Ekspresi kegembiraan perlahan tercoreng saat melihat mimik wajah memelas dan sedih “sang juru selamat”. Ia yang berhasil mengalihkan perhatian ibu guru biologi dengan pertanyaannya secara tiba-tiba, tanpa komando, berteriak dengan kencang dan…. Cempreng!!.
Kelas yang awalnya gaduh oleh persiapan mereka yang akan segera pulang sontak terdiam karena teriakan yang mirip kaleng seng tipis digebuk dengan tongkat satpam yang gue pinjem kemarin malem. Nyaring!
Teriakan itu disela dengan isak tangis tersedu. Sambil sesenggukan dia berucap “ayamkuuu mana?”
Ternyata, setelah diselidiki lebih lanjut, kesedihan itu lahir setelah proses “debat” dengan guru biologi. Argumen-argumennya dibantah, umpan pendeknya diintersep, dan tendangannya mampu ditepis.
Ia tak kuasa menahan haru karena menurutnya tidak selayaknya kodok berevolusi menjadi kera. Kodok jauh lebih realistis bertransformasi menjadi pangeran #NowPlaying Pangeran kodok.
Lebih lebih, teman kami ini yang sedari awal bercita menjadi dokter syok saat guru biologi mengatakan
“Kamu tidak pantas menjadi dokter”
Pernyataan yang menohok. Lalu ia pun berniat membuktikan bahwa ia akan membuktikan jika guru biologi tersebut SALAH *pasang iket kepala*.
***
Kisah di atas adalah cerita nyata yang diselingin oleh science fiction ngaco. Gue ambil dari fragmen kisah saat kelas 3 SMA yang melibatkan teman kami, Desfri Anggraini atau Ades.
Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk mempromosikan air mineral kemasan karena pada kenyataannya kami memang memanggil makhluk kurus putih ini dengan “Ades”.
Ades masuk dalam lingkaran IPA A saat kelas kami sudah berjalan satu tahun. Ia Bersama dengan Vidia, Peri, Marini dan beberapa lainnya berasal dari satu almamater saat sekolah menengah pertama. Sedari awal bergabung bersama kelas barunya, Ades berhasil merebut Vidia dari tangan jahat Edo.
Ades terkenal sebagai siswa yang cerdas terutama untuk pelajaran matematika. Ia dengan mudahnya menyelesaikan pertanyaan integral lipat tiga atau membuktikan 1 + 1 = 2.
Lepas SMA, Ades memilih jurusan kedokteran Universitas Sriwijaya. Ia berhasil membuktikan bahwa apa yang pernah diucapkan oleh guru biologinya tidaklah benar. Bersama dengan yenni dan icha, yang juga memilih jurusan kedokteran di kampus yang sama, mereka membentuk girl band “TigaNagaImOeTz”.
Setelah merengkuh gelar dokter, Ades memutuskan menikah dengan seorang pria berprofesi sama. Pria beruntung ini menyunting Ades pada tanggal 21-12-13. Selang sehari kemudian mereka melangsungkan resepsi pernikahan.
Pernikahan mereka dihadiri oleh beberapa orang teman SMA. Entahlah apakah sang guru biologi hadir di pesta pernikahan tersebut. Lucu juga kalo ada pengantin yang berteriak lalu menangis tersedu di pelaminan.
Laporan dari temen gue yang datang, tidak ada aksi drama tereak atau tangis. Gue jamin, guru biologi bersangkutan tidak hadir.
Selamat Desfri Anggraini, Kamu beroleh predikat ke-15.
Mak Comblang
September 6, 2013 § 4 Komentar
“Cinta Sejati selalu menemukan jalan. Ada saja kebetulan, nasib, atau apalah sebutannya, Tapi sayangnya, orang orang yang mengaku sedang dirundung cinta justru sebaliknya, selalu memaksakan jalan cerita, khawatir, cemas, serta berbagai perangai norak lainnya. Jika berjodoh, tuhan sendiri yang akan memberikan jalan baiknya. Kebetulan yang menakjubkan”.
Paragraf di atas merupakan kutipan dari novel Tere liye. Mengapa gue jadikan sebagai awalan? karena menurut gue, apa yang Bang Tere bilang bener-bener mengena. Tepat sasaran, melesak menghujam dan menohok perlahan. Bukankah banyak dari kita yang dengan tergesa memaksakan apa yang mereka sebut sebagai cinta?
Kisah cinta dalam film “serendipity” gue rasa bukan sekedar peran belaka. Bukankah dikisahkan bahwa jodoh tidak perlu dipaksa atau diada-adakan. Ia sudah didesain dengan serupawan mungkin.
Banyak kisah bagaimana seseorang menemukan pasangan hidupnya dengan cara tak terduga. Ada sahabat sepanjang masa kemudian bersatu dalam ikatan cinta, ada yang bertemu di jejaring sosial dan tertarik karena kemiripan nama, dan yang paling pasaran adalah kisah jatuh cintanya seorang wanita pada pria yang menabraknya. Kok bisa-bisanya habis ditabrak malah saling pandang hingga timbul benih-benih asmara.
Kalo saja mereka yang tertabrak bisa dengan mudahnya jatuh cinta dengan si pengendara, Apriyani bakalan bikin acara kawinan massal di sekitar tugu tani.
Dan di antara berbagai misteri bagaimana seseorang bertemu dengan pasangannya adalah melalui proses perjodohan melalui orang ketiga atau kita sering menyebutnya dengan mak comblang.
Entahlah dari mana istilah “mak comblang” lahir. Gue search di gugel, gugelnya geleng kepala, “nyerah mas” kata mbah gugel sambil melambaikan tangan ke arah hary pantja.
Gue Dijodohin!!!
Belakangan ini gue sering banget dijodohin. Mulai dari temen SMP, sahabat SMA, rekan kuliah hingga komunitas ngetrip. Mulai dari penawaran yang baik sampe yang paling ngaco. Masa mereka mau ngejodohin gue sama mannequin jilbaban yang dipajang di tanah abang. Gue ga sedesperate itu juga meenn!!.
Gue sebenernya terharu sekaligus miris dengan kelakuan temen-temen yang sibuk mencarikan jodoh. Can you imagine, Setiap ada cewe berusia 18-25 tahun yang mereka temui di jalan, di tempat makan, di gorong-gorong, selokan, maka mereka dengan sukarela mengambil foto wanita-wanita malang tersebut dan berbagi fotonya ke grup whatsapp sambil teriak “dooo (nama panggilan gue), ada cewe berjilbab nih”. Dan gue dengan lidah terjulur dan berliur menjawab “mana, mana, mana?”.
Sebenernya salah gue juga yang terlalu bersemangat membahas sesuatu yang berbau jodoh. Apa-apa yang berkorelasi dengan wanita berjilbab, pernikahan, buku nikah, katering, pre wedding kini selalu dikait-kaitin sama gue. Padahal terkadang gue ngelakuin itu semua agar grup ngobrol menjadi lebih hidup dan seru (ngeles).
Yang terprogram dalam otak bawah sadar temen gue adalah, prasayarat cewe yang disukai dodo mutlak harus berjilbab/kerudung. Jadi ketika ada seseorang yang terindikasi perempuan dan mengenakan jilbab, semua aja disodorin.
“Udah dua kali nikah dan solehah banget, mirip mamah dedeh”, ujar temen gue menawarkan nenek-nenek di sebelah rumahnya. Kamprettt. Ga nenek-nenek juga kali.
Lain waktu ada yang mencoba memasangkan jilbab pada bencong taman surapati, “kan yang penting jilbab” mereka berkata seraya tertawa terbahak. Gue pun nangis darah.
Tapi tidak sedikit juga yang mencoba menjodohkan wanita tulen. Paling tidak, di potonya mereka tidak kekar dan keriputan, apalagi kaku bak patung. Semoga foto tersebut bukan hasil editan photosop. Temen-temen gue ini baik pisan. Ada yang japri no hape plus foto temen deketnya, ada yang mau ngenalin temen kampus hingga temen kosannya. Mereka beranggapan gue sedang dikejer deadline, kebeleter kawin. Kalo ga nikah dalam waktu deket, gue bakal balik lagi jadi manusia. Seketika gue berasa seekor babi ngepet.
Sebenernya jodoh-jodohan melalui orang ketiga adalah aktifitas yang sudah dilakukan sejak zaman dahulu kala. Proses penjodohan lewat perantara bisa bertendensi pada kebaikan dan sebaliknya. Kenapa? Karena pada dasarnya, proses penjodohan ini melalui tahap seleksi, paling tidak dari mereka yang menjodohkan. Tidak mungkin perantara/mak comblang menjodohkan seseorang dengan orang lain yang tidak dikenalnya dengan baik.
Tapi kepercayaan yang berlebih terhadap perantara juga bisa menjadi bumerang, ketika jodoh di hadapan tidak sesuai dengan harapan. Yah ibarat poto, hasil jepretannya diambil dengan aplikasi kamera 360 terus dipoles pake photo editor. Anglenya sekecilll mungkin, sampe yang keliat cuma ujung idung sama ujung bibir. Bagi mereka yang berharap terlalu tinggi, poto tersebut seolah dianggap mewakili. Nah, ekspektasi berlebihan ini terkadang menjatuhkan.
Hakikatnya, proses memilihkan jodoh adalah kewajiban orang tua agar anak mereka mendapatkan jodoh layak nan pantas. Namun proses penjodohan melalui teman, guru ngaji, dan relasi lainnya yang berhubungan baik menjadi sebuah opsi tersendiri.
Gue kenal banyak orang yang menikah melalui perantara orang ketiga. Mereka diperkenalkan satu sama lain, berinteraksi secukupnya dan kemudian menikah dengan kebahagiaan yang terpancar dari binar mata ketika ijab qabul meluncur deras dari lisan mempelai pria. Sudah tidak ada lagi stigma negatif pada proses penjodohan seperti terdongeng dalam kisah siti nurbaya dan datuk maringgi. Kini, saat elo males mencari, atau memang jodoh tak kunjung mendekati diri, maka penjodohan adalah salah satu jalan terbaik.
Jodoh, bagaimanapun cara kita memperolehnya, sejatinya haruslah bermuara pada kebaikan-kebaikan yang tersumber dari koridor-koridor agama dan etika. Gue sering, bahkan terlalu sering “disentil” tentang, “mana cewe lo”? “Mana calon lo”? “Usia segini belom ada calon”?
Menurut salah seorang temen, calon istri gue malah belom lahir. Hahaha…asem banget dah. Tapi gue mah nyantai aja menanggapinya. Gue bilang, “jodoh gue masih di lauhul mahfudz”. Dan seketika mereka buka google maps guna mencari koordinatnya :(.
Kisah Salman Al-Farisi
Salah satu kisah terbaik dalam proses mencarikan jodoh orang lain adalah kisah salman al farisi yang suatu ketika sedang mencari jodoh. Terkisah kemudian sang sahabat, Abu Darda, mengantarkan Salman Al-Farisi pada gadis yang ingin disunting. “Saya datang untuk meminang putri anda, untuk saudara saya ini Salman Al Farisi”, Abu Darda melanjutkan.
Ternyata, sang putri sholehah telah mendengar percakapan ini di balik tabir. Sang Ayah wanita pun bercakap bahwa segala keputusan diserahkan kepada sang anak tercinta. Malang tak dapat ditolak, sang wanita nan sholehah menolak pinangan tersebut.
Tapi ada yang lebih mengejutkan. Prosesi pinangan tidak terhenti pada “penolakan” secara halus sang wanita. Ibunda tercinta kemudian melanjutkan kata, “Namun jika Abu Darda memiliki tujuan yang sama, maka putri kami lebih memilih Abu Darda sebagai calon suaminya”.
Wow… Terbayangkah oleh kalian, bro. Betapa kalau kita pada posisi yang sama. Hancur hati, lebur, sedih tak terukur. Ketika pinangan telah tertolak, cinta bertepuk tak berbalas. Dan kini, ternyata sang wanita mengidamkan sahabat kita, sahabat yang menjadi perantara dalam pinangan terindah, mengidamkan ia sebagai pendamping hati.
Tapi disinilah letak kemuliaan seorang salman al farisi. Arsitek perang khandak, sang pemuda parsi tidak larut bersedih. Ia dengan lantang berujar ” ”Allahu Akbar!”, ”Semua mahar dan nafkah yang kupersiapkan ini, akan aku serahkan pada Abu Darda, dan aku akan menjadi saksi pernikahan kalian!” seru Salman.
Waduh, kisah ini kemudian termaktub dalam sejarah. Jika saja Salman berputus asa, lalu mengakhiri nyawa dengan menghujamkan pisau ke dada, maka kisah ini hanya akan menjadi sebuah romansa picisan yang menjadikan cinta wanita sebagai sesembahan.
Berangkat dari kisah ini, ada hikmah yang bisa kita petik. “Pastiin, ketika melamar seseorang, jangan pernah melalui perantara seorang teman. Atau, kalo memang harus diperlukan, pastikan orang tersebut tidak lebih keren, tidak lebih ganteng, dan tidak lebih kaya daripada elo :D.
Khabib’s Wedding
Oktober 19, 2010 § 2 Komentar
Finally, mentor sekaligus sahabat angkatan 2006, Khabib Khumaini menikah dengan gadis pujaan hati. Pernikahan yang berlangsung cukup sederhana tersebut meninggalkan banyak kisah tentang sang mempelai pria.
Khabib Khumaini adalah mahasiswa yang sungguh amat sangat cerdas. Seolah dilahirkan untuk mendalami ilmu kimia. Dua kali mendapatkan medali dalam International Chemistry Olympiad atau olimpiade kimia internasional. Bukan prestasi yang biasa memang, namun dengan segenap prestasinya tersebut dia tetap menjadi pribadi yang low-profile dan bersahaja.
Menjadi mahasiswa kimia membuat Khabib khumaini tetap menonjol prestasinya dibandingkan dengan mahasiswa lain. Suatu ketika Khabib mengikuti ujian untuk mahasiswa tingkat empat, pada saat itu khabib masih tingkat dua. Setelah hasil ujian diumumkan, seperti yang sudah diduga, Khabib mendapatkan nilai tertinggi dibandingkan mahasiswa yang notabene tingkat empat. Crita tersebut hanyala secuil cerita tentang keluarbiasaan khabib dalam ilmu kimia. Belom lagi cerita bagaimana Khabib mampu mematahkan segenap pertanyaan yang dilontarkan oleh dosen penguji saat sidang sarjana hingga dosen tersebut speechless. « Read the rest of this entry »
nikah dan pelevelannya
November 8, 2009 § 8 Komentar
sabtu malem aku menyelami dunia maya mengingat tidak ada agenda malem itu. aku mencoba untuk membuka situs2 yang seperti biasanya, FB, twitter, plurk dan lainnya. Dalam kesempatan tersebut aku melihat salah seorang teman SMA yang sekarang menempuh pendidikannya di salah satu institut negeri di Bogor sedang on line. langsung saja aku menyapa temanku tersebut dan menanyakan keadaannya. hari itu bertepatan dengan pernikahan slah seorang teman SMA di Palembang. seneng rasanya mendengar pernikahan slah seorang teman tersebut. tanpa terasa aku dan teman-temanku telah memasuki fasa baru dalam kehidupan kami, fasa pernikahan. sebuah fasa di mana kami akan mencoba mengarungi samudera kehidupan ini dengan orang lain.
kontan saja aku berdiskusi dengan temanku yang sedang on line tersebut mengenai pernikahan. kebetulan temanku ini merupakan seorang akhwat aktivis di kampusnya. mulanya kami membahas tentang salah seorang teman yang menikah tersebut. kami membahas mengenai betapa cepatnya waktu berlalu. melanjuti tema yang kami bawa, iseng2 aku bertanya dan berdiskusi mengenai pernikahan dengan temanku tersebut. lalu temanku menjelaskan tentang sebuah joke mengenai pernikahan. menurut guru ngaji beliau nikah itu ada level-levelnya. di antara level-level tersebut adalah sebagai berikut
1. pernikahan dengan level A : pernikahan ini jika terjadi antara pasangan yang berbeda kampus
2. pernikahan dengan level B : terjadi ketika pasangan yang mnikah berasal dari satu jurusan/fakultas di kampusnya
3. pernikahan dengan level C : pasangan yang menikah berada pada jurusan/fakultas yang sama dengan amanah yang sama pula
4. pernikahan dengan level D : pasangan tersebut berasal dari kelas yang sama dan memiliki amanah yang sama. level D artinya harus mengulang.
memang joke ini tidak cukup substantif untuk dibahas akan tetapi menurut penjelasan temanku tersbut adalah bahwa menikah dengan pasangan yang memiliki amanah yang sama dan berasal dari kelas yang sama juga memungkinkan terjadinya fitnah yang sangat besar.
wallhu ‘alam