Islamic Book Fair 2015

Maret 7, 2015 § 2 Komentar

20150309_060307

Penulis yang hebat adalah pembaca yang rakus

Islamic Book Fair (IBF) hadir kembali mulai tanggal 27 Februari sampai 8 Maret 2015 di Istora Senayan. Seperti tahun-tahun sebelumnya, gue selalu  bergembira dengan kehadiran pameran buku islam terbesar di Indonesia ini. Berada di tengah tumpukan buku adalah satu dari dua hal yang bisa dengan mudahnya membuat gue bahagia. Satunya lagi adalah menemukan jarum di dalam tumpukan jerami. Krik..krik!.

Masih jelas bayang-bayang kunjungan ke IBF tahun lalu. Saat itu, gue masih berstatus calon suami karena penyelenggaraan IBF 2014 berselisih beberapa hari dengan prosesi lamaran gue. Karena timing nya yang sangat pas, gue secara sengaja dan sadar membeli buku ‘kado pernikahan untuk istriku’ sebagai buah tangan yang dibawa turut serta pada saat lamaran. Lebih tepatnya, buku itu gue hadiahkan buat sang istri yang kebetulan berulang tahun satu hari sebelum kedatangan keluarga gue ke Cianjur untuk ngantri raskin. Menurut lo?!. Ya buat lamaran lah.

Beberapa buku yang gue beli tahun lalu masih tersampul rapih dan tersimpan di kardus di pojok kamar kontrakan. Mereka seolah tergugu. Tertunduk lesuh tak tersentuh. Buku Karen Armstrong tentang Perang Salib baru sepertujuhnya selesai dibaca. Biografi Malcolm X malah belum dijamah sama sekali. Di situ kadang buku saya merasa sedih.

Ada yang berbeda dengan IBF 2015 kali ini. Durasi gue untuk memburu buku tidak bisa seleluasa saat masih bersatus jomblo keren. Sekarang, gue harus mengunjungi anak dan istri tercinta yang ada di kota bunga setiap akhir pekan. Jadi, gue harus sempet-sempetin datang ke IBF sepulang jam kantor. Keterbatasan waktu ini juga yang menghalangi gue mencari buku dengan seksama.

Setelah berthawaf di sekitar Istora, gue memilih singggah di beberapa tenan. Tenan pertama yang gue kunjungi tidak lain dan tidak bukan adalah tenan pro u media. Memang, sudah sejak lama pro u media menjadi penerbit yang menghasilkan bacaan-bacaan sesuai dengan selera gue. Buku-bukunya ditulis oleh penulis yang relatif masih unyu dengan topik yang anak muda banget. Mulai dari Fadlan Al Ikhwani, Egha Zainur Ramadhani, Solikhin Abu Izzudin, hingga Salim A Fillah. Setelah melihat-lihat buku yang tersusun rapih di biliknya, tidak ada buku yang menarik perhatian saya dengan amat sangat. Berbeda dengan tahun lalu saat buku Lapis-Lapis Keberkahan Salim A Fillah mencuri perhatian banyak orang.

Sejak awal adanya IBF, gue sudah berazam dan berdiskusi dengan istri untuk mencari buku-buku bertemakan parenting. Jika tahun sebelumnya, gue sangat berapi-api untuk memperoleh buku bertemakan pernikahan maka kali ini gue lebih banyak memfokuskan diri untuk melengkapi koleksi buku tentang bagaimana cara mendidik anak dengan baik dan sesuai tuntunan Al-Quran. Karena segala sesuatu itu harus ada ilmunya. Seperti apa yang dinasihatkan oleh Ali bin Abi Thalib bahwa ibadah yang tidak ada ilmunya lebih besar potensi kerusakannya. Karena membimbing anak adalah sebuah ibadah maka diperlukan ilmu sebagai bekal. Berapa banyak orang tua yang mengaku memiliki anak tapi tidak tahu bagaimana cara mengurusnya. Berapa banyak di antara mereka percaya diri dengan melabeli ayah-ibu sebatas panggilan saja tanpa tahu bagaimana seharusnya seorang anak dibimbing dan diarahkan. Padahal ketahanan keluarga adalah pilar dalam membangun sebuah peradaban. 20150308_160504

Sebelumnya, gue sudah memiliki beberapa buku tentang Parenting seperti Prophetic Parenting, Buku karangan Ibnu Taimiyah hingga buah karya Ust Fauzil Adhim ‘Saat Terbaik Untuk Anak Kita’. Setibanya di Tenan Pro U Media, mata gue tertuju pada buku karangan Ust Fauzil Adhim yang berjudul ‘segenggam iman untuk anak kita’ dan ‘membuat anak gila membaca’. Fauzil Adhim sudah sangat dikenal dengan kemampuannya menganggit kata untuk disarikan menjadi nasihat bagi para orang tua agar menyadarkan orang tua akan pentingnya membekali anak-anak dengan iman, membangun jiwa anak-anak mereka. Dan kedua buku ini diharapkan menjadi wahana untuk mencapai tujuan tersebut.

Selain buku tentang parenting, sejujurnya tidak ada buku yang benar-benar menarik perhatian gue. Berbeda dengan tahun lalu saat buku milik Karen Armstrong dan Rapung Samuddin begitu menggoda untuk dibaca. Waktu berburu yang terbatas pun menjadi faktor utama ketidakbisaan gue melakukan pencarian buku secara mendalam,. Duh lebaynya!.

Di antara buku-buku yang bertebaran dan setelah mengelilingi hampir semua tenan yang ada, gue akhirnya menjatuhkan pilihan pada ‘wajah peradaban barat’ karangan Ust Adian Husaini. Gue sebenernya mengikuti tulisan-tulisan beliau sejak lama. Jauh sebelum negara api menyerang. Selama ini gue hanya bisa menyimak tulisan Ust Adian melalui Web Insist atau status-statusnya yang termuat di facebook. Tulisan beliau bagus dan bernas sebagai referensi untuk menghalau pemikiran-pemikiran liberal dan serangan-serangan orientalis terhadap islam.  Kebetulan sudah lama buku tersebut jadi target operasi.

Masih di rak buku yang sama, duduk manis ‘The Art of Deception’ nya Jerry D Gray. Buku yang memang gagal gue beli tahun lalu karena keterbatasan dana. The Art of Deception bercerita tentang peristiwa pembajakan WTC yang terjadi pada tahun 2001. Penulis memaparkan cerita dari sudut pandang ‘konspirasi’. Jadilah dua buku yang akan sangat berjasa menambah pengetahuan gue tentang peradaban barat serta wawasan tentang ‘penipuan’ yang selama ini terjadi di sekitar kita.

Di arena lain, gue mendapati tenan yang tenang nian sore itu. Tak banyak aktifitas kehidupan nampak di sana. Hanya ada penjaga tenan dan beberapa buku islami yang diobral 5-10 ribu. Sepintas gue melihat buku dengan judul ‘inilah politikku’ karangan Muhammad Elvandi. Gue sudah mengetahui sepak terjang sang penulis sejak menyelami tulisan di web yang ia asuh. Tulisannya sangat baik dengan referensi yang luas. Maklum, beliau adalah lulusan sarjana Mesir dan magister Prancis yang saat ini tengah menyelesaikan pendidikannya PHd nya di kampus Manchester, Inggris. Buku ini banyak bercerita tentang prinsip-prinsip politik islam di era modern. Sebuah tulisan yang cerdas dan sarat makna.

Sisanya, gue membeli buku tentang parenting lagi yang dijual secara paket. 4 buku seharga 100 ribu. Di antaranya bertemakan tentang pola asuh anak dan cara-cara menangani emosi anak. Lumayan, guna menambah referensi bagaimana cara menghadapi Alby, Si Jagoan. Ditambah lagi sebuah buku yang dibuat untuk meluruskan salah paham atas pemikiran dan aktifitas Sayyid Quthb. Pembela Ikhwanul Muslimin yang syahid di tiang gantungan setelah sebelumnya menggegerkan Mesir bahkan dunia dengan Tafsir fi Zhilail Quran dan buku ‘Petunjuk Jalan’.

Selain buku-buku yang berhamparan di rak-rak yang tersusun nan ajeg, hal lain yang membuat gue gembira selama berada di IBF adalah gue melihat kembali tenan yang menjual majalah Sabili dan Tarbawi. Sebagi informasi, Sabili sudah lama tidak hadir menemani pembacanya. Majalah umat yang berdiri sejak tahun 1994 ini sempat vakum selama beberapa tahun. Per Juni 2014, ia kembali hadir. Menurut mereka, selama ini terjadi kendala distribusi. Loper koran yang diamanahi menjual sabili banyak yang tidak menyetor uang kepada tim sabili. Untuk menghindari hal yang sama agar tidak terjadi lagi, Sabili kini tidak lagi dapat ditemui di loper-loper koran. Mereka menjual langsung kepada pembacanya.

Sabili adalah majalah yang sering gue baca sejak SMP. Dari majalah ini, gue banyak mendapatkan informasi tentang kondisi umat islam di berbagai belahan dunia. Betapa mencekamnya kehidupan di negeri-negeri non Muslim. Penindasan di Checnya, Palestina dan negara lain. Boleh dibilang Sabili adalah bacaan pertama yang membuka wawasan gue tentang betapa mirisnya nasib muslim di negara lain.

Majalah Tarbawi sendiri sudah 8 bulan tidak hadir menyapa pembacanya. Mereka berkilah bahwa tengah dilakukan evaluasi. Kini mereka hadir kembali untuk memperluas tsaqofah para pembacanya. Sejujurnya gue bukanlah pelanggan Tarbawi, namun mendapati majalah ini eksis kembali, gue ikut berbahagia.

Seperti itulah petualangan gue di IBF 2015. Semoga tahun-tahun berikutnya Islamic Book Fair tetap ada. Dan Semoga juga gue masih memiliki kesempatan untuk sowan untuk membeli buku-buku terbaik dengan harga miring.

Iklan

Belitung, Je t’Aime (Part 1)

Juni 18, 2014 § 3 Komentar

 

IMG-20131026-WA0007

Jatuh cinta berjuta rasanya. Biar siang biar malam terbayang wajahnya.
Jatuh cinta berjuta indahnya. Biar hitam biar putih manislah nampaknya.

Puluhan tahun lalu Titiek Puspa menyanyikan lagu ini hingga membuai setiap telinga untuk larut mendengarkan. Lagu yang mengabadi, menyusuri lorong-lorong waktu hingga tiba di saat facebook, twitter dan path menjamur. Kini, soundtrack yang sama terngiang di otak gue, mengalun-alun merdu sambil sesekali Jangan Cintai Aku Apa Adanya milik tulus mengintersep playlist yang terputar secara acak di playlist winamp.

Jangan cintai aku apa adanya, jangan…
Tuntutlah sesuatu, biar kita jalan ke depan.

 

Tulus memilih kekuatan lirik dalam setiap tembang yang diresonansikan. Perpaduan dua lagu beda generasi tengah menggambarkan situasi hati gue. Begini katanya ketika orang sedang jatuh cinta. Hati yang sentiasa beroma. Jantung yang lebih cepat memompa hingga otak pun berhenti bekerja.

“Brain is most awesome organ. They work 24 hours a day and 365 days in 1 year. From birth until… You fall in love”.

And this is what’s happening to meI am truly falling in love.

20140531_061222

Klise? Pasti. Norak? Iya. Karena menurut temen gue, saat kalian jatuh cinta adalah saat dimana rasa malu, norak, aneh tidak lagi menjadi hal penting yang kalian perdulikan. Kalian akan mensintesa sebuah negasi yang memberikan ‘pembenaran’ atas semua kelakuan di luar kenormalan. Atau kalian mungkin bisa meng-kambinghitam-kan, katakanlah, semua dopamin, oksitosin, serotonin, norepinefrin yang disekresikan saat kalian jatuh cinta.

Dan gue sedang jatuh cinta. Setiap hari. Pada orang yang namanya tersebut dalam janji di depan saksi. Dan gue mau bercerita, ber-absurd ria. Namun gue berusaha konsisten. Setidak normal apapun, gue tidak akan pernah dengan sadar bermesraan, berucap hal-hal romantis nan menjengkelkan di media sosial yang bisa dengan mudahnya diakses. Kongruen dengan apa yang gue tulis sebelumnya.

*****

Waktu berlalu tanpa bisa diajak kompromi. Sebulan setelah pernikahan, fase-fase yang (katanya) paling membahagiakan dari semua penggalan penggalan cerita sebuah bahtera yang bernama rumah tangga, terasa berlalu begitu saja. Tibalah kami di penghujung Mei. Beberapa tanggal dengan corak warna merah menghiasi tanggalan. Terjadwal gue dan istri akan berkunjung ke negerinya Ikal, Arai dan para Rainbow troops lainnya. Kami akan menghabiskan 3 hari di Belitung untuk mengecat batu raksasa yang ada di pantai tanjung tinggi.

“Seriously?” 

Tentu tidak. Belitung menjadi destinasi honeymoon gue bareng istri yang tiket keberangkatan dan sebagian keperluan diakomodasi oleh rekan-rekan yang tidak bisa gue sebutkan satu per satu. Mulai dari Paijo, Parno, Markonah, umm.. Siapa lagi ya?.

“Siapa, Egi?”

“Eki?”

“Hah Edi?”

“C, om. Charlie!”

 “Oh Charlie, kok suaranya mirip cewe?” *Mati berdiri*

Sebelum terbang, kami sudah membuat rencana perjalanan dengan sangat detail. Hari pertama ke Belitung timur, Hari kedua dan ketiga ke Belitung Barat. Done. Detail sekali, bukan? :D.

20140528_054858Kami menumpang Pesawat Citilink dengan keberangkatan paling pagi, bahkan sebelum ayam terbangun dari tidurnya yang tak nyenyak. Ternyata ada hal unik yang kami temukan selama keberangkatan. Announcer maskapai menyapa penumpang dengan pantun sebagai warisan kebudayaan melayu. Untungnya pantun tersebut tidak berbalas. Gue takut pesawat yang kami gunakan sebenarnya sudah disewa untuk acara lamar-lamaran. Huft.

Satu jam perjalanan, kami tiba di bandara H. AS. Hanandjoeddin.

20140528_071031

Bandaranya imut

Setibanya di Bandara, kami menggunakan travel menuju Belitung Timur. Jalanan yang diaspal rapih dan lengang membuat perjalanan menuju bandara hanya ditempuh dalam 2 jam. Betapa kontradiktif dengan kemacetan yang ada di ibukota.

Kami menginap di sebuah penginapan hasil rekomendasi pengemudi travel. Ia juga berujar bahwa warga yang tinggal di Belitung terkenal jujur. Bahkan motor yang terparkir di depan rumah dengan kunci masih menggantung, dijamin akan aman.

Gue lalu meminjam motor untuk menelusuri Belitung timur, mengunjungi berbagai tempat khas Manggar mulai dari rumah kata Andrea Hirata, SD Muhammadiyah Laskar Pelangi dan Pantai Serdang. Dan ternyata memang benar. Penduduk di Manggar benar-benar ramah dan jauh dari kriminalitas. Di beberapa tempat gue melihat motor-motor dengan kunci yang masih bertengger manis di slotnya

Rumah Kata

Museum Kata

Museum Kata

Destinasi pertama kami setibanya di Manggar, Belitung timur, adalah Rumah Kata milik Andrea Hirata. Rumah kata bisa dikatakan sebagai museum tentang sekelumit hal seputar Laskar Pelangi yang fenomenal. Di dalamnya kita bisa menemukan cuplikan foto dari film Laskar Pelangi, quote-quote Andrea Hirata hingga koleksi buku Laskar pelangi dalam berbagai bahasa mulai dari Korea, Cina, Spanyol dan banyak lagi. Menurut penjelasan salah seorang penanggung jawab rumah tersebut, Laskar Pelangi sudah diterjemahkan ke lebih dari 10 bahasa di lebih 30 negara. Sebuah prestasi yang luar biasa dari seorang anak Indonesia yang lahir dan besar di sebuah kampung kecil di selatan Pulau Sumatera.

Semangat yang ingin ditularkan oleh Andrea Hirata sepertinya berhasil ditransmisikan hingga setiap orang yang singgah ke tempat ini dapat merasakan aura inspirasi. 

IMG_0114

Ruang depan rumah berisi banyak sekali kata-kata yang menginspirasi

IMG_0116Menengok ke luar jendela, kita akan mendapati selasar yang digunakan sebagai tempat belajar, berkreasi, berbagi, dan bercerita agar setiap anak, siapapun ia, tak pernah berhenti bermimpi. Karena mimpi adalah langkah awal untuk memulai langkah besar lainnya.

20140528_134411

Buku Laskar Pelangi dalam berbagai bahasa

20140528_134457

Ruang Tengah

Rumah ini terbagi menjadi beberapa ruangan meliputi ruang depan, ruang tengah dan ruang belakang. Ruang depan menjadi tempat registrasi bagi para pengunjung. Sementara di ruang tengah kita bisa menemukan kesederhanaan, ketenangan berbaur bersama teriknya matahari. Di dalam kamar-kamar yang terdapat di ruang tengah inilah kita bisa menemukan galeri foto adegan film Laskar Pelangi.

20140528_133643

20140528_133622

Galeri Foto yang diambil dari film Laskar Pelangi

Di ruang belakang bangunan terdapat sebuah warung kopi tradisional. Kaget kenapa ada warung kopi di sini? Sama. Gue juga kaget. Kopi manggar memang terkenal. Apapun alasan warung kopi berdiam di ruang belakang Rumah Kata, kalian tetap harus mencoba aroma dan nikmatnya kopi khas Belitung timur.

Mari Ngopi

Rumah kata tak pernah sepi. Saat kami datang berkunjung, tak kurang 5-10 pengunjung lain juga berada di tempat yang sama. Tak ketinggalan jurnalis melakukan wawancara dengan pengelola.

Rumah kata menjadi tempat yang sangat baik untuk menggali inspirasi. Buat gue dan istri, rumah kata menyajikan pengharapan, mimpi-mimpi yang jadi kenyataan, serta semua perjuangan. Nilai-nilai inilah yang nanti akan kami wariskan kepada anak-cucu kelak.

Replika SD Muhammadiyah

Slideshow ini membutuhkan JavaScript.

Bagi kalian yang berinteraksi dengan Andrea Hirata melalui bukunya Laskar Pelangi, atau melalui filmnya, SD Muhammadiyah sangat lekat dengan imajinasi. Di tempat inilah para laskar pelangi menempuh pendidikan sekolah dasar. Ia tak berupa Hogwarts dengan Griffindor dan Slyterin yang megah dan sakti mandraguna walau hanya dalam imajinasi belaka. Di SD Muhammadiyah, kita tidak akan menyaksikan sebuah fiksi. Di sini kita mendapati kisah nyata perjuangan heroik Bu Muslimah yang sekuat tenaga mendidik siswa yang jumlahnya tak sampai sepuluh.

Papan tulis serta bangku nan lusuh menghiasi sekolah yang terdiri dari dua ruangan dengan sekat dan dinding yang terbuat dari kayu. Tapi gue ga terlalu heran. Gue pernah melihat sekolah dengan kondisi yang lebih memprihatinkan. Dengan semua keprihatinan yang kita saksikan, Mendiknas masih kekeuh menstandardisasi inteligensia siswa dari Sabang hingga Merauke dengan Ujian Nasional meskipun infrastruktur sekolah tidak berimbang antara satu wilayah dan wilayah lain.IMG_0121

Lagi nunjuk apa, neng?

Lagi nunjuk apa, neng?

SD Muhammadiyah yang menjadi objek wisata hanya berupa replika, bukan bangunan asli. Ia direplikasi untuk menjadi saksi sejarah betapa kerja keras dapat menghancurkan semua persepsi-persepsi negatif dan mampu menempa karbon yang rapuh menjadi intan yang keras membaja.

Tak Lupa, kami bernarsis ria. Meninggalkan jejak bersama dinding-dingin yang mulai usang termakan rayap.

Potret perjuangan di SD Muhammadiyah Manggar layak menjadi tamparan bagi sekolah-sekolah parlente. Karena sejatinya prestasi tidak semata diukur dari seberapa bagus kurikulum pendidikan yang kalian punya. Atau seberapa berlimpah dana yang tersedia. Dari sekolah reot inilah, seorang penulis bisa menghasilkan karya yang mendunia.

Pantai Serdang

 

Selamat datang di Pantai Serdang

Selamat datang di Pantai Serdang


Tidak banyak orang yang tahu bahwa Belitung timur memiliki pantai. Memang, pantainya tidak seelok Belitung barat yang megah dengan batu batu raksasa yang menjulang. Pantai serdang mirip dengan pantai pada umumnya. Namun pantai ini lebih teduh dengan banyak pohon pinus di sepanjang bibir pantai. Terdapat beberapa spot yang dibangun untuk memfasilitasi aktifitas fotografi dadakan.

Destinasi tidak selalu menjadi variabel baku tentang indahnya sebuah perjalanan. Karena kata tanya “kemana” kini sudah disubstitusi oleh “dengan siapa”. Maka orang yang membersamai perjalanan kita akan jauh lebih penting daripada tujuan yang akan kita datangi.

Ketika hati sudah bertaut, janji telah tersebut maka kemana pun kaki melangkah akan terasa jauh lebih mudah. Karena akan ada pundak yang senantiasa tegak kokoh untuk bersandar. Ada telinga yang terpasang untuk selalu mendengar. Ada mata yang tak terlelap untuk terus menatap.

Wanita berkerudung merah

Wanita berkerudung merah

20140528_161001
20140528_161243Bukankah dulu Khadijah membersamai Muhammad dalam setiap kesulitan, himpitan, pergolakan. Hingga perempuan agung inilah yang mendapatkan titipan salam dari Allah melalui Jibril. Tak pernah sedikit pun ia mundur dari keyakinannya untuk terus mendampingi Muhammad. Karena ia sadar bahwa ujung dari perjalanan mereka akan berbuah surga.

Dan di Pantai Serdang pun menjadi begitu indah. Tak bisa lagi Pantai Kuta menjadi jumawa. Wanita di sebelah gue hanya bisa tersenyum manis. Memamerkan gigi yang tersekat oleh kawat-kawat. Hatta, lembayung senja pun kalah oleh pancaran keindahan senyumnya.

Dalam khidmatnya kami menatap langit, gue teringat kembali sebuah syair dari Sapardji Joko Pramono, Aku Ingin Mencintaimu Dengan Sederhana.

 

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu
kepada api yang menjadikannya abu

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan
kepada hujan yang menjadikannya tiada

 

 Sungguh. Belitung, Je’t Aime…

Perjalanan ke Cina (Tiongkok)

Juni 3, 2014 § Tinggalkan komentar

shanghai
Cina, sebuah kata yang merujuk pada beragam makna. Sebagai negara, ia mahsyur sejak dahulu kala. Sebagai bangsa, banyak peninggalan bersejarah berhasil ditorehkan mulai dari penemuan teh, ditemukannya kertas oleh Cai Lun hingga berdirinya Great Wall pada masa Dinasti Ming. Dan sebagai bahasa, ia menjadi bahasa yang paling banyak digunakan di dunia. Tidak salah jika pepatah arab mensugesti seorang bani adam untuk menuntut ilmu hingga ke negeri ini.

Secara khusus Indonesia dan Cina memiliki banyak benang merah. Beberapa teori menyebutkan nenek moyang orang Indonesia berasal dari tiongkok.

Pertengahan April 2014, tepat dua hari setelah melepas status jomblo karatan selama 24 tahun, gue diharuskan berangkat ke Cina (tiongkok) sebagai perwakilan perusahaan menghadiri Chinaplast, pameran plastik terbesar yang diselenggarakan di Shanghai.

Gue sebenernya ragu untuk turut serta dalam keberangkatan ini mengingat lidah gue masih belum kering bekas ijab qabul. Di sisi lain gue sama ngebetnya untuk melihat dan menginjakkan kaki di negara selain Indonesia. FYI, paspor gue masih virgin. Belom pernah gue jamah sama sekali. Untungnya dia tidak minta cerai :D.

Dalam suatu kesempatan, gue hampir saja menggunakan paspor dengan cap imigrasi Korea Selatan. Gue diminta sutradara untuk menjadi stuntman Lee Min Ho yang berperan sebagai pria dengan luka bakar parah 70%. Tapi niatan tersebut gue urungkan karena gue merasa terhina, harusnya luka bakar 95%.

For real, gue batal ke Korea Selatan sebagai konsekuensi batalnya gue melanjutkan studi ke negeri ginseng. Selepas kuliah magister, gue mendaftarkan diri ke salah satu universitas di Seoul. Gue sudah mempersiapkan semuanya termasuk beasiswa, professor pembimbing hingga rambut ala K-pop. Namun beberapa waktu sebelum keberangkatan, gue membatalkan niatan tersebut dan memilih menjadi kuli di kantor membosankan tempat gue sekarang bekerja.

Dan, petualangan pertama gue ke luar negeri menguap seiring dengan profesi baru sebagai kacung.

Kemudian, tidak pernah lagi ada peluang untuk pergi ke luar negeri. Gue hanya bisa memandang nanar setiap foto yang terpajang di media sosial berisi aktifitas mereka di belahan bumi lain. Gue envy ngeliat mawar (bukan nama sebenarnya –red) kayang sambil ngupil di depan Patung Merlion. Sama irinya saat melihat mereka yang makan kelinci janda muda di Vietnam. Atau betapa pengennya gue pergi ke tempat temen gue selfie dengan latar belakang eifel yang bertambah miring tiap tahunnya. Itu…menara Pisa. Eifel ga pernah miring. Kecuali waktu kamu bilang ‘Eifel (I feel) I love you so much’ :p.

Dua tahun berselang, Maret 2014, bos gue menawarkan sebuah paket perjalanan ke negeri asalnya Panda.

Paket perjalanan tersebut sebagai bentuk apresiasi kepada karyawan agar mereka dapat terus berkembang dan bertambah wawasannya. Bos gue berceloteh. Gue pun mengangguk-angguk sebagai ekspresi (pura-pura) mengerti. Kantor hanya menyediakan dua buah tiket. Gue pun galau mengingat kami membutuhkan dua tiket tambahan karena perjalanan Tong Sam Cong ke barat selalu bersama ketiga muridnya.

kera sakti alfamartPerlu digarisbawahi bahwa keberangkatan gue ke Cina bukan dalam rangka hura-hura. Selama di Cina, gue harus menghadiri pameran mesin dan aditif yang berhubungan dengan plastik dalam acara bertajuk Chinaplast. Bayang-bayang petualangan ke Great Wall, belajar kung-fu dengan Jet Lee, dan berburu vampir harus sedari awal dikubur karena gue tau selama di sana gue bakalan kerja rodi.

*****

Keberangkatan gue ke Cina dilepas oleh istri tercinta. Perpisahan kami mengharu biru. Pasangan pengantin yang belum genap seminggu menikah harus dipisahkan oleh tugas negara. Dentingan melodi gitar tohpati diiringi gesekan biola idris Sardi mengiringi lambaian tangan istri gue. Ayam pun turut bersedih ketika gue menaiki taksi menuju travel yang akan membawa gue ke bandara. Mereka bersimpati dengan kemudian berkokok bersahutan.

Terbang dengan Cathay Pacific menempuh perjalanan selama 5-6 jam untuk transit di Hongkong, ternyata cukup melelahkan. Bandara internasional hongkong sangat luas dan modern dengan dikelilingi oleh bukit-bukit dan berada di pinggir lautan. Entah akan jadi apa bandara ini jika tsunami dan gempa datangnya janjian.

20140422_141654Satu jam transit, kami melanjutkan perjalanan menggunakan pesawat menuju Shanghai. Yang pertama kali terbayang di otak gue adalah semua orang di sini bisa menggunakan kung fu. Mereka mungkin berlari di atas daun-daun dengan jurus meringankan tubuh. Bermain sepakbola dengan tendangan tanpa bayangan. Atau mungkin menyalakan lampu-lampu taman menggunakan tenaga dalam sambil menyaksikan Chow yun fat dan Andy lau beradu tembak ala triad. Ahhh, membayangkannya saja gue sudah penasaran plus was-was terkena pukulan naga yang salah sasaran.

Setibanya di bandara Shanghai, yang tidak kalah bagusnya dibandingkan bandara hongkong, gue dan rombongan dari Indonesia disambut oleh travel agent yang akan menjadi guide selama kami berada di Tiongkok. Tidak ada pesta barongsai penyambutan atau vampir yang berkeliaran.

Ada hal menarik yang gue temukan di hotel tempat kami menginap. Para pramusaji tidak berpakaian dengan rapih. Baju mereka sepertinya tidak disetrika, terlihat kusut dan tidak dimasukkan ke dalam celana secara sempurna alias asimetri. Apa gaya berbusana tersebut adalah trend 2014 di Tiongkok? Entahlah. Yang jelas, gue sangat ingin mengambil setrika dan lalu menyetrika pakaian mereka satu per satu.

Selama di Shanghai gue harus bener-bener selektif memilih makanan. Makanan yang paling aman adalah yang tidak mengandung daging dan ayam. Sebenernya setiap masakan di negeri ini tidak terjamin kehalalannya mengingat kita tidak tahu apakah penggorengan untuk memasak babi dipisah atau tidak. Gue mencoba meminimalisir peluang untuk mengkonsumsi barang haram dengan tidak makan semua yang berbau daging.

Setibanya di area Chinaplast yang sangat luas, kami langsung mendatangi berbagai booth mulai dari mesin pembuat botol, pembuat container, resin, masterbatch, aditif dan banyak lagi. Kami pun mengamati satu per satu sebagai prasyarat jika nanti ditanya bos tentang apa yang kami peroleh. Setidaknya kami bisa mengarang bebas dengan sedikit referensi dari booth yang kami kunjungi. 20140424_093356

Selama beberapa hari di Shanghai, tidak banyak tempat yang didatangi. Kami hanya dibawa menyaksikan sirkus yang terkenal di Shanghai. Aksi-aksi kelenturan tubuh dibalut keberanian dengan resiko kematian jika terjadi sedikit saja kesalahan teknis.

Selain itu kami digiring ke tempat penjualan teh dan batu giok. Iya, tempat penjualan bukan tempat budidaya. Kami disuguhkan presentasi tentang jenis-jenis teh dan batu giok dengan bahasa Cina yang sangat fasih. Materi yang sebenernya bisa dengan mudah didapatkan di Google. Di tempat yang sama, para SPG “memaksa” para pengunjung membeli barang dagangan mereka. Kegigihannya membuat gue semakin yakin mengapa orang-orang Cina sangat pandai berdagang.

Orang Cina memiliki semua bekal untuk menjadi pedagang tangguh: Kegigihan dalam bekerja dan “kelicikan” dalam berpikir.

Salah satu keindahan Shanghai adalah Shanghai Tower yang menjulang tinggi ke angkasa dengan ketinggian mencapai 632 m. Shanghai Tower bukan satu-satunya menara yang berada di lokasi Pudong, Shanghai. Masih ada Shanghai World Financial Center dengan ketinggian 492 m dan Oriental Pearl Tower. Dan gue berkesempatan untuk bernarsis ria dengan berlatar belakang salah satu menara tersebut.

Gedung tertinggi di Shanghai

Gedung tertinggi di Shanghai

20140425_191741_LLS20140425_192328_LLSOrang Cina juga terkesan ‘jorok’. Mungkin gue terlalu mengeneralisir keadaan namun toilet toilet yang gue temui di tempat umum tidak jarang ditinggalkan dalam keadaan kotor. Kita tidak sedang berbicara mengencai terminal atau stasiun, karena gue yakin Indonesia pasti juara, namun kita sedang membicarakan sebuah tempat konvensi seperti JCC atau JI Expo.

Jalanan di Shanghai bersih dan lebar. Mereka berjalan di ruas kanan. Di siang hari, kota dengan jumlah penduduk puluhan juta ini terasa lengang. Ternyata, kehidupan sebagian besar warga shanghai banyak dilakukan di bawah tanah. Mereka mirip kura-kura ninja.

Sama halnya dengan orang Jepang dan Korea, negara-negara Asia Timur bangga dengan bahasa nasionalnya. Kebanggan itu juga yang membuat gue kewalahan saat menanyakan menu makanan yang halal.

20140424_193001Wifi sangat sulit dijangkau. Bahkan hotel 150 ribu yang gue tempati di Belitung menyediakan akses wifi 24 jam sementara di Cina para tamu masih harus membayar akses internet gratis saat menginap di hotel berbintang. Beberapa jejaring sosial juga diblokir. Google pun tidak bisa berkutik karena negara padat ini lebih percaya diri menggunakan mesin pencari lokal “baidu”.

Dengan jumlah penduduk yang hampir 2 milyar, Cina berhasil meyakinkan rakyatnya untuk menggunakan produk dalam negeri.

Hari terakhir di Shanghai dihabiskan dengan berbelanja di pasar yang mirip dengan tanah abang. Pedagang di pasar ini bisa berkomunikasi dengan bahasa inggris umum. Jangan coba-coba menawar terlalu murah atau batal membeli setelah melakukan tawar menawar karena mereka akan mengomel dan ‘menghina’ kalian dengan bahasa inggris berdialek mandarin. Pasar ini menjual semua produk KW. Persis dengan anekdot “Tuhan menciptakan dunia dalam 7 hari. Di hari keenam, Ia istirahat dan kemudian membuat orang cina. Sisanya, orang Cina yang menyelesaikan”.

Akhirnya, kesimpulan gue adalah Cina sekilas bukan tempat yang ‘wah’ untuk dikunjungi. Tidak termasuk negara yang unik dan spesial. Jika ada kesempatan lagi untuk pergi ke Cina, gue lebih baik tidak turut serta.

*Gambar Tong Samcong dkk dari sini
*
Gambar shanghai dari sini

Pendakian Gunung Prau, 2565 MDPL

Desember 5, 2013 § 5 Komentar

“Perjalanan ini terasa biasa, tidak semegah yang dulu pernah kuraih dengan peluh merekah. Tapi keberadaan kalian yang membuat ia berbeda”.

Punggung ini terasa berat. Lebih dari biasanya. Beberapa pasang pakaian serta perlengkapan mendaki telah memenuhi tas gunung yang bertengger manis di pundak gue. Memang, pengalaman seharusnya mengajarkan kepada kearifan. Mendaki gunung bukan sekedar aksi pamer kegagahan membawa keril, bergema hebat mengaku backpacker atau pencinta alam. Ia adalah nafas dari kepatutan untuk lebih mendekatkan diri, menyaksikan kedahsyatan sang khalik di saat gemerlap kota sudah kehilangan hakikat kesyahduannya, ditutupi oleh deru mesin dan gedung-gedung yang mencoba meraih langit.

Gue mengayuh langkah ini lebih cepat demi menggapai bus yang hendak membawa kami menuju Terminal Wonosobo. Ya, kami terlambat. Kami terpaksa memperlambat diri untuk meninggalkan Jakarta karena beberapa peserta pendakian bertaruh dengan waktu keberangkatan. Mungkin mereka terbiasa dengan gol-gol saat injury time hingga menjadikannya sebagai metafora.

“Satu orang tertinggal” teriak Sandra.

Kami pun berada di persimpangan. Menanti ia yang tak kunjung datang dengan resiko menerima ocehan para penumpang bus lainnya atau meninggalkan teman yang mungkin melabeli kami dengan cap mengubur solidaritas. Ah, life is simple. You make a choice and don’t look back. Begitu Han berujar dalam Fast Furious.

Ok, semua mufakat untuk tidak menunggu lebih lama. Ia yang tertinggal, semoga masih bisa memanfaatkan kendaraan lain. IMG-20131117-WA0030[1]

Perjalanan dengan bus bukanlah sebuah pilihan bijak. Ia harus bersaing dengan kendaraan besi lain demi melalui jalan beraspal. Beradu deru dengan bus-bus sejenis yang tak mau kalah dalam laju. Mereka terinspirasi film adu kebut di bioskop yang mereka tonton. Namun, durasi yang mengekang ternyata menghadirkan ruang untuk membangun keakraban yang mungkin berakhir pada sebuah peradaban. Siapa tahu?

“Wawam, dia sangat mengerti sejarah. Memahami seluk beluk sejarah Indonesia. Bercerita Negara kertagama seolah ia adalah pelakunya”. Achmad berseloroh memecah kebekuan malam. “Salah seorang dari grup yang akan berjalan malam ini adalah pencinta sejarah Indonesia. Ia salah satu partisipan kenduri cinta-nya Emha Ainun Nadjib”. Achmad menambahkan dengan bersemangat.

Namanya Wawam. Pria jangkung asli Tegal ini bisa bercerita sejarah dari A-Z. Dari asal muasal peradaban hingga perjuangan kemerdekaan. Entah batere apa yang wawam gunakan. Saat berkisah tentang sejarah, matanya berapi-api, lidahnya menjulur sambil berliur. Dia begitu semangat jika membahas hal berbau sejarah. Wawam bisa bercerita tentang sejarah Jaka Tingkir, Ki Santang, hingga Kera Sakti. MNC seharusnya merekrut wawam sebagai tim penasihat.

Rombongan kami terpisah menjadi 4 kelompok keberangkatan. Gue dan sekitar 10 orang lain memilih bus. 1 orang yang tertinggal juga akihrnya menggunakan bus sejenis dengan jam keberangkatan berselisih beberapa menit dari bus yang kami tumpangi -sialnya dia tiba lebih dulu-, mereka yang memilih kereta dari bekasi-Jakarta dan seorang yang naik bus dari Bandung. Total rombongan kami adalah kurang-lebih 16 orang.

Jam 8 pagi. Setelah lebih dari 12 jam perjalanan dan kenyang oleh kuliah sejarah, rombongan kami tiba di Terminal Wonosobo. Tujuan kami adalah mendapatkan puncak Gunung Prau yang berlokasi di sekitar Dieng, Jawa Tengah.

IMG-20131119-WA0011[1]

Pemandangan di sekitar dieng sungguh khidmat. Ketenangan, keramahan dibalut dengan suasana sejuk dari daerah yang terletak di dataran tinggi menjadikan ia sebagai pesona lain dari keelokan negeri Indonesia. Sebelum melangkah mendaki Gunung Prau, rombongan kami terlebih dahulu menikmati makanan khas dieng. Mereka menyebutnya “Mie Ongklok”, Sejenis mie ayam namun dengan kuah yang lebih kental (sepertinya terbuat dari campuran terigu/sagu). Nikmatnya menyantap mie ongklok dengan hamparan hijaunya sawah dan dinginnya iklim Dieng.

Selesai mencicipi mie ongklok, perjalanan kami dibuka dengan mengeksplorasi wisata alam di kawah sikidang dan Candi Arjuna. Kawah Sikidang berada di kaki gunung prau. Ia berupa kawah belerang dengan ukuran mini dengan diameter sekitar 5-6 meter.

Ada yang tak bisa hilang dari kenangan, itu adalah rasa. Untuk mampu membangkitkan rasa yang tersimpan dalam fragmen memori, kita memerlukan gambar, suara, dan aroma. Karenanya, banyak orang yang memilih mengabadikan setiap peristiwa dalam jepretan kamera. Hal serupa yang kami lakukan di kawah sikidang. Yaelah, Mau narsis aja ribet banget pake penjelasan segala.

IMG-20131119-WA0006[1]

DSCN1016[1]

Puas menciumi bau belerang yang diiringi perkusi khas jawa, perjalanan kami lanjutkan menuju Kompleks Percandian Arjuna yang lokasinya tak berjauhan. Dari namanya kita bisa menebak bahwa candi ini adalah peninggalan Bangsa Hindu. Weits… ilmu sejarah Wawam sedikit banyak tersimpan dalam subliminal otak gue.

Kompleks percandian arjuna terdiri dari beberapa candi seperti Candi Arjuna, Candi Semar, Candi Srikandi dan lainnya. Candi tersebut tidaklah semegah Borobudur atau menyejarah seperti Prambanan namun tetap saja setiap candi berkisah tentang legenda yang tertuang pada relief di permukaannya.

Lalu tiba-tiba Wawam bercerita tentang kisah salah satu relief pada candi srikandi. Relief tersebut adalah penampakan dari Dewi Srikandi itu sendiri. “Dewi Srikandi adalah salah seorang Dewi yang termuat dalam kisah Mahabarata. Ia adalah istrinya Arjuna”. Kami pun hanya bisa mengangguk-anggukkan kepala, ekspresi menyetujui apa yang dijelaskan Wawam.

IMG-20131119-WA0020[1]

Puas bermain-main di seputaran Candi, kami pun memulai pendakian Gunung Prau. Gunung dengan ketinggian 2565 MDPL ini mungkin tidak terlalu tinggi dan rumit bagi para penikmat tantangan, namun kita tetap bisa menikmati setiap tapak yang dilalui.

Tidak sampai tiga jam pendakian, kami sudah tiba di pos perhentian terakhir. Kami membangun lima tenda di balik bukit. Berjalan sedikit ke atas, Prau menyajikan pemandangan kota yang ditutupi oleh awan. Perpaduan antara hijaunya desa dan putihnya mega bersimbiosis menyajikan penggalan kecil surga.

Suhu di sekitaran tenda semakin dingin. Penunjuk suhu yang terintegrasi dengan kompas menunjukkan angka 10ºC. Selesai makan malam dan solat berjamaah, para photo-hunter memilih untuk memenuhi memori kamera mereka dengan pemandangan kota di malam hari. Sebagian lain memilih untuk bercengkrama di dalam tenda sambil menghangatkan diri dan ada yang mencoba mengamati langit, memandang bintang yang berkilau nun jauh di entah galaksi mana. Gue pun terngiang tentang sahabat yang berkisah bahwa cahaya bintang yang kita liat sekarang adalah hasil perjalanan ia ribuan bahkan jutaan tahun yang lalu.

“Bintangnya indah, bertakhta di pucuk mega” ujarmu saat itu. “betapapun luas lautan membentang. Daratan yang memisahkan. Namun bintang yang kita pandang tetaplah sama. Ia tak berorientasi pada posisi”. Memori gue tersentil oleh ucapanmu.

Lalu kali ini kita mengulang diskusi serupa.

“kamu lihat bintang disana?”. Gue bertanya
“iya, memangnya kenapa?” kau mencoba menjawab dengan datar
“Kamu tahu, bintang itu sama seperti kita. Ia lahir dari energi fusi. Dan ia juga bisa mati”
“Oh benarkah?” kau bertanya dengan penuh keraguan
“iya simi, masa kamu ga percaya aku. Dasar simsimi”!!!!

Laju angin di lokasi kami menginap cukup kencang. Tenda-tenda kami terasa bergoyang. Akhirnya bukan mobil saja yang bisa lekat dengan terminologi “goyang”. Untungnya angin tak sampai merobohkan tenda hunian kami.

Di tengah keheningan malam, saat rerumputan saling beradu dan menghasilkan nada tak beraturan, mata gue yang telah terpejam beberapa saat kembali terbuka. Gue mendengar suara teriakan minta tolong dan napas yang terengah. Otak gue langsung berfantasi “apa iya ada kuntilanak yang sedang lomba lari malam-malam begini”.

Lambat, gue coba amati lagi suara gaduh tersebut. “Cepat bawa dia. Dia udah kedinginan”. Kira-kira seperti itu diksi yang meluncur dari kegaduhan. Ternyata salah seorang dari teman kami yang turut serta berfoto ria tengah kambuh penyakit asmanya. Awalnya dia tak dapat bernapas dengan baik, setelah ke klinik tong sam cong, ia  bisa bernafas lagi dengan sempurna. Ngaco aja lo!.

Setelah menggunakan tabung oksigen, teman kami akhirnya sehat kembali. Alhamdulillah.

Pagi hari di gunung prau ditutupi oleh kabut yang cukup tebal. Kami pun tetap keluar tenda dan berjalan beberapa ratus meter ke arah timur demi memperoleh keindahan matahari terbit. Salah satu spot untuk mengabadaikan momen-momen yang berkesan itu menjadi saksi betapa indahnya matahari muncul dari tempat ini.

20131117_051636[1]

20131117_051028[1]

Pagi bersama matahari terbit di prau pun usai. Kami sadar bahwa mentari tak pernah padam, setidaknya tidak untuk saat ini. Ia hanya berputar, berganti posisi. Dipergilirkan cahayanya ke semua penjuru bumi.

Beberapa orang pun masak untuk sarapan setibanya di tenda. Kami dimanja dengan menu sarapan oleh koki-koki handal ini. Gue ga nyangka bisa menikmati puding dari atas prau, makanan yang tidak sering gue temui dalam kehidupan sehari-hari. Kalo gini keadannya, gue pengen tinggal di gunung untuk beberapa hari lagi. Soalnya nutrisi akan jauh lebih terjamin daripada menu masakan padang-warteg-bubur ayam/pecel.

Sembari beberapa orang masak untuk sarapan, Wawam tetiba kembali berseloroh tentang sejarah. Ia memberikan kuliah di salah satu tenda. Gue lupa, berapa sks yang sudah kami peroleh. Yang jelas, bekal sejarah yang diberikan wawam sudah cukup untuk kami sampaikan pada anak cucu hingga tiga generasi ke depan. Salah satu yang paling berkesan adalah saat ia menyampaikan bahwa gunung adalah simbol ketauhidan. Ia mengerucut pada puncaknya, menggambarkan Keesaan sang Maha Pencipta.

IMG-20131117-WA0000[1]

Perlahan tapi pasti, peserta “ceramah” sejarah meninggalkan tenda. Ada yang pegang-pegang kepala, ada yang mual. Mereka berharmoni, berucap “Gue mabok sejarah”.

Seusai sarapan dan beres-beres, rombongan kami pun turun dari prau melewati jalur yang berbeda dari pendakian. Jalur turun memang lebih pendek tapi tracknya lebih susah. Beberapa titik yang kami lalui hanyalah berupa jalan setapak yang berbatasan langsung dengan jurang.

Perjalanan turun kami dilengkapi dengan hujan yang turun mesra. Untungnya, basecamp sudah dekat saat hujan berjatuhan membasahi.

Di sepanjang jalan arah menuju basecamp, banyak penjual yang menjajakan Buah Carica. Sejenis pepaya yang hanya tumbuh di dataran tinggi Dieng. Menurut salah seorang penduduk sekitar, Buah Carica berasal dari biji Buah Pepaya yang tumbuh dengan kondisi tanah, temperatur dan kelembaban Dieng. Setibanya di basecamp, kami menyaksikan pertunjukan kuda lumping di alun-alun kepala desa.

Rentetan perjalanan mendaki Gunung Prau dan kawasan wisata lainnya berakhir ditandai dengan kedatangan bus yang akan membawa kami menuju Stasiun Purwokerto. Sebuah perjalanan yang seru. Karena hikmah bertafakur kepada alam adalah makna hakiki dari suatu perjalanan. Berkenalan dengan orang-orang baru, menambah wawasan sejarah adalah manfaat terpisah yang dapat memperkaya keilmuan.

Terimakasih teman untuk mentari terbit di atas Gunung Prau. Terimakasih atas pengalaman yang berharga dari atas Gunung Prau, 2565  MDPL.

Perjalanan ke Merbabu (1st Summit)

Agustus 28, 2013 § 5 Komentar

Pendakian gunung merbabu berawal dari ide temen-temen rombongan yang doyan ngetrip. Kami menamakan diri sebagai “Galang” alias “Gila bertualang”. Sering juga terpeleset menjadi “Galau bertualang” karena topik pembahasan di seputar grup whatsapp tidak jauh berkisar antara perasaan, galau karena beda prinsip dan seterusnya.

Suatu ketika salah seorang penghuni grup tersebut posting foto pendakian merbabunya. Gue sontak saja tertarik melihat keindahan pemandangan yang ia sajikan. Menggambarkan pendakian melewati awan. Gue tergugah. Pendirian gue selama ini, citra tentang pendakian gunung yang ribet runtuh seketika usai melihat poto tersebut. Oke, gue harus mendaki merbabu. Gue mengazamkan diri *pasang iket kepala*.

Sebagai peserta pendaikan gunung nubie, gue ga punya persiapan apa-apa buat mendaki merbabu. Karena persiapan mendeskripsikan keseriusan. Gedung belom disewa, catering belom ditelepon, undangan belom dicetak, bahkan calon pengantinnya belom ada. Persiapan gue hanyalah niat dan doa tulus. Astaga, kenapa jadi ngomongin kawinan.

Gue ga punya sepatu, ga punya matras, ga punya sleeping bag, keril dan berbagai keperluan primer seorang pendaki gunung. Walhasil, gue minjem semua barang-barang tersebut kecuali sepatu yang dengan terpaksa harus gue beli biar tidak terkesan “man without any climbing equipment”.  Hingga kini sepatu itu adalah benda termahal nominalnya yang melekat di tubuh gue. Crap, naek gunung ternyata menyita dompet. Kalo mau ditotal-total, persiapan mendasar naek gunung bisa digunain buat buka franchise solaria. Hah, lebay lo!!.

Dan the judgment day finally came. Setelah berdiskusi sengit seputar perizinan cewe-cewe yang galau antara naik atau tidak, rombongan pendakian Merbabu akhirnya berangkat dengan komposisi 12 pria, 2 wanita, dan 1 “wanita” :D.

Rombongan ini terpecah menjadi dua regu besar. Regu A kita sebut dengan regu melati cayangdh kamoohh celamanya yang berangkat dari stasiun senen. Regu B kita panggil dengan regu anggrek bulan halum celalu eaaa, berangkat dari bandung. Dari 10 orang yang berangkat dari Jakarta, 3 adalah nubie, dua wanita kelas berat, satu kenalan baru, dua orang temen kosan gue sekaligus nubie level A (sudah pernah naek gunung papandayan), dan dua orang senior pendakian yang sudah malang melintang mengenyam dunia naik turun per-gunung-an. Sementara para pendaki dari titik keberangkatan Bandung terdiri dari seorang nubie level medium, wanita perkasa dan tiga orang lagi yang belum terdeteksi jejak petualangnya.

Sebelum berangkat. Masih pada rapih :)

Sebelum berangkat. Masih pada rapih 🙂

Journey was started here

Perjalanan dimulai. Kami berangkat dari Stasiun Senen jam 21.30 malem. Dua tiket mubazir karena yang bersangkutan dilarang pergi oleh orang tua. Mereka dipaksa menikahi Datuk Maringgi.

Setelah melalui perjalanan sekitar 7-8 jam, kereta kemudian tiba di stasiun lempuyangan, Yogya sekitar jam 05.00 subuh. Usai berpelukan dan menangis haru setelah bertemu tim dari Bandung (dih lebaynya), kami mengisi perut yang keroncongan. Perjalanan dimulai dengan menaiki trans jogja menuju terminal jombor (bukan jomblo) dan dilanjutkan menuju Terminal Magelang untuk seterusnya kami memilih carter bus menuju Basecamp Wekas. Jalur pendakian kami adalah naik melalui Wekas dan turun melalui Selo.

Pendakian dimulai dari jam 13.30 WIB. Semua persiapan sudah lengkap dan tiada yang  terlewat. Dari awal, track terlihat menanjak dengan pepohonan rimbun yang masih menaungi perjalanan kami. Setelah berjalan lebih kurang 3,5 jam, rombongan kami tiba di pos 2 pukul 17.00 WIB.

Kami kemudian mendirikan tenda guna beristirahat sebelum melanjutkan perjalanan menuju puncak keesokan harinya. Sesaat sebelum tiba di pos 2, kami berpapasan dengan petugas penjaga hutan yang sedang berpatroli dan merazia tas serta barang bawaan para pendaki. Razia dikonsentrasikan pada pendaki jahil yang membawa senjata tajam dan tumbuh-tumbuhan endemik gunung, khususnya Bunga Edelweiss. Padahal jelas, ada peraturan yang menyebutkan bahwa setiap orang yang melakukan aktifitas pendakian, dilarang membawa senjata tajam dan membawa pulang tanaman yang ada di vegetasi pegunungan.

Edelweis malang

Edelweis malang

Namanya juga manusia, peraturan dibuat untuk dilanggar. Banyak sekali Edelweiss malang yang dibawa oleh para pendaki. Sayang, aktifitas pendakian tidak disertai oleh kearifan dalam melestarikan lingkungan. Para pelaku “pencurian” edelweiss mendapatkan opsi hukuman sebagai bentuk pertanggungjawaban yang harus mereka ambil.

Opsi pertama adalah mengembalikan edelweiss tersebut ke tempat dimana mereka mengambilnya. Opsi ini cukup berat mengingat jarak tempuh lokasi sweeping dan habitat edelweiss cukup jauh. Opsi kedua adalah push-up 100 kali dan opsi ketiga adalah mengembalikan ke peraturan pemerintah, dipenjara 5 tahun atau membayar 1 milyar rupiah. Wow. Kalo yang naek gunung adalah anaknya Aburizal Bakrie, atau cucunya Bill Gates, gue rasa mereka pasti memilih opsi ketiga. Kebanyakan para kriminil ini memilih opsi push-up sebagai konsekuensi tindakan mereka.

Lanjut cerita di pos 2

Di pos 2, kami mendirikan 5 tenda. 4 tenda cowo dan 1 tenda cewe. Dari jam 5 sore, hawa dinginnya mulai terasa. Menusuk menembus tulang, mengiris iris sembilu, dingin. Guna menambah tenaga, kami pun masak dengan menu bubur, nasi, kopi-susu-jahe, pasta dan apa saja yang bisa dimakan. Dengan menggunakan nesting dan kompor portable, acara masak memasak pun dimulai. Semangat gembel berbaur dengan energi pendaki. Logistik harus cukup untuk dibagi ke 15 mulut.

Orang-orang gila di pos 2

Orang-orang gila di pos 2

Semakin malam, dingin semakin mencekam. Dan salah seorang temen kami kedinginan, sebut saja namanya “mawar”. Dia menggigil, tidak mau makan, terus-terusan berteriak “mana anakku, mana anakku, kembalikan ia”. Mawar yang kondisi badannya tidak 100 persen fit mulai menunjukkan gejala kedinginan. Untungnya dia tidak hipotermia dan pingsan. Karena kami sudah menyiapkan tandu untuk melempar dia dari jurang terdekat..haha *becanda*.

Untungnya kondisi tersebut dapat diatasi dengan “membungkus” mawar menggunakan beberapa jaket, sleeping bag, dan tali jemuran.

Temen kita yang satu ini patut diapresiasi perjuangannya. Dari awal dia sudah mengikrarkan diri akan melakukan pendakian dengan teknik mengesot. Tidak dalam artian sebenernya. Mengesot adalah diksi yang digunakan untuk mendefinisikan proses pendakian yang dilalui dengan berjalan menggunakan kecepatan rendah, bahasa sederhananya jalan pelan. Biar lambat asal selamat.

Bangun keesokan harinya, suasana dingin masih menyelimuti tenda kami. Sleeping bag seolah useless. Dingin yang mencapai 5 derajat tersebut hanya bisa dihangatkan oleh kasih seorang ibu *apadah*.

Selepas solat subuh, kami menyaksikan pemandangan menakjubkan dari penampakan gunung kembar Sindoro-Sumbing. Keduanya tegak membusung, melemparkan semua kesombongan, menerpa semua keangkuhan seolah berkata, “lo manusia bener-bener kecil dibandingkan gue, tapi justru lo yang berani memegang amanah sebagai khalifah di muka bumi saat gunung-gunung enggan menyanggupi”

sindoro sumbing[1]

Geliat indahnya awan yang dikangkangi oleh perkasanya gunung membuat gue hanya berdecak kagum dan tak berhenti berucap “MasyaAllah”.

Di belakang kami berdiri tegak sindoro-sumbing

Di belakang kami berdiri tegak sindoro-sumbing

Euforia keindahan Sindoro Sumbing harus kami akhiri. Setelah menyantap makan pagi seadanya, kami pun bersiap menuju puncak Merbabu. Dari pos 2 menuju puncak, para pendaki tidak akan menemui mata air. Artinya apa? Artinya kami harus mengatur persediaan air. Setiap pendaki laki harus membawa minimal 3 L air yang diambil dari bak penampungan di pos 2 Wekas. Dan perjalanan pun dilanjutkan.

Rute dari pos 2 menuju puncak tetap dengan kondisi menanjak. Akan tetapi track-nya lebih berdebu. Mawar yang sempet kedinginan, kini sudah sehat kembali setelah minum contrexin. Kan ada lagunya, contrexin contrexin bila si kecil panaaaas. Sejujurnya kami tidak disponsori oleh produk ini. Barang bawaan cewe-cewe dibawa oleh para lelaki kecuali barang milik wanita tangguh yang berangkat dari Bandung.

Salah seorang senior dengan gagahnya membawa dua buah tas. Tas dia sendiri yang beratnya mirip tas Rambo saat perang Vietnam ditambah tas Mawar yang lebih mirip lemari makanan yang ada di indomaret atau alfamart. Kantong ajaib doraemon versi kuliner. Beratnya dua tas tersebut harus dibawa guna menyusuri track yang lumayan sulit.

Setelah berjalan beberapa jam, kami tiba di jembatan setan. Track pendakian yang cukup “spooky” karena menanjak sehingga “setan” disematkan untuk penamaannya. Sampe di jembatan setan, track semakin menanjak. Sebenernya kalo meliat kondisi track, gue pesimis semua anggota rombongan dapat menyentuh puncak Merbabu. Ternyata kegigihan mengalahkan segalanya. Dengan bersusah payah, dengan kerjasama, dengan butir pancasila, akhirnya titik 3145 MDPL a.k.a puncak merbabu berhasil kami jamah. Dan mawar menjadi orang pertama dari rombongan kami yang mendapat kehormatan untuk tiba di puncak.

We reach Merbabu

We reach Merbabu

We Love you, Indonesia

We Love you, Indonesia

Rasa haru mulai terasa ketika kami melihat sangsaka merah putih berkibar dengan perkasa. Tak pelak, mata berkaca ketika jiwa tersentuh oleh rasa. Ada yang menangis karena tersentilnya memori nasionalisme yang selama ini mungkin terkubur, ada juga yang menangis karena melihat betapa gigihnya perjuangan menaiki merbabu, dan tidak sedikit yang foto-foto.

Total perjalanan yang kami tempuh dari pos 2 hingga puncak sekitar 8 jam. Momen solat di puncak merbabu menjadi sebuah peristiwa yang menurut gue sungguh syahdu. Bukankah dulu Musa juga menaiki gunung guna bertanya siapa tuhannya?. Dan juga Abdul Muthalib muda, mendaki tempat tertinggi sambil berdoa demi keselamatan ka’bah dari serangan Abrahah. Mungkin apa yang kami lakukan adalah refleksi dari pemuda bernama Musa dan Abdul Muthalib yang berulang kali mempertanyakan tentang makna tauhid.

Turun Melalui Jalur Selo

Dengan perhitungan perjalanan turun melalui jalur Selo lebih cepat dan sulitnya mendirikan tenda di puncak ditambah dinginnya cuaca yang kemungkinan besar mempengaruhi kondisi fisik, maka kami sepakat untuk langsung turun sore itu juga.

Asumsi kami, jalur Selo adalah jalur yang mudah dilalui. Dengan savanna di kanan dan kiri, track yang landai, pemandangan yang indah. Dan ternyata, it’s a doom. Variabel variabel yang ada dalam imaji, runtuh semua saat kami melalui jalur selo. Arghh, who said that selo is much more easily to pass?

Pos 1 Selo (Dok Malang)

Pos 1 Selo (Dok Malang)

Pada beberapa titik, jalur Selo sungguh curam. Kondisi fisik yang lelah, perut yang kelaparan (belum makan sejak sarapan terakhir), emosi ditambah dengan angin gunung yang membuat personel pendakian kesulitan untuk melalui jalur tersebut. Target malem itu adalah tiba di basecamp Selo atau membuat tenda di salah satu dari dua pos yang ada.

Indahnya savanna tidak bisa kami saksikan karena ditutupi oleh gelapnya malam. Akhirnya setelah melalui perjalanan panjang hingga harus membuka rute baru, tibalah kami di pos 2 selo sekitar pukul 11.30 malam. Could you imagine, guys. We keep walking consecutively 9 to 5, and 6 to 11. More than 12 days hours. What a great journey!!.

Tenda langsung dibangun, tiga tenda saja, mengingat lokasi yang cukup sempit. Karena perut sudah keroncongan, acara masak-masak kembali digelar, kali ini mengundang chef Arnold dan Marinka. Menu makan malam adalah apa yang bisa dimasak. Kentang instan, super bubur (toett, iklan lagi), mie, kopi, susu de el el. Setelah perut kenyang, semua tertidur di tendanya masing-masing.

Pagi-pagi gue terbangun, masih dengan kondisi badan yang remuk serasa habis diinjek badak betina yang lagi PMS. Gue terbangun gegara ada bunyi orang masak. Yang ada dalam bayangan gue adalah penyihir yang sedang merebus air di gentong gede dan akan menjadikan mawar kami sebagai bahan masakan. Saat gue buka tenda, ternyata salah seorang senior tengah merebus air. Setelah semua bangun, acara makan besar pun mulai dilakukan. Tidak seperti biasanya, makan pagi terakhir kami di merbabu benar-benar mewah. Semua persiapan logistik digunakan sebagai menu sarapan,  mulai dari mie goreng, nasi putih, kornet, sosis yang kemudian diletakkan di atas kresek hitam bekas daur ulang polipropilena. Damn, we should eat on freaking recycle plastic waste.

Oh makan pagi yang sungguh nikmat.

Lepas dari pos 2 kami pun bersiap untuk menuju basecamp Selo yang letaknya sekitar 2-3 jam perjalanan. Pukul 12.30 semua rombongan akhirnya tiba di basecamp Selo. Setelah bersih bersih dan makan siang, kami pun bersiap kembali menuju kota kesemrawutan, Jakarta.

Muka-muka lelah @Basecamp Selo

Muka-muka lelah @Basecamp Selo

Perjalanan pertama gue mendaki puncak gunung penuh dengan drama. Rumitnya track menjadi sarana untuk saling memahami saling mengerti saling mengisi kekurangan setiap personel rombongan. Benar adanya, pendakian gunung adalah salah satu langkah terbaik untuk mengetahui karakter seseorang. Karena dalam kondisi serba minus, wajah manusia akan terlihat yang sebenarnya. Tiada topeng kebohongan yang mungkin selama ini dikenakan.

Mengutip ucapan senior “bukan berapa banyak puncak yang berhasil dicapai, tapi seberapa banyak ilmu dan sahabat yang diperoleh”. Sederhana tapi mampu menggetarkan hati

Om wid[1]

Demikianlah petualangan first summit gue, semoga dapat menjadi inspirasi dan ilmu buat semua. Karena apa yang terucap akan menghilang, apa yang tertulis akan mengabadi.

Where Am I?

You are currently browsing the Journey category at I Think, I Read, I Write.

%d blogger menyukai ini: