Menua Bersamamu

April 12, 2017 § 2 Komentar

Ilustrasi: Pinterest

Wow…

Judulnya terasa begitu melankolis. Terkesan mendawamkan dan mengelu-elukan romantisme. Menua bersamamu selalu dikonotasikan sebagai sebuah frasa yang menggambarkan keutuhan rasa cinta. Membayangkan hidup bersama hingga tua bersama pasangan diiringi dentang musik ‘grow old with you’ Adam Sandler. Atau terbayang-bayang cuplikan Carl-Ellie yang begitu manis dalam film Up. Topik cinta-cintaan selalu laku untuk menjadi komoditi, bahan diskusi hingga perdebatan.

Tapi, tulisan ini tidaklah bernarasi tentang ke-menye-menyean demikian.

Menua bersamamu adalah makna denotatif yang dijalani oleh masyarakat di kota-kota besar. Ia berwujud dalam durasi waktu yang dihabiskan saat bermacet ria di jalan. Gue terinspirasi menulis kisah ini berdasarkan lima tahun lebih ‘nguli’ di Jakarta. Ya, meski tidak sampai semiris Armada yang rela pergi pagi pulang pagi. Bekerja di Jakarta dan kota besar lainnya membutuhkan mental dan fisik yang prima untuk bertarung dengan peluh dan penatnya kemacetan lalu lintas dan pengendara yang beringasnya lebih daripada ibu tiri.

Kemacetan adalah monster yang harus dihadapi sehari-hari. Kemacetan yang sangat parah berhasil memakan waktu hidup produktif seseorang hingga dua jam setiap harinya. Menurut data Castrol yang dirilis tahun 2015, Jakarta merupakan kota dengan tingkat kemacetan terburuk di dunia dengan indikator berupa jumlah injakan rem yang mencapai angka 33.240 kali dalam setahun mengungguli Turki, Meksiko, dan Surabaya. Dua kota besar di Indonesia masuk 5 besar kota termacet se-dunia versi Castrol. Keren!.

Belum lagi ditambah data oleh Numbeo yang menyebutkan bahwa berdasarkan traffic index, Indonesia berada di peringkat ketiga pada tahun 2017 di bawah Mesir dan Iran sebagai negara paling macet se-dunia. Jika melihat beberapa situs serupa, Indonesia acapkali menempati peringkat lima besar dalam urusan kemacetan.

Namun, bermacet ria bukanlah pilihan seperti daging atau lengkuas dalam menu lebaran. Ia adalah kepastian bagi sebagian penduduk kota besar. Lebih spesifik lagi Jakarta dalam ruang lingkup yang lebih kecil.

Jakarta sebagai sentra ekonomi menjadi magnet bagi para pencari kerja. Sebagai konsekuensi, pada umumnya nilai bangunan pasti akan mengalami kenaikan ter-ekstrapolasi. Maka area pinggiran adalah solusi paling tepat. Bak cawan cendawan di musim hujan, industri properti mulai dari Depok, Bogor, Tangerang, Bekasi dsb tumbuh subur. Dan efeknya adalah lokasi rumah berjauhan dengan tempat kerja mengharuskan masyarakat menua bersama kemacetan di jalan.

Belum lagi ditambah dengan jenis-jenis pekerjaan yang mengharuskan seseorang harus lebih mengakrabi kemacetan ibu kota di luar jam pulang-pergi tempat tinggal-kantor. Misalnya saja pekerjaan sebagai kurir atau supir taksi online. Atau bisa juga semisal gue yg harus menempuh jarak 32 km PP kantor-kontrakan. Ditambah resiko pekerjaan yang mengharuskan gue mengunjungi daerah se-JaBoDeTaBek hampir setiap hari sehingga gue bener-bener menua bersama jalanan ibu kota. Frasa ‘tua di jalan’ adalah kondisi mutlak yg tak bisa dielakkan.

Kondisi ini, buat gue pribadi, masih bertambah-tambah dengan keharusan menembus tol dalem kota kemudian lanjut ke Bekasi, Cikarang dan seterusnya hingga berujung di Bandung. Macetnya rute yang harus gue tempuh menghabiskan hampir 1/6 hari gue sekurang-kurangnya setiap Jumat dan Minggu setiap pekannya.

Gue mengamati bahwa jarak tempuh perjalanan dari dan ke Jakarta dan area satelitnya semakin hari semakin panjang. Jadi 24 jam sehari yang Tuhan kasih, kalo dirata-rata, seperempatnya gue habiskan di jalan. Kalo misalkan umur gue panjang dan sampe 60 tahun berarti 15 tahun terbuang menguap bersama bensin, debu dan sumpah serapah di jalan. Oh Tuhan, gue bener-bener menua bersama kemacetan ini. Kalo aja macet ini hidup dan berkelamin wanita, udah gue lamar deh.

Jika ditinjau dari perspektif lain, isu kemacetan beririsan dengan agenda politis. Terdapat banyak kepentingan dalam unsur kerumitan negara bernama kemacetan. Misalnya saja ada permainan industri kendaraan bermotor yang terus menjadikan Indonesia sebagai pasar produktif, atau bagi para megalomaniak, mereka menjadikan macet sebagai isu yang digoreng selama masa kampanye kepala pemerintahan. Dan kita sebagai warga tak berdosa yang lugu harus terjebak dalam kerumitan ini.

Pada akhirnya kemacetan ini harus dijalani. Suka atau tidak suka. Rela atau tidak rela. Tinggal bagaimana kita menyikapi segala bentuk kemacetan ini dengan cara-cara yang lebih produktif. Sehingga kita bisa menua dengan cara-cara yang lebih elegan ketimbang harus menegangkan urat dan mengendurkan kerut mata akibat umpatan selama kemacetan. Sambil sesekali mengenang kembali kata-kata Seno Gumira Aji Dharma

“Alangkah mengerikannya menjadi tua dengan kenangan masa muda yang hanya berisi kemacetan jalan, ketakutan datang terlambat ke kantor, tugas-tugas  rutin yang tidak menggugah semangat, dan kehidupan seperti mesin, yang hanya akan berakhir dengan pension tidak seberapa”.

Ketimbang harus menua bersama kemacetan, aku lebih memilih menua bersamamu, yang.

 

Iklan

Tagged: , , , ,

§ 2 Responses to Menua Bersamamu

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

What’s this?

You are currently reading Menua Bersamamu at I Think, I Read, I Write.

meta

%d blogger menyukai ini: