Media Sosial dan Kemuakan yang Membabi Buta

November 4, 2016 § 1 Komentar

Sejujurnya saya sudah muak dengan segala bentuk peperangan di jagat media sosial. Kanal yang seharusnya menjadi tempat berinteraksi secara positif berubah menjadi arena gontok-gontokan maha dahsyat.

Gue memutuskan berhenti berkelindan di linimasa twitter disebabkan perang kata-kata yang tak urung habisnya. Para cendekia, alim ulama, intelektual saling beradu debat. Kedaan semakin runyam manakala si miskin ilmu turut meramaikan dengan cacian dan bentuk-bentuk serangan verbal yang banal. Tidak ada yang salah dengan perdebatan dan adu argumen. Namun manakala setiap saat kita mengakses halaman media bersangkutan isinya tidak lebih dari unjuk ego dan kepongahan maka yang tersisa hanyalah kemuakan membabi-buta.

Dua tahun lalu gue men-talak tiga twitter. Tanpa sepatah kata pun gue sampaikan pada Jack Dorsey dan kolega. Andai bisa, gue berharap para pendebat maniak itu dikurung di penjara virtual dan bertarung sampai mati layaknya para gladiator bertaruh nyawa di Colosseum.

Gue enggan membahas Path. Path tidak begitu layak untuk dinarasikan lebih lanjut karena konfigurasi di dalamnya hanya lah tentang orang-orang kesepian yang kehabisan akal untuk menghayati makanan yang mereka punya, musik yang ingin mereka dengar, dan tempat yang mereka kunjungi.

Maka Facebook yang mulanya tempat berbagi interaksi sosial kini berevolusi menjadi wahana gesek-gesekan. Apa saja sepertinya layak diperdebatkan. Lebih-lebih menyangkut sensitifas terkait ras, agama, juga kontestasi politik. Entah kenapa keramah-tamahan bangsa yang gemah ripah loh jinawi ini lenyap setiap saat mereka login di akun facebook masing-masing.

Kegundahan gue semakin menjadi-jadi seiring dengan seteru pernyataan Ahok yang didakwa menghina Al-Quran. Mungkin sudah ratusan argumen serta wacana pro-kontra yang mengiringinya. Yang bikin gue semakin menggeram adalah semakin liarnya isu ini. Tautan-tautan di facebook dibagikan dengan meruah. Yang mendukung, yang mencaci, yang menolak. Semua tumplak, blas. Jadi satu. Belum lagi kolom komentar yang tidak kalah mendidih. Mungkin saat kita bersilat kata, Mark sedang tertawa terbahak-bahak menyaksikan bagaimana tolol-nya manusia-manusia penggiat media sosial yang terus berseteru.

Gue pada posisi mendukung penuh proses hukum untuk Ahok. Tapi subjektifitas ini tidak lantas harus di-tuhankan hingga menghilangkan akal sehat. Tahan sejenak nafsu hewani untuk menghabisi. Bersantai lah dengan sesaat dengan tautan-tautan lucu. Jika dan hanya jika facebook ini berisi racauan kalian yang  ‘berperang’ seenak jidat. Ada baiknya kalian membuat media sosial baru.

Gue menggaris-bawahi rekan-rekan facebook yang acapkali membagikan berita hoax, ngaco, dan tautan-tautan keilmuan yang entah seperti apa matan dan sanadnya. Dari cara mereka menarasikan argumen atau konten yang terbagi, gue percaya mereka bukan orang yang mengakrabi buku dalam keseharian.

Sekarang gue juga pengen berpendapat di media sosial untuk mengimbangi wacana-wacana yang berseliweran. Perihal penistaan agama sudah dengan apik dibahas oleh Ustad Hamid Fahmi Zarkasyi dalam bukunya, Misykat. Ia berujar bahwa di dunia barat, penghinaan agama disematkan dengan istilah ‘Blasphemy’. Barat sangat menghargai kebebasan berpendapat. Semua orang boleh mengatakan apa-pun. Termasuk menghina agama lain. Tidak boleh ada hukuman atas kebebasan berdemokrasi.

Lanjut beliau, kalau menyerahkan penyelesaian urusan blasphemy  ke masyarakat, akan mengakibat chaos atau kegaduhan. Benar saja. Banyak kasus penistaan yang berakhir dengan tidak baik jika menjadikan masyarakat sipil sebagai hakim. Theo Van Gogh dibunuh oleh Muhammad Bouyeri, penembakan di Charlie Hebdo, hingga dakwaan mati oleh Khomenei pada Salman Rushdie yang membuat Satanic Verses.

Seharusnya pemerintah bergerak aktif untuk menyudahi polemik penistaan agama ini. Di Bangladesh, Taslima Nasrin difatwa mati karena menyatakan Al-Quran harus direvisi seluruhnya. Juga Ghulam Ahmad yang dihukum mati karena menghina Nabi Muhammad.

Urusan agama sudah melekat mendarah daging bagi masyarakat Indonesia. Mereka yang paling blangsak pun dapat tergerak hatinya membela jika agama mereka terhina. Itu Ghiroh namanya. Ujar Buya Hamka. Maka sebelum isu ini dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab yang jelas akan mengganggu stabilitas negara, sebaiknya proses hukum segera dilaksanakan.

Sebenernya gue ogah merespon pembahasan-pembahasan jamak yang beredar. Tulisan ini juga didedikasikan atas kekesalan gue melihat ragam informasi monokrom yang menghiasi laman facebook. Ada kalanya facebook pengen gue deaktifasi. Hanya saja masih ada satu, dua informasi penting yang tidak bisa gue lewatkan sekonyong-konyong.

Jika sudah begini gue harus lebih banyak menelan ludah dan menghela napas lebih dalam setiap saat mengakses facebook. Semoga facebook dan media sosial lainnya bisa jauh lebih aman, damai seperti sebelum negara api menyerang.

Tabik!.

Iklan

Tagged: , , , , , , ,

§ One Response to Media Sosial dan Kemuakan yang Membabi Buta

  • Kusuma berkata:

    memang rasanya sudah bosan melihat perseteruan2 yg terjadi di media sosial. karena masyarakat bisa secara bebas memiliki akun media sosial tanpa memandang status dan pendidikan. namun walaupun dg pendidikan tinggi masih saja termakan emosi di medsos. ya sekarang harus pintar2 dalam memahami isi dari media lakukan cek dan recek sebelum berkomentar dan membagikan tautan. terimakasih buat postingannya

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

What’s this?

You are currently reading Media Sosial dan Kemuakan yang Membabi Buta at I Think, I Read, I Write.

meta

%d blogger menyukai ini: