#32 Zeniferd Simangunsong
Oktober 20, 2016 § Tinggalkan komentar
Nyaris. Gue nyaris luput buat mengejar cita-cita menuliskan satu per satu kisah temen SMA gue yang melanjutkan jenjang kehidupannya ke arena pernikahan. Terakhir tema ini gue tulis di Bulan Februari saat membahas pernikahan Idries. Pernikahan temen kelas gue yang ke-31.
Melihat tren yang ada, masa emas pernikahan untuk generasi gue adalah di sekitar usia 23 hinggga 27 tahun. Mediannya adalah 24 atau 25. Di atas rentang tersebut, banyak yang sudah mulai panik. Lebih-lebih kaum hawa. Semisal Ultraman, lampu yang ada di dada mereka sudah kedap-kedip dengan bunyi yang kita sudah hapal bersama. Pada periode yang cukup kritis ini, laju pertambahan rekanan yang menikah menukik dengan sangat tajam. Jika di usia ‘emas’ jumlah kondangan yang bisa kita hadiri bisa mencapai 6-10 kali maka pada periode tersebut menurun hingga 1 atau dua sahaja setiap tahunnya.
Di tahun 2016 baru ada dua orang temen kelas gue yang menikah. Termasuk yang akan gue ulas. Sementara pada periode yang sama di tahun sebelumnya lebih kurang ada 10 orang.
Tapi tidak ada kata terlambat dalam menikah. Juga tidak perlu panik jika memang jodoh belum datang menghampiri. Karena hanya dua jenis terlambat yang harus diwaspadai. Yang pertama adalah terlambat masuk saat dosen killer tengah mengajar. Dan yang kedua adalah terlambat datang bulan bagi ABG-ABG yang belum menikah karena mereka akan sibuk meraung-raung menangis meminta pertanggung jawaban. Kasihani Hayati, bang.
*****
Temen yang akan gue ceritain selanjutnya adalah Zeniferd Simangunsong. Dari namanya kita bisa menebak dari mana Zeniferd berasal. Dia asli batak. Hanya ada tiga orang keturunan batak yang ada di kelas gue dulu. Satu orang pria dan dua orang wanita. Tapi tidak ada satu orang pun dari mereka yang berbicara dengan keras seperti orang batak yang sering kita saksikan di TV juga di terminal.
Di setiap kelas, kalian pasti bisa menemukan siswa-siswi yang beragam. Si kutu buku, drama queen, temen yang nyaman untuk bersandar (gendut maksudnya), dan korban pembulian. Zeniferd termasuk yang terakhir. Bentuk-bentuk pembulian yang sering ia terima berupa ‘pujian’ secara verbal menyangkut warna kulit dan bobot badan. Tapi pada saat itu kami sudah sangat terbiasa untuk ‘menghina’ satu sama lain dengan panggilan-panggilan yang tidak lazim. Seolah-olah ekspresi pertemanan kami disampaikan dengan cara demikian. Meskipun kadang marah dan kesal tapi tidak satu pun dari kami datang ke komisi HAM atau amnesti internasional dengan delik aduan berupa penghinaan yang berujung pada sakit hati menahun. *Peluk temen gue satu-satu*
Buli yang kami lakukan adalah semacam buli positif. Karena kami yakin bahwa Zeniferd akan menjadi manusia yang lebih baik hanya dengan cara demikian. Coba saja dengarkan bagaimana Tulus mengapresiasi ejekan teman-temannya yang memanggilnya ‘Gajah’ sebagai sebuah bentuk motivasi. Nah kira-kira seperti itulah situasi yang hadir antara Zeniferd dan para pembuli. Hahaha.. Gue bohong.
Kalo ada makhluk yang doanya paling makbul, mungkin Zeniferd adalah salah satunya. Dia teramat sangat sering dizalimi. Dan seperti yang kita ketahui bahwa doa orang terzalimi itu makbul. Lebih makbul daripada sedekah lima ribu terus ngarep diganti 5 juta. Itu transaksi sama tuhan atau ngepet ya.
Dulu, di masa kami menempuh pendidikan SMA, asap hutan yang dibakar secara semena-mena juga tak pernah mencapai Palembang. Itu pun gue rasa disebabkan oleh doa Zeniferd yang teraniaya. Dan kini gue menyesal mengapa dulu tidak pernah menitip doa.
Zeniferd pernah dianggap menjadi anak kesayangan salah seorang guru biologi. Ibu ini biar pun dikenal cukup galak namun bisa menjadi sangat ramah jika bertemu dengan Zeniferd. Karenanya saban hari doi kerap di-ceng-ceng-in oleh gue dan yang lain. Kebetulan saat itu guru biologi tersebut diketahui belum menikah. Ah, andai saja saat itu gayung bersambut, gue yakin nilai biologi kami tidak ada yang jeblok. Kami pun tidak masalah jika salah seorang dikorbankan asal tidak ada nilai 5 untuk mata pelajaran biologi. Haha…
Lepas SMA, Zeni melanjutkan studi ke Bogor. Gue tidak begitu ingat jurusan apa yang ia tempuh. Yang jelas sejak lulus SMA kami sudah jarang bertatap muka. Hanya sesekali saja. Untungnya media sosial bisa memberitahu semuanya. Siapa yang butuh kaca ajaib atau kerang ajaib jika google dan facebook bisa diakses dengan modal internet ceban.
Foto-foto di Facebook menunjukkan bahwa Zeniferd sudah jauh berbeda daripada sejak terakhir kami bertemu. Ia nampak lebih putih dan tidak lagi se-kurus dulu. Gue penasaran sabun pemutih apa yang ia gunakan. Selain itu, gue juga baru sadar bahwa ia tidak menggunakan nama ‘Zeniferd’ di Facebook-nya melainkan ‘Zeny’ dengan tetap mempertahankan marga. Saya pun tidak paham apa yang melatarbelakangi. Mungkin ‘Zeniferd’ terlalu panjang sehingga perlu diringkas. Semacam Ayu Rosmalina yang mengganti nama menjadi Ayu Ting-Ting.
Pada akhirnya, Zeniferd harus berterima kasih pada gue dan yang lainnya. ‘Buli’ yang kami lakukan semasa SMA ternyata benar-benar buli positif. Buktinya kini Zeniferd berhasil memutarbalikkan fakta terdahulu. Lagi-lagi persis dengan lagu Gajah-nya Tulus. Andai saja sejak dulu kami terbiasa memuji-muji Zeniferd maka kelak dia tidak akan se-gagah dan se-tampan sekarang. Cieeee!!!.
Setelah beberapa tahun bekerja di sebuah perusahaan swasta di Jakarta, ia mempersunting seorang gadis yang juga ber-suku Batak. Pernikahan diadakan pada tanggal 9 September 2016 di Palembang. Sayang, gue tidak bisa menghadiri acara bahagia tersebut. Namun doa terbaik selalu kami haturkan untuk temen yang dulu sering kami zalimi ini. Semoga pernikahannya bahagia dan langgeng.
Selamat Bro Zeniferd untuk gelar ke-32 nya.
Tinggalkan Balasan