Menjadi Liberalis Paruh Waktu
Agustus 26, 2016 § Tinggalkan komentar
Membaca tulisan-tulisan para pentolan JIL memberikan kesempatan untuk menguji ketahanan argumen keimanan kita. Untuk kita yang sehari-hari terbiasa dengan pewarisan pemahaman agama yang tradisional dan literal dari orang tua, kita bisa menertawai pendapat ‘lucu’ mereka yang mengorbit jauh dari penjelasan para ulama. Atau kita dapat mengelus dada, marah, dan reaksi agresif lain saat mendapati mereka menafsirkan ayat suci dengan ‘serampangan’. Namun bagi mereka, upaya-upaya merevivalisasi tafsir adalah cara untuk membawa agama ini berkembang mengikuti kemajuan zaman.
Ada yang lebih menarik daripada sekedar wacana ilmiah para liberalis yang tersebar melalui tulisannya di media cetak maupun elektronik. Tanpa kita sadari kita dewasa ini sudah berperilaku liberal bahkan lebih liberal daripada tokoh-tokohnya.
Para cendekia menganggap liberalis sering memotong-motong ayat sesuai kepentingan temporal. Bagimana dengan kita? Bukankah kita sering menyitir ayat demi kepentingan kelompok, mazhab, preferensi politik kita sendiri?
Dalam Islam Liberal 101, Akmal Sjafril mengatakan bahwa orang-orang liberal sering menggunakan standar ganda dalam menetapkan keberpihakannya. Ada kalanya mereka memuji Ahmad Dahlan dan dalam kesempatan lain mereka mencacinya. Anda yang seturut membenci orang-orang liberal itu apakah pernah berkaca? Jika definisi tersebut mempertontonkan kelabilan penghuni islam liberal lalu bagaimana dengan kita?
Berapa sering kita mendukung seseorang, memuja dan membela setiap aksinya karena dilatarbelakangi kepentingan tertentu? Di waktu lain kita menghujat, mencerca setiap tindakannya karena ia berubah haluan. Tidak lagi seiya sekata dengan apa yang kita percayai?
Masih dari buku yang sama, Islam liberal disebut-sebut sebagai gerakan yang acap kali mendiskreditkan gerakan-gerakan dakwah penentang liberalisme. Kalian menghujat mereka? Bukankah kita pada posisi yang sama manakala orang tarbiyah memandang remeh pengikut ‘Salafi’ sebagai anti-sosial. Atau Hizbut Tahrir yang tidak pernah bosan melabeli penyambung gerakan ikhwan sebagai anjing demokrasi. Lalu apa itu bukan bagian dari modus operandi penggiat islam liberal itu sendiri?
Jadi mungkin saat ini kita adalah seorang liberalis paruh waktu. Kita memainkan peran dan mensukseskan virus liberalisme dengan seikhlas-ikhlasnya. Ya mungkin benar kita tidak mensosialisasikan islam liberal sebagai framework namun kita menjadikan ciri-ciri mereka melekat pada diri kita.
Tinggalkan Balasan