#31 Idries Tirta ‘Toke’ Husada
Februari 17, 2016 § Tinggalkan komentar
Beberapa tahun belakangan minat gue membaca buku sejarah semakin meningkat. Sebuah kontradiksi yang akut mengingat selama di sekolah pelajaran sejarah tidak pernah menjadi pelajaran yang membuat gue tergoda seperti halnya pelajaran memahami dan mencintaimu, dik. Hoek!.
Guru sejarah SMP gue dulu sebenernya memiliki citarasa sejarah yang sungguh warbyasa. Belio bisa dengan detailnya mengulas perjalanan Meganthropus, Phitecanthropus hingga Homo Sapiens dari jabang bayi hingga menutup mata. Tulisan belio pun antik. Gue sempet berpikir bahwa si ibu belajar menulis dari tulisan yang ada di artefak. Saat naik kelas, pelajaran sejarah tetap tidak menempati posisi spesial di hati gue. Gurunya bernama ‘Napoleon’. Beuh, kurang sejarah apa coba namanya. Saat doi ngajar, terdengar teriakan Napoleon Bonaparte sambil berucap slogan Liberte, Egalite, Fraternite. Namun tetap saja, asosiasi antara nama dengan mata pelajaran tidak lantas membuat pelajaran sejarah menarik untuk dinikmati.
Semua berbeda saat gue kuliah. Perlahan tapi pasti bacaan bermuatan sejarah menjadi cukup menarik. Mungkin karena gue membaca tanpa dihantui oleh ujian, PR dan semua pernak-pernik kengerian tugas sekolah. Gue sadar bahwa hanya dengan membaca sejarah maka cakrawala berpikir kita akan terbang ke ratusan hingga jutaan tahun lalu. Dengan demikian kita bisa mengambil hikmah dari semua sejarah dunia yang pernah ada. Mulanya gue membaca Sirah nabawiyah lalu sejarah arab, sejarah manusia, sejarah perang dunia II, sejarah genosida dan banyak lainnya. Ternyata membaca kisah sejarah meninggalkan ruang yang berkecamuk di pikiran. Ragam pertanyaan dengan sekejap hadir seputar mengapa Hitler begitu keji. Apa itu semit dan kaitannya dengan bangsa arab dan pertanyaan-pertanyaan lain yang hanya bisa ditemukan jawabannya dengan membaca referensi sejarah lainnya.
Nah, di antara banyak buku sejarah yang pernah gue baca salah satu yang paling menarik adalah buku berjudul ‘Api Sejarah’. Buku yang dibagi dalam dua jilid ini ditulis oleh Ahmad Mansyur Suryanegara. Api sejarah membahas banyak sekali penyelewengan sejarah yang sudah kadung tersebar luas. Khususnya terkait dengan peran Islam dalam sejarah Indonesia. Dalam salah satu pembahasannya, Pak Ahmad menggunakan kata ‘Tauke’. ‘Toke/Tauke’ merujuk pada sebutan untuk orang-orang keturunan Cina yang membiayai warga pribumi untuk menjadi ambtenaar atau pegawai negeri sipil jaman penjajahan. Ambtenaar yang berhutang pada para tauke ini memiliki kewajiban untuk melancarkan bisnis sang ‘tuan’. Dan di masa sekarang Tauke/toke menjadi istilah yang jamak dikenal oleh orang Indonesia untuk melabeli warga keturunan Cina/Tionghoa yang memiliki banyak harta.
Gue geli mendengar kata ‘Tauke/toke’ karena pernah ada salah satu temen SMA gue yang lebih sering kami panggil dengan ‘Toke’ ketimbang nama aslinya.
*****
Namanya adalah Idries Tirta husada. Sesiapa saja yang belum kenal pasti mengira Idries adalah warga keturunan. Padahal iya. Lebih-lebih saat tahu bahwa dia berasal dari Bangka. Salah satu provinsi yang ‘mengimpor’ banyak sekali warga keturunan Tionghoa. Idries adalah satu dari sedikit temen kelas gue yang datang dari perantauan. Dengan semua alasan tersebut ditambah kenyataan bahwa Idries berasal dari keluarga yang cukup berada maka tidak salah sekiranya kami memanggilnya ‘Toke’. Gue pribadi sih seneng-seneng aja jika harus mengganti panggilan ‘Idries’ dengan ‘Toke’ karena gue ga harus bersusah payah melapalkan huruf ‘r’ dengan fasih.
Perawakannya parlente. Rambut rapih nan tebal dengan pilihan menyisir ke samping. Meskipun saat itu Pomade belum jamak dikenal, rambut Idries nampak selalu basah dan mengkilat. Selama bertahun-tahun, model rambut itu tidak pernah berubah.
Kesan tajir Idries sangat terlihat. Bukan hanya karena penampilannya yang seger dan berbadan subur, tapi juga ponsel yang digunakannya termasuk salah satu ponsel paling canggih di masa itu. Di saat gue masih menggunakan warung telepon hingga sandi morse, Idries sudah dibekali ponsel Nokia 7650. Tau kan Nokia 7650? Ponsel slide yang cuanggih tenanan. Mungkin saat ini setara dengan Iphone 5. Mungkin loh ya.
Idries tergolong siswa yang anti mainstream dalam kaitannya dengan moda transportasi yang digunakan untuk sampai di sekolah. Jika yang lain nyaman diantar dengan mobil, motor atau menggunakan kendaraan umum maka Idries lebih memilih Becak sebagai pilihan utama. Iya becak. Kereta tak berkuda. Mengapa becak? Bukan. Bukan karena Idries ingin tamasya berkeliling keliling kota. Jarak antara tempat tinggalnya ke sekolah tidak terlalu jauh. Namun cukup membuat betis pecah jika harus ditempuh dengan jalan kaki. Becak menjadi pilihan paling bijak. Selain karena tidak menimbulkan polusi juga membagikan rezeki kepada mang becak.
Di kelas gue dulu Idries selalu duduk di bangku paling depan. Bareng Gunawan. Ini yang paling gue inget. Meskipun tiga tahun duduk sebangku, Idries sering menjahili Gunawan terutama untuk sindiran satir. Entah kenapa Gunawan betah. Mungkin Gun senang disakiti.
Seperti gue ceritakan di tulisan sebelumnya bahwa kelas kami punya grup band yang dinamai ‘Definith’. Idries menjadi drumnya. Eh, maksud gue drummer. Gue sebagai tim hore sering kali turut serta dalam latihan band temen-temen gue ini. Tiap kali latihan, sangat jarang satu buah lagu dimainkan sampe selesai. Pemain gitarnya sibuk nyari kunci dan ulik-ulik melodi. Bassist nya sibuk betot-betot senar ga jelas. Yah namanya juga band lucu-lucuan. Tampil pun cuma satu kali dengan penampilan yang luar biasa… hancurnya.
Lepas SMA Idries melanjutkan pendidikan di fakultas kedokteran salah satu universitas swasta di Jakarta. Inisialnya YARSI.
Siapa sangka Idries yang semasa SMA nya berpenampilan rambut klimis belah pinggir dengan perawakan tambun ala engkoh engkoh pasar glodok nampak sangat berubah. Tubuhnya terlihat lebih tirus. Dengan kacamata bergaya dan potongan rambut kekinian Idries bener-bener mirip artis pop masa kini. Hah, Didi Kempot?. Bukan. Idries sekilas nampak mirip Afgan. Iya Afgan yang sadis itu. yang lesung pipinya bisa dipake buat nyembunyiin komik kalo ada razia guru.
Di saat Idries terlihat banyak perubahan yang ke arah positif, gue pun begitu jika positif itu juga termasuk perubahan berat badan. Kalo Idries menyusut maka gue mengembang. Masalah kegantengan? Hmm.. Jika Idries semakin mirip Afgan maka perubahan fisik gue ga terlalu mencolok. Gue semakin hari semakin mirip Bradley Cooper. Uh yeah….
Di dunia ini memang banyak orang yang hidupnya terlihat sangat sempurna. Coba tengok aja Raisa. Cakep, jago nyanyi, tajir, baik, sholeah, punya pacar ganteng, mandiri, ikut MLM, punya kapal pesiar dan downlinenya banyak. Tuh, kurang sempurna apa hidupnya. Tapi lebih sempurna lagi hidupnya Keenan Pearce. Punya pacar Raisa, punya adek Pevita Pearce. Makanya kalo ada cewe yang kesel terus bilang ‘Semua cowo itu sama aja’, lo jangan sungkan untuk tiba-tiba merasa bahwa lo mirip Keenan Pearce atau Adam Levine.
Idries pun begitu. Selain tajir dari sononya, kuliah di kedokteran, ia juga selalu ‘memamerkan’ pasangan yang menarik secara fisik alias cantik. Tapi tidak sekedar cantik. Karena kalo cuma modal cantik, banci Thailand juga cantik. Bakat alami ini bahkan sudah ditunjukkan saat SMA manakala Idries berhasil menjalin hubungan dengan salah satu bunga sekolah. Iya, Idries berpacaran dengan Kembang sepatu dan rafflesia arnoldi di deket kantin SMA.
Jarangnya gue berinteraksi dengan Idries selepas SMA, lebih lagi selepas kuliah, membuat gue tidak tahu banyak perkembangannya selain informasi bahwa ia sudah menjadi dokter di Bangka. Tapi beberapa Display Picture yang ia pajang di Blackberry Messenger menunjukkan bahwa selera Idries tidak berubah. Calon istrinya cakep, broh.
Dan memasuki tahun 2016, Idries membuka lembaran baru bersama dengan drg. Mawar Putri Julica sehingga menambah anggota kelas kami yang menikah menjadi 31. Selamet Toke. Semoga pernikahannya barokah.
Tinggalkan Balasan