Hanya Ada Dua
Januari 8, 2016 § Tinggalkan komentar
Cuma ada dua tipe manusia yang terpolarisasi dengan sangat di dunia ini. Tipe yang makan bubur diaduk atau tidak diaduk, pengguna Iphone atau pencinta Samsung, pendukung Iron man atau Captain America, Cristiano Ronaldo atau Lionel Messi. Hanya dua tipe itu saja. Yang demen berantem di sosial media juga adalah satu dari dua tipe itu. Sementara sisanya, yang mendukung Ant Man, bukan pencinta bubur ayam atau pengguna Mito adalah pencilan yang tidak pernah menjadi bagian dari sejarah gontok-gontokan dua kubu yang bertikai.
Pun halnya dengan keberadaan tokoh, public figure, selebgram, artis twiter, artis facebook.
Gue sering mengamati bahwa di dunia media sosial ada dua tipe manusia dengan kecenderungan dan karakter yang bertolak belakang satu sama lainnya. Sebagian orang membagikan kata-kata mutiara pembuai jiwa ala-ala Mario Teguh sementara gue lebih seneng berbagi status humor serius Arham Rasyid. Beberapa orang temen gue sibuk mengunggah prestasi-prestasi bisnis, kekayaan, harta, pose dengan orang hebat. Sementara yang lainnya bekerja besar dalam diam. Tidak banyak berulah share ini itu agar yang lain tahu. Setengah orang tua penikmat facebook adalah pendukung garis keras anti vaksin. Sementara setengahnya lagi mengkampanyekan vaksin itu baik, sehat, tidak haram, bukan rekayasa zionis dan sebagainya.
Banyak temen gue memuja status-status romansa keluarga ala Fahd Pahdepie sambil tag pasangannya dengan caption ‘ini loh yah’, ‘begini loh sayang’ dan segala resonansi pesona tulisan tersebut yang menular bak endemi. Sementara gue dan mungkin yang lainnya lebih menyukai status-status cinta non picisan oleh Ustad Cahyadi Takariawan.
Gue menikmati aktiftias berselancar di dunia maya guna mencari pengetahuan baru, referensi, atau sekedar berburu artikel lucu dan nyinyir guna membuka cakrawala wawasan. Tidak lupa juga mengakses situs-situs komik dan meme guna mengusir kepenatan. Salah satu pengguna sosial yang paling gue tunggu-tunggu update-nya adalah Ustad Salim A. Fillah. Ustad Salim adalah ulama muda dengan kemampuan literasi yang sangat baik. Beliau sudah menghasilkan banyak buku dengan konten yang khas. Buat gue, buku-buku beliau bak suplemen karena tidak hanya mengisi ruhani dengan nilai-nilai religi yang kental namun juga mampu mengartikulasikan disiplin ilmu lain dalam setiap tulisan yang ia lahirkan. Sebagai contoh beliau sempat membahas tentang psikologi sosial di salah satu bukunya yang kemudian berhasil memotivasi gue untuk menyukai buku-buku bertipe sejenis. Selepas membaca buku Ustad Salim gue bergerilya mencari buku-buku psikologi praktis seperti Best Seller Blink, Outliers, Tipping Point karya Malcolm Gladwell.
Di jejaring sosial, Ustad Salim sering membuat status yang legit. Bahasanya yang santun dan isi tulisan yang memenuhi unsur-unsur ketuhanan dan wawasan keduniaan membuat status tersebut sangat renyah untuk disimak. Seperti beberapa waktu yang lalu beliau membahas tentang kereta, stasiun dan sejarah kemerdekaan yang tak luput menyinggung tentang salah satu novel oleh Agatha Christie. Dan komentar gue cuma ‘Wow’. Ada ya ustad yang referensi bacaannya sangat luas. Tidak terbatas pada kitab kuning atau literatur klasik tentang langit. Meskipun begitu beliau tidak pernah mengagung-agungkan atau menyentil kepekaan orang-orang untuk menyadari bahwa ia adalah pembaca yang rakus dan mempunyai banyak referensi.
Sementara di sisi lain gue sering menyimak kontributor sebuah web satir yang memuja-muja kepemilikan atas ribuan buku. Tak jarang merendahkan orang lain dengan mendewakan dirinya yang memiliki banyak literatur dengan Kalimat-kalimat semisal ‘ah, anda kurang referensi’ atau ‘sudah pernah baca ini belom?’. Entah mengapa gue kurang menaruh respek pada mereka yang mengerdilkan orang lain hanya karena punya bahan bacaan lebih banyak. Jika saja mereka menyimak ucapan Dalai Lama ‘when you talk, you are only repeating what you already know. But if you listen, you may hear something new’.
Ya, untuk mereka yang suka membaca pun ada dua jenis. Mereka yang membaca kemudian mengolahnya menjadi petuah indah yang disampaikan dengan baik dan santun. Atau mereka yang mereka kemudian menganggit tulisan dan bahasa-bahasa yang menyakiti hati dan menista.
Proses membanding-bandingkan akan selalu ada karena sudah menjadi template nya ras manusia. Kita tidak akan pernah berhenti pada suatu titik untuk menyamaratakan preferensi, selera, kecenderungan. Karena jika ada dua orang berjalan dan ide mereka selalu sama maka hanya satu orang yang berpikir. Tapi seperti yang pernah diajarkan oleh orang tua dan guru ngaji kita sejak lama bahwa seperti apa pun pilihan yang kita buat pastikan bahwa kita memilih untuk mendekatkan diri ke surga. Bukan memilih neraka. Itu pun jika kalian percaya.
Psst.. Jangan coba banding-bandingin Jokower dan Prabower. Dua tahun ga habis dibahas.
Tinggalkan Balasan