#28 Agustin Rosalina Handayani
November 16, 2015 § Tinggalkan komentar
Hal terberat dalam segala aktifitas adalah melakukan langkah pertama. Sama halnya dengan menulis. Gue sudah berniat membuat postingan ini satu bulan yang lalu. Apa lacur, hambatan-hambatan yang gue temui membuat gue selalu gagal untuk menambah jumlah postingan tentang pernikahan temen kelas gue.
Dalam konteks yang serius, ingatan-ingatan gue mulai pudar. Kenangan-kenangan sepuluh tahun lalu hanya menyisakan serpihan-serpihan yang harus dengan sekuat tenaga gue rekatkan secara artifisial.
Orang-orang bijak berkata bahwa persahabatan itu seperti balon. Jika kau tidak memegangnya dengan erat maka ia akan lepas selamanya. Buat gue, menuliskan kembali sisa-sisa ingatan yang berisi guyon, cerita-cerita lucu, tangis bareng temen SMA adalah sarana untuk tidak sekedar menggaung-gaungkan doktrin bahwa masa SMA adalah masa yang paling bahagia. Gue pengen membuktikan bahwa ada suatu masa di mana gue tumbuh dengan sahabat-sahabat yang paling gila yang pernah ada. Yang bahkan hingga kami renta, cerita-cerita inilah yang mungkin bisa kembali menghadirkan semburat senyum menyadari kekonyolan kami tempo dulu.
Tahun depan tepat 10 tahun gue meninggalkan masa SMA lengkap dengan segala suka dukanya. Hingga hari ketika tulisan ini gue buat sudah ada dua puluh sembilan anggota kelas gue yang menikah. Ya, sudah lebih dari separuhnya. Masih ada sekitar 15 cerita lagi yang menunggu untuk dipublikasikan. Gue harep ingatan gue bekerja dengan baik untuk terus dapat menghadirkan siluet masa lalu yang bisa menjadi tawa di masa kini.
Temen gue yang kali ini akan gue ceritain bernama lengkap Agustin Rosalina Handayani. Seperti temen-temen kelas gue yang lain, Agustin juga memiliki nama panggilan yang melenceng dari nama aslinya. Entah kenapa ia lebih memilih dipanggil ‘Anggi’ ketimbang Agustin atau Agus. Jika dulu dibolehkan, gue pengen manggil temen gue ini dengan ‘Rosalina’ karena mengingatkan gue pada masa kecil yang dipenuhi dengan drama-drama khas Amerika Selatan seperti Rosalinda, Esmeralda, Marimar..Auw.
Gue inget banget pertama kali melihat Anggi di bawah jembatan penyebrangan di depan sekolah gue beberapa waktu sebelum kami menjadi temen satu kelas. Entah kenapa bagian ini terekam dengan baik di otak gue (cie dodo cie). Gue inget karena saat itu gue menyaksikan sebuah pemandangan yang kontras. Anggi berjalan berbarengan dengan temen gue yang lain, Endang. Kenapa gue bilang kontras? Karena lo bisa bayangin ada dua orang berjalan bareng tapi yang satu jalannya nunduk, ngebut dengan kecepatan di atas rata-rata, berasa lagi ikut estafet. Yang satunya lagi berjalan dengan kalem. Lah, jika lajunya tidak sama kok bisa bareng? Itu juga yang bikin gue bingung sampe saat ini.
Gue rasa setiap kali mereka jalan bareng, Anggi mengikatkan seutas tali di leher Endang sehingga ia tidak bisa berjalan sekonyong-konyong seenaknya.
Di kelas Anggi terkenal pendiem. Sama seperti Endang. Yang membedakan keduanya hanya lah volume suara. Gue selalu menyandingkan Anggi dan Endang dalam cerita gue karena memang selama tiga tahun menjadi temen kelas mereka selalu bareng. Makan bareng, ikutan organisasi bareng, istirahat bareng, tidur.. ga lah. Mereka tidur di rumah masing-masing. Anggi juga termasuk generasi awal yang mengenakan jilbab di kelas kami. Tidak mau kalah, sebagai ‘kembaran’ Endang pun memilih sikap yang sama. Mereka berdua nampaknya memang ditakdirkan untuk seiya sekata.
Lalu jika ada yang iseng nanya siapa yang lebih cantik dari keduanya? Hmm.. Pertanyaan yang sulit buat gue. Cantik atau tidak itu relatif. Karena sesungguhnya kamu cantik cantik dari hatimu…. uwooo!.
Walaupun duduk di belakang dan tidak begitu aktif di kelas, Anggi pernah diangkat menjadi sekretaris salah satu pelajaran. Gue rasa satu-satunya perangkat kelas yang tidak disukai dan berusaha dihindari adalah sekretaris. Menjadi sekretaris berarti merelakan dengan sepenuh hati dan tangan, untuk menyalin materi yang ada di buku pelajaran ke papan tulis. Gue sadar bahwa ilmu itu harus diikat dengan menulis tapi gue rasa sangat tidak efektif menuliskan kembali isi buku ke papan tulis kelas. Beruntung lah siswa-siswa sekarang yang bisa menggunakan ponsel pinter untuk memfoto materi kemudian dibagikan kembali melalui media sosial. Biar lebih seru kadang juga dibumbui dengan berantem di sekolah sambil berubah menjadi serigala.
Beruntungnya, siswa-siswi yang memiliki tulisan tangan dokter (baca : jelek), termasuk gue, memiliki kenihilan peluang untuk menjadi sekretaris. Sebuah anugerah yang lebih Indah daripada makan kuaci bareng pevita pearce.
Selain di dalam kelas, gue mengenal Anggi karena kiprahnya di organisasi kerohanian Islam. Jika di dalam kelas Anggi kecipratan tugas sebagai sekretaris maka di organisasi ini ia harus memberikan perhatiannya sebagai seorang bendahara organisasi. Di tangannya kami percayakan semua cashflow organisasi yang tiap minggunya harus mengelola dana ummat yang berasal dari siswa-siswi yang berinfak. Tugas yang terlihat sederhana namun butuh ketelitian dan integritas yang tinggi. Bayangkan saja jika rata-rata satu orang menyumbang seribu rupiah dikali 500 siswa maka ada 500 ribu rupiah setiap minggunya. Jumlah yang cukup besar jika ada niatan buruk untuk melakukan tindak penyelewengan.
Rumah Anggi adalah satu dari sekian banyak rumah yang masuk kategori ‘Most Wanted’ selama silaturahim lebaran karena kami pasti menemukan es krim selama momen tersebut. Terdengar seperti biasa saja karena kami bisa dengan mudahnya menemukan es krim di tempat lain. Tapi es krim tersebut rasanya agak beda karena ia dibuat dengan rasa persahabatan. ceile!.
Karena seringnya gue dan temen-temen sowan ke rumah Anggi selama lebaran kami jadi mengetahui bahwa Anggi adalah anak sulung dari tiga bersaudara yang mana semua orang di rumah itu adalah perempuan kecuali bapaknya.
Cerita tentang Anggi semasa SMA gue sudahi karena gue bener-bener kehabisan referensi. Selepas SMA Anggi melanjutkan pendidikan di universitas Andalas jurusan Farmasi. Dengan demikian ada dua siswa lulusan kelas kami yang menempuh studi di kampus tersebut. Satunya lagi adalah Nessa.
Lulus sarjana, Anggi tidak serta merta bekerja. Ia melanjutkan studinya untuk merengkuh keprofesian di bidang Farmasi di kampus yang sama. Selepas itu, ia kembali ke Palembang dan diterima bekerja di salah satu perusahaan farmasi di kota ini. Riwayat hidup Anggi ternyata tidak jauh dari farmasi dan turunannya. Pantes saja saat buka bersama SMA, gue mencium aroma obat di ruangan tempat acara berlangsung.. Haha.
Saking cintanya Anggi dengan dunia obat-obatan, jodohnya pun datang dari dunia yang sama. Ia menikah dengan temen jurusannya yang juga bekerja di bidang farmasi. What a life!. Semoga ntar kalo di rumah pembahasannya tidak seputar paracetamol, panad*l dan adik-adiknya.
Selamat Anggi, kamu mendapatkan gelar ke-28.
Tinggalkan Balasan