Kisah Seorang Pendamping Wisuda
Oktober 19, 2015 § 1 Komentar
Setidaknya ada dua momen di luar dimensi belajar-mengajar yang selalu ditunggu oleh (mungkin) setiap mahasiswa di salah satu kampus terkemuka di kota Bandung. Yang pertama adalah ospek himpunan. Hampir semua mahasiswa Tahap Persiapan Bersama (TPB) di kampus ini berharap bisa bergabung dengan himpunan yang ada di setiap jurusan. Menjadi ‘anak himpunan’ pasti jauh lebih menarik daripada menyambut seruan program bela negara.
Mahasiswa yang terdoktrinasi bahwa himpunan adalah segalanya, bahkan ada yel yang berisikan semangat patriotis membela himpunan sampai mati, merasa jauh lebih keren saat mengenakan jaket himpunan sekaligus bisa berkumpul dengan senior yang lagaknya sudah paling aktifis. Ospek jurusan (Osjur) sebagai gerbang diterimanya anggota himpunan baru selalu diikuti dengan penuh kesadaran dan keikhlasan walaupun sebagian besar kegiatannya hanya seputar agitasi, mobilisasi dan organisasi massa. Khas PKI. Gue juga bingung kegiatan untuk manusia terdidik tersebut lebih mirip dengan agenda PKI yang mempersenjatai buruh dan petani dengan palu dan arit. Jadi, kalian yang bangga-bangga melakukan agitasi ke junior tidak lebih dari senior yang membekali massa untuk melakukan revolusi. Kamerad!.
Momen kedua yang ditunggu-tunggu oleh mahasiswa di kampus ini adalah saat wisuda. Betul, wisuda adalah prosesi yang ditunggu-tunggu oleh setiap mahasiswa yang akan lulus. Mereka menanti-nanti mengenakan toga, riuh ricuh menyanyikan himne, lulus dan lalu menjadi penggangguran baru. Siklus yang cukup banal bagi seseorang yang dididik selama lebih dari 4 tahun dengan segenap bekal ilmu dan pelatihan ala PKI namun berakhir di kos-kosan sambil mengetuk-ngetuk pintu perusahaan agar menjadikan mereka sebagai karyawan. Termasuk gue.
Wisuda adalah momen sakral sekali seumur hidup yang begitu diagung-agungkan. Segala persiapan dilakukan guna menyambut prosesi ini. Buat para mahasiswi, wisuda adalah momen di mana mereka mewajibkan diri untuk diet super ketat agar kebaya yang sudah diukur sewindu sebelumnya masih bisa muat saat hari-H. Wisuda disambut dengan gegap gempita karena para wisudawan dan wisudawati ini telah merasakan bagaimana sulitnya meraih gelar akademis sehingga eksistensi selama wisuda adalah sebuah keniscayaan. Selain itu, pada momen inilah mereka bisa menggandeng pasangan yang lazim dikenal dengan Pendamping Wisuda (PW).
Secara definisi umum ‘pendamping wisuda’ berarti seseorang berlainan jenis di luar hubungan keluarga yang memainkan fungsinya sebagai pendamping wisudawan/ti. Sebagian besar tugasnya adalah senyum malu-malu saat ditanya oleh orang tua wisudawan “Ini calon kamu, nak?”.
Mencari pendamping wisuda sepertinya sudah menjadi kebiasaan yang mengakar di kampus ini. Setidaknya begitulah pengamatan gue yang lulus dari kampus yang sama beberapa tahun lalu. Keberadaan pendamping wisuda tersebut bak sebuah keharusan yang teramat sangat penting dan menempati skala prioritas pertama dan utama. Bahkan jauh lebih penting daripada mikirin IPK yang nyaris tiga atau mikirin perusahaan mana yang ‘sudi’ merekrut sarjana fakir nilai.
Para wisudawan/ti ini tidak menjadikan kedua orang tua sebagai pendamping wisuda. Mengapa? Karena tidak sesuai dengan terminologi ‘pendamping wisuda’ itu sendiri. Berbeda dengan gue yang menjadikan alasan ‘orang tua lebih pantas untuk menjadi pendamping wisuda dengan alasan apapun’. Menabrak definisi umum yang gue buat sendiri. Haha, ngeles. Gue sebenernya dulu punya gebetan yang jangankan jadi pendamping wisuda, mati demi gue aja dia rela. Dia bilang mending mati daripada sama gue. Bangke!.
Gue pribadi memiliki cerita sendiri seputar pendamping wisuda. Gue sempet dua kali diwisuda yakni saat mendapatkan gelar sarjana dan pascasarjana. Kedua prosesi tersebut selalu didampingi oleh kedua orang tua dan salah seorang saudara. Gue merasa bangga dengan sikap gue yang anti-mainstream meskipun cukup penasaran seperti apa rasanya menjadi seorang pendamping wisuda. Apakah gugup cantik seperti saat sidang sarjana. Atau bahagia yang terhibridisasi dengan malu-malu anjing?. Hmmm..
Peluang gue untuk menjadi pendamping wisuda akhirnya terbuka lebar saat gue menikah karena istri gue tengah menempuh pendidikan masternya.
Saat menikah, Istri gue tengah menempuh semester tiga studi pascasarjana. Beberapa bulan setelahnya, ia harus beradaptasi dengan ketatnya jadwal perkuliahan dan tugas karena pada saat bersamaan perutnya semakin membesar. Busung lapar? Bukan, bini gue HAMIL akibat perbuatan gue. Setelah berjuang dengan keras akhirnya ia menyelesaikan studinya dengan nilai memuaskan.
Yeay. Tereak gue dalem hati. Akhirnya gue dapet kesempatan untuk menjadi pendamping wisuda. Momen yang udah gue tunggu-tunggu sejak Mak Lampir masih muda.
Ternyata menjadi pendamping istri saat wisuda tidak lebih membuat adrenalin terpacu atau dopamin tersekresikan dengan brutal seperti saat menanti kelahiran putra pertama. Gue cukup membulatkan mulut untuk sekedar berseru “OOO, begini rasanya jadi pendamping wisuda”. Itu saja.
Gue akhirnya menyadari bahwa yang paling penting dari menjadi PW adalah kebahagiaan dapat membersamai orang yang kita cinta meraih apa yang selama ini dicitakannya. Sekedar memamerkan pendamping wisuda sebagai bentuk sosialisasi pasangan kepada orang tua atau khalayak rasanya cita-cita yang terlalu dangkal. Toh yang mendampingi kita wisuda sangat mungkin bukan yang menjadi pendamping hidup seterusnya. Atau memang sedari awal diniatkan begitu?.
Untungnya pas kuliah dulu gue ga ngebela-belain buat nyari pendamping saat wisuda. Selain karena ga ada yang mau, hakikatnya pendamping wisuda hanyalah kesenangan sementara belaka. Ada baiknya kita mencari seseorang yang lebih dari sekedar mendampingi saat wisuda yakni pendamping hidup dunia dan akhirat. Subhanallah, akhi!.
Demikianlah ngalor ngidul gue tentang kisah seorang pendamping wisuda. Sebenernya tulisan ini gue dedikasikan untuk istri tercinta yang minggu lalu diwisuda di seputaran jalan ganeca 10.
Untuk Neng Annisa Martina, Selamat sudah merengkuh gelar magister walau dilalui dengan kesusahan yang bertambah-tambah. Saat hamil, saat mengurusi Alby dan saat rumit lainnya. Insyaallah semua perjuangan dan pengorbanan yang dilakukan untuk meraih ilmu tidak akan sia-sia. Karena Tuhan menjanjikan derajat yang lebih tinggi bagi orang-orang berilmu. Selamat sayang *wink*.
selamat nisa. selamat dodo akhirnya jadi pedamping wisuda 🙂