#26 Dedy Anugerah Rinaldy Adinegara (Bobon)
Juli 6, 2015 § Tinggalkan komentar
“Setiap mimpi harus diceritakan ke orang lain agar kita termotivasi untuk meraihnya”.
Itu bukan kata-kata Mario Tega. Kalimat sakti penggugah jiwa gunda gulana tersebut diucapkan oleh temen gue Periawan pada suatu kesempatan. Entah abis ikut serta seminar motivasinya siapa atau mungkin habis diprospek oleh MLM, yang jelas kata-kata Peri tersebut terngiang-ngiang di otak gue. Sejak saat itu, gue bercerita ke nyokap tentang mimpi gue ketemu power ranger, solat berjamaah bareng raisa, hingga memimpin timnas Indonesia berlaga di Copa America.
Di antara mimpi yang sering gue ceritain ke temen-temen deket gue adalah ‘GUE MAU NIKAH SAMA ORANG SUNDA’. Temen-temen gue riuh. Mereka beranggapan bahwa niat gue menikahi orang sunda bukan murni karena cinta melainkan karena ingin memperbaiki keturunan. SIAL!. Apapun itu, yang jelas mimpi yang gue ceritain tersebut akhirnya terwujud setelah tahun 2014 gue bener-bener menikahi orang sunda. Dan, nampaknya anak gue memang tidak mirip gue.
Berbeda dengan temen gue Hasbullah (Aas). Sebelum Bolot pura-pura budeg, Aas sudah mendeklarasikan diri untuk menikahi seorang dokter. Aas berkelit bahwa menikahi dokter adalah amanat sang nenek yang ngidam seorang dokter dalam pohon keturunannya. Setelah pontang-panting mencari jodoh, akhirnya mimpi tersebut terwujud.
Dari dua contoh di atas gue percaya kalo mau mendapatkan jodoh, sebisa mungkin deskripsikan akan seperti apa jodoh kalian kelak. Walau memang agama harus menjadi landasan utama, namun rasanya tak mengapa mendeskripsikan secara global preferensi kita. Tapi jangan terlalu detil juga. Mentang-mentang bercerita mimpi, kalian ngarep jodoh yang cantik, sholehah, kaya, anak tunggal, bapaknya sakit-sakitan. Sampe JKT48 nyanyi dangdut koplo juga lo bakalan sulit dapetin jodoh dengan ciri-ciri demikian.
Hal yang sama mungkin pernah dilakuian oleh Dedy Anugerah Rinaldy Adinegara alias Bobon. Sohib gue satu ini rasanya pernah bermimpi agar berjodoh dengan teman sekelas. Sekelas? Banyak bener bro. Kisah cinta dedy cukup rumit. Lebih rumit daripada kabel yang masuk ke saku celana. Dalam jangka waktu beberapa tahun antara SMA dan awal masa kuliah, Bobon menjalin cinta dengan dua temen kelas kami yang berbeda. Sebut saja Mawar dan Melati. Semuanya Indah. Namun semuanya kandas di tengah jalan.
Bobon bukan satu-satunya ‘Dedy’ yang ada di kelas kami. Masih ada satu lagi yang bernama ‘Dedy’ yakni Dedy Efriliansyah. Untuk membedakan, kami biasa memanggil mereka dengan Dedy A dan Dedy E walaupun tidak jarang mereka dinamai dengan ‘Bobon’ dan ‘Macky’. Mereka berdua melewati masa kecil bersama. Menyukai gadis yang sama. Tumbuh di lingkungan yang sama. Tapi Dedy tumbuh ke atas sementara Dedy tumbuh ke samping. Mereka berdua pun sama-sama kelas berat walau Dedy E lebih berat 2 ons sehingga kedua Dedy tergolong makhluk dengan bobot paling berat di XII IPA A versi on the spot.
Sejak masa-masa pertama sekolah, gue sudah menduga bahwa Dedy datang dari keluarga yang cukup mampu. Selain penampilannya yang nampak seger dan terawat, dia setiap hari dianter-jemput dengan mobil pribadi. Gue sama. Bedanya mobil yang anter jemput gue ditumpangin juga oleh puluhan penumpang lainnya. Kebetulan sekolah kami dulu menganut sistem sosialis. Setiap siswa dilarang membawa mobil ke area parkir sekolah. Makanya gue ga pernah parkir bus kota ke dalam lingkungan sekolah. Pfft.
Ada satu momen fenomenal yang mungkin bakalan gue inget sepanjang masa sehubungan dengan aktifitas Dedy di sekolah. Siang itu tengah dilakukan pergantian mata pelajaran. Di saat menunggu guru matematika masuk kelas, kami pun melakukan aktiftitas khas ala siswa SMA lainnya. Ricuh sana-sini. Ada yang gosip, sikap lilin, salto 7 putaran hingga bermain peran 7 manusia kecebong. Sebagian lagi menyanyi dengan suara cempreng. Kebetulan saat itu dedy mendapatkan peran sebagai tukang gebuk meja layaknya Eno Netral.
Jackpot, bersamaan dengan musik yang ditabuh di meja, guru matematika yang tidak dinanti datang sekonyong-konyong. Beliau mendapati kelas gaduh akibat meja yang ditabuh. Gossiper dan vokalis dadakan sontak berhenti. Sayangnya Dedy terlambat. Pak Guru lebih dulu melihat aksi drummer bajakan. Seketika ia mendatangi meja Dedy dan bilang ‘Mana tangannya’. Gue tertegun. Adegan ini persis dengan yang sering gue lihat di TV, pikir gue. Seseorang meminta tangan untuk kemudian diberikan cincin lalu terjadi proses lamaran. But wait. Pak Guru kan cowo, Dedy pun begitu. Ternyata imajinasi gue salah total. Saat Dedy ‘menyerahkan’ tangannya, Pak Guru melayangkan pukulan lucu ke tangan Dedy sambil memperingatkan untuk tidak mengulang kegaduhan yang serupa.
Sebagai temen yang baik, gue iba dengan kejadian tersebut. Tapi sebagai sahabat, gue ketawa terbahak-bahak saat tahu temen gue menderita :P.
Dedy adalah salah satu sohib gue di SMA. Bukan secara tiba-tiba gue berteman baik dengan dia. Kami diakrabkan oleh sebuah roleplay saat pelajaran bahasa jerman. Kebetulan gue, Peri dan Dedy berada dalam satu kelompok untuk bermain peran yang agak-agak absurd. Lebih absurd daripada anak-anak yang niup rumah umang-umang atau pesawat dari kertas.
Kami memilih tema tentang hewan peliharaan dalam sebuah dialog bahasa jerman yang ‘mengagumkan’.
Gue : Dedy, Hast du haustiere zu haus?
Dedy : Ja, Ich Habe aine katze. Und ihnen, Peri? (Gue yang nanya tapi die nanya ke Peri. Bangke!)
Peri : Ich habe zwai hunde, balto und tsukichan.
*Terus gue ga ditanya* hmm. Sudah kudungan.
Gue hapal banget selera musik Dedy karena setiap maen ke rumahnya atau nebeng mobilnya lagu yang disetel ga jauh-jauh antara Elemen, Lyla dan tentunya Ari Lasso. Ngomongin soal musik, di luar kebiasaan menjadikan meja sebagai instrumen, Dedy sejatinya adalah gitaris grup band kelas kami. Menjadi anak band adalah salah satu cara paling mudah untuk dikenal di seantero sekolah selain bergabung dengan OSIS. Tapi khusus di kelas kami, band tidak terlalu diminati. Karena sebagian besar penghuni kelas adalah anggota rohis sehingga nasyid dan timnya lebih disukai. Walaupun begitu, kelas kami mempunyai sebuah grup band yang diberi nama ‘definith’. Terinspirasi dari sebuah rumus matematika.
Sejak kelas 1 SMA, Dedy adalah temen sebangku Hartawan yang gue ceritain di kisah sebelumnya. Sebenernya penggunaan istilah ‘temen sebangku’ kurang tepat. Masa iya, dedy dan hartawan temen yang duduk di satu bangku. Mual ga sih bayanginnya?.
Lepas SMA, dedy menempuh pendidikan di Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN). Saat ujian masuk, bangku Dedy dan gue cukup berdekatan. Saat diterima, gue bener-bener ga nyangka anak satu ini harus kuliah di STAN karena setau gue dedy adalah anak versi rumahan yang ga bisa jauh dari ortu. Apa-apa mesti disediain. Ganti popok aja mesti dibantuin oleh ibunya. Eh, sori. Itu anak gue bukan Dedy. Dedy akhirnya membuktikan idiom ‘human was design to adapt. Problem existed not as a pit but a ladder’.
Setelah kisah cintanya yang ruwet, Dedy akhirnya menambatkan hati pada temen SD yang dipertemukan kembali di suatu acara buka bersama. Memang benar. Jodoh itu sangat mungkin adalah mereka yang justru sangat dekat posisinya dengan kita. Mungkin kita saja yang belum menyadari. SALAM SUPER.
Gue dateng ke nikahan Dedy karena momen dan waktunya pas. Selamat bro untuk gelar ke-26. Dan yang ke-8 buat cowonya.
p.s : Urutan Dedy satu strip di bawah Hartawan, temen ‘sebangku’ nya.
Tinggalkan Balasan