Rumah Kita

Juni 4, 2015 § 1 Komentar

Simbol bangunan sebagai bukti peradaban kuno

Urusan papan masih menjadi satu dari tiga kebutuhan pokok manusia. Dari zaman dahulu kala, tempat tinggal menjadi bagian penting dari sebuah peradaban. Kebudayaan mesir mendunia dengan keberadaan piramida sebagai bangunan untuk menyimpan para raja yang sudah mati dan diawetkan. Jauh sebelumnya, punden berundak dipercayai sebagai tempat tinggal orang purba. Sementara di era lebih modern masyarakat yahudi mendiami ghetto-ghetto sebagai tempat bernaung.

Tidak berubah, saat ini pun setiap individu membutuhkan tempat berlindung dari panasnya matahari dan dinginnya udara malam. Orang-orang merasa tempat tinggal adalah kebutuhan primer terlepas dari status kepemilikannya. Sebagian memilih ngekos atau menempati rumah kontrakan. Sebagian lagi memilih untuk membeli walaupun harus bersusah payah dan tertatih guna melunasi. Alasan-alasan yang membuat developer rumah bisa menjual satu meter persegi tanah di segitiga emas Jakarta hingga puluhan juta rupiah.

Dalam konteks keluarga, rumah menjadi sangat vital untuk dimiliki. Makanya banyak pria dewasa menjadikan isu ini sebagai alasan untuk menunda pernikahan.

Sebagai keluarga kecil, gue adalah bagian dari hegemoni para kepala rumah tangga yang meyakini bahwa memiliki rumah adalah suatu keharusan. Tidak harus besar, yang penting aman dari panas dan hujan. Tidak harus mewah, setidaknya bisa menjadi ruang untuk bercanda dan bergegap gempita bersama keluarga. Karenanya beberapa bulan setelah pernikahan, gue dan istri bersepakat untuk membeli sebuah rumah. Memiliki sebuah rumah adalah impian gue sejak kecil karena gue memiliki pengalaman tidak enak sehubungan dengan kepemilikan tempat tinggal.

homeSejak gue lahir sampe saat ini, almarhum ayah tidak meninggalkan sebuah rumah untuk kami. Gue ga tau secara pasti mengapa. Rasanya tidak hanya terkait dengan faktor ekonomi. Pada kenyataannya, banyak keluarga dengan taraf hidup yang lebih rendah tetap dapat memiliki rumah. Yang jelas, gue pernah sekilas mendengar ayah yang menjelaskan dengan setengah bercanda bahwa ia tak ingin anak-anaknya saling sikut dan berpecah disebabkan oleh masalah harta waris berupa rumah. Fix, selama 26 tahun hidup di Palembang, gue sudah pindah sebanyak 3 kali. Kondisi ini jua yang membuat gue terkadang minder jika harus membawa teman berkunjung ke rumah.

Tempat tinggal di mana gue lahir adalah rumah kontrakan berukuran (sangat) kecil.  Canggihnya, rumah tersebut masih bisa menampung tujuh anak bersama dengan kedua orang tua. Bahkan ayah membawa serta bibi dan nenek ke rumah mungil itu guna melengkapi penghuninya menjadi sebelas orang. Ah, memang sebuah rumah tidak melulu dinilai dari ukurannya. Bukankah tidak jarang rumah yang besar dan mewah namun kosong secara nilai dan makna?. Justru di dalam rumah kontrakan kecil tersebut gue merasakan kehangatan sebuah keluarga.

Meskipun begitu, Gue tetep berkeyakinan bahwa memiliki rumah adalah sebuah keharusan.

Langkah awal yang gue dan istri lakukan sebelum membeli rumah adalah menentukan lokasi tempat tinggal. Tak perlu berdebat. Kami bisa dengan mudahnya menentukan bahwa ia haruslah berlokasi di bandung meskipun harus berjauh-jauhan dengan lokasi kerja gue saat ini. Kami memilih Bandung sebagai tempat tinggal karena Jakarta dan sekitarnya bukan pilihan yang tepat untuk didiami. Sesederhana itu. Masalah LDR adalah kasus tersendiri yang pelan-pelan perlu kami selesaikan.

Setelah menentukan wilayah global, kami memperkecil scope lokasi rumah tersebut. Ternyata memiliki rumah itu tidak mudah. Apalagi yang pas dengan selera dan kantong. Ada yang lokasinya pas, harganya kemahalan. Ada yang harganya pas, lokasinya kejauhan. Hidup ini memang pilihan. Setelah beberapa minggu dan berkeliling ke pameran rumah, mencari iklan di koran, dan mendatangi langsung perumahan-perumahan yang diiklankan, kami akhirnya mendapati sebuah perumahan baru dengan lokasi yang cukup masuk akal dan harga yang sesuai dengan kantong. Setelah mengucapkan bismillah, gue dan istri memantapkan hati untuk memilih perumahan tersebut.

Ada beberapa faktor yang diwasiatkan oleh agama kita melalui rasul dan ulama sebelum memilih dan memilah sebuah rumah sebagai tempat tinggal. Wasiat ini yang diharapkan menentukan keberkahan dari rumah tersebut. Di antaranya adalah lokasi rumah yang dekat dengan masjid, profil tetangga, pemilihan toilet yang tidak menghadap ke kiblat dan beberapa hal lainnya.

mesjid

Kami sangat bersyukur saat mengetahui bahwa perumahan yang kami taksir cukup berdekatan dengan masjid. Sekitar 100 meter. Lokasi rumah sangat mempengaruhi kemudahan penghuni untuk berinteraksi dengan masjid. Semakin jauh jarak rumah-masjid akan semakin menguatkan alasan seseorang meninggalkannya untuk beribadah. Karena perjalanan terberat seorang pria adalah perjalanan ke masjid. Begitu banyak orang yang bisa dengan mudahnya melangkahkan kaki ke eropa, amerika, afrika namun tersendat, berat saat harus menapaki langkah menuju masjid terdekat. Sehingga menurut salah seorang ustad bahwa keberkahan sebuah keluarga dapat dinilai dari bagaimana mereka menentukan lokasi rumah. Apakah mesjid menjadi salah satu faktor yang dipertimbangkan.

Faktor lain sebelum memilih tempat tinggal adalah kita harus mengetahui seperti apa profil tetangga kanan, kiri, depan dan belakang. Memilih tetangga yang baik terkadang dianggap sebagai hal yang sepele namun pada kenyataannya sangat berpengaruh pada kehidupan sosial keluarga. Tetangga yang gemar gosip, gunjing dan mempertontonkan kemewahan bukan tidak mungkin akan dapat mempengaruhi psikologis keluarga kita terutama istri. Teringat sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ibu Hibban bahwa Rasul pernah bersabda

Salah satu dari empat kebahagiaan adalah tetangga yang shalih dan satu dari empat kesengsaraan adalah tetangga yang buruk.

Sejauh ini, perumahan yang kami tempati masih dihuni sebagian kecil saja sehingga kami belum bisa menyimpulkan seperti apa kehidupan bertetangga nantinya. Tapi setidaknya keluarga kami harus memberikan contoh keluarga dan tetangga yang baik ketika kelak perumahan tersebut diisi oleh lebih banyak penghuni.

Di antara panduan tentang hal-hal yang perlu diperhatikan namun sering dilupakan dari sebuah rumah adalah posisi toilet. Toilet tidak boleh menghadap atau berlawanan arah dengan kiblat. Sementara posisi ranjang saat tidur justru sebaiknya menghadap ke kiblat.

Setelah berhasil menentukan lokasi dengan mempertimbangkan hal-hal di atas, isu lain yang sangat penting sebelum membeli rumah adalah HARGA. Jangan sampai kita mengalami ‘LOKASI-ZONE’. Lokasi sudah oke tapi ternyata harga sangat tidak masuk akal. Setelah survey dan berdiskusi, gue berkesimpulan bahwa harga rumah saat ini sudah sangat tidak masuk akal. Khusunya di bandung maupun area penyanggah ibukota seperti Tangerang, Bekasi ataupun Depok. Di Bandung, gue mendapati hunian yang berada cukup jauh dari pusat kota ditaksir minimal tiga ratus juta. Artinya, jika harus mencicil maka dibutuhkan DP setidak-tidaknya 60 juta karena besarannya minimal 20% dari harga rumah. Ditambah lagi cicilan per bulan sekurang-kurangnya 30% dari penghasilan total suami-istri. Seketika gue mengkhayal pemilik Agung Podomoro menjadikan gue anak angkat.

Dengan harga yang ratusan juta rupiah, kelas menengah macam gue hanya sanggup untuk membeli rumah dengan sistem cicilan alias kredit perumahan rakyat. Untuk itu, gue dan istri sepakat menggunakan bank syariah. Terlebih setelah kami secara tidak sengaja mengikuti kajian tentang perbedaan antara bank syariah dan bank konvensional.

Gue yakin pasti akan terjadi friksi setiap kali kita membahas fiqih kontemporer tentang bank syariah. Sebagian orang beranggapan bahwa bank syariah adalah bank konvensional yang menghias diri dengan embel-embel ‘syariah’ sehingga mereka memutuskan untuk mengharamkan semua jenis bank dan turunannya. Sebagian lagi memilih untuk bertoleransi dengan bank konvensional karena kondisi yang darurat dan menganggap Indonesia tidak mengakomodasi undang-undang syariat. Sementara gue, dengan segala pendapat yang ada, memilih untuk menggunakan bank syariah sebagai jalan keluar untuk membantu proses pembayaran hunian yang akan dibeli. Urusan fiqih bukan domain gue. Biarlah Majelis Ulama Indonesia dan pihak-pihak yang kompeten yang memutuskan halal-haramnya bank syariah di saat bank konvensional sudah secara sah mengakomodasi praktik riba.

Kenyataannya bank syariah memang nampak lebih mahal dibandingkan dengan bank konvensional. Sedari awal, nominal pembayaran sudah ditentukan sejak akad hingga jangka waktu pelunasan KPR. Sistem ini membebaskan nasabah dari ketidakpastian akibat suku bunga yang terus-menerus berubah setiap tahunnya.

Akhirnya kami memilih menggunakan salah satu bank syariah swasta yang cukup kredibel berdasarkan rekomendasi salah seorang guru ngaji. Pihak bank membeli rumah dari developer dan kami sebagai nasabah diharuskan melunasi pembelian rumah selama 15 tahun dengan sistem pembayaran yang fixed setiap bulannya.

Akhirnya setelah akad, kami sah memiliki sebuah rumah di ujung timur kota bandung. Rumah yang sederhana untuk keluarga kecil kami dengan ukuran 36/84 m2. Gue merasa beruntung bisa membeli rumah dengan perbandingan ukuran tanah dan harga yang masih masuk akal. Karena temen gue yang tinggal di BIntaro sudah berkeliling kesana kemari namun akhirnya mentok dengan rumah tipe 36/60 seharga 400 juta lebih. Gila!. Tidak mudah mencari rumah murah di kota-kota besar. Kami lantas berpikir bahwa harga rumah tidak memberikan kesempatan untuk dipunyai oleh kelas menengah ke bawah. Ah, seharusnya pemerintah yang memikirkan solusi perumahan untuk rakyat.

Rumah kami langsung menghadap ke Gunung Manglayang. Kelak, ketika Alby sudah mampu berjalan dengan kakinya sendiri, gue akan mengajaknya turut serta mendaki gunung tersebut. Semoga rumah ini menjadi rumah yang berkah dengan senantiasa menebarkan manfaat bagi sekitar. Tantangan berikutnya adalah mengisi rumah tersebut dengan ini itu khas keluarga muda. Give me a break, please!.

Sumber Gambar (Klik link)
Gambar 1
Gambar 2
Gambar 3
Iklan

Tagged: , , ,

§ One Response to Rumah Kita

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

What’s this?

You are currently reading Rumah Kita at I Think, I Read, I Write.

meta

%d blogger menyukai ini: