Sabtu Bersama Ayah
April 11, 2015 § Tinggalkan komentar
Assalamu’alaikum, Nak
Beberapa saat sebelum menuliskan tulisan ini, ayah baru saja menyelesaikan sebuah novel yang berjudul ‘Sabtu Bersama Bapak’ karangan Adhitya Mulya. Sebuah novel keluarga yang intinya bercerita tentang bagaimana sosok seorang bapak di hadapan anaknya. Meskipun sang bapak telah tiada. Berangkat dari novel itulah, ayah membuat kisah ini dan menjadikannya sebagai judul tulisan.
Nak, perlu ayah sampaikan bahwa meskipun ayah suka membaca tapi novel tak pernah menarik perhatian ayah kecuali beberapa. Meskipun novel adalah bacaan, di luar buku pelajaran sekolah, yang pertama kali ayah baca dan membuat ayah menyenangi aktifitas tersebut sesudahnya. Waktu itu ayah membaca novel karangan Helvy Tiana Rosa yang berjudul ‘Ketika Mas Gagah Pergi’. Tapi, entah kenapa. Untuk berikutnya, ayah tak pernah menjadikan novel sebagai prioritas. Hanya beberapa saja novel yang ayah baca. Itu pun novel popular karangan Kang Abik dan Dewi Lestari. Jangan, Nak. Jangan paksa ayah membaca Da Vinci Code atau Larung Ayu Utami.
Kali ini ayah membaca novel yang, menurut beberapa teman ayah, sangat baik untuk melengkapi referensi sebagai pembekalan bagi seorang ayah dan calon ayah. Nak, kini ayah dan ibu sudah memilikimu. Artinya semua bekal yang bisa menambah pengetahuan tentang menjadi orangtua yang baik adalah sesuatu yang penting dan berharga.
Secara singkat, buku ini berkisah tentang sosok seorang bapak yang meninggalkan penggalan-penggalan cerita yang terekam dalam kaset handycam di tengah vonis kanker yang dideritanya. Sang bapak, sebelum wafatnya, menceritakan banyak hal dalam rekaman tersebut. Sebagian besar adalah nasihat bagi kedua putranya suatu saat ia telah tiada. Secara ajaib, pertanyaan-pertanyaan kehidupan yang bertambah seiring dengan semakin dewasanya sang anak telah terjawab dalam kaset peninggalan bapak. Tokoh ‘bapak’ adalah model orangtua yang visioner.
Banyak hikmah yang ayah petik sebakda membaca novel tersebut.
Nak, terinspirasi dari bacaan itu, ayah ingin meninggalkan jejak kisahmu dalam goretan-goretan kata yang termuat dalam blog ini. Biarlah ayah dianggap meniru atau lebih tepatnya terinspirasi novel tersebut. Tentu ayah tidak berharap bahwa ayah juga memiliki umur yang singkat seperti tokoh ‘bapak’ dalam novel. Ayah hanya ingin merekam setiap tumbuh kembangmu dalam tulisan-tulisan yang akan ayah muat setiap tanggal delapanbelas tiap bulannya. Iya Nak, delapan belas. Karena pada tanggal itulah engkau lahir ke dunia.
Kelak, ketika kau sudah besar, kau bisa menapaktilasi kisah hidupmu dari apa yang pernah ayah buat mulai dari saat ini hingga nanti di usia engkau tujuhbelas atau dua puluh.
Maafkan ayah, Nak. Jika tulisan ini dimulai dari bulan ketiga kelahiranmu. Sebelumnya sudah ada niatan ayah untuk melakukan hal yang serupa. Namun niat yang layuh karena berbagai kesibukan membuat semua rencana ini hanya termuat di angan.
Nak, ayah akan berusaha sekuat tenaga untuk bercerita tiap bulannya tentang engkau.
Ayah tidak berharap tulisan ini dibaca oleh banyak orang atau ada orang iseng menerbitkan kumpulan dari apa yang ayah tulis tentangmu. Semua itu mungkin penting. Tapi jauh lebih penting adalah ayah, juga ibu, bisa berkisah tentangmu lewat ingatan-ingatan yang terpatri dalam lembaran-lembaran di atas halaman putih layar ini. Karena apa yang terucap akan hilang dan apa yang tertulis akan mengabadi.
Salam cinta ayah untukmu, nak. Di tengah mulutmu yang tak berhenti berucap banyak hal yang kami pun hanya bisa menerka apa yang kau inginkan.
Semoga engkau tumbuh menjadi anak yang sehat, cerdas dan shalih.
Tinggalkan Balasan