#23 Chotimah Agustia (Chimot)
Maret 30, 2015 § Tinggalkan komentar
Belakangan ini kerjaan di kantor bener-bener lagi banyak. Hampir setiap hari gue mesti mengunjungi customer mulai dari trial, problem solving hingga memberikan training. Padatnya rutinitas itulah yang menjadi alasan gue untuk tidak bisa lebih sering mampir mengunjungi blog apalagi membuat tulisan baru. Walaupun begitu, gue tetap berusaha sekuat tenaga, sekuat kamehameha untuk setidaknya membuat satu atau dua tulisan baru setiap bulannya. Karena gue memegang teguh moto Jasamarga ‘Semua Ada Jalannya’.
Tulisan kali ini, seperti yang sudah-sudah, akan bercerita tentang temen kelas gue yang telah menikah. Sejujurnya gue sudah kehabisan ide untuk merangkai kata-kata menjadi kalimat yang akan bersimponi menjadi tulisan bertemakan pernikahan temen SMA gue. Maka saat temen gue Desni berkata bahwa tulisan tentang Maya sungguh jayus, gue pun hanya bisa terpaku. Walau sebenernya, dalam kacamata gue, tulisan tersebut tidaklah segaring itu. Tapi gue sadar, gue cowo. Cowo selalu salah. KZL!
Meskipun begitu, gue tetep berusaha menulis kembali kisah tentang temen-temen kelas gue yang telah menikah. Karena gue sadar, ganteng aja ga cukup buat kamu. Lah?!.
Kali ini tulisan gue akan membahas sosok perempuan. Tapi tidak berkalung sorban. Tidak juga jenggotan. Panggil saja ia bunga. Perempuan ini adalah temen SMP sekaligus temen SMA gue. Gue satu kelas sama doi sejak kelas 1 SMP. Tidak. Tidak ada benih-benih cinta di antara kami. Tolong jauhkan segala pernak-pernik FTV di otak kalian.
Nama lengkapnya adalah Chotimah Agustia namun lebih diakrabi dengan Cimoth. Dinamakan begitu karena dia adalah anak bungsu. Sering banget kan kita denger ‘khusnul khotimah’ yang artinya adalah akhir yang baik. Nah berangkat dari ucapan yang lazim kita dengar, gue bisa menyimpulkan bahwa ‘khotimah’ berarti penutupan/akhir.
Jujur, tidak banyak yang gue inget tentang Cimoth walaupun enam tahun kami satu kelas. Selain menjadi siswa sekolah di SMP kami dengan usia paling muda, hal lain yang gue inget adalah gue dan Cimoth pernah berada di satu genk.
Seperti anak-anak SMP lainnya yang labil dan sedang mencari jati diri, kami membuat sebuah klub eksklusif berdasarkan teritori posisi bangku kelas. Kami menamai genk ini dengan pensil-peruncing (rautan), Kelompok remaja yang terdiri dari 5 pria dan 4 wanita. Filosofi nama ini diambil dari asas saling melengkapi antara kedua benda tersebut. Tanpa peruncing, apatah arti sebatang pensil kayu. Ia tumpul tak bisa berfungsi dengan baik. Tak bisa digunakan untuk mengisi LJK. Tanpa rautan, pensil hanyalah seonggok makhluk tak bernyawa yang nista *drama*. Pun sebaliknya. Tanpa pensil, apa fungsi rautan itu. Apa yang mau diraut? jari?. Tanpa pensil, rautan hanyalah sebliah pisau tumpul yang cerminnya sering disalah gunakan para anak bermental bejat. IYKWIM.
Cimoth adalah anak yang cerdas dan selalu mendapatkan peringkat yang baik di SMP. Namun tak ada gading yang tak bertulang. Pernah suatu ketika sekolah kami tengah mengadakan ujian kenaikan. Gue inget banget ujian ini. Kenapa? Karena ada bintang kelas yang bertanya pada makhluk fakir nilai macem gue. Cimoth sekonyong-konyong bertanya.
“Psst, siapa penyanyi yang paling sedih?”
Gue kaget saat seorang Cimoth tiba-tiba nanya tentang penyanyi. Padahal saat itu ujian Penjaskes. Gue nyerah dan nanya balik.
“Siapa?”
“Melly” Jawabnya.
“Melly siapa?” Gue balik nanya.
“Mellyhatmu bahagia bersama dengan yang lain”
“…”
Sebenernya yang ditanyakan Cimoth waktu itu adalah bahasa Indonesianya fuel itu apa. Lah gue minder. Kalo doi yang pinter aja ga tahu apalagi gue. Gue sadar kalaupun gue tahu, jawaban gue pasti salah. Kenapa? karena lagi-lagi ini permasalahan gender. Cowo selalu salah, bukan? Padahal Cimoth bisa menjawab dengan ngasal semua pertanyaan saat ujian. KARENA WANITA SELALU BENAR.
Tapi, Kalo gue bilang ga tau, gue bakalan lebih akan menderita lagi saat mendengar ucapan “iya. Aku gapapa kok”. Cewek kan emang gitu. Pura-pura bilang ‘Tidak apa-apa’ padahal menyimpan dendam kesumat sambil ngasah piso.
Untuk menghindari kondisi yang lebih runyam. Sesaat setelah Cimoth nanya, gue pura-pura setep dan mulai kejang-kejang sambil mengaum suara macan. Saat ditanyai kenapa gue bisa jadi macan. Gue bilang “Dengan bisk*uat, semua bisa jadi macan”.
Sejak SMP, Cimoth dikenal sebagai anak yang pendiem. Berbeda dengan kakak-kakaknya yang lebih heboh. Walaupun pendiem, anak satu ini kalo ketawa pake double stereo plus bass. Sifat pendiem ini tak banyak berubah pun ketika ia menjadi temen kelas SMA gue selama tiga tahun. Walaupun pernah ngegenk bareng, hal itu tak membantu banyak interaksi kami saat SMA.
Gue tidak pernah mengamati Cimoth secara detail. Tapi menurut salah satu sumber, kerudung yang ia kenakan haruslah lancip di ujungnya. Lancipnya pun harus didesain sedemikian rupa sehingga terbentuk sudut 35 derajat dengan ketebalan kain 3 cm. Bahkan ia bisa pusing jika tidak mengenakan kerudung dengan model tersebut. Gue bingung, setau gue yang boleh pusing cuma kepalanya Barbie.
Lepas SMA, Cimoth melanjutkan pendidikannya ke Jurusan Arsitektur Universitas Sriwijaya. Ia berkumpul kembali dengan temen kelas kami lainnya, Aas. Empat tahun kuliah, ia lulus dan kemudian bekerja di sebuah developer perumahan. Pada tanggal 8 Maret 2015, ia menikah dengan seorang pemuda bernama Fatahilah di Palembang, Sumatera Selatan.
Walaupun gue ga bisa dateng, tapi doa terbaik selalu kami panjatkan agar kelak pernikahan kalian berbuah keberkahan seperti inti dari doa yang diajarkan Rasul kepada setiap insan yang menikah. Selamat Chotimah, kamu di posisi 23 :D.
Tinggalkan Balasan