Belitung, Je t’Aime (Part 1)
Juni 18, 2014 § 3 Komentar
Jatuh cinta berjuta rasanya. Biar siang biar malam terbayang wajahnya.
Jatuh cinta berjuta indahnya. Biar hitam biar putih manislah nampaknya.
Puluhan tahun lalu Titiek Puspa menyanyikan lagu ini hingga membuai setiap telinga untuk larut mendengarkan. Lagu yang mengabadi, menyusuri lorong-lorong waktu hingga tiba di saat facebook, twitter dan path menjamur. Kini, soundtrack yang sama terngiang di otak gue, mengalun-alun merdu sambil sesekali Jangan Cintai Aku Apa Adanya milik tulus mengintersep playlist yang terputar secara acak di playlist winamp.
Jangan cintai aku apa adanya, jangan…
Tuntutlah sesuatu, biar kita jalan ke depan.
Tulus memilih kekuatan lirik dalam setiap tembang yang diresonansikan. Perpaduan dua lagu beda generasi tengah menggambarkan situasi hati gue. Begini katanya ketika orang sedang jatuh cinta. Hati yang sentiasa beroma. Jantung yang lebih cepat memompa hingga otak pun berhenti bekerja.
“Brain is most awesome organ. They work 24 hours a day and 365 days in 1 year. From birth until… You fall in love”.
And this is what’s happening to me. I am truly falling in love.
Klise? Pasti. Norak? Iya. Karena menurut temen gue, saat kalian jatuh cinta adalah saat dimana rasa malu, norak, aneh tidak lagi menjadi hal penting yang kalian perdulikan. Kalian akan mensintesa sebuah negasi yang memberikan ‘pembenaran’ atas semua kelakuan di luar kenormalan. Atau kalian mungkin bisa meng-kambinghitam-kan, katakanlah, semua dopamin, oksitosin, serotonin, norepinefrin yang disekresikan saat kalian jatuh cinta.
Dan gue sedang jatuh cinta. Setiap hari. Pada orang yang namanya tersebut dalam janji di depan saksi. Dan gue mau bercerita, ber-absurd ria. Namun gue berusaha konsisten. Setidak normal apapun, gue tidak akan pernah dengan sadar bermesraan, berucap hal-hal romantis nan menjengkelkan di media sosial yang bisa dengan mudahnya diakses. Kongruen dengan apa yang gue tulis sebelumnya.
*****
Waktu berlalu tanpa bisa diajak kompromi. Sebulan setelah pernikahan, fase-fase yang (katanya) paling membahagiakan dari semua penggalan penggalan cerita sebuah bahtera yang bernama rumah tangga, terasa berlalu begitu saja. Tibalah kami di penghujung Mei. Beberapa tanggal dengan corak warna merah menghiasi tanggalan. Terjadwal gue dan istri akan berkunjung ke negerinya Ikal, Arai dan para Rainbow troops lainnya. Kami akan menghabiskan 3 hari di Belitung untuk mengecat batu raksasa yang ada di pantai tanjung tinggi.
“Seriously?”
Tentu tidak. Belitung menjadi destinasi honeymoon gue bareng istri yang tiket keberangkatan dan sebagian keperluan diakomodasi oleh rekan-rekan yang tidak bisa gue sebutkan satu per satu. Mulai dari Paijo, Parno, Markonah, umm.. Siapa lagi ya?.
“Siapa, Egi?”
“Eki?”
“Hah Edi?”
“C, om. Charlie!”
“Oh Charlie, kok suaranya mirip cewe?” *Mati berdiri*
Sebelum terbang, kami sudah membuat rencana perjalanan dengan sangat detail. Hari pertama ke Belitung timur, Hari kedua dan ketiga ke Belitung Barat. Done. Detail sekali, bukan? :D.
Kami menumpang Pesawat Citilink dengan keberangkatan paling pagi, bahkan sebelum ayam terbangun dari tidurnya yang tak nyenyak. Ternyata ada hal unik yang kami temukan selama keberangkatan. Announcer maskapai menyapa penumpang dengan pantun sebagai warisan kebudayaan melayu. Untungnya pantun tersebut tidak berbalas. Gue takut pesawat yang kami gunakan sebenarnya sudah disewa untuk acara lamar-lamaran. Huft.
Satu jam perjalanan, kami tiba di bandara H. AS. Hanandjoeddin.
Setibanya di Bandara, kami menggunakan travel menuju Belitung Timur. Jalanan yang diaspal rapih dan lengang membuat perjalanan menuju bandara hanya ditempuh dalam 2 jam. Betapa kontradiktif dengan kemacetan yang ada di ibukota.
Kami menginap di sebuah penginapan hasil rekomendasi pengemudi travel. Ia juga berujar bahwa warga yang tinggal di Belitung terkenal jujur. Bahkan motor yang terparkir di depan rumah dengan kunci masih menggantung, dijamin akan aman.
Gue lalu meminjam motor untuk menelusuri Belitung timur, mengunjungi berbagai tempat khas Manggar mulai dari rumah kata Andrea Hirata, SD Muhammadiyah Laskar Pelangi dan Pantai Serdang. Dan ternyata memang benar. Penduduk di Manggar benar-benar ramah dan jauh dari kriminalitas. Di beberapa tempat gue melihat motor-motor dengan kunci yang masih bertengger manis di slotnya
Rumah Kata
Destinasi pertama kami setibanya di Manggar, Belitung timur, adalah Rumah Kata milik Andrea Hirata. Rumah kata bisa dikatakan sebagai museum tentang sekelumit hal seputar Laskar Pelangi yang fenomenal. Di dalamnya kita bisa menemukan cuplikan foto dari film Laskar Pelangi, quote-quote Andrea Hirata hingga koleksi buku Laskar pelangi dalam berbagai bahasa mulai dari Korea, Cina, Spanyol dan banyak lagi. Menurut penjelasan salah seorang penanggung jawab rumah tersebut, Laskar Pelangi sudah diterjemahkan ke lebih dari 10 bahasa di lebih 30 negara. Sebuah prestasi yang luar biasa dari seorang anak Indonesia yang lahir dan besar di sebuah kampung kecil di selatan Pulau Sumatera.
Semangat yang ingin ditularkan oleh Andrea Hirata sepertinya berhasil ditransmisikan hingga setiap orang yang singgah ke tempat ini dapat merasakan aura inspirasi.
Menengok ke luar jendela, kita akan mendapati selasar yang digunakan sebagai tempat belajar, berkreasi, berbagi, dan bercerita agar setiap anak, siapapun ia, tak pernah berhenti bermimpi. Karena mimpi adalah langkah awal untuk memulai langkah besar lainnya.
Rumah ini terbagi menjadi beberapa ruangan meliputi ruang depan, ruang tengah dan ruang belakang. Ruang depan menjadi tempat registrasi bagi para pengunjung. Sementara di ruang tengah kita bisa menemukan kesederhanaan, ketenangan berbaur bersama teriknya matahari. Di dalam kamar-kamar yang terdapat di ruang tengah inilah kita bisa menemukan galeri foto adegan film Laskar Pelangi.
Di ruang belakang bangunan terdapat sebuah warung kopi tradisional. Kaget kenapa ada warung kopi di sini? Sama. Gue juga kaget. Kopi manggar memang terkenal. Apapun alasan warung kopi berdiam di ruang belakang Rumah Kata, kalian tetap harus mencoba aroma dan nikmatnya kopi khas Belitung timur.
Rumah kata tak pernah sepi. Saat kami datang berkunjung, tak kurang 5-10 pengunjung lain juga berada di tempat yang sama. Tak ketinggalan jurnalis melakukan wawancara dengan pengelola.
Rumah kata menjadi tempat yang sangat baik untuk menggali inspirasi. Buat gue dan istri, rumah kata menyajikan pengharapan, mimpi-mimpi yang jadi kenyataan, serta semua perjuangan. Nilai-nilai inilah yang nanti akan kami wariskan kepada anak-cucu kelak.
Replika SD Muhammadiyah
Bagi kalian yang berinteraksi dengan Andrea Hirata melalui bukunya Laskar Pelangi, atau melalui filmnya, SD Muhammadiyah sangat lekat dengan imajinasi. Di tempat inilah para laskar pelangi menempuh pendidikan sekolah dasar. Ia tak berupa Hogwarts dengan Griffindor dan Slyterin yang megah dan sakti mandraguna walau hanya dalam imajinasi belaka. Di SD Muhammadiyah, kita tidak akan menyaksikan sebuah fiksi. Di sini kita mendapati kisah nyata perjuangan heroik Bu Muslimah yang sekuat tenaga mendidik siswa yang jumlahnya tak sampai sepuluh.
Papan tulis serta bangku nan lusuh menghiasi sekolah yang terdiri dari dua ruangan dengan sekat dan dinding yang terbuat dari kayu. Tapi gue ga terlalu heran. Gue pernah melihat sekolah dengan kondisi yang lebih memprihatinkan. Dengan semua keprihatinan yang kita saksikan, Mendiknas masih kekeuh menstandardisasi inteligensia siswa dari Sabang hingga Merauke dengan Ujian Nasional meskipun infrastruktur sekolah tidak berimbang antara satu wilayah dan wilayah lain.
SD Muhammadiyah yang menjadi objek wisata hanya berupa replika, bukan bangunan asli. Ia direplikasi untuk menjadi saksi sejarah betapa kerja keras dapat menghancurkan semua persepsi-persepsi negatif dan mampu menempa karbon yang rapuh menjadi intan yang keras membaja.
Tak Lupa, kami bernarsis ria. Meninggalkan jejak bersama dinding-dingin yang mulai usang termakan rayap.
Potret perjuangan di SD Muhammadiyah Manggar layak menjadi tamparan bagi sekolah-sekolah parlente. Karena sejatinya prestasi tidak semata diukur dari seberapa bagus kurikulum pendidikan yang kalian punya. Atau seberapa berlimpah dana yang tersedia. Dari sekolah reot inilah, seorang penulis bisa menghasilkan karya yang mendunia.
Pantai Serdang
Tidak banyak orang yang tahu bahwa Belitung timur memiliki pantai. Memang, pantainya tidak seelok Belitung barat yang megah dengan batu batu raksasa yang menjulang. Pantai serdang mirip dengan pantai pada umumnya. Namun pantai ini lebih teduh dengan banyak pohon pinus di sepanjang bibir pantai. Terdapat beberapa spot yang dibangun untuk memfasilitasi aktifitas fotografi dadakan.
Destinasi tidak selalu menjadi variabel baku tentang indahnya sebuah perjalanan. Karena kata tanya “kemana” kini sudah disubstitusi oleh “dengan siapa”. Maka orang yang membersamai perjalanan kita akan jauh lebih penting daripada tujuan yang akan kita datangi.
Ketika hati sudah bertaut, janji telah tersebut maka kemana pun kaki melangkah akan terasa jauh lebih mudah. Karena akan ada pundak yang senantiasa tegak kokoh untuk bersandar. Ada telinga yang terpasang untuk selalu mendengar. Ada mata yang tak terlelap untuk terus menatap.
Bukankah dulu Khadijah membersamai Muhammad dalam setiap kesulitan, himpitan, pergolakan. Hingga perempuan agung inilah yang mendapatkan titipan salam dari Allah melalui Jibril. Tak pernah sedikit pun ia mundur dari keyakinannya untuk terus mendampingi Muhammad. Karena ia sadar bahwa ujung dari perjalanan mereka akan berbuah surga.
Dan di Pantai Serdang pun menjadi begitu indah. Tak bisa lagi Pantai Kuta menjadi jumawa. Wanita di sebelah gue hanya bisa tersenyum manis. Memamerkan gigi yang tersekat oleh kawat-kawat. Hatta, lembayung senja pun kalah oleh pancaran keindahan senyumnya.
Dalam khidmatnya kami menatap langit, gue teringat kembali sebuah syair dari Sapardji Joko Pramono, Aku Ingin Mencintaimu Dengan Sederhana.
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu
kepada api yang menjadikannya abu
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan
kepada hujan yang menjadikannya tiada
Sungguh. Belitung, Je’t Aime…
lebih indah ya jalan sama yang muhrim #eh
jadi kepengen kak *pletuuuuukkkk*
kepengen ke sana uwaaaaaw
hahai..
sok atuh disegerakan. biar naek gunungnya bisa bareng bareng suami 😀
huhuhuhuhu “Aamiin” #eh